Anda di halaman 1dari 15

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Paru

Paru-paru merupakan organ yang elastis, berbentuk kerucut, dan terletak


dalam rongga thorax. Setiap paru mempunyai apeks (bagian atas paru) dan dasar.
Pembuluh darah paru, bronkus, saraf dan pembuluh limfe memasuki tiap paru
pada bagian hilus.(7)

Gambar 3.1: Anatomi paru-paru dan dinding thorak normal tampak anterior.

Paru kanan dibagi oleh dua buah incisura interlobaris. Fissura oblik
memisahkan lobus inferior dengan lobus medius dan lobus superior. Fissura
minor memisahkan lobus superior dengan lobus medius, terletak horizontal, ujung
dorsal bertemu dengan fissura oblik, ujung ventral terletak setinggi pars
cartilaginis costa IV. Pada facies mediastinalis fissura horizontalis (fissura minor)
melampaui bagian dorsal hilus paru. Lobus medius adalah lobus yang terkecil dari
lobus lainnya, dan berada di bagian ventrocaudal, bentuk paru kanan bentuknya
lebih kecil tetapi lebih berat dan total kapasitasnya lebih besar.(7)

10
11

Paru kiri terdiri atas dua lobus, yaitu lobus superior dan lobus inferior
yang dipisahkan oleh fissura oblik (incisura interlobaris) yang meluas dari facies
costalis sampai pada facies mediastinalis, baik di sebelah kranial atau di sebelah
kaudal hilus paru. Fissura oblik dapat diikuti mulai dari hilus, berjalan ke
dorsokranial, menyilang margo posterior kira-kira 6 cm dari apeks pulmonis, lalu
berjalan ke arah caudoventral, pada facies costalis menyilang margo inferior, dan
kembali menuju hilus pulmonis. Dengan demikian lobus superior meliputi apeks
pulmonis, margo inferior, sebagian dari facies costalis dan sebagian besar dari
facies mediastinalis. Lobus inferior lebih besar dari lobus superior, dan meliputi
sebagian besar dari facies costalis, hampir seluruh facies diphragmatica dan
sebagian dari facies mediastinalis (bagian dorsal).(7)
Lobus paru dibagi lagi menjadi beberapa segmen sesuai dengan segmen
bronkusnya. Paru kanan dibagi menjadi 10 segmen sedangkan paru kiri dibagi
menjadi 8 segmen. Proses patologis seperti pneumonia seringkali terbatas pada
satu lobus dan segmen.(8)

Gambar 3.2: Anatomi paru dan hilus tampak medial.


12

Sirkulasi darah ada hubungannya dengan fungsi respirasi. Sirkulasi


pulmonal adalah aliran darah dari ventrikulus dekstra, melalui arteri pulmonalis,
berakhir pada atrium dekstra. Pada sirkulasi pulmonal terjadi pergantian
karbondioksida dengan oksigen, yang berlangsung melalui dinding alveolus,
disebut respirasi eksterna. Respirasi interna adalah penggunaan oksigen di
jaringan, yang menghasilkan karbondioksida.(8) Peredaran darah yang berkaitan
dengan nutrisi parenkim paru dilakukan oleh arteri dan vena bronkialis. Ramus
dekstra dan ramus sinistra arteri pulmonalis adalah percabangan dari arteri
pulmonalis yang membawa darah dari paru kanan dan paru kiri, selanjutnya
bercabang-cabang mengikuti percabangan bronkus dan kapiler-kapilernya
mencapai alveolus. Paru kanan menerima sebuah cabang dari arteri bronkialis,
dan paru kiri menerima dua buah cabang dari arteri bronkialis. Arteri ini
dipercabangkan dari dinding ventral aorta torakalis proksimal.(7)
Persarafan paru berasal dari serabut saraf simpatis dan parasimpatis
(nervus vagus) yang membentuk pleksus pulmonalis anterior dan pleksus
pulmonalis posterior.(7) Paru dibungkus oleh lapisan pleura dan terletak di dalam
cavum thorax. Lapisan pleura terdiri dari pleura visceralis dan parietalis yang
tidak berhubungan dan mengandung cairan pleura sebagai pelumas friksi antar
kedua pleura. Namun, pada hilus paru kedua lapisan pleura berhubungan dan
bergantung longgar di atas hilus (ligamentum pulmonal), sehingga
memungkinkan peregangan struktur-struktur yang melewati hilus selama
respirasi. Adapun struktur-struktur yang melewati hilus adalah arteri pulmonalis,
bronkus, vena pulmonalis, dan kelenjar getah bening. Saat memasuki paru,
bronkus utama kanan terletak lebih pendek, lebih lebar, dan lebih vertikal
dibandingkan dengan bronkus utama kiri.(7)
13

Gambar 3.3: Pembagian segmen pada lobus paru.

3.2 Definisi

A. Abses Paru
Abses paru adalah infeksi destruktif berupa lesi nekrotik pada jaringan
paru yang terlokalisir sehingga membentuk kavitas yang berisi nanah (pus) dalam
14

parenkim paru pada satu lobus atau lebih.(9) Semua lesi di parenkim paru dengan
proses supurasi yang disebabkan oleh mikroorganisme piogenik disebut abses
paru.(10) Abses paru adalah proses infeksi paru supuratif yang menimbulkan
destruksi parenkim dan pembentukan satu atau lebih kaviti berdinding tebal yang
mengandung pus sehingga membentuk gambaran radiologi Air Fluid Level.
Lokalisasi abses paru umumnya 75% berada di lobus bawah paru kanan bawah.(11)
Abses paru Primer adalah akibat pneumonia aspirasi atau Bronkogenik. Abses
paru Sekunder adalah akibat penyebaran infeksi dari tempat lain secara
hematogen, limfogen, perkontinuitatum. Abses paru harus dapat dibedakan
dengan kavitas pada pasien tubrkulosis paru.(9)

B. Efusi Pleura
Pleura parietalis dan viseralis letaknya berhadapan satu sama lain dan
hanya dipisahkan oleh selapis tipis cairan serosa. Lapisan tipis cairan ini
memperlihatkan adanya keseimbangan antara transudasi dari kapiler-kapiler
pleura dan reabsorpsi oleh vena viseral dan parietal, dan saluran getah bening.
Efusi pleura adalah istilah yang digunakan untuk penimbunan cairan dalam
rongga pleura. Efusi pleura dapat berupa transudat atau eksudat. Transudat terjadi
pada peningkatan tekanan vena pulmonalis, misalnya pada gagal jantung
kongestif. Pada kasus ini keseimbangan kekuatan menyebabkan pengeluaran
cairan dari pembuluh darah. Transudasi juga dapat terjadi pada hipopreteinemia,
seperti pada penyakit hati dan ginjal. Penimbunan transudat dalam rongga pleura
disebut hidrotoraks. Cairan pleura cenderung tertimbun pada dasar paru akibat
gaya gravitasi.(12)
Penimbunan eksudat disebabkan oleh peradangan atau keganasan pleura,
dan akibat peningkatan permeabilitas kapiler atau gangguan absorpsi getah
bening. Eksudat dibedakan dengan transudat dari kadar protein yang
dikandungnya dan berat jenis. Transudat mempunyai berat jenis kurang dari 1,015
dan kadar proteinnya kurang dari 3%; eksudat mempunya berat jenis dan kadar
protein lebih tinggi, karena banyak mengandung sel.(12)
15

3.3 Epidemiologi

A. Abses Paru
Abses paru lebih sering terjadi pada laki-laki dibanding perempuan dan
umumnya terjadi pada usia lanjut karena terdapat peningkatan insidensi penyakit
periodontal dan peningkatan prevalensi disfagia dan aspirasi.(9) Namun,
serangkaian kasus abses paru di pusat perkotaan dengan prevalensi tinggi
alkoholisme melaporkan rata-rata penderita abses paru berusia 41 tahun. Berkat
tersedianya kemoterapi yang ampuh, penggunaan antibiotik lebih dini, dan
kemajuan teknik operasi torak serta anestesi, jika dibandingkan dengan masa lalu,
kejadian abses paru sekarang telah turun drastis, kecuali pada kondisi-kondisi
yang memudahkan untuk terjadinya aspirasi dan pada populasi dengan
immunocompromised. Dahulu, operasi toraks dan tindakan anestesi merupakan
penyebab terjadinya infeksi di daerah toraks.(10)
Pada tahun 1920, diperkirakan sepertiga penderita abses paru meninggal;
Dr. David Smith meneliti bahwa aspirasi bakteri merupakan patomekanisme
terjadinya infeksi. Dalam suatu otopsi, Smith mengamati bakteri yang ditemukan
pada dinding abses paru menyerupai bakteri yang dijumpai pada celah gusi. Pada
masa sebelum antibiotik ditemukan, abses paru merupakan penyakit yang sangat
mematikan, dimana sepertiga dari pasien meninggal, sepertiga lainnya sembuh,
dan sisanya menyebabkan morbiditas berupa abses berulang, empiema kronik,
bronkiektasis, dan konsekuensi lainnya dari infeksi piogenik kronik.(13)
Pada masa awal antibiotik ditemukan, sulfonamide tidak menyebabkan
banyak perbaikan pada pasien dengan abses paru hingga saat ditemukannya
penisilin dan tetrasiklin. Walaupun di masa lampau bedah reseksi sering dianggap
sebagai penanganan abses paru, peran bedah telah banyak berkurang karena
kebanyakan pasien dengan abses paru tanpa komplikasi dapat memberi respon
yang baik dengan terapi antibiotik jangka panjang.(13) Insidensi abses paru tidak
diketahui, meskipun terlihat pertumbuhannya tidak fluktuatif dan insidensinya
juga terlihat menurun sejak diperkenalkannya antibiotik (khususnya penisilin).
Sejak 1943-1956, Massachusetts General Hospital melaporkan sebanyak 10-11
kasus abses paru per 10.000 penderita yang masuk rumah sakit pada masa pre-
antibiotik dibandingkan dengan 1-2 kasus per penderita yang masuk rumah sakit
16

pada masa post- antibiotik. Pada tahun 1984-1986 kasus yang ditangani The Beth
Israel Deacones Medical Center’s menunjukkan bahwa abses paru mewakili kira-
kira 0,2 % dari seluruh kasus penumonia membutuhkan perawatan rumah sakit.
Penurunan kasus abses paru berhubungan dengan penggunaan dini dan luas
antimikroba yang efektif, peningkatan manajemen perawatan pasien yang tidak
sadar, dan peningkatan manajemen perawatan pasien yang dianestesi.(14)

B. Efusi Pleura
Di Amerika Serikat, 1,5 juta kasus efusi pleura terjadi tiap tahunnya.
Sementara pada populasi umum secara internasional, diperkirakan tiap 1 juta
orang, 3000 orang terdiagnosa efusi pleura. Di negara-negara barat, efusi pleura
terutama disebabkan oleh gagal jantung kongestif, sirosis hati, keganasan, dan
pneumonia bakteri, sementara di negara-negara yang sedang berkembang, seperti
Indonesia, lazim diakibatkan oleh infeksi tuberkulosis.(15)
Penyebab efusi, penyakit ganas menyumbang 41% dan tuberkulosis untuk
33% dari 100 kasus efusi pleura eksudatif, 2 pasien (2%) memiliki koeksistensi
tuberkulosis dan keganasan yang dianalisis dengan kelompok ganas.
Parapneumoni efusi ditemukan hanya 6% kasus, penyebab lain gagal jantung
kongestif 3%, komplikasi dari operasi by pass koroner 2%, rheumatoid atritis 2%,
erythematous lupus sistemik 1%, gagal ginjal kronis 1%, kolesistitis akut 1%,
etiologi tidak diketahui 8%. Kasus efusi pleura mencapai 2,7% dari penyakit
infeksi saluran napas lainnya. Tingginya angka kejadian efusi pleura disebabkan
keterlambatan penderita untuk memeriksakan kesehatan sejak dini.

3.4 Etiologi dan Patofisiologi

A. Abses Paru
Abses paru paling sering muncul sebagai komplikasi pneumonia aspirasi
yang disebabkan oleh patogen dari mulut. Pasien yang mengalami abses paru
memiliki kecenderungan untuk aspirasi dan umumnya memiliki penyakit
periodontal. Komponen patogenitas bakteri dari celah gigi dapat mencapai
saluran udara bagian bawah dan infeksi terjadi akibat mekanisme pertahanan host
yang lemah. Hal ini menyebabkan pneumonitis aspirasi dan berkembang ke
jaringan nekrosis 7-14 hari kemudian, membentuk abses paru.(13)
17

Mekanisme lain untuk pembentukan abses paru yaitu melalui proses


bakteremia atau endokarditis katup trikuspid yang menyebabkan septik emboli
(biasanya multipel) ke paru. Sindrom lemierre, infeksi orofaringeal akut yang
diikuti oleh tromboflebitis septik dari vena jugularis interna dapat menyebabkan
abses paru. Bakteri anaerob oral Fusobacterium necrophorum adalah patogen
yang paling umum menyebabkan abses paru.(13)
Laporan yang dipublikasikan sejak awal area antibiotik telah menetapkan
bahwa bakteri anaerob adalah patogen yang paling sering menyebabkan abses
paru. Dalam sebuah penelitian oleh Bartlett et al pada tahun 1974, 46% pasien
dengan abses paru hanya memiliki anaerob yang diisolasi dari kultur sputum,
sementara 43% pasien memiliki campuran anaerob dan aerob.(17) Anaerob yang
paling umum adalah spesies Peptostreptococcus, spesies Bacteroides, spesies
Fusobacterium, dan Streptokokus mikroaerofilik. Bakteri aerobik yang mungkin
jarang menyebabkan abses paru termasuk Staphylococcus aureus, Streptococcus
pyogenes, Streptococcus pneumoniae, Klebsiella pneumoniae, Haemophilus
influenzae, spesies Actinomyces, spesies Nocardia, dan basil gram negatif.(13)

B. Efusi Pleura

Ruang pleura normal mengandung sekitar 10 mL cairan, mewakili


keseimbangan antara (1) kekuatan hidrostatik dan onkotik pada kapiler pleura
viseral dan parietal dan (2) drainase limfatik persisten. Efusi pleura dapat terjadi
dari gangguan keseimbangan ini. Terjadinya efusi pleura merujuk ke penyakit
yang mendasarinya, proses ini disebabkan gangguan pulmonal atau non pulmonal
dan, lebih jauh lagi, kejadian efusi bersifat akut atau kronis. Meskipun spektrum
etiologi efusi pleura luas, kebanyakan efusi pleura disebabkan oleh gagal jantung
kongestif, pneumonia, keganasan, atau emboli paru.(12)
Mekanisme berikut mungkin memainkan peran dalam terjadinya efusi
pleura: (12)
 Perubahan permeabilitas membran pleura (misalnya, peradangan,
keganasan, emboli paru).
 Pengurangan tekanan onkotik intravaskular (misalnya,
hipoalbuminemia karena sindrom nefrotik atau sirosis).
18

 Peningkatan permeabilitas kapiler atau gangguan vaskular (misalnya,


trauma, keganasan, peradangan, infeksi, paru infark, hipersensitivitas
obat, uremia, pankreatitis).
 Meningkatnya tekanan hidrostatik kapiler pada sistemik dan / atau
sirkulasi pulmonal (mis., gagal jantung kongestif, sindrom vena cava
superior).
 Pengurangan tekanan di ruang pleura (yaitu, karena suatu
ketidakmampuan paru untuk berkembang penuh selama inspirasi,
misalnya atelektasis ekstensif karena obstruksi bronkus terhalang atau
kontraksi dari fibrosis mengarah ke paru restriktif).
 Penurunan drainase limfatik atau penyumbatan pembuluh limfatik total,
termasuk obstruksi duktus torasikal atau ruptur (misalnya keganasan,
trauma).
 Peningkatan cairan peritoneum dengan ekstravasasi mikroperfusi di
diafragma melalui limfatik atau defek diafragma mikrostruktur
(misalnya hidrothoraks hepatik, sirosis, dialisis peritoneal).
 Gerakan cairan dari edema paru di seluruh pleura visceral.
 Peningkatan terus-menerus tekanan onkotik cairan pleura dari efusi
pleura yang ada, menyebabkan akumulasi cairan lebih lanjut.
Hasil dari pembentukan efusi adalah pendataran atau inversi diafragma,
disosiasi mekanik pleura viseral dan parietal, dan defek ventilasi restriktif pada
akhirnya yang diukur dengan uji fungsi paru. Efusi pleura umumnya
diklasifikasikan sebagai transudat atau eksudat, berdasarkan mekanisme
pembentukan cairan dan kimia cairan pleura. Transudat hasil dari
ketidakseimbangan tekanan onkotik dan hidrostatik, sedangkan eksudat adalah
hasil dari proses inflamasi pleura dan / atau penurunan drainase limfatik. Dalam
beberapa kasus, tidak jarang cairan pleura menunjukkan karakteristik campuran
transudat dan eksudat.(12)

3.5 Manifestasi Klinis

Tanda awal dan gejala abses paru tidak dapat dibedakan dari pneumonia,
terdapat demam disertai menggigil, batuk, keringat malam, dispnea, penurunan
19

berat badan, kelelahan, nyeri dada dan terkadang anemia. Pada awalnya batuk
tidak produktif, tetapi ketika proses patologis mengenasi bronkus muncul, batuk
menjadi produktif (vomique). Batuk produktif dapat menetap, kadang diikuti oleh
hemoptisis. Pasien dengan abses paru kronis dapat memberikan tanda jari
tabuh.(18)
Diagnosis banding meliputi kavitas tuberkulosis dan mikosis, tetapi jarang
dapat terlihat air-fluid level pada pemeriksaan radiologis. Lesi kistik paru, seperti
kista yang terletak pada bronkus intrapulmoner, bula emfisematus sekunder yang
terinfeksi dapat sulit dibedakan, tetapi lokalisasi lesi dan temuan klinis dapat
menunjukkan diagnosis yang tepat. Empiema pleura lokal dapat dibedakan
dengan menggunakan CT scan atau ultrasound.(18)
Karsinoma bronkus seperti karsinoma sel skuamous biasanya memberikan
gambaran dengan dinding tebal dan tidak teratur dibandingkan dengan abses paru
infeksius.(19) Tidak adanya demam, sputum purulen, dan leukositosis dapat
mengindikasikan karsinoma dan bukan penyakit infeksi.(20)

3.5 Diagnosis

Temuan pada pemeriksaan fisik pasien dengan abses paru dapat bervariasi.
Pemeriksaan fisik dapat ditemukan kondisi sekunder terkait seperti pneumonia
atau efusi pleura yang mendasari penyebab abses paru. Temuan pemeriksaan fisik
juga dapat bervariasi tergantung pada organisme yang terlibat, tingkat keparahan
dan luasnya penyakit, status kesehatan pasien serta komorbiditas.(13)
Pasien dengan abses paru mungkin mengalami demam ringan pada infeksi
anaerobik dan suhu lebih tinggi dari 38,5°C pada infeksi lain. Umumnya, pasien
dengan abses paru-paru memiliki bukti gingivitis dan/atau penyakit periodontal.
Temuan klinis dari konsolidasi dapat hadir (misalnya, penurunan suara nafas,
perkusi redup, suara napas bronkial, inspirasi kasar). Bunyi napas amphoric atau
kavernous hanya jarang ditemui dalam praktik modern. Suara pleural friction-rub
merupakan bukti bahwa terdapatnya bukti efusi pleura, empiema, atau
pyopneumothoraks sebagai kondisi yang berkaitan dengan abses paru. Tanda-
tanda lain termasuk suara perkusi yang redup, pergeseran mediastinum
kontralateral, dan nafas yang tidak terdengar terdengar di atas efusi.(13)
20

Gambaran radiografi dada khas pada abses paru adalah terdapat rongga
berbentuk tidak beraturan dengan air-fluid level. Abses paru sebagai akibat dari
aspirasi paling sering terjadi pada segmen posterior lobus atas atau segmen
superior dari lobus bawah. Ketebalan dinding abses paru berlangsung dari tebal ke
tipis. Dinding rongga dapat halus atau compang-camping tetapi jarang berbentuk
nodular, yang meningkatkan kecurigaan kavitas karsinoma. Air-fluid level dalam
abses paru sering sama pada posisi posteroanterior atau lateral. Abses dapat
meluas ke permukaan pleura, dalam hal ini membentuk sudut akut dengan
permukaan pleura.(13)
Infeksi anaerob dapat dicurigai oleh kavitas dalam konsolidasi segmental
padat di zona paru terkait. Infeksi paru-paru dengan organisme yang mematikan
menghasilkan nekrosis jaringan yang lebih luas, yang memfasilitasi
perkembangan infeksi yang mendasari terjadinya gangren paru. Hingga sepertiga
abses paru dapat disertai dengan empiema. Radiografi dada berulang dapat
diperoleh setelah perawatan untuk menentukan tanggapan terhadap terapi
antimikroba.(13)
Kavitasi terjadi ketika erosi parenkim paru membentuk hubungan dengan
bronkus, sehingga mengakibatkan drainase bahan nekrotik, masuknya udara dan
pembentukan air-fluid level. Computed tomography (CT) scan telah terbukti
berguna dalam eksklusi obstruksi endobronkial yang diakibatkan keganasan atau
benda asing dan memberikan informasi tambahan tentang ukuran dan lokasi lesi.
Lebih lanjut, pemeriksaan CT dapat memberikan perbedaan antara abses paru dan
empiema. Abses paru biasanya muncul sebagai rongga bulat tebal di dalam
parenkim paru, tanpa menekan bronkus yang berdekatan, dan membentuk sudut
tajam dengan dinding toraks, sedangkan empiema berbentuk lentikular,
menyebabkan kompresi parenkim yang berdekatan dan membentuk sudut tumpul
dengan dinding dada.(21)

3.7 Tatalaksana

A. Terapi Non-operatif Abses Paru


Tujuan utama pengobatan pasien abses paru adalah eradikasi secepatnya
dari patogen penyebab dengan pengobatan yang cukup, drainase yang adekuat
21

dari empiema dan pencegahan komplikasi yang terjadi.(9) Pasien abses paru
memerlukan istirahat yang cukup. Bila abses paru pada foto thorak menunjukkan
diameter 4 cm atau lebih sebaiknya pasien dirawat inap. Penyembuhan sempurna
abses paru tergantung dari pengobatan antibiotik yang adekuat dan berikan sedini
mungkin setelah sampel dahak dan darah diambil untuk kultur dan tes sensitivitas.
Kasus abses yang disebabkan bakteri anaerob kumannya tidak dapat ditentukan
dengan pasti, sehingga pengobatan secara empiris. Kebanyakan mengalami
perbaikan dengan antibiotik dan postural drainage, sedangkan tindakan operatif
kira-kira 10%.(9)
Antibiotik diberikan sesuai dengan hasil tes sensitivitas. Abses paru yang
disebabkan stafilokokus harus diobati dengan penicilinase-resistant penisilin atau
sefalosporin generasi pertama, sedangkan untuk Staphylococus aureus yang
methicilin resistant seperti yang disebabkan oleh emboli paru septik nasokomial,
pilihannya adalah vancomisin. Abses paru yang disebabkan oleh nocardia
pilihannya adalah sulfonamide 3x1 oral. Abses amubik diberikan metronidazole
3x750 mg, bila terjadi ruptur dari abses ditambahkan emetin parentral pada 5 hari
pertama.(9)
Antibiotik diberikan sampai dengan pneumonitis telah mengalami resolusi
dan kavitasnya hilang, tinggal berupa lesi sisa yang kecil. Resolusi sempurna
membutuhkan waktu pengobatan 6-10 minggu dengan pemberian antibiotik oral
sebagai pasien rawat jalan.(22)
Drainase dengan tindakan operasi tidak dilakukan bila antibiotik dapat
berespon. Bila tidak respon, dan kavitasnya membesar harus dilakukan drainase
perkutan untuk mencegah kontaminasi pada rongga pleura.(22)

B. Tindakan Operatif Abses Paru


Indikasi operasi sebagai berikut: (9)
a. Abses paru yang tidak mengalami perbaikan.
b. Komplikasi: empiema, fistula bronkopleura.
c. Pengobatan penyakit yang mendasari: karsinoma obstruksi primer/metastasis,
pengeluaran benda asing, bronkiektasis, gangguan motilitas gastroesopageal,
malformasi atau kelainan congenital.
22

Reseksi paru yang responnya minimal dengan antibiotik, abses paru dengan
ukuran yang besar dan infark paru. Lobektomi merupakan prosedur yang paling
sering, reseksi segmental untuk lesi-lesi yang kecil. Pneumoektomi diperlukan
terhadap abses multipel atau gangren paru yang refrakter terhadap penanganan
dengan obat-obatan. Angka mortalitas setelah pneumoektomi mencapai 5%-
10%.(9)

C. Tatalaksana Efusi Pleura


1. Torakosentesis
Aspirasi cairan pleura bermanfaat untuk memastikan diagnosis, aspirasi
juga dapat dikerjakan dengan tujuan terapetik. Torakosentesis dapat dilakukan
sebagai berikut:
1. Penderita dalam posisi duduk dengan kedua lengan merangkul atau diletakkan diatas
bantal, jika tidak mungkin duduk, aspirasi dapat dilakukan pada penderita dalam
posisi tidur terlentang.
2. Lokasi penusukan jarum dapat didasarkan pada hasil foto toraks, atau di daerah
sedikit medial dari ujung scapula, atau pada linea aksilaris media di bawah batas
suara sonor dan redup.
3. Setelah dilakukan anastesi secara memadai, dilakukan penusukan dengan jarum
ukuran besar, misalnya no 18. Kegagalan aspirasi biasanya disebabkan karena
penusukan jarum terlampaui rendah sehingga mengenai diafragma atau terlalu dalam
sehingga mengenai jaringan paru, atau jarum tidak mencapai rongga pleura oleh
karena jaringan subkutis atau pleura parietalis tebal.
4. Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-1500 cc pada setiap aspira.
Untuk mencegah terjadinya edema paru akibat pengembangan paru secera
mendadak. Selain itu pengambilan cairan dalam jumlah besar secara mendadak
menimbulkan reflax vagal, berupa batuk, bradikardi, aritmi yang berat, dan
hipotensi.(23)

2. Pemasangan WSD
Jika jumlah cairan cukup banyak, sebaiknya dipasang selang toraks
dihubungkan dengan WSD, sehingga cairan dapat dikeluarkan secara lambat dan
aman. Pemasangan WSD dilakukan sebagai berikut:
23

1. Tentukam tempat pemasangan, biasanya pada sela iga ke IV dan V, di linea aksilaris
anterior dan media.
2. Lakukan anlgesia/anestesia pada tempat yang telah ditentukan.
3. Buat insisi kulit dan subkutis searah dengan pinggir iga, perdalam sampai muskulus
interkostalis.
4. Masukkan Kelly klemp melalui pleura parietal kemudian dilebarkan. Masukkan jari
melalui lubang tersebut untuk memastikan sudah sampai rongga pleura/menyentuh
paru.
5. Masukkan selang ( chest tube ) melalui lubang yang telah dibuat dengan
menggunakan Kelly forceps.
6. Selang ( chest tube ) yang telah terpasang, difiksasi dengan jahitan ke dinding dada.
7. Selang ( chest tube ) disambung ke WSD yang telah disiapkan.
8. Foto X-rays dada untuk menilai posisi selang yang telah dimasukkan.(23)

3.8 Komplikasi

A. Abses Paru

Komplikasi lokal meliputi penyebabran infeksi melalui aspirasi melewati


bronkus atau penyebaran langsung melalui jaringan sekitarnya. Abses paru yang
drainasenya kurang baik, bisa mengalami ruptur kesegmen lain dengan
kecenderungan penyebabran infeksi staphylococcus, sedangkan yang ruptur ke
rongga pleura menjadi piotorak (empiema). Komplikasi sering lainnya berupa
abses otak, hemoptysis masif, ruptur pleura viseralis sehingga terjadi
piopneumotoraks dan fistula bronkopleura.(9)
Abses paru yang resisten (kronik), yaitu yang resisten dengan pengobatan
selama 6 minggu, akan menyebabkan kerusakan paru yang permanen dan
menyisakan suatu bronkiektasis, cor pulmonal, dan amiloidosis. Abses paru
kronik bisa menyebabkan anemia, malnutrisi, kakeksia, gangguan cairan dan
elektrolit serta gagal jantung.(9)
24

B. Efusi Pleura
1. Infeksi
Pengumpulan cairan dalam ruang pleura dapat mengakibatkan infeksi
(empiema primer), dan efusi pleura dapat terinfeksi setelah tindakan torasentesis
(empiema sekunder).
2. Fibrosis paru
Fibrosis pada sebagian paru-paru dapat mengurangi ventilasi dengan
membatasi pengembangan paru. Pleura yang fibrotik juga dapat menjadi sumber
infeksi kronis, menyebabkan demam.(23)

3.9 Prognosis

A. Abses Paru
Abses paru masih merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang
signifikan. Angka kematian abses paru berkisar antara 15-20% merupakan
penurunan bila dibandingkan dengan era pre antibiotik yang berkisar antara 30-
40%. Pada penderita dengan beberapa faktor predisposisi mempunyai prognosa
yang lebih jelek dibndingan dengan penderita yang satu predisposisi. Sekitar 80-
90% penderita sembuh dengan pengobatan antibiotik. Beberapa faktor yang
memperbesar angka mortalitas pada abses paru sebagai berikut: (22)
a. Anemia dan hipoalbuminemia
b. Abses yang besar (d >5-6 cm)
c. Lesi obstruksi
d. Immune Compromised
e. Usia Tua
f. Gangguan intelegensia

B. Efusi Pleura
Prognosis pada efusi pleura sesuai dengan etiologi yang mendasari
kondisi. Efusi yang ganas memiliki prognosis buruk, dengan kelangsungan
hidup rata-rata 4 bulan dan berarti kelangsungan hidup kurang dari 1 tahun.(23)

Anda mungkin juga menyukai