Anda di halaman 1dari 19

IMPLIKASI HUKUM ATAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

NOMOR 25/PUU-XIV/2016 TERHADAP PEMBERANTASAN


TINDAK PIDANA KORUPSI

Dadin E. Saputra
Fakultas Hukum Universitas Islam Kalimantan
Muhammad Arsyad al-Banjari Banjarmasin
e-Mail: delawfirm30@gmail.com

Afif Khalid
Fakultas Hukum Universitas Islam Kalimantan
Muhammad Arsyad al-Banjari Banjarmasin

Abstrak: Korupsi di Indonesia terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun.


Baik dari jumlah kasus yang terjadi maupun jumlah kerugian keuangan negara.
Kualitas tindak pidana korupsi yang dilakukan juga semakin sistematis dengan
lingkup yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Oleh karena itu penulis
tertarik melakukan penelitian ini dengan rumusan masalah yaitu bagaimana
pertimbangan hukum Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 dan implikasi hukum apa yang
dapat timbul terkait dengan proses penegakan hukum dan pemberantasan tindak
pidana korupsi. Tujuan dalam penelitian ini adalah pertama, untuk mengetahui
pertimbangan hukum Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016. Kedua, untuk mengetahui
implikasi hukum terkait dengan proses penegakan hukum dan pemberantasan tindak
pidana korupsi. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
yuridis normatif, dengan metode pendekatan yuridis. Penelitian ini menggunakan
metode kualitatif dan diuraikan secara deskriptif analitis. Adapun hasil dari penelitian
ini yaitu: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 melahirkan
ketidakpastian hukum yakni berkaitan dengan rumusan delik tindak pidana korupsi,
dimana awalnya rumusan tindak pidana korupsi adalah delik formil menjadi delik
materiil, sehingga penegak hukum harus dapat membuktikan berapa nilai kerugian
keuangan negara atau perekonomian negara secara riil atau nyata (actual loss) bukan
pada sudut pandang potensi nilai kerugian yang akan dialami (potential loss). Frasa kata
“dapat” merugikan keuangan negara atau perekonomian negara antara pendekatan
pidana sebagaimana dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dengan
pendekatan administratif sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 adalah 2 hal yang berbeda dan tidak mempunyai hubungan hukum.
Kata Kunci: Implikasi Hukum, Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016, Pemberantasan,
Tindak Pidana Korupsi

Abstract: There is an increase in corruption level in Indonesia, both in the total number of cases
and in the total amount of financial losses suffered by the state. There are even more systematic
corruption which present in all aspect of social life.The main problem formulation would be focusing
on the consideration upon the decision of the panel of judges of the Constitutional Court in its
decision Number 25/PUU-XIV/2016 and its legal implication towards law enforcement process
and corruption eradication. The objective of this research is, first, to understand the legal
2 SYARIAH: Jurnal Hukum dan Pemikiran Volume 18, Nomor 1, Juni 2018, hlm. 1- 18

consideration of the panel of judges of constitutional court in the decision Number 25/PUU-
XIV/2016. As for the second objective, the researcher would like to be cognizant of the legal
implication related with the law enforcement and corruption eradication process. In conducting the
research, the researcher is using normative judicial research, with juridical approach as the method.
This research is using qualitative method and in analytical-descriptive analysis. This research
resulted in number of conclusions, per se, Constitutional Court decision Number 25/PUU-
XIV/2016 has created legal uncertainty related to the formulation of corruption; as corruption was
material offense, whereof in the beginning was formal offense. Such circumstance obliges law enforcer
to establish the ground on how much actual financial loss the state has suffered, not on potential
financial loss. There is different, legally unrelated perspective in defining “could” as in “could inflict
state financial loss or harm state economy” under criminal approach of Law on Corruption
Eradication and under administrative approach of Law Number 30 Year 2004.
Keywords: Legal Implication, Constitutional Court Decision Number 25/PUU-XIV/2016,
Eradication, Corruption.

ketidakpercayaan dan ketidakpatuhan


Pendahuluan
masyarakat terhadap hukum, bila tidak
Korupsi di Indonesia terus ada perbaikan yang berarti, maka
menunjukkan peningkatan dari tahun kondisi tersebut sangat membahayakan
ke tahun. Baik dari jumlah kasus yang kelangsungan hidup bangsa.1
terjadi maupun jumlah kerugian
Menyadari kompleksnya
keuangan negara. Kualitas tindak
permasalahan korupsi di tengah-tengah
pidana korupsi yang dilakukan juga
krisis multidimensional serta ancaman
semakin sistematis dengan lingkup
yang nyata yang pasti akan terjadi, yaitu
yang memasuki seluruh aspek
dampak dari kejahatan ini. Maka,
kehidupan masyarakat. Kondisi
tindak pidana korupsi dapat
tersebut menjadi salah satu faktor
dikategorikan sebagai permasalahan
utama penghambat keberhasilan untuk
nasional yang harus dihadapi secara
mewujudkan masyarakat Indonesia
sungguh-sungguh melalui berbagai
yang adil dan makmur sebagaimana
keseimbangan langkah yang tegas dan
diamanatkan oleh Undang-Undang
jelas dengan melibatkan semua potensi
dalam memberantas korupsi. Korupsi
juga semakin memperburuk citra
pemerintah di mata masyarakat yang
1 Andi Hamzah, 1991, Korupsi Di Indonesia
tercermin dalam bentuk Masalah dan Pemecahannya, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, hlm.2.
Dadin, Implikasi Hukum Atas Putusan Mahkamah Konstitusi 3

yang ada dalam masyarakat khususnya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi


pemerintah dan aparat penegak adalah:3
hukum.2 Setiap orang yang secara
Putusan Mahkamah Konstitusi melawan hukum melakukan perbuatan
Nomor 25/PUU-XIV/2016 telah memperkaya diri sendiri atau orang lain
menimbulkan berbagai macam atau suatu korporasi yang dapat
pendapat baik yang pro maupun merugikan keuangan negara atau
kontra, berkaitan dengan penanganan perekonomian negara, dipidana penjara
masalah pemberantasan tindak pidana dengan penjara seumur hidup atau
korupsi. Permohonan atas judicial review pidana penjara paling singkat 4 (empat)
ini diajukan terhadap ketentuan Pasal 2 tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang tahun dan denda paling sedikit Rp.
Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
telah diubah dengan Undang-Undang dan paling banyak Rp. 1000.000,00
Nomor 20 Tahun 2001 tentang (satu milyar rupiah).
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Selanjutnya, ketentuan
tentang frasa “dapat merugikan keuangan Pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 2001
negara” dan frasa “atau orang lain atau tentang Pemberantasan Tindak Pidana
suatu korporasi”. Korupsi menyebutkan bahwa:4
Objek permohonan sebagaimana Setiap orang yang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau
yang telah dimaksudkan diatas
orang lain atau suatu korporasi,
berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana, yang ada
Nomor 20 Tahun 2001 tentang
padanya karena jabatan atau kedudukan
yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan atau
2 Evi Hartanti, 2005, Tindak Pidana Korupsi,
Jakarta: Sinar Grafika, hlm.5. lihat juga denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00
Anwar Hafidzi, “Eksistensi Advokat Sebagai
Profesi Terhormat (Officium Nobile) Dalam 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Sistem Negara Hukum Di Indonesia,” tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Khazanah: Jurnal Studi Islam dan Humaniora 13, Korupsi.
no. 1 (2015). 4 Ibid.
4 SYARIAH: Jurnal Hukum dan Pemikiran Volume 18, Nomor 1, Juni 2018, hlm. 1- 18

(lima puluh juta rupiah) dan paling Rumusan Masalah


banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu Berdasarkan uraian tersebut di
milyar rupiah).
atas maka penelitian ini
Mahkamah Kostitusi dalam menitikberatkan terhadap Putusan
amar putusannya menyebutkan, Mahkamah Konstitusi Nomor
mengadili: 25/PUU-XIV/2016 terkait dengan
1. Mengabulkan permohonan para proses penegakkan hukum dan
Pemohon untuk sebagian; pemberantasan tindak pidana korupsi
2. Menyatakan kata “dapat” dalam serta implikasi yang mungkin dapat
pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang- ditimbulkan. Rumusan masalah dalam
Undang Nomor 31 Tahun 1999 penelitian ini adalah bagaimana
tentang Pemberantasan Tindak pertimbangan hukum Majelis Hakim
Pidana Korupsi sebagaimana diubah Mahkamah Konstitusi dalam Putusan
dengan Undang-Undang Nomor 20 Mahkamah Konstitusi Nomor
Tahun 2001 tentang Perubahan Atas 25/PUU-XIV/2016 dan implikasi
Undang-Undang Nomor 31 tahun hukum apa yang dapat timbul terkait
1999 tentang Pemberantasan Tindak dengan proses penegakan hukum dan
Pidana Korupsi (Lembaran Negara pemberantasan tindak pidana korupsi.
Republik Indonesia Tahun 2001
Tujuan Penelitian
Nomor 134, Tambahan Lembaran
1. Mengetahui pertimbangan
Negara Republik Indonesia Nomor
hukum Majelis Hakim
4150) bertentangan dengan Undang-
Mahkamah Konstitusi dalam
Undang Dasar Negara Republik
Putusan Mahkamah Konstitusi
Indonesia Tahun 1945 dan tidak
Nomor 25/PUU-XIV/2016,
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
dan
3. Menolak permohonan para
2. Mengetahui Implikasi hukum
Pemohon untuk selain dan
apa yang dapat timbul terkait
selebihnya;
dengan proses penegakan
4. Memerintahkan pemuatan Putusan
hukum dan pemberantasan
ini dalam Berita Negara Republik
tindak pidana korupsi.
Indonesia sebagaimana mestinya.
Dadin, Implikasi Hukum Atas Putusan Mahkamah Konstitusi 5

Metode Penelitian Pemberantasan Tindak Pidana


Metode penelitian yang Korupsi, Undang-Undang Nomor 8
digunakan dalam penelitian ini adalah tahun 1981 tentang Kitab Undang-
yuridis normatif, yaitu penelitian yang Undang Hukum Acara Pidana, Putusan
dalam pengkajiannya dengan mengacu Mahkamah Konstitusi Nomor
dan mendasarkan pada norma-norma 25/PUU-XIV/2016, Yurisprudensi
dan kaidah-kaidah hukum, peraturan Mahkamah Konstitusi, serta berbagai
perundang-undangan yang berlaku, pustaka yang relevan dengan objek
teori-teori dan doktrin hukum, penelitian.
yurisprudensi, dan bahan-bahan Pendekatan yang digunakan
kepustakaan lainnya yang relevan dalam penelitian ini adalah pendekatan
dengan topik penelitian. yuridis, yakni menganalisis
Pengumpulan bahan hukum permasalahan tentang pertimbangan
dilakukan dengan studi pustaka yakni hukum Majelis Hakim Mahkamah
melalui pengkajian terhadap, UUD Konstitusi dalam Putusan Mahkamah
NRI Tahun 1945, Undang-Undang Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016
Nomor 48 Tahun 2009 tentang dan implikasi hukum apa yang dapat
Kekuasaan Kehakiman, Undang- timbul terkait dengan proses
Undang Republik Indonesia Nomor 4 penegakan hukum dan pemberantasan
Tahun 2014 tentang Penetapan tindak pidana korupsi.
Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Hasil Dan Pembahasan
Pertimbangan Hukum Majelis
tentang Perubahan Kedua Atas
Hakim Mahkamah Konstitusi
Undang-Undang Nomor 24 Tahun dalam Putusan Mahkamah
2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Nomor 25/PUU-
XIV/2016
Undang-Undang Nomor 30 Tahun
Permohonan perkara Nomor
2004 tentang Administrasi
25/PUU-XIV/2016 yang sebagaimana
Pemerintahan, Undang-Undang
dimaksud dalam penelitian ini adalah
Nomor 20 Tahun 2001 tentang
diajukan oleh:
Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang
6 SYARIAH: Jurnal Hukum dan Pemikiran Volume 18, Nomor 1, Juni 2018, hlm. 1- 18

1. Firdaus, S.T., M.T (selanjutnya pada intinya berpendapat sebagai


disebut sebagai Pemohon I); berikut:
2. Drs. H. Yulius Nawawi [3.10.4] Bahwa dengan keberadaan UU
(selanjutnya disebut sebagai Administrasi Pemerintahan dikaitkan
Pemohon II); dengan kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat
3. Ir. H. Imam Mardi Nugroho (1) dan ayat (3) UU Tipikor menurut
(selanjutnya disebut sebagai Mahkamah menyebabkan terjadinya
Pemohon III); pergeseran paradigma penerapan unsur
4. Ir. H. A. Hasdullah, M.Si merugikan keuangan negara dalam
(selanjutnya disebut sebagai tindak pidana korupsi. Selama ini,
Pemohon IV); berdasarkan Putusan Mahkamah
5. H. Sudarno Eddi, S.H., M.H. Nomor 003/PUU-IV/2006
(selanjutnya disebut sebagai pemahaman kata “dapat” dalam Pasal 2
Pemohon V); ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor
6. Jamaludin Masuku, S.H. menyebabkan perbuatan yang akan
(selanjutnya disebut sebagai dituntut di depan pengadilan bukan
Pemohon VI); saja karena perbuatan tersebut
Mahkamah memeriksa dengan “merugikan keuangan negara atau
seksama permohonan dan bukti-bukti perekonomian negara secara nyata”
surat/tulisan yang diajukan oleh para akan tetapi hanya “dapat”
Pemohon, keterangan ahli dari para menimbulkan kerugian saja pun
Pemohon, keterangan Presiden, sebagai kemungkinan atau potential loss,
keterangan tertulis Dewan Perwakilan jika unsur perbuatan tindak pidana
Rakyat, keterangan dan bukti-bukti korupsi dipenuhi, sudah dapat diajukan
surat/tulisan Pihak terkait Dr. Drs. ke depan pengadilan. Dalam
Yesaya Buiney, M.M, dan kesimpulan perkembangannya dengan lahirnya UU
tertulis para Pemohon, yang Administrasi Pemerintahan maka
selengkapnya termuat dalam duduk kerugian negara karena kesalahan
perkara, selanjutnya Mahkamah yang administratif bukan merupakan unsur
tindak pidana korupsi. Kerugian negara
Dadin, Implikasi Hukum Atas Putusan Mahkamah Konstitusi 7

menjadi unsur tindak pidana korupsi UU Tipikor. Berdasarkan hal tersebut


jika terdapat unsur melawan hukum menurut Mahkamah unsur merugikan
dan penyalahgunaan kewenangan. keuangan negara tidak lagi dipahami
Dalam hal adanya penyalahgunaan sebagai perkiraan (potential loss) namun
kewenangan, suatu perbuatan baru harus dipahami benar-benar sudah
dapat diklasifikasikan sebagai tindak terjadi atau nyata (actual loss) untuk
pidana korupsi apabila berimplikasi dapat diterapkan dalam tindak pidana
terhadap kerugian negara (kecuali korupsi.
untuk tindak pidana korupsi suap, [3.10.5] Bahwa pencantuman kata
gratifikasi atau pemerasan), pelaku “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan
diuntungkan secara melawan hukum, Pasal 3 UU Tipikor membuat delik
masyarakat tidak dilayani, dan dalam kedua pasal tersebut menjadi
perbuatan tersebut merupakan delik formil. Hal itu menurut
tindakan tercela. Dengan demikian bila Mahkamah dalam praktik seringkali
dikaitkan dengan Pasal 2 ayat (1) dan disalahgunakan untuk menjangkau
Pasal 3 UU Tipikor, maka penerapan banyak perbuatan yang diduga
unsur merugikan keuangan negara telah merugikan keuangan negara, termasuk
bergeser dengan menitikberatkan pada terhadap kebijakan atau keputusan
adanya akibat, tidak lagi hanya diskresi atau pelaksanaan asas freies
perbuatan. Dengan perkataan lain Ermessen yang diambil bersifat
kerugian negara merupakan implikasi mendesak dan belum ditemukan
dari : 1) adanya perbuatan melawan landasan hukumnya, sehingga
hukum yang menguntungkan diri seringkali terjadi kriminalisasi dengan
sendiri atau orang lain atau suatu dugaan terjadinya penyalahgunaan
korporasi sebagaimana dimaksud wewenang. Demikian juga terhadap
dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor dan kebijakan yang terkait dengn bisnis
2) penyalahgunaan kewenangan dengan namun dipandang dapat merugikan
tujuan menguntungkan diri sendiri atau keuangan negara maka dengan
orang lain atau suatu korporasi pemahaman kedua pasal tersebut
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 sebagai delik formil seringkali
8 SYARIAH: Jurnal Hukum dan Pemikiran Volume 18, Nomor 1, Juni 2018, hlm. 1- 18

dikenakan tindak pidana korupsi. sebagaimana ditentukan dalam Pasal


Kondisi tersebut tentu dapat 28G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
menyebabkan pejabat publik takut Selain itu, menurut Mahkamah kata
mengambil suatu kebijakan atau “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan
khawatir kebijakan yang diambil akan Pasal 3 UU Tipikor juga bertentangan
dikenakan tindak pidana korupsi, dengan prinsip perumusan tindak
sehingga di antaranya akan berdampak pidana yang harus memenuhi prinsip
pada stagnasi proses penyelenggaraan hukum harus tertulis (lex scripta), harus
negara, rendahnya penyerapan ditafsirkan seperti yang dibaca (lex
anggaran, dan terganggunya stricta), dan tidak multitafsir (lex certa),
pertumbuhan investasi. Kriminalisasi oleh karenanya bertentangan dengan
kebijakan terjadi karena terdapat prinsip negara hukum sebagaimana
perbedaan pemaknaan kata “dapat” ditentukan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD
dalam unsur merugikan keuangan NRI Tahun 1945.
negara dalam tindak pidana korupsi Didalam Putusan Mahkamah dalam
oleh aparat penegak hukum, sehingga perkara a quo, terdapat dissenting opinion
seringkali menimbulkan persoalan (beda pendapat) yaitu oleh I Dewa
mulai dari perhitungan jumlah kerugian Gede Palguna, Suhartoyo, Aswanto,
negara yang sesungguhnya sampai Maria Farida Indrati. Dissenting opinion
kepada lembaga manakah yang (beda pendapat) tersebut yang pada
berwenang menghitung kerugian intinya adalah:
negara. Oleh karena dipraktikkan Keberadaan frasa kata “dapat”
secara berbeda-beda menurut dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3
Mahkamah pencantuman kata “dapat” Undang-Undang Tipikor tidak
dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU bertentangan dengan kepastian hukum
Tipikor menimbulkan ketidakpastian sebagaimana didalilkan para Pemohon.
hukum dan telah secara nyata Berkenaan dengan kata “dapat”
bertentangan dengan jaminan bahwa tersebut dalam Penjelasan Pasal 2 ayat
setiap orang berhak atas rasa aman dan (1) Undang-Undang Tipikor dikatakan,
perlindungan dari ancaman ketakutan antara lain, “... Dalam ketentuan ini,
Dadin, Implikasi Hukum Atas Putusan Mahkamah Konstitusi 9

kata “dapat” sebelum frasa “merugikan akademik berkenaan dengan nature


keuangan negara atau perekonomian perbuatan korupsi yang apabila
negara” menunjukkan bahwa tindak dibiarkan mengakar kuat dalam skala
pidana korupsi merupakan delik formil, besar sesungguhnya ia bukan hanya
yaitu adanya tindak pidana korupsi telah bermetamorfosis menjadi
cukup dengan dipenuhinya unsur- kejahatan luar biasa (extraordinary crime)
unsur perbuatan yang sudah melainkan juga dapat diposisikan
dirumuskan bukan dengan timbulnya sebagai hostis humani generis, musuh
akibat”. Sementara itu, dalam bersama umat manusia, mengingat
Penjelasan Pasal 3 Undang-Undang proliferasinya yang idak memandang
Tipikor dikatakan, kata “dapat” dalam negara, baik negara maju maupun
ketentuan ini diartikan sama dengan negara berkembang, dan daya rusaknya
Penjelasan Pasal 2”. Dengan demikian terhadap mentalitas manusia serta
menghilangkan kata “dapat” dari terhadap kemampuan negara dalam
rumusan kedua norma pasal tersebut menunaikan kewajiban
akan mengubah secara mendasar konstitusionalnya bagi pemenuhan
kualifikasi delik dari tindak pidana hak-hak ekonomi dan sosial warganya.
korupsi, dari formil menjadi delik Dengan demikian meskipun
materiil. Konsekuensiny, jika akibat berdasarkan kaidah penafsiran
yang dilarang, yaitu “merugikan teleologis atau sosiologis dalam
keuangan negara atau perekonomian penafsiran hukum pada umumnya dan
negara” belum atau tidak terjadi penafsiran konstitusi pada khususnya
meskipun unsur “secara melawan tersedia justifikasi bagi Mahkamah
hukum” dan unsur “memperkaya diri untuk mengubah pendiriannya, kami
sendiri atau orang lain atau suatu berpendapat dalam konteks persoalan a
korporasi” telah terpenuhi, maka quo tidak terdapat alasan mendasar
berarti belum terjadi tindak pidana dalam kondisi empirik-sosiologis yang
korupsi. secara rasional dapat digunakan sebagai
Hingga saat ini, tidak terdapat alasan kuat bagi Mahkamah sehingga
perubahan mendasar dalam pandangan perlu meninggalkan pendiriannya
10 SYARIAH: Jurnal Hukum dan Pemikiran Volume 18, Nomor 1, Juni 2018, hlm. 1- 18

sebagaimana dinyatakan dalam Putusan intern pemerintah [vide Pasal 19 dan


diatas. Pasal 20 UU Administrasi
Berkaitan dengan Undang- Pemerintahan]. Ketentuan demikian
Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang jelas merupakan penegasan akan
Administrasi Pemerintahan (UU adanya bentuk perlindungan terhadap
Administrasi Pemerintahan) pejabat pemerintah karena dengan
kekhawatiran bahwa adanya frasa kata adanya mekanisme tersebut aparat
“dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan penegak hukum tidak serta merta dapat
Pasal 3 UU Tipikor berpotensi mendalilkan adanya penyalahgunaan
menjadikan seorang pejabat wewenang oleh pejabat pemerintah,
pemerintah, termasuk para Pemohon termasuk ada atau tidaknya kerugian
dapat dijatuhi pidana tanpa adanya negara.
kesalahan yang berupa kerugian negara,
menurut Hakim dissenting opinion Implikasi Hukum Pasca Putusan
tidaklah beralasan. UU Administrasi Mahkamah Konstitusi Nomor
Pemerintahan telah memberikan 25/Puu-XIV/2016 Terkait dengan
perlindungan terhadap pejabat Proses Penegakan Hukum dan
pemerintah apabila yang bersangkutan Pemberantasan Tindak Pidana
diduga melakukan penyalahgunaan Korupsi di Indonesia
wewenang yang merugikan keuangan
Pasca putusan Mahkamah
negara. Sebab, menurut Undang-
Konstitusi Nomor: 25/PUU-
Undang a quo terhadap adanya dugaan
XIV/2016 dimana menyatakan bahwa
penyalahgunaan wewenang dapat
frasa kata “dapat” dalam rumusan
dilakukan mekanisme pengujian
Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang
melalui Pengadilan Tata Usaha Negara,
tentang Tindak Pidana Korupsi
sedangkan ada atau tidaknya
bertentangan dengan konstitusi
penyalahgunaan wewenang yang
sehingga “tidak mengikatnya” kata
diduga menimbulkan kerugian negara,
“dapat” menjadikan ketentuan Pasal 2
hal tersebut akan diputuskan
dan Pasal 3 Undang-Undang tentang
berdasarkan hasil pengawasan aparat
Tindak Pidana Korupsi menjadi delik
Dadin, Implikasi Hukum Atas Putusan Mahkamah Konstitusi 11

materiil, dimana sebelumnya ketentuan b. Tindak pidana formil adalah


Pasal tersebut adalah delik formil. merupakan tindak pidana yang
P.A.F Lamintang memberikan perumusannya dititik beratkan
pengertian bahwa:5 pada perbuatan yang dilarang,
1. Tindak pidana materiil adalah tindak pidana tersebut selesai
tindak pidana yang dianggap dengan dilakukannya perbuatan
telah selesai dengan yang telah dirumuskan tanpa
ditimbulkannya akibat yang melihat akibatnya.
dilarang dan diancam dengan Memahami konstruksi dasar
hukuman oleh undang-undang; Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tindak
2. Tindak pidana formil adalah Pidana Korupsi maka secara gramatikal
tindak pidana yang dianggap kedua Pasal tersebut menganut delik
telah selesai dengan hukuman formil yang membawa konsekuensi
oleh undang-undang. bahwa seseorang dianggap sebagai
Adapun menurut Sudarto tersangka apabila sudah menyelesaikan
memberikan pengertian:6 rangkaian perbuatan sebagaimana yang
a. Tindak pidana materiil adalah dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 2
tindak pidana yang ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang
perumusannya dititikberatkan Tindak Pidana Korupsi. Sehingga frasa
pada akibat yang tidak diketahui kata “dapat” memberikan arti bahwa
(dilarang), tindak pidana ini akibat “merugikan negara atau
baru dianggap selesai apabila perekonomian negara” tidak harus
akibat yang tidak dikehendaki benar-benar terjadi, yang penting
(dilarang) tersebut benar-benar (rangkaian) perbuatan pelaku sudah
terjadi; sesuai dengan rumusan delik ditambah
dengan perbuatan tersebut memiliki
peluang merugikan keuangan negara
5 P.A.F Lamintang, 1997, Dasar-dasar Hukum atau perekonomian negara.
Pidana Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya
Bhakti. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) dan
6 Sudarto, 1989, Hukum dan Hukum Pidana,

Bandung: Alumni.
Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana
12 SYARIAH: Jurnal Hukum dan Pemikiran Volume 18, Nomor 1, Juni 2018, hlm. 1- 18

Korupsi mengandung makna bahwa sinkronisasi dan harmonisasi antar


pembentuk Undang-Undang Tindak instrumen hukum dan peraturan
Pidana Korupsi berpendapat tindak perundang-undangan yang lain yaitu
pidana korupsi cukup dipenuhinya dengan Undang-Undang Nomor 30
unsur-unsur perbuatan yang Tahun 2004 tentang Administrasi
dirumuskan, bukan pada akibat yang Pemerintahan.
ditimbulkannya sehingga tidak perlu Berkaitan dengan sinkronisasi
adanya pembuktian dengan adanya hukum nasional, Putusan Mahkamah
kerugian negara secara riil (actual loss). Konstitusi Nomor: 25/ PUU-
Merujuk pada apa yang telah XIV/2016 ini juga akan mengubah
diuraikan diatas maka dapat dimaknai sistem penegakan hukum tentang
bahwa perumusan delik pada ketentuan tindak pidana korupsi yang selama ini
Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang dilakukan oleh aparat penegak hukum.
tentang Tindak Pidana Korupsi Frasa kata “dapat” yang harus
mengalami perubahan yang cukup dibuktikan dengan nilai kerugian
signifikan dimana perbuatan tindak negara atau perekonomian negara yang
pidana Pasca Putusan Mahkamah secara nyata (actual loss) akan
Konstitusi Nomor: 25/PUU- berdampak pada lambatnya jalan
XIV/2016 korupsi haruslah dapat penegakan hukum, mengingat pula
dihitung secara pasti dan nyata berapa bahwa kewenangan lembaga negara
nilai kerugian negara (actual loss), yang bisa membuktian nilai kerugian
bukanlah nilai kerugian yang hanya negara yang riil ini pun masih terdapat
berdasarkan kecurigaan, perkiraan dan tumpang tindih. Putusan Mahkamah
potensi (potential loss). Dalam Konstitusi Nomor: 31/PUU-X/2012
pertimbangannya Mahkamah menyebutkan bahwa penyidik korupsi
Konstitusi berpendapat bahwa berhak melakukan koordinasi dengan
penggunaan konsepsi actual loss lebih lembaga apa pun, termasuk Badan
memberikan kepastian hukum yang Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan
berdasarkan pada nilai-nilai keadilan Pengawas Keuangan dan
serta juga bersesuaian dengan upaya Pembangunan (BPKP), atau lembaga
Dadin, Implikasi Hukum Atas Putusan Mahkamah Konstitusi 13

lain yang punya kemampuan merupakan tindakan murni penegakan


menentukan nilai kerugian negara. hukum yang dilakukan semata-mata
Namun, hal berbeda untuk kemajuan lembaga/instansi demi
sebagaimana dalam Surat Edaran menjaga tidak terjadinya penyimpangan
Mahkamah Agung Nomor 4 tahun keuangan negara dimana hal ini
2016 tentang Pemberlakuan Rumusan menjadi tanggung jawabnya untuk
Hasil Rapat Pleno Kamar MA tahun mengelola.
2016, dimana dijelaskan bahwa pada Indra Prawira7 berpendapat
bagian huruf A angka 6 bahwa instansi bahwa penyalahgunaan wewenang bisa
yang berwenang untuk menilai, terjadi karena 3 (tiga) hal yaitu sumber
menyatakan ada tidaknya nilai kerugian wewenang, substansi wewenang, dan
negara adalah Badan Pemeriksa asas kebebasan bertindak (freis ermessen).
Keuangan (BPK) yang memiliki Apabila berkaitan adanya kesalahan
kewenangan konstitusional. Artinya administratif karena sumber wewenang
bahwa badan-badan audit selain Badan dan substansi wewenangnya dalam
Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak mengeluarkan suatu kebijakan maka
berwenang untuk menyatakan ada dapat menggunakan pendekatan
tidaknya kerugian negara. administratif sebagaimana yang telah
Dasar yang menjadi alasan tertuang dalam Undang-Undang
Pemohon dalam perkara a quo bahwa Administrasi Pemerintahan yang
kriminalisasi tercipta karena aparat nantinya akan dibatalkan atau tidaknya
penegak hukum banyak mendakwa oleh putusan Pengadilan Tata Usaha
Aparatur Sipil Negara (ASN) karena Negara (PTUN) dimana ini
dianggap mengeluarkan kebijakan yang
merugikan keuangan negara. 7 Lihat Fathudin, 2015, Tindak Pidana Korupsi
(Dugaan Penyalahgunaan Wewenang) Pejabat
Pemaknaan dari hal tersebut haruslah Publik (Perspektif Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan),
dapat dibedakan antara tindakan murni Jurnal Cita Hukum. Vol. II No. 1, Juni 2015,
hlm.126. Dalam Fatkhurohman dan Nalom
penegakan hukum dengan Kurniawan, Pergeseran Delik Korupsi dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-
penyalahgunaan wewenang. Tindakan XIV/2016 The Shifting of The Corruption Offense
penegakan hukum terhadap ASN on Constitutional Court Decision Number
25/PUU-XIV/2016, Jurnal Konstitusi,
Volume 14, Nomor 1, Maret 2017, hlm. 15.
14 SYARIAH: Jurnal Hukum dan Pemikiran Volume 18, Nomor 1, Juni 2018, hlm. 1- 18

berdasarkan asas legalitas (peraturan wewenang, secara umum cenderung


perundang-undangan). Sementara bisa saja terdapat unsur kesalahan atau
untuk kebebasan bertindak (freiss bisa juga tidak. Kalaupun terdapat
ermessen) merupakan keistimewaan dari kesalahan, belum tentu ada niat untuk
pengambil kebijakan jika suatu norma memperkaya dirinya atau orang lain
hukum ternyata belum mengatur atau atau suatu korporasi untuk merugikan
tidak jelasnya aturan, sehingga boleh keuangan negara.
mengeluarkan suatu kebijakan atau Kedua, unsur akibat dari
disebut juga wewenang bebas atau perbuatan (actus reus) . Perbuatan
diskresi.8 melawan hukum memiliki
Beranjak dari hal tersebut kecenderungan terdapat akibat
maka perlu dipahami tentang kerugian bagi pihak lain, dalam konteks
perbuatan melawan hukum dan ini terjadinya kerugian keuangan
penyalahgunaan wewenang. negara. Sementara penyalahgunaan
Sebagaimana yang telah disebutkan wewenang, cenderung mengarah
dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan kepada kerugian yang bersifat personal
Pasal 3 dengan Pasal 20 ayat (4) dengan kategori pelanggaran yang
Undang-Undang Tindak Pidana bersifat administratif. Sehingga frasa
Korupsi dan Pasal 70 ayat (3) Undang- kata “dapat” dalam pasal 2 ayat (1) dan
Undang Administrasi Pemerintahan, Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana
yaitu pertama, aspek niat (mens rea) yang Korupsi sungguh tidak tepat jika materi
tentu saja berbeda antara keduanya. muatannya dimasukkan penafsirannya
Perbuatan melawan hukum dapat ke dalam Undang-Undang
dipastikan terdapat unsur kesalahan Administrasi Pemerintah. Konstruksi
dalam diri seseorang yang memang pemikiran dari unsur filosofis, yuridis,
memiliki niat untuk memperkaya diri dan sosiologis antara keduanya
sendiri atau orang lain atau korporasi mempunyai makna yang berbeda
untuk merugikan keuangan negara. sehingga di antara keduanya tidak
Sementara dalam penyalahgunaan memiliki hubungan karena antara

8 Ibid.
Dadin, Implikasi Hukum Atas Putusan Mahkamah Konstitusi 15

keduanya berangkat dari prinsip hukum Konstitusi Nomor: 25/PUU-


yang tidak sama. XIV/2016 banyak dinilai baik dari
Catatan kinerja Komisi kalangan publik, akademisi hingga
Pemberantasan Korupsi (KPK) kalangan praktisi akan mengalami
sebagaimana yang disampaikan oleh kesulitan dalam perjalanannya. Hal ini
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan disebabkan karena dalam prakteknya
bahwa selama 2017 lembaganya telah sering kali jumlah kerugian negara
melakukan 114 kegiatan penyelidikan dapat terus bertambah seiring dengan
kasus korupsi, kemudian 118 pengembangan kasus. Dalam hal ini
penyidikan kasus dan 94 kegiatan penegak hukum akan dapat dipastikan
penuntutan perkara korupsi, selain itu mengalami kesulitan untuk menjadikan
melakukan eksekusi terhadap 76 seseorang menjadi tersangka jika
putusan pengadilan yang telah kerugian negara tidak boleh lagi
berkekuatan hukum tetap.9 Catatan bersifat potensi (potential loss) atau
akhir tahun 2017 yang dirilis KPK taksiran keuangan negara yang belum
menyimpulkan kasus suap tetap riil (actual loss).
mendominasi perkara korupsi yang
ditangani. Tercatat, ada 93 perkara suap Penutup dan Simpulan
yang ditangani KPK di tahun 2017, Adanya Putusan Mahkamah

dimana jumlah ini meningkat dari 79 Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016

kasus di tahun 2016.10 melahirkan ketidakpastian hukum yaitu

Terkait dengan data diatas berkaitan dengan rumusan delik tindak

dimana dominasi perkara tindak pidana pidana korupsi, dimana awalnya

korupsi masih dipegang oleh kasus rumusan tindak pidana korupsi adalah

suap. Sehingga penanganan tindak delik formil menjadi delik materiil. Hal

pidana korupsi oleh KPK sejak ini akan dapat menyebabkan adanya

keluarnya Putusan Mahkamah perubahan dalam penegakan hukum,


yaitu penegak hukum harus dapat
9 https://www.kpk.go.id/id/...kpk.../4140- membuktikan berapa nilai kerugian
kpk-lakukan-19-kali -ott-sepanjang-tahun-
2017. Diakses pada tanggal 03 Maret 2018. keuangan negara atau perekonomian
10 https://tirto.id. Diakses tanggal 03 Maret

2018. negara secara riil atau nyata (actual loss)


16 SYARIAH: Jurnal Hukum dan Pemikiran Volume 18, Nomor 1, Juni 2018, hlm. 1- 18

bukan pada sudut pandang potensi terhadap pemaknaan frasa kata “dapat”
nilai kerugian yang akan dialami merugikan keuangan negara atau
(potential loss). Dampak dari hal tersebut perekonomian negara. Karena
maka dalam upaya pemberantasan kebijakan hukum diskresi (freiss ermessen)
hukum akan memunculkan dapat digunakan selama itu tidak keluar
disharmonisasi antara hukum dari Asas-Asas Umum Pemerintahan
pemberantasan korupsi untuk Yang Baik (AUPB). Penyalahgunaan
menentukan lembaga yang mempunyai wewenang dapat tercipta tergantung
kewenangan menilai kerugian negara pada sudut pandang niat batin (mens
atau perekonomian negara. rea) untuk berbuat jahat sehingga dapat
Frasa kata “dapat” merugikan memperkaya diri sendiri, orang lain
keuangan negara atau perekonomian atau korporasi.
negara antara pendekatan pidana Berdasarkan pada penjelasan
sebagaimana dalam Undang-Undang diatas maka Peneliti berpendapat
Tindak Pidana Korupsi dengan bahwa perlu adanya ketegasan dalam
pendekatan administratif sebagaimana menentukan rumusan delik dalam
dalam Undang-Undang Nomor 30 Undang-Undang Tindak Pidana
Tahun 2004 adalah 2 hal yang berbeda Korupsi demi terlaksananya dan
dan tidak mempunyai hubungan tegaknya Hukum Acara Pidana dan
hukum. Merujuk pada hal mendasar Administrasi sehingga para aparat
dari perbuatan melawan hukum dengan penegak hukum akan mampu
penyalahgunaan wewenang dalam mengambil langkah dalam upaya
kesalahan administrasi, merumuskan penegakan hukum terhadap tindak
adanya sebab atau niat batin (mens rea) pidana korupsi. Merekonstruksi
dan akibat atau hasil perbuatan (actus kembali peraturan perudang-undangan
reus) yang berbeda. Begitu pula dengan yang berkaitan dengan lembaga-
upaya kriminalisasi terhadap ASN yang lembaga yang mempunyai kewenangan
menjadikan dasar atau alasan pemohon untuk menilai kerugian negara atau
dalam perkara a quo, dimana hal ini perekonomian negara agar supaya
tidak mempunyai implikasi hukum tercipta sinkronisasi dan harmonisasi
Dadin, Implikasi Hukum Atas Putusan Mahkamah Konstitusi 17

antar peraturan perundang-undangan. dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia


Indonesia.
Kemudian membentuk aturan baru
tentang alur penanganan tindak pidana Hartanti, Evi. 2005. Tindak Pidana
Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika.
korupsi agar supaya terlihat jelas
pemisahan antara pendekatan secara Lamintang, P.A.F. 1997. Dasar-dasar
Hukum Pidana Indonesia,
administratif dengan rumusan pidana.
Bandung: PT Citra Aditya
Sehingga tidak ada lagi pemikiran Bhakti.
tentang upaya-upaya kriminalisasi
Marzuki, Peter Mahmud. 2011.
terhadap ASN, dan yang paling penting Penelitian Hukum, Cetakan
Ketujuh, Jakarta: Kencana.
adalah supaya pemberantasan tindak
pidana dapat berjalan secara maksimal. Prasetyo, Teguh dan Abdul Hakim
Barkatullah. 2005. Politik
Hukum Pidana Kajian
Kebijakan Kriminalisasai dan
Daftar Pustaka
Deskriminalisasi, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Buku
Prinst, Darwan. 2002. Pemberantasan
Fetterman, David M. 1998. Ethnography
Tindak Pidana Korupsi,
Step by Step, London: Sage Publishing.
Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti.
Hafidzi, Anwar. “Eksistensi Advokat
Sebagai Profesi Terhormat
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji.
(Officium Nobile) Dalam
2009. Penelitian Hukum
Sistem Negara Hukum Di
Normatif Suatu Tinjauan
Indonesia.” Khazanah:
Singkat, Cetakan ke-11,
Jurnal Studi Islam dan
Jakarta: PT Raja Grafindo
Humaniora 13, no. 1 (2015).
Persada.
Hamzah, Andi. 1991. Korupsi Di
Indonesia Masalah dan Sudarto. 1989. Hukum dan Hukum
Pemecahannya, Jakarta: Pidana, Bandung: Alumni.
Gramedia Pustaka Utama.
Hanitijo, Soemitro Ronny. 1988. Sutendi, Adrian. 2010. Hukum Keuangan
Metodologi Penelitian Hukum Negara, Jakarta: Sinar Grafika.
dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia
Indonesia. Undang-Undang dan Putusan

-----------------------------------. 1991. Mahkamah Konstitusi


Metodologi Penelitian Hukum
18 SYARIAH: Jurnal Hukum dan Pemikiran Volume 18, Nomor 1, Juni 2018, hlm. 1- 18

Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 tentang Administrasi


Dalam Satu Naskah, 2006, Pemerintahan), Jurnal Cita
Jakarta: PT. Citra Umbara. Hukum. Vol. II No. 1, Juni
2015.
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981
tentang Kitab Undang- Fatkhurohman dan Nalom Kurniawan,
Undang Hukum Acara Pergeseran Delik Korupsi
Pidana. dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 25/PUU-
Undang-Undang Nomor 20 Tahun XIV/2016 The Shifting of
2001 Tentang Perubahan The Corruption Offense on
Atas Undang-Undang Constitutional Court Decision
Nomor 31 Tahun 1999 Number 25/PUU-
Tentang Pemberantasan XIV/2016, Jurnal
Tindak Pidana Korupsi. Konstitusi, Volume 14,
Nomor 1, Maret 2017.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 tentang Administrasi Hanitijo, Ronny Soemitro,
Pemerintahan. 2001,Suplemen Bahan Kuliah
Metodologi Penelitian Hukum,
Undang-Undang Nomor 48 Tahun Bahan Kuliah Metodologi
Penelitian Hukum pada
2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Program Pasca Sarjana
Magister Ilmu Hukum
Undang-Undang Republik Indonesia UNDIP.
Nomor 4 Tahun 2014 Mahendra, Yusril Ihza, 1995, Dekrit
Tentang Penetapan Presiden 5 Juli 1959 dan
Peraturan Pemerintah Implikasinya terhadap
Pengganti Undang-Undang Perumusan Politik Hukum
Nomor 1 Tahun 2013 Nasional, makalah
tentang Perubahan Kedua disampaikan pada seminar
Atas Undang-Undang sehari Menyongsong Hari
Nomor 24 Tahun 2003 Kemerdekaan RI ke 50,
tentang Mahkamah tanggal 5 Agustus 1995
Konstitusi. yang diselenggarakan oleh
ICMI Korwil DKI Jakarta.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
25/PUU-XIV/2016. Website
Makalah
https://www.kpk.go.id/id/...kpk.../41
Fathudin, 2015, Tindak Pidana Korupsi 40-kpk-lakukan-19-kali -
(Dugaan Penyalahgunaan ott-sepanjang-tahun-2017.
Wewenang) Pejabat Publik
(Perspektif Undang-Undang https://tirto.id.
Nomor 30 Tahun 2014
Dadin, Implikasi Hukum Atas Putusan Mahkamah Konstitusi 19

Anda mungkin juga menyukai