Dosen Pengampu
Dra. Berliana Lukitawati, M.Ikom
Disusun Oleh
Muhammad Fakhri Aziz (11180510000262)
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di era globalisasi masa kini, perkembangan dalam segala sisi kehidupan
terlihat dengan sangat pesat. Tidak hanya dari segi media eletronik, tetapi juga di
bidang teknologi dan komunikasi. Bahkan saat ini hampir sebagian besar pekerjaan
manusia mampu diselesaikan oleh media elektronik dan teknologi. Hal itu
menandakan bahwa ilmu pengetahuan manusia berkembang dengan sangat pesat.
Tidak hanya dalam kualitas atau penyebaran informasi, tetapi juga kuantitas dan
keanekaragamannya. Mulai dari media cetak yang sangat sederhana sampai media
elektronik yang sangat canggih.
Salah satu tantangan yang dihadapi oleh umat Islam adalah belum
meratanya pemahaman mereka mengenai ajaran Islam. Masih banyak di antara
umat Islam yang belum mengerti tentang ajaran Islam sacara menyeluruh, sehingga
ajaran Islam yang dibawa oleh Baginda Rasulullah saw. perlu diterapkan dan
disebarkan dengan menggunakan metode dan penyebaran dakwah Islam melaui
media yang efektif.
Aktivitas dakwah biasanya dilakukan dalam bentuk face to face dan melalui
penggunaan media massa. Teknologi yang apabila dimanfaatkan dengan baik
mampu memberikan pengaruh yang besar dalam penyebarluasan dakwah. Misalnya
saja contoh kasus yang selama ini sering kita lihat dalam kehidupan sehari-hari,
seorang dai yang memiliki banyak jam terbang, hari ini mengisi ceramah di Masjid
Istiqlal, sedang sorenya iapun harus mengisi ceramah di Masjid Agung At-Tin tentu
akan mengurangi keefektifan dai tersebut. Mungkin saja materi yang akan
disampaikan tidak akan maksimal karena rasa lelah di perjalanan masih terasa, atau
bahkan mengakibatkan sang dai jatuh sakit dikarenakan kelelahan.
1
2
Ilmu dakwah dalam bahasan ini bukan seperti ilmu yang pada umumnya
dipahami atau dimiliki seorang dai, ustadz-ustadzah, muballigh-muballighat,
dengan keahlian berceramah yang diartikan sebagai keahlian “the art of speaking”
di mimbar masjid, ataupun di atas podium suatu pengajian. Cukup beralasan yang
dikatakan Nurhidayat M. Said, bahwa “Tuntutan dakwah lisan tidak relevan lagi di
zaman sekarang (era informasi). The art of speaking (retorika) telah bergeser
maknanya”.
Maka dari itu, era globalisasi informasi menciptakan tuntutan bagi manusia
terhadap agama itu sendiri. Zaman semakin menuntut agama untuk melakukan
adaptasi, yang berarti para dai harus mengaktualisasikan ajaran agama Islam ke
dalam berbagai dimensi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, metode dakwah
melalui radio ini telah banyak digunakan oleh berbagai lembaga penyiaran.
Berdasarkan teori komunikasi massa, bertujuan untuk mengkaji hal-hal apa saja
yang menjadi efek media terhadap manusia atau khalayak, juga untuk membuktikan
bagaimana peranan media massa terhadap manusia atau khalayaksecara psikis.
Maka penulis meyakini bahwa Radio Islam Indonesia sebagai media penyiaran
dakwah masih cukup signifikan untuk dijadikan judul penelitian. Dalam hal ini
penulis berusaha mengkaji dan memahami serta mejelaskan strategi dakwah Radio
Islam Indonesia dalam meningkatkan mutu siaran keagamaan, serta penulis juga
membahas mengenai strategi-strategi Radio Islam Indonesia dalam menarik dan
mempertahankan minat pasar akan program-program dakwah yang mereka siarkan.
3
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana standar mutu siaran keagamaan Radio Islam Indonesia dalam
merumuskan format siaran keagamaan?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui standar mutu siaran keagamaan Radio Islam Indonesia
dalam merumuskan format siaran keagamaan.
D. Manfaat Penelitian
1. Sebagai sarana informasi terhadap Radio Islam Indonesia dan media
lainnya tentang efek yang ditimbulkan oleh program siaran keagamaan
terhadap pendengar.
BAB II
PEMBAHASAN
Tasawuf Falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal tuhan
(makrifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju ke tempat yang lebih
tinggi bukan hanya mengenal tuhan saja melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu
pemikirannya adaah :
A. Ibn ‘Arabi
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ali bin Ahmad ‘Abdullah ath-Thai
Al-Haitami. Pada tahun 1201M / 599 H Ibn ‘Arabi meninggalkan Spanyol karena
situasi politik pada masa itu tidak menguntungkan baginya serta tasawuf yang
dianutnya tidak disukai dikawasan itu. Lalu beliau pindah di kawasan Saudi
ternyata ia diterima penguasa dan masyarakat dengan baik. Ajaran sentral Ibn Arabi
adalah tentang wahdat al-wujud (kesatuan wujud). Menurut Ibn ‘Arabi, wujud
semua yang ada ini hanyalah satu dan pada hakikatnya wujud makhluk adalah
wujud khalik pula. Tidak ada perbedaan antara keduanya (khalik dan makhluk) dari
segi hakikat. Adapun kalau ada yang mengira adanya perbedaan wujud khalik dan
makhluk, hal itu dilihat dari sudut pandang pancaindra lahir dan akal yang ada pada
dzat-nya dari kesatuan dzatiyah, yang segala sesuatu berhimpun pada-nya (Anwar
4
5
B. AL-JILI
Nama lengkapnya adalah ‘Abdul Karim bin Ibrahim Al-Jili. Ia adalah seorang
sufi yang terkenal Baghdad. Ia pernah melakukan perjalanan ke india pada tahun
seorang pendiri dan pemimpin taraket Qadariyah yang sangat terkenal. Selain itu
beliau berguru pula pada Syekh Syarafuddin Ismai’il bin ibrahim Al-jabari di zabid
(Yaman). Ajaran tasawuf Al-Jili yang terpenting adalah paham insan kamil
Intensitas Al-Kalam yang paling tinggi terdapat dalam diri Nabi Muhammad
seingga manusia lain, baik nabi-nabi ataupun wali-wali, bila dibandingkan dengan
sempunra).
Selain insan kamil, untuk mendekatkan diri pada tuhan seseorang sufi harus
menempuh jalan panjang berupa stasiun-stasiun atau disebut maqamat dalam istilah
Arab. Sebagai seorang sufi, Al-Jili dengan membawa filsafat insan kamil
merumuskan beberapa maqam yang harus dilalui sesorang sufi, yang menurut
istilahnya ia sebut al-martabah (jenjang atau tingkat). Tingkat pertama, islam yang
didasarkan pada lima pokok atau rukum dalam pemahaman kaum sufi tidak hanya
dilakukan secara ritual saja, tetapi harus dipahami dan rasakan lebih mendalam.
Tinggat kedua, iman, yakni membenarkan dengan sepenuh keyakinan akan rukun
dengan maqam ini, seseorang sufi mencapai tingkat ibadah yang terus-menurus
kepada Allah dengan penuh perasaan Khauf dan raja’. Tujuan dari maqam ini
adalah pencapai nuqthah ilahiah pada lubuk hati sang hamba ia akan menaati
syariat tuhan dengan baik. Tingkat keempat, ihsan, yakni maqam ini menunjukan
Tinkat kelima, syahadah, seorang sufi dalam maqam ini telah mencapai
iradah yang bercirikan iridah yang bercirikan, mahabbah kepada tuhan tanpa
bertahap. Menurut Al-Jili seseorag sufi yang telah mencapai Shiddiq akan
maqam yang memungkinkan seorang sufi dapat menampilkan diri dalam sifat dan
C. IBN SAB’IN
Nama lengkap Ibn Sab’in adalah ‘Abdul Haqq ibn ibrahim muhammad ibn
Nashr, seorang sufi yang juga filsofi dari Andalusia. Ibn Sab’in adalah seorang
pengasas sebuah paham dalam kalangan tasawuf filosofi, yang dikenal dengan
paham kesatuan mutlak. Dalam paham ini, Ibn Sab’in menempatkan ketuhanan
pada tempat pertama. Sebab, wujud Allah menurutnya adalah asal segala yang ada
7
pada masa lalu, masa kini, maupun masa depan. Sementara Wujud materi yang
tampak justru dia rujukkan pada wujud mutlak yang rohanih. Dengan demikian,
berarti paham ini daam menafsirkan wujud bercorak spiritual dan bukan materila.
Peham Ibnu Sab’in tentang kesatuan mutlak, telah membuatnya menolak logika
Aristotelian. Karena itu dalam karyanya, Budd al-‘Arif, ia berusaha menyusun suatu
logika yang didasarkan kepada konspirasi jamak. Ibn Sab’in berpendapat bahwa
logika barunya tersebut, yang dia sebut juga dengan logika pencapai kesatuan
mutlak, tidak termasuk kategori logika yang bisa dicapai ewat penalaran. Tapi
termasuk kategori logika yang bisa dicapai lewat penalaran. Tapi termasuk
hembusan Ilahi, yang membuat manusia bisa melihat yang belom pernah dilihatnya
A. Al-Muhasibi
Lahir di basrah, Irak pada tahun 165 H/781 M dan wafat di Basrah, Irak pada tahun
243 H/857 M. Diberi gelar al-Muhasibi karena beliau adalah seorang yang suka
mengadakan intropeksi diri. Pada masa kecil beliau sudah pindah ke Baghdad dan
di sana beliau belajar tentang hadits dan teologi serta bergaul dengan tokoh-tokoh
1998).
sebagai usaha untuk keluar dari keraguan yang mengungkung dirinya. Ia melihat
mengetahui akhirat tetapi sangat jarang dan sedikit jumlahnya; orang yang bodoh
memiliki ilmu tetapi mencari kehormatan dan derajat yang tinggi dengannya dan
bertujuan hanya memperoleh kekayaan duniawi; orang yang berlagak salih dan ahli
perintah-Nya, menjauhkan diri dari perbuatan maksiat (wara’) dalam segala sesuatu
yang dihalalkan, apalagi yang diharamkan, dan berpijak diatas Sunnah Rasulullah
SAW. Ketiks is mencari makrifat dan ilmu dengan cara selalu melaksanakan hal-
akhirat daripada dunia dan berpegang teguh pada perintah Allah serta perilaku
Qur’an, sunnah Rasulullah saw., dan jejak-jejak beliau yang terdapat dalam
kehidupan orang yang berpegang teguh kepada ajarannya. Ia berkata: “Aku yakin
bahwa orang yang mengamalkan tasawuf seperti ini akan mendapatkan pertolongan
dari Tuhan, dan orang yang melakukan penyimpangan darinya akan mendapatkan
kesulitan....”
dan tidak mendalami pengertian batin agama yang dapat mengaburkan pengertian
sekelompok sufi yang tidak berlebihan dalam menyelami pengertian batin agama.
Dalam konteks ini pula dituturkn sebuah hadits Nabi yang berbunyi, “pikirkanlah
ditempuh melalui jalan tasawuf yang mendasarkan pada kitab sunnah. Dan al-
Tahapan Pertama
Taat merupakan awal dari kecintaan kepada Allah, yaitu bukti atau
Kemudian sinar ini melimpah pada lidah dan anggota tubuh lainnya.
Tahapan Kedua
Aktivitas anggota tubuh yang telah disinari oleh cahay yang memenuhi hati
Tahapan Ketiga
setiap orang yang telah menempuh kedua tahap diatas. Dan ia akan
Tahapan Keempat
Apa yang dikatakan oleh sementara sufi dan fana’ yang menyebabkan
baqa’.
11
memasukkan kedua sifat ini dengan etika-etika, keagamaan lainnya. Yakni, ketika
disifati dengan khauf dan raja’ seseorang secara bersamaan disifati pula oleh sifat
(musabat al-nafs), dan awal introspeksi diri adalah khauf dan raja’, awal khauf dan
raja’ adalah pengetahuan tentang jani dan ancaman Allah, awal pengetahuan
tentang keduanya adalah perenungan khauf dan raja’ menurutnya hal ini dapat
dilakukan dengan sempurna bila berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Beliau menghubungkankedua sifat itu dikaitkan dengan ibadah dan janji serta
ancaman Allah. Maka dari itu, ia menganggap apa yang diungkapkan Ibnu Sina dan
Rabi’ah al-‘Adawiyah sebagai jenis fana atau kecintaan kepada Allah yang
berlebih-lebihan dan keluar dari garis yang telah dijelaskan islam sendiri dan
bertentangan dengan apa yang diyakini para sufi dari kalangan Ahlusunnah, al-
yang telah melakukan amal saleh, berhak mengharap pahala dari Allah. Dan inilah
yang dilakukan oleh mukmin yang sejati dan para sahabat Nabi.
12
B. Al-Ghazali
Khurasan, iran pada tahun 450 – 550 H yang sesuai tahun 1034 – 1111M. Ia dikenal
dengan julukan Hujjatul Islam, julukan ini diberikan karena keluasan ilmu dan
mempertahankan ajaran agama, dari berbagai serangan baik yang datang dari luar
maupun dari dalam islam sendiri. Dalam bidang Tasawuf Al-Ghazali membawa
paham al Ma’rifah namun hal ini berbeda dengan al – Ma’rifah yang dibawa oleh
Zunnun al – Misri. Karena jasa Al-Ghazali Tasawuf dapat diterima dikalangan ahli
Tuhan tidak akan mengatakan kata – kata Ya Allah atau Ya Rabb karena memanggil
nama tuhan dengan serupa itu menunjukan bahwa Tuhan masih berada di belakang
Tabir. Ma’firat bagi Al – Ghazli mengandung arti memandang kepada wajah tuhan,
namun bagi Al-Ghzali Ma’firah itu lebih dahulu urutannya daripada mahabbah.
Karena mahabbah timbul dari Ma’firah dan mahabbah baginya bukan mahabbah
sebagai yang diucapkan oleh Rabia’ah, tetapi mahabbah bentuk cinta seseorang
kepada yang berbuat baik kepadanya yaitu cinta yang timbul dari kasih dan rahmat
Tuhan kepada manusia yang memberi manusia hidup, rezeki, kesenangan dan
tingginya tingkat yang dapat dicapai oleh seorang sufi. Pengetahuan yang diperoleh
dari ma’firah menurutnya lebih bermutu dan lebih tinggi daripada pengetahuan
13
yang diperoleh dengan akal. Ajaran Tasawuf Al-Ghazali dipaparkan dalam Kitab
kesenangan hati akan didapat setelah diperoleh pengetahuan yang belum di ketahui.
–Quran dan As-Sunah Nabi Muhammad SAW ditambah doktrin Ahlu – As-sunah
mengetahui peraturan – peraturan Tuhan tentang segala yang ada. Alat memperoleh
makfirat ialah bersandar pada sir, qalb dan roh. Jika dilimpahi cahaya tuhan, Qalb
dapat mengetahui hakikat segala yang ada. Qalb dapat mengetahui rahasia – rahasia
tuhan dengan sir, qalb dan roh yang telah suci dan kosong, tidak berisi apapun.
Ketiganya akan menerima iluminasi (kasyf) dari Allah SWT. Didalam kitab Ihya
Ulum Ad-Din Al- Ghazali membedakan jalan pengetahuan sampai kepada tuhan
bagi orang awam, ulama, dan orang arif (sufi). Ia membuat perumpamaan tentang
keyakinan bahwa si fulan ada didalam rumah, tanpa di selidiki lagi. Keyakinan
orang awam dibangun atas dasar taklid dengan hanya mengikuti perkataan orang
bahwa si fulan dirumah dibangun atas dasar adanya tanda- tanda, seperti suaranya
yang terdengar walaupun tidak kelihatan orangnya. Orang arif tidak hanya melihat
tanda – tandanya melalui suara di balik dinding, ia pun memasuki rumah dan
menyaksikan dengan mata kepalanya bahwa si fulan benar – benar berada didalam
sebagaimana ia melihat si fulan ada di dalam rumah dengan mata kepalanya sendiri.
Ringkasnya makfirat menurut Al-Ghazali tidak seperti akfirat menurut orang awam
, ulama tetapi makfirat sufi yang dibangun atasa dasar dzauq tohani dan kasyf ilahi.
Makfirat semacan ini dapat dicapai oleh pra khawash auliya tanpa melalui
perantara, langsung dari Allah SWT. Sebagaimana ilmu kenabian yang diperoleh
langsung dari Tuhan walaupun dari segi perolehan ilmu ini berbeda antara wali dan
nabi. Nabi Muhammad mendapat ilmu dari Allah SWT melalui perantara malaikat,
sedangkan wali mendapat ilmu melalui ilham. Sekali[un demikian keduanya sama-
as- sa’adah (kebahagiaan) itu sesuai dengan watak (tabiat), sedangkan watak
sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya. Kenikmatan qalb sebagai alat memperoeh
makfirat terletak ketika melihat Allah SWT. Hal ini merupakan kenikmatan yang
paling agung yang tiada taranya karena makfirat itu agung dan
dengan perasaan kalau dapat berhubungan dengan Allah SWT, tuhan penguasa
alam ini, seseorang tentunya akan lebih senang dan bangga . inikah kesenangan dan
kebahagiaan sejati yang tiada taranya. Kelezatan dan kenikmatan dunia tergantung
pada nafsu dan akan hilang setelah manusia mati, sedangkan kelezatan dan
kenikmatan melihat tuhan bergantung pada qalb dan tidak akan hilang walaupun
15
manusia sudah mati, sebab qalb tidak ikut mati, bahkan kenikmatannya bertambah
karena dapat keluar dari kegelapan menuju cahaya terang (Kabbani, 1998).
C. Hasan Al – Bashri
Hasan Al-Basri nama lengkapnya adalah Al-Hasan bin Abi Al-Hasan Abu
Sa’id. Tempat lahirnya adalah Madinah pada tahun 21 H/642 M, dan dia meninggal
agamanya. Ibunya bernama Ummu Salamah seorang hamba sahaya, istri Nabi.
sunnah Nabi. Dasar pendirian Hasan Al-Basri adalah hidup Zuhud terhadap
kehidupan duniawi yang tahu terhadap dosanya dan yang selalu beribadah kepada
Allah. Tentang kehidupan zuhud beliau berkata “dunia adalah tempat kerja bagi
orang yang disertai perasaan tidak senggang dan tidak butuh kepadanya dan dan
dibuat menderita oleh dunia serta diantarkan pada hal-hal yang tidak
Konsep zuhud Hasan Al-Basri berdasarkan rasa takut kepada Allah. Mengenai
hal ini, al-Sya’rani dalam kitabnya al-Tobaqot berkata “Dia dipenuhi rasa takut
16
sehingga neraka hanyalah seakan untuk dirinya seorang,” dan sebagaimana dikutip
Prof. Dr. Hamka mengatakan, bahwa zuhud beliau itu, didasarkan pada takut, ialah
karena takut akan siksa Tuhan dalam neraka. Tetapi setelah di telaah lebih dalam
kata Hamka ternyata bukanlah takut akan neraka itu ysng menjadi sebab. Yang
menjadi sebab ialah perasaan dari orang yang berjiwa besar akan kekurangan dan
kelalaian diri. Itulah sebabnya lebih tepat dikatakan bahwa dasar zuhud Hasan Al-
Basri bukanlah takut akan masuk neraka, tetapi takut akan murka Tuhan (Nata, Ilmu
Tasawuf Sunni adalah aliran Tasawuf yang berusaha memadukan aspek hakikat
berpegang teguh terhadap ajaran Alquran, As-Sunah, dan shirah para sahabat nabi.
Berarti dalam kehidupan sehari - hari mereka berusaha untuk menjauhkan diri dari
hal - hal yang bersifat keduniawian, jabatan, dan menjauhi hal - hal yang dapat
mistis dan visi rasional. Tasawuf ini menggunakan terminologi filosofis dalam
pengungkapannya yang berasal dari berbagai macam ajaran filsafat yang telah
hilang. Walaupun demikian tasawuf falsafi tidak bisa dipandang sebagai filsafat,
17
karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq), dan tidak pula bisa
dikategorikan pada tasawuf (yang murni) karena sering diungkapkan dengan bahasa
syatahat, yaitu suatu ungkapan yang sulit dipahami, yang seringkali mengakibatkan
sunni. kalau tasawuf sunni lebih menonjol kepada segi praktis ()العملي, sedangkan
khususnya bagi orang awam, bahkan bisa dikatakan mustahil. Kaum sufi falsafi
manusia dan alam semesta, semuanya adalah Allah. Mereka tidak menganggap
bahwasanya Allah itu zat yang Esa, yang bersemayam diatas Arsy. Dalam tasawuf
tasawuf sunni bersumber pada keterangan yang termaktub dalam Al-Qur’an dan
tasawuf yang sumbernya sebagian adalah dari pemikiran filsafat yang di ramu
dengan tasawuf. Kedua,tasawuf sunni berisi ajaran yang tidak bertentangan dengan
Al-Qur’an dan Al-Hadist. Semua ajarannya sesuai dengan ajaran Al- Qur’an dan
mahluk dan Allah. Ajaran sunni menolak kesatuan antara makhluk dan Allah,
Sementara, ajaran tasawuf falsafi mengajarkan kesatuan antara Mahluk dan Allah
PENUTUP
Kesimpulan
Dari segi linguistik tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara
kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan, dan
selalu bersikap bijaksana. Sikap yang demikian itu pada hakikatnya adalah akhlak
akhlaq atau budi pekerti atau perbaikan akhlaq. Dengan metode-metode tertentu
yang telah dirumuskan, tasawuf seperti ini berupaya untuk menghindari akhlaq
mistis dan visi rasional pengasasnya. Berbeda dengan tasawuf akhlaqi, tasawuf
19
Daftar Pustaka
Anwar, R., & Solihin, M. (2013). ILMU TASAWUF. Bandung : CV PUSTAKA SETIA.
Nata, A. (2013). Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia. Jakarta: RAJAWALI PERSS.
20