Anda di halaman 1dari 21

EFEKTIFITAS SIARAN DAKWAH RADIO ISLAM INDONESIA DALAM

MENINGKATKAN KEHIDUPAN RELIGI MAHASISWA UIN JAKARTA

STUDI KASUS MAHASISWA KPI 1G TAHUN 2018

Disusun untuk memenuhi tugas penelitian mata kuliah Bahasa Indonesia

Dosen Pengampu
Dra. Berliana Lukitawati, M.Ikom

Disusun Oleh
Muhammad Fakhri Aziz (11180510000262)

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2018


BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di era globalisasi masa kini, perkembangan dalam segala sisi kehidupan
terlihat dengan sangat pesat. Tidak hanya dari segi media eletronik, tetapi juga di
bidang teknologi dan komunikasi. Bahkan saat ini hampir sebagian besar pekerjaan
manusia mampu diselesaikan oleh media elektronik dan teknologi. Hal itu
menandakan bahwa ilmu pengetahuan manusia berkembang dengan sangat pesat.
Tidak hanya dalam kualitas atau penyebaran informasi, tetapi juga kuantitas dan
keanekaragamannya. Mulai dari media cetak yang sangat sederhana sampai media
elektronik yang sangat canggih.

Salah satu tantangan yang dihadapi oleh umat Islam adalah belum
meratanya pemahaman mereka mengenai ajaran Islam. Masih banyak di antara
umat Islam yang belum mengerti tentang ajaran Islam sacara menyeluruh, sehingga
ajaran Islam yang dibawa oleh Baginda Rasulullah saw. perlu diterapkan dan
disebarkan dengan menggunakan metode dan penyebaran dakwah Islam melaui
media yang efektif.

Aktivitas dakwah biasanya dilakukan dalam bentuk face to face dan melalui
penggunaan media massa. Teknologi yang apabila dimanfaatkan dengan baik
mampu memberikan pengaruh yang besar dalam penyebarluasan dakwah. Misalnya
saja contoh kasus yang selama ini sering kita lihat dalam kehidupan sehari-hari,
seorang dai yang memiliki banyak jam terbang, hari ini mengisi ceramah di Masjid
Istiqlal, sedang sorenya iapun harus mengisi ceramah di Masjid Agung At-Tin tentu
akan mengurangi keefektifan dai tersebut. Mungkin saja materi yang akan
disampaikan tidak akan maksimal karena rasa lelah di perjalanan masih terasa, atau
bahkan mengakibatkan sang dai jatuh sakit dikarenakan kelelahan.

1
2

Ilmu dakwah dalam bahasan ini bukan seperti ilmu yang pada umumnya
dipahami atau dimiliki seorang dai, ustadz-ustadzah, muballigh-muballighat,
dengan keahlian berceramah yang diartikan sebagai keahlian “the art of speaking”
di mimbar masjid, ataupun di atas podium suatu pengajian. Cukup beralasan yang
dikatakan Nurhidayat M. Said, bahwa “Tuntutan dakwah lisan tidak relevan lagi di
zaman sekarang (era informasi). The art of speaking (retorika) telah bergeser
maknanya”.

Maka dari itu, era globalisasi informasi menciptakan tuntutan bagi manusia
terhadap agama itu sendiri. Zaman semakin menuntut agama untuk melakukan
adaptasi, yang berarti para dai harus mengaktualisasikan ajaran agama Islam ke
dalam berbagai dimensi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, metode dakwah
melalui radio ini telah banyak digunakan oleh berbagai lembaga penyiaran.
Berdasarkan teori komunikasi massa, bertujuan untuk mengkaji hal-hal apa saja
yang menjadi efek media terhadap manusia atau khalayak, juga untuk membuktikan
bagaimana peranan media massa terhadap manusia atau khalayaksecara psikis.

Oleh karena itu dalam menyiarkan dakwah haruslah menggunakan strategi


yang baik agar dapat menghasilkan konsep yang menarik sehingga dapat
meningkatkan mutu materi dakwahnya dan mampu menarik minat banyak
penonton atau pendengar. Terkhusus dari medium radio itu sendiri, agar mampu
meningkatkan mutu dan menarik banyak peminat, maka kreatifitas dalam
memperdengarkan dakwah tentu diperlukan, seperti diselingi dengan musik religi,
kisah sahabat Nabi dan sebagainya. Namun tidak pula terlalu membuat pendengar
menjadi lebih bosan dikarenakan topik keagamaan yang terlalu mendominasi.

Maka penulis meyakini bahwa Radio Islam Indonesia sebagai media penyiaran
dakwah masih cukup signifikan untuk dijadikan judul penelitian. Dalam hal ini
penulis berusaha mengkaji dan memahami serta mejelaskan strategi dakwah Radio
Islam Indonesia dalam meningkatkan mutu siaran keagamaan, serta penulis juga
membahas mengenai strategi-strategi Radio Islam Indonesia dalam menarik dan
mempertahankan minat pasar akan program-program dakwah yang mereka siarkan.
3

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana standar mutu siaran keagamaan Radio Islam Indonesia dalam
merumuskan format siaran keagamaan?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui standar mutu siaran keagamaan Radio Islam Indonesia
dalam merumuskan format siaran keagamaan.

D. Manfaat Penelitian
1. Sebagai sarana informasi terhadap Radio Islam Indonesia dan media
lainnya tentang efek yang ditimbulkan oleh program siaran keagamaan
terhadap pendengar.
BAB II

PEMBAHASAN

Tokoh Tasawuf Falsafi dan pemikirannya

Tasawuf Falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal tuhan

(makrifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju ke tempat yang lebih

tinggi bukan hanya mengenal tuhan saja melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu

wihadatul wujud (kesatuan wujud). Diantara tokoh-tokoh tasawuf falsafi dan

pemikirannya adaah :

A. Ibn ‘Arabi

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ali bin Ahmad ‘Abdullah ath-Thai

Al-Haitami. Pada tahun 1201M / 599 H Ibn ‘Arabi meninggalkan Spanyol karena

situasi politik pada masa itu tidak menguntungkan baginya serta tasawuf yang

dianutnya tidak disukai dikawasan itu. Lalu beliau pindah di kawasan Saudi

ternyata ia diterima penguasa dan masyarakat dengan baik. Ajaran sentral Ibn Arabi

adalah tentang wahdat al-wujud (kesatuan wujud). Menurut Ibn ‘Arabi, wujud

semua yang ada ini hanyalah satu dan pada hakikatnya wujud makhluk adalah

wujud khalik pula. Tidak ada perbedaan antara keduanya (khalik dan makhluk) dari

segi hakikat. Adapun kalau ada yang mengira adanya perbedaan wujud khalik dan

makhluk, hal itu dilihat dari sudut pandang pancaindra lahir dan akal yang ada pada

dzat-nya dari kesatuan dzatiyah, yang segala sesuatu berhimpun pada-nya (Anwar

& Solihin, 2013).

4
5

B. AL-JILI

Nama lengkapnya adalah ‘Abdul Karim bin Ibrahim Al-Jili. Ia adalah seorang

sufi yang terkenal Baghdad. Ia pernah melakukan perjalanan ke india pada tahun

1387 M. Kemudian belajar tasawuf dibawah bimbingan Abdul Qadir Al-Jailani,

seorang pendiri dan pemimpin taraket Qadariyah yang sangat terkenal. Selain itu

beliau berguru pula pada Syekh Syarafuddin Ismai’il bin ibrahim Al-jabari di zabid

(Yaman). Ajaran tasawuf Al-Jili yang terpenting adalah paham insan kamil

(manusia sempurna). Lebih lanjut Al-Jili berkata bahwa duplikasi Al-Kamal

(kesempurnaan) dimiliki oleh manusia, bagaikan cermin yang saling berhadapan.

Ketidaksempurnaan manusia disebabkan oleh hal-hal yang bersifat ‘ardhi.

Intensitas Al-Kalam yang paling tinggi terdapat dalam diri Nabi Muhammad

seingga manusia lain, baik nabi-nabi ataupun wali-wali, bila dibandingkan dengan

muhammad bagaikan al-kamil (yang sempurna) dengan al-kamal (yang paling

sempunra).

Selain insan kamil, untuk mendekatkan diri pada tuhan seseorang sufi harus

menempuh jalan panjang berupa stasiun-stasiun atau disebut maqamat dalam istilah

Arab. Sebagai seorang sufi, Al-Jili dengan membawa filsafat insan kamil

merumuskan beberapa maqam yang harus dilalui sesorang sufi, yang menurut

istilahnya ia sebut al-martabah (jenjang atau tingkat). Tingkat pertama, islam yang

didasarkan pada lima pokok atau rukum dalam pemahaman kaum sufi tidak hanya

dilakukan secara ritual saja, tetapi harus dipahami dan rasakan lebih mendalam.

Tinggat kedua, iman, yakni membenarkan dengan sepenuh keyakinan akan rukun

iman, dan melaksanakan dasar-dasar islam. Tingkat ketiga, ash-Shalah, yakni


6

dengan maqam ini, seseorang sufi mencapai tingkat ibadah yang terus-menurus

kepada Allah dengan penuh perasaan Khauf dan raja’. Tujuan dari maqam ini

adalah pencapai nuqthah ilahiah pada lubuk hati sang hamba ia akan menaati

syariat tuhan dengan baik. Tingkat keempat, ihsan, yakni maqam ini menunjukan

bahwa seorang sufi telah mencapai tingkat menyaksikan, sehingga dalam

ibadahnya, ia merasa seakan berada di hadapan-Nya (Anwar R. , 2009).

Tinkat kelima, syahadah, seorang sufi dalam maqam ini telah mencapai

iradah yang bercirikan iridah yang bercirikan, mahabbah kepada tuhan tanpa

pamrih, mengingat-Nya secara terus-menurus, dan meninggalkan hal-hal yang

menjadi keinginan pribadi. Tingkat keenam, shiddiqiyah, istilah ini

menggambarkan tinggat pencapaian hakikat yang karifat yang diperoleh secara

bertahap. Menurut Al-Jili seseorag sufi yang telah mencapai Shiddiq akan

menyaksikan hal-hal yang gaib, kemudian melihat rahasia-rahasia tuhan sehingga

mengetahui hakikat dirinya. Tingkat ketujuh, qurbah, maqam ini merupakan

maqam yang memungkinkan seorang sufi dapat menampilkan diri dalam sifat dan

nama yang mendekati nama tuhan (Djamaluddin, 2015).

C. IBN SAB’IN

Nama lengkap Ibn Sab’in adalah ‘Abdul Haqq ibn ibrahim muhammad ibn

Nashr, seorang sufi yang juga filsofi dari Andalusia. Ibn Sab’in adalah seorang

pengasas sebuah paham dalam kalangan tasawuf filosofi, yang dikenal dengan

paham kesatuan mutlak. Dalam paham ini, Ibn Sab’in menempatkan ketuhanan

pada tempat pertama. Sebab, wujud Allah menurutnya adalah asal segala yang ada
7

pada masa lalu, masa kini, maupun masa depan. Sementara Wujud materi yang

tampak justru dia rujukkan pada wujud mutlak yang rohanih. Dengan demikian,

berarti paham ini daam menafsirkan wujud bercorak spiritual dan bukan materila.

Peham Ibnu Sab’in tentang kesatuan mutlak, telah membuatnya menolak logika

Aristotelian. Karena itu dalam karyanya, Budd al-‘Arif, ia berusaha menyusun suatu

logika yang didasarkan kepada konspirasi jamak. Ibn Sab’in berpendapat bahwa

logika barunya tersebut, yang dia sebut juga dengan logika pencapai kesatuan

mutlak, tidak termasuk kategori logika yang bisa dicapai ewat penalaran. Tapi

termasuk kategori logika yang bisa dicapai lewat penalaran. Tapi termasuk

hembusan Ilahi, yang membuat manusia bisa melihat yang belom pernah dilihatnya

maupun mendengar yang belom pernah didengarnya. Dengan demikian, maka

logika tersebut bercorak intuitif (Ibrahim, 2002).


8

Tokoh Tasawuf Sunni dan pemikirannya

A. Al-Muhasibi

Nama Lengkapnya Abu Abdillah al-Haris bin Asad al-Basri al-Muhasibi.

Lahir di basrah, Irak pada tahun 165 H/781 M dan wafat di Basrah, Irak pada tahun

243 H/857 M. Diberi gelar al-Muhasibi karena beliau adalah seorang yang suka

mengadakan intropeksi diri. Pada masa kecil beliau sudah pindah ke Baghdad dan

di sana beliau belajar tentang hadits dan teologi serta bergaul dengan tokoh-tokoh

terkemka dan menyaksikan peristiwa-peristiwa penting pada masa itu (Kabbani,

1998).

Al-Harits bin Asad Al-Muhasibi mulai menempuh jalan kehidupan tasawuf

sebagai usaha untuk keluar dari keraguan yang mengungkung dirinya. Ia melihat

dan mengelompokkan perilaku masyarakat menjadi beberapa bagian: orang yang

mengetahui akhirat tetapi sangat jarang dan sedikit jumlahnya; orang yang bodoh

memiliki ilmu tetapi mencari kehormatan dan derajat yang tinggi dengannya dan

bertujuan hanya memperoleh kekayaan duniawi; orang yang berlagak salih dan ahli

ibadah tetapi sesungguhnya mereka bukan ahli ibadah.78

Al-Muhasibi membuat kesimpulan bahwa jalan keselamatan adalah senantiasa

berpegang teguh dalam ketakwaan kepada Allah dan melaksanakan seluruh

perintah-Nya, menjauhkan diri dari perbuatan maksiat (wara’) dalam segala sesuatu

yang dihalalkan, apalagi yang diharamkan, dan berpijak diatas Sunnah Rasulullah

SAW. Ketiks is mencari makrifat dan ilmu dengan cara selalu melaksanakan hal-

hal yang sunnah, Allah menunjukkan kepadanya orang-orang yang memadukan


9

antara fiqih dan tasawuf, mengikuti jejak rasulullah, mengutamakan kehidupan

akhirat daripada dunia dan berpegang teguh pada perintah Allah serta perilaku

utusan-utusan-Nya (Kartanegara, 2006).

Selanjutnya, al-Muhasibi menyinggung ilmu tasawuf yang didasarkan atas Al-

Qur’an, sunnah Rasulullah saw., dan jejak-jejak beliau yang terdapat dalam

kehidupan orang yang berpegang teguh kepada ajarannya. Ia berkata: “Aku yakin

bahwa orang yang mengamalkan tasawuf seperti ini akan mendapatkan pertolongan

dari Tuhan, dan orang yang melakukan penyimpangan darinya akan mendapatkan

kesulitan....”

a. Pandangan al-Muhasibi tentang makrifat

Berbicara tentang makrifat. Al-Muhasibi pun menulis sebuah buku tentangnya,

namun, dikabarkan bahwa tidak diketahui alasannya kemudian beliau

membakarnya. Ia sangat berhati-hati dalam menjelaskan batasan-batasan agama,

dan tidak mendalami pengertian batin agama yang dapat mengaburkan pengertian

lahirnya dan menyebabkan keraguan. Inilah yang mendasari untuk memuji

sekelompok sufi yang tidak berlebihan dalam menyelami pengertian batin agama.

Dalam konteks ini pula dituturkn sebuah hadits Nabi yang berbunyi, “pikirkanlah

makhluk-makhluk Allah dan jangan coba-coba memikirkan Dzat Allah sebab

kalian akan tersesat karenanya” (Nasution, 2013).

Berdasarkan hadits diatas, Al-Muhasibi menyatakan bahwa makrifat harus

ditempuh melalui jalan tasawuf yang mendasarkan pada kitab sunnah. Dan al-

Muhasibi menjelaskan tahapan-tahapan makrifat sebagai berikut


10

 Tahapan Pertama

Taat merupakan awal dari kecintaan kepada Allah, yaitu bukti atau

perbuatan konkret ketaatan hamba kepada Allah. Kecintaan kepada Allah

hanya dapat dibuktikan dengan jalan ketaatan, bukan sekadar

pengungkapan kecintaan semata sebagaimana dilakukan oleh sebagian

orang. Mengekspresikan kecintaan kepada Allah hanya dengan ungkapan-

ungkapan, tanpa pengamalan merupakan kepalsuan semata. Di antara

Implementasi kecintaan kepada Allah adalah memenuhi hati dengan sinar.

Kemudian sinar ini melimpah pada lidah dan anggota tubuh lainnya.

 Tahapan Kedua

Aktivitas anggota tubuh yang telah disinari oleh cahay yang memenuhi hati

merupakan tahap makrifat selanjutnya.

 Tahapan Ketiga

Allah menyingkapkan khazanah-khazanah keilmuan dan kegaiban kepada

setiap orang yang telah menempuh kedua tahap diatas. Dan ia akan

menyaksikan berbagai rahasia yang selama ini tersimpan Allah

 Tahapan Keempat

Apa yang dikatakan oleh sementara sufi dan fana’ yang menyebabkan

baqa’.
11

b. Pandangan Al-Muhasibi tentang khauf dan Raja’

Pandangan al-Muhasibi terhadap khauf (rasa takut) dan raja’ (pengharapan)

menempati posisi penting dala perjalanan seseorang membersihkan jiwa. Beliah

memasukkan kedua sifat ini dengan etika-etika, keagamaan lainnya. Yakni, ketika

disifati dengan khauf dan raja’ seseorang secara bersamaan disifati pula oleh sifat

sifat lainnya (Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, 2013).

Awal wara’ adalah ketakwaan, awal ketakwaan adalah introspeksi diri

(musabat al-nafs), dan awal introspeksi diri adalah khauf dan raja’, awal khauf dan

raja’ adalah pengetahuan tentang jani dan ancaman Allah, awal pengetahuan

tentang keduanya adalah perenungan khauf dan raja’ menurutnya hal ini dapat

dilakukan dengan sempurna bila berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Beliau menghubungkankedua sifat itu dikaitkan dengan ibadah dan janji serta

ancaman Allah. Maka dari itu, ia menganggap apa yang diungkapkan Ibnu Sina dan

Rabi’ah al-‘Adawiyah sebagai jenis fana atau kecintaan kepada Allah yang

berlebih-lebihan dan keluar dari garis yang telah dijelaskan islam sendiri dan

bertentangan dengan apa yang diyakini para sufi dari kalangan Ahlusunnah, al-

Muhasibi lebih lanjut mengatakan bahwa Al-Qur’an jelas berbicara tentang

pembalasan (pahala) dan siksaan.

Raja’ dalam pandangan al-Muhasibi harus melahirkan amal saleh. Seseorang

yang telah melakukan amal saleh, berhak mengharap pahala dari Allah. Dan inilah

yang dilakukan oleh mukmin yang sejati dan para sahabat Nabi.
12

B. Al-Ghazali

Al-Ghazali nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin

Ahmad Al-Ghazali. Ia lahir di distrik Thabaran,Thus, Ghazlah suatu kota di

Khurasan, iran pada tahun 450 – 550 H yang sesuai tahun 1034 – 1111M. Ia dikenal

dengan julukan Hujjatul Islam, julukan ini diberikan karena keluasan ilmu dan

amalnya, serta hidupnya yang dengan perjuangan dan pengorbanan dalam

mempertahankan ajaran agama, dari berbagai serangan baik yang datang dari luar

maupun dari dalam islam sendiri. Dalam bidang Tasawuf Al-Ghazali membawa

paham al Ma’rifah namun hal ini berbeda dengan al – Ma’rifah yang dibawa oleh

Zunnun al – Misri. Karena jasa Al-Ghazali Tasawuf dapat diterima dikalangan ahli

syariat. Al-Ghazali menjelaskan bahwa orang yang mempunya Ma’firah tentang

Tuhan tidak akan mengatakan kata – kata Ya Allah atau Ya Rabb karena memanggil

nama tuhan dengan serupa itu menunjukan bahwa Tuhan masih berada di belakang

Tabir. Ma’firat bagi Al – Ghazli mengandung arti memandang kepada wajah tuhan,

namun bagi Al-Ghzali Ma’firah itu lebih dahulu urutannya daripada mahabbah.

Karena mahabbah timbul dari Ma’firah dan mahabbah baginya bukan mahabbah

sebagai yang diucapkan oleh Rabia’ah, tetapi mahabbah bentuk cinta seseorang

kepada yang berbuat baik kepadanya yaitu cinta yang timbul dari kasih dan rahmat

Tuhan kepada manusia yang memberi manusia hidup, rezeki, kesenangan dan

nikmat lainnya (Nata, Ilmu Qalam, Filsafat dan tasawuf, 1995).

Menurut Al-Ghazali bahwa Ma’firah dan mahabbah adalah setinggi –

tingginya tingkat yang dapat dicapai oleh seorang sufi. Pengetahuan yang diperoleh

dari ma’firah menurutnya lebih bermutu dan lebih tinggi daripada pengetahuan
13

yang diperoleh dengan akal. Ajaran Tasawuf Al-Ghazali dipaparkan dalam Kitab

Ihya Ulum al –Din, kebahagiaan sejati sesungguhnya ditemukan melalu Ma’firat,

Ma’firat sebenarnya adalah mengenal Tuhan (Hadrat Rububi-yah), dengan

kesenangan hati akan didapat setelah diperoleh pengetahuan yang belum di ketahui.

Dalam ajaran tasawufnya Al – Ghazali memilih tasawuf sunni yang berdasarkan Al

–Quran dan As-Sunah Nabi Muhammad SAW ditambah doktrin Ahlu – As-sunah

wa Al-Jamaah (al-Taftazami, 1974).

a. Pandangan Al-Ghazali tentang Makfirat

Menurut beliau makfirat adalah mengetahui rahasia Allah SWT dan

mengetahui peraturan – peraturan Tuhan tentang segala yang ada. Alat memperoleh

makfirat ialah bersandar pada sir, qalb dan roh. Jika dilimpahi cahaya tuhan, Qalb

dapat mengetahui hakikat segala yang ada. Qalb dapat mengetahui rahasia – rahasia

tuhan dengan sir, qalb dan roh yang telah suci dan kosong, tidak berisi apapun.

Ketiganya akan menerima iluminasi (kasyf) dari Allah SWT. Didalam kitab Ihya

Ulum Ad-Din Al- Ghazali membedakan jalan pengetahuan sampai kepada tuhan

bagi orang awam, ulama, dan orang arif (sufi). Ia membuat perumpamaan tentang

keyakinan bahwa si fulan ada didalam rumah, tanpa di selidiki lagi. Keyakinan

orang awam dibangun atas dasar taklid dengan hanya mengikuti perkataan orang

bahwa si fulan dirumah dibangun atas dasar adanya tanda- tanda, seperti suaranya

yang terdengar walaupun tidak kelihatan orangnya. Orang arif tidak hanya melihat

tanda – tandanya melalui suara di balik dinding, ia pun memasuki rumah dan

menyaksikan dengan mata kepalanya bahwa si fulan benar – benar berada didalam

rumah. Sedangkan makfirat seorang sufi tidak dihalangi dengan hijab,


14

sebagaimana ia melihat si fulan ada di dalam rumah dengan mata kepalanya sendiri.

Ringkasnya makfirat menurut Al-Ghazali tidak seperti akfirat menurut orang awam

, ulama tetapi makfirat sufi yang dibangun atasa dasar dzauq tohani dan kasyf ilahi.

Makfirat semacan ini dapat dicapai oleh pra khawash auliya tanpa melalui

perantara, langsung dari Allah SWT. Sebagaimana ilmu kenabian yang diperoleh

langsung dari Tuhan walaupun dari segi perolehan ilmu ini berbeda antara wali dan

nabi. Nabi Muhammad mendapat ilmu dari Allah SWT melalui perantara malaikat,

sedangkan wali mendapat ilmu melalui ilham. Sekali[un demikian keduanya sama-

sama memperoeh ilmu dari Allah SWT (Anwar R. , 2009).

b. Pandangan Al – Ghazali tentang As-Sa’adah

Menurut Al-Ghazali kelezatan dan kebahagiaan paling tinggi adalah melihat

Allah SWT (ru’yatullah). Di dalam kitab Kimiya’ As-Sa’adah, ia menjelaskan bah

as- sa’adah (kebahagiaan) itu sesuai dengan watak (tabiat), sedangkan watak

sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya. Kenikmatan qalb sebagai alat memperoeh

makfirat terletak ketika melihat Allah SWT. Hal ini merupakan kenikmatan yang

paling agung yang tiada taranya karena makfirat itu agung dan

mulia,kenikmatannya melebihi kenikmatan lainnya. Hal ini dapat dianalogikan

dengan perasaan kalau dapat berhubungan dengan Allah SWT, tuhan penguasa

alam ini, seseorang tentunya akan lebih senang dan bangga . inikah kesenangan dan

kebahagiaan sejati yang tiada taranya. Kelezatan dan kenikmatan dunia tergantung

pada nafsu dan akan hilang setelah manusia mati, sedangkan kelezatan dan

kenikmatan melihat tuhan bergantung pada qalb dan tidak akan hilang walaupun
15

manusia sudah mati, sebab qalb tidak ikut mati, bahkan kenikmatannya bertambah

karena dapat keluar dari kegelapan menuju cahaya terang (Kabbani, 1998).

C. Hasan Al – Bashri

Hasan Al-Basri nama lengkapnya adalah Al-Hasan bin Abi Al-Hasan Abu

Sa’id. Tempat lahirnya adalah Madinah pada tahun 21 H/642 M, dan dia meninggal

di Basrah pada tahun 110 H/728 M.

Hasan Al-Basri hidup dilingkungan orang-orang saleh yang mendalam

agamanya. Ibunya bernama Ummu Salamah seorang hamba sahaya, istri Nabi.

a. Ajaran-ajaran yang dianutnya

Hasan Al-Basri seorang zahid yang termasyhur dikalangan tabi’in. Prinsip

ajrannya yang berkaitan dengan hidup kerohanian senantiasa diukurnya dengan

sunnah Nabi. Dasar pendirian Hasan Al-Basri adalah hidup Zuhud terhadap

kehidupan duniawi yang tahu terhadap dosanya dan yang selalu beribadah kepada

Allah. Tentang kehidupan zuhud beliau berkata “dunia adalah tempat kerja bagi

orang yang disertai perasaan tidak senggang dan tidak butuh kepadanya dan dan

dunia merasa bahagia bersamanya atau dalam menyertainya. Barangsiapa

menyertainya dengan perasaan ingin memilikinya dan mencintainya, dia akan

dibuat menderita oleh dunia serta diantarkan pada hal-hal yang tidak

tertanggungkan oleh kesabarannya” (Kabbani, 1998).

Konsep zuhud Hasan Al-Basri berdasarkan rasa takut kepada Allah. Mengenai

hal ini, al-Sya’rani dalam kitabnya al-Tobaqot berkata “Dia dipenuhi rasa takut
16

sehingga neraka hanyalah seakan untuk dirinya seorang,” dan sebagaimana dikutip

Prof. Dr. Hamka mengatakan, bahwa zuhud beliau itu, didasarkan pada takut, ialah

karena takut akan siksa Tuhan dalam neraka. Tetapi setelah di telaah lebih dalam

kata Hamka ternyata bukanlah takut akan neraka itu ysng menjadi sebab. Yang

menjadi sebab ialah perasaan dari orang yang berjiwa besar akan kekurangan dan

kelalaian diri. Itulah sebabnya lebih tepat dikatakan bahwa dasar zuhud Hasan Al-

Basri bukanlah takut akan masuk neraka, tetapi takut akan murka Tuhan (Nata, Ilmu

Qalam, Filsafat dan tasawuf, 1995).

Perbedaan tasawuf Suuni dan tasawuf Falsafi

Tasawuf Sunni adalah aliran Tasawuf yang berusaha memadukan aspek hakikat

dan syariat yang senantiasa memelihara sifat kezuhudan dan mengkonsentrasikan

pendekatan diri kepada Allah SWT. Dengan berusaha bersungguh - sungguh

berpegang teguh terhadap ajaran Alquran, As-Sunah, dan shirah para sahabat nabi.

Berarti dalam kehidupan sehari - hari mereka berusaha untuk menjauhkan diri dari

hal - hal yang bersifat keduniawian, jabatan, dan menjauhi hal - hal yang dapat

mengganggu ke Khusu'an ibadah.

Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi

mistis dan visi rasional. Tasawuf ini menggunakan terminologi filosofis dalam

pengungkapannya yang berasal dari berbagai macam ajaran filsafat yang telah

mempengaruhi para tokohnya , namun orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak

hilang. Walaupun demikian tasawuf falsafi tidak bisa dipandang sebagai filsafat,
17

karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq), dan tidak pula bisa

dikategorikan pada tasawuf (yang murni) karena sering diungkapkan dengan bahasa

filsafat. Dalam upaya mengungkapkan pengalaman rohaninya, para sufi falsafi

sering menggunakan ungkapan-ungkapan yang samar-samar, yang dikenal dengan

syatahat, yaitu suatu ungkapan yang sulit dipahami, yang seringkali mengakibatkan

kesalahpahaman pihak luar.

Di dalam tasawuf falsafi metode pendekatannya sangat berbeda dengan tasawuf

sunni. kalau tasawuf sunni lebih menonjol kepada segi praktis (‫)العملي‬, sedangkan

tasawuf falsafi menonjol kepada segi teoritis (‫ )النطري‬sehingga dalam konsep-

konsep tasawuf falsafi lebih mengedepankan asas rasio dengan pendekatan -

pendekatan filosofis yang ini sulit diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari

khususnya bagi orang awam, bahkan bisa dikatakan mustahil. Kaum sufi falsafi

menganggap bahwasanya tiada sesuatupun yang wujud kecuali Allah, sehingga

manusia dan alam semesta, semuanya adalah Allah. Mereka tidak menganggap

bahwasanya Allah itu zat yang Esa, yang bersemayam diatas Arsy. Dalam tasawuf

falsafi, tentang bersatunya Tuhan dengan makhluknya. Perbedaan lainnya Pertama,

tasawuf sunni bersumber pada keterangan yang termaktub dalam Al-Qur’an dan

Al-Hadist. Sedangkan, tasawuf falsafi merupakan perpaduan antara filsafat dan

tasawuf yang sumbernya sebagian adalah dari pemikiran filsafat yang di ramu

dengan tasawuf. Kedua,tasawuf sunni berisi ajaran yang tidak bertentangan dengan

Al-Qur’an dan Al-Hadist. Semua ajarannya sesuai dengan ajaran Al- Qur’an dan

Al-Hadist. Sementara, ajaran tasawuf falsafi cenderung menyimpang dari Al-

Qur’an dan Al-Hadist. Ketiga, tasawuf sunni mengajarkan ketidaksamaan antara


18

mahluk dan Allah. Ajaran sunni menolak kesatuan antara makhluk dan Allah,

Sementara, ajaran tasawuf falsafi mengajarkan kesatuan antara Mahluk dan Allah

dalam ajaran hulul & ittihad.


BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Dari segi linguistik tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara

kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan, dan

selalu bersikap bijaksana. Sikap yang demikian itu pada hakikatnya adalah akhlak

mulia yang mampu membentuk seseorang ke tingkat yang mulia.

Tasawuf akhlaqi adalah tasawuf yang berkonsentrasi pada teori-teori perilaku,

akhlaq atau budi pekerti atau perbaikan akhlaq. Dengan metode-metode tertentu

yang telah dirumuskan, tasawuf seperti ini berupaya untuk menghindari akhlaq

mazmunah dan mewujudkan akhlaq mahmudah.

Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi

mistis dan visi rasional pengasasnya. Berbeda dengan tasawuf akhlaqi, tasawuf

falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya.

19
Daftar Pustaka

al-Taftazami, D. A.-W.-G. (1974). SUFI DARI ZAMAN KE ZAMAN. Bandung:


PUSTAKA.

Anwar, R. (2009). Akhlak Tasawuf. Bandung: PUSTAKA SETIA.

Anwar, R., & Solihin, M. (2013). ILMU TASAWUF. Bandung : CV PUSTAKA SETIA.

Djamaluddin, M. (2015). Iman AL-Ghazali sang Ensiklopedi Zaman. Jakarta: SENJA


PUBLISHING.

Ibrahim, H. (2002). Tasawuf antara Agama dan Filsafat : Sebuah Kritik


Metodologis. Bandung: PUSTAKA HIDAYAH.

Kabbani, S. M. (1998). Tasawuf dan Ihsan. Jakarta: SERAMBI ILMU SEMESTA.

Kartanegara, M. (2006). Menyelami Lubuk Tasawuf. Jakarta: ERLANGGA.

Nasution, B. A. (2013). AKHLAK TASAWUF. Depok: RAJAGRAFINDO PERSADA.

Nata, A. (1995). Ilmu Qalam, Filsafat dan tasawuf. Jakarta: RAJAGRAFINDO


PERSADA.

Nata, A. (2013). Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia. Jakarta: RAJAWALI PERSS.

20

Anda mungkin juga menyukai