Anda di halaman 1dari 17

BENTANG LAHAN KARST

1. Definisi Bentang Alam Karst

Karst adalah istilah dalam bahasa Jerman yang diambil dari istilah Slovenian kuno yang
berarti topografi hasil pelarutan (solution topography) (Blomm,1979). Menurut Jenning (1971,
dalam Blomm 197), topografi karst didefinisikan sebagai lahan dengan relief dan pola
penyaluran yang aneh, berkembang pada batuan yang mudah larut (memiliki derajat kelarutan
yang tinggi) pada air alam dan dijumpai pada semua tempat pada lahan tersebut. Flint dan
Skinner (1977) mendefinisikan topography karst sebagai daerah yang berbatuan yang mudah
larut dengan surupan (sink) dan gua yang berkombinasi membentukk topografi yang aneh
(peculiar topography) dan dicirikan oleh adanya lembah kecil, penyaluran tidak teratur, aliran
sungai secara tiba-tiba masuk kedalam tanah meninggalkan lembah kering dan muncul sebagai
mata air yang besar.

Berdasarkan kedua definisi diatas maka dapat disimpulkan suatu pengertian tentang
topografi karst yaitu : “Suatu topografi yang terbentuk pada daerah dengan litologi berupa batuan
yang mudah larut, menunjukkan relief yang khas, penyaluran yang tidak teratur, aliran sungainya
secara tiba-tiba masuk kedalam tanah dan meninggalkan lembah kering untuk kemudian keluar
ditempat lain sebagai mata air yang besar”.

Dari sebaran batugamping yang ada, Indonesia merupakan wilayah yang potensial sebagai
kawasan kars. Dari kondisi geologinya Indonesia kaya akan batugamping. Tetapi tidak semua
batugamping yang ada diwilayah Indonesia dapat berkembang menjadi bentang alam kars.
Beberapa wilayah di Indonesia yang dapat ditemukan bentang alam kars, yaitu :

1. Pulau Sumatra, bentang alam dipulau Sumatra sangat kurang sangat berkembang, hanya
sebagian tempat di Aceh, Sumatra Barat (Singkarak) dan Sumatra Selatan
2. Pulau Jawa, sebaran batugamping dipulau Jawa umumnya berada dibagian selatan dan
beberapa diantaranya berkembang menjadi kawasan kars yang penting serta terkenal di
kalangan pemerhati kars. Kawasan bentang alam kars tersebut berada didaerah Gombong
Selatan dan Gunung Sewu
3. Pulau Kalimantan, dari ekspedisi speleogi dari tim prancis yang dilakukan pada tahun 1980-
an (ESFIK-1982, 1983) melaporkan bentang alam kars di wilayah pegunungan Mangkalit,
Kalimantan Timur. Di Kalimantan Tengah dapat dijumpai bentang alam kars yang meliputi
Gunung Haje dan Gunung Menunting di Muara Teweh. Di Klaimantan Selatan terdapat
diwilayah Pegunungan Meratus yang penyebarannya terputus-putus.
4. Pulau Sulawesi, benrkembang bentang alam kars sangat baik terutama Sulawesi Selatan.
Bentang alam kars Maros sangat terkenal dan telah diadakan penelitian serta didapat data
sedikitnya 29 gua yang harus dilindungi.
5. Pulau Sumbawa, bentang alam mini terdapat didaerah Sumbawa Barat yang nilai
ekonomisnya berupa sumber daya air dengan debit kurang lebih 1000 lt/dt (MENLH &
Yayasan Jatidiri, 1998).
6. Pulau Irian Jaya, Pulau Irian merupakan pulau yang kaya akan sebaran batugamping yang
berkembang menjadi bentang alam kars. Kawasan kars terdapat didaerah Wamena-
Pegunungan Trikora dengan nilai ilmiah berupa dolina raksasa, gua terdalam, sungai bawah
tanah terbesar serta didaerah Biak dan pulau Misool dengan nilai peninggalan arkeologi.
Kawasan bentang alam kars di Irian Jaya merupakan satu-satunya formasi batuan yang paling
baik mengandung air (MENLH & Yayasan Jatidiri, 1998).

2. Pembentukan Karst
Proses pembentukan karst melibatkan apa yang disebut sebagai “Karbon dioksida
kebawah”. Hujan turun melalui atmosfer dengan membawa karbon dioksida terlarut dalam
tetesan. Ketika hujan sampai ditanah, ia terperkolasi melalui tanah dan menggunakan lebih
banyak karbon dioksida. Infiltrasi air secara terus-menerus secara alami membentuk retakan-
retakan dan lubang pada batuan. Dalam periode waktu yang lama, dengan suplai karbon dioksida
terus-menerus yang kaya air, lapisan karbonat mulai melarut.
3. Faktor-faktor Pembentuk Bentang Alam Karst

1. Faktor Fisik

Faktor fisik yang mempengaruhi pembentukan topografi karst meliputi ketebalan


batugamping, porositas dan permeabilitas batugamping serta intensitas struktur (kekar) yang
mengenai batuan tersebut.

a. Ketebalan Batugamping
Menurut Von Engeln, batuan mudah larut (dalam hal ini batugamping) yang baik
untuk perkembangan topografi karst harus tebal. Batugamping tersebut da[at masif atau
terdiri dari beberapa lapisan yang membentuk satu unit batuan yang tebal, sehingga
mampu menampilkan topografi karst sebelum batuan tersebut habis terlarutkan dan
tererosi. Ritter (1978) mengemukakan bahwa batugamping yang berlapis (meskipun
membentuk satu unit yang tebal), tidak sebaik batugamping yang massif dan tebal
dalam pembentukan topografi karst ini. Hal ini dikarenakan material sukar larut dan
lempung yang terkonsentrasi pada bidang perlapisan akan mengurangi kebebasan
sirkulasi air untuk menmbus seluruh lapisan. Sebaliknya pada batugamping yang
massif, sirkulasi air akan berjalan lancer sehingga mempermudah terjadinya proses
karstifikasi.
b. Porositas dan Permeabilitas
Kedua hal ini berpengaruh terhadap sirkulasi air dalam batuan. Menurut Ritter
(1978), porositas primer ditentukan oleh tekstur batuan dan berkurang oleh proses
sementasi, rekristaslisasi dan penggantian mineral (missal dolomitisasi) sehingga
porositas primer tidak begitu berpengaruh terhadap proses karstifikasi. Sebaliknya
dengan porositas sekunder yang biasanya terbentuk oleh adanya retakan atau pelarutan
dalam batuan. Porositas (baik primer maupun sekunder) biasanya mempengaruhi
permeabilitas yaitu kemampuan batuan batuan untuk melalukan air. Disamping itu
permeabilitas juga dipengaruhi oleh adanya kekar yang saling berhubungan dalam
batuan. Semakin besar permeabilitas suatu batuan maka sirkulasi air akan berjalan
semakin lancer sehingga proses karstifikasi akan semakin intensif.
c. Intesitas Struktur Terhadap Batuan
Intersitas struktur terutama kekar sangat berpengaruh terhadap proses karstifikasi.
Disamping kekar dapat mempertinggi permeabilitas batuan, zona kekar merupakan zona
yang lemah yang mudah mengalami pelarutan dan erosi sehingga dengan adanya kekar
dalam batuan proses pelarutan dan erosi berjalan intensif. Ritter (1978) mengemukakan
bahwa kekar biasanya terbentuk dengan pola tertentu dan berpasangan (kekar gerus),
tiap pasang membentuk sudut antara 70° sampai 90° dan mereka saling berhubungan.
Hal inilah yang menyebabkan kekar dapat mempertinggi porositas dan permeabilitas
sekaligus sebagai zona lemah yang menyebabakan proses pelarutan dan erosi berjalan
lebih intensif. Apabila intensitas pengkekaran sangat tinggi maka batuan menjadi
mudah hancur atau tidak memiliki kekauatan yang cukup. Disamping itu permeabilitas
mejadi sangat tingi sehingga waktu sentuh batuan dan air sangat cepat. Hal ini
menghambat proses kartifikasi (Ritter, 1978).

2. Faktor Kimiawi
a. Kondisi Kimia Batuan
Kondisi kimia batuan yang dimaksud adalah komposisi dan sifat kimia
(kelarutannya). Secara umum berdasarkan komposisinya batugamping dapat
dikelompokkan menjadi beberapa kelompok, tetapi sesuai dengan namanya,
batugamping sedikitnya mengnadung 50% mineral karbonat ynag umumnya berupa
kalsit (CaCO3). Dua jenis mineral karbonat yang umum ada pada batugamping adalah
kalsit dan dolomite (Sweeting, 1973 dalam Ritter, 1978). Menurut Leigton dan
Pendextel (1962 dalam Ritter, 1978), bila batuan mengandung mineral dolomite lebih
dari 50% maka batuannya disebut dolomite dan bila batuannya mengandung mineral
kalsit lebih dari 50% maka batuannya disebut batugamping. Batugamping inilah yang
mempunyai kecenderungan untuk membentuk topografi karst.Corbel (1957 dalam
Ritter, 1978) menyebutkan bahwa untuk membentuk topografi karst diperlukan
sedikitnya 60% kalsit dalam batuan. Untuk perkembangan topografi karst yang baik
diperlukan kurang lebih 90% kalsit dlam batuan tersebut, tetapi bila kandungan mineral
kalsit lebih dari 95% (batugamping murni, misal kalk) maka batuan tersebut tidak
memiliki kekuatan yang cukup untuk pembentukan topografi kars. Topografi kars yang
dapat terbentuk pada kalk hanya lembah kering, lubang pelarutan (solution pits) dari
lubang-lubang yang dangkal (swallows holes) atau bentuk minor yang terdapat
dipermukaan lainnya (Twidale, 1976). Selanjutnya dikemukakan pula bahwa dolomit
mempunyai pelarutan dan kekuatan (strength) yang lebih kecil dibanding kalsit
(batugamping), sehingga perkembangan topografi kars pada dolomit lebih jelek
dibandingkan dengan perkembagan kars pada batugamping. Topografi kars yang dapat
berkembang pada dolomit adalah surupan kecil, depresi yang dangkal dan beberapa
depresi dengan lantai dasar dan dinding yang terjal.

b. Kondisi Kimia Media Pelarut


Media pelarut dalam proses karstifikasi adalah air alam (natural water) (Jehning,
1971 Vide Bloom, 1979). Kondisi kimiawi media pelarut ini sangat berpangaruh pada
proses karstifikasi. Flint dan Skinner (1979) mengemukakan bahwa kalsit sangat sulit
lartu dalam air murni, akan tetapi ia akan larut dalam air yang mengandung asam.
Dialam, air hujan akan mengikat karbondioksida (CO2) dari udara dan dari tanah
disekitarnya membentuk air /larutan yang bersifat asam yaitu asam karbonat (H2CO3).
Larutan inilah yang akan melarutkan batugamping. Dengan demikian bahwa sifat
kimiawi media pelarut sangat dipengaruhi oleh banyaknya karbondioksida yang
diikatnya. Disamping membentuk larutan asam, karbondioksida didalam air akan
meningkatkan tekanan parsial CO2 dalam larutan tersebut. Tekanan parsial CO2 yang
tinggi dalam larutan akan mempertinggi kemampuan larutan untuk melarutkan
kalsit.bloom (1979) menyebutkan bahwa tekanan parsial CO2 pada air yang
mengandung udara (aerated aqueous) hanya 30 pa dan CaCO3 yang dapat dilarutkannya
kurang lebih hanya 63 mg/lt, tetapi pada kondisi tidak ada udara (anaerobic) tekanan
parsial CO2 meningkat sampai 30 Kpa dan CaCO3 yang dapat dilarutkannya mencapai
700 mg/lt.

3. Faktor Biologis
Aktifitas biologis dapat mempengaruhi pembentukan topografi kars, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Menurut Bloom (1979) aktifitas biologis (dalam hal
ini tumbuh-tumbuhan dan mikrobiologis) dapat menghasilkan humus yang akan
menutupi batuan dasar. Humus ini menyebabkan batuan dasar tersebut menadi
anaerobik, sehingga air permukaan yang masuk sampai kebatuan dasar (sampai zona
anaerob) tekanan parsial CO2nya bertambah besar sampai 10 kali lipat dibanding
dengan saat dia berada dipermukaan. Karena tekanan parsial CO2 naik, maka
kemampuan air untuk melarutkan batuan menjadi lebih tinggi. Dengan demikian berarti
dengan terbentuknya humus oleh aktifitas biologis, maka proses karstifikasi berjalan
lebih internsif. Disamping meningkatkan tekanan parsial CO2 dalam larutan, pada saat
pembentukan humus juga terjadi proses dekomposisi material organic yang
menghasilkan karbondioksida (CO2). Karbondioksida ini disebut dengan biogenic CO2,
yang merupakan bagian terbesar dari kandungan CO2 didalam tanah (Ritter, 1978).
Dengan demikian berarti bahwa aktifitas biologis juga menambah suplay CO2 didalam
tanah dan CO2 ini akan diikat oleh air tanah sehinga lebih reaktif. Aktifitas biologis
kecuali meningkatkan tekanan parsial CO2 dan menambah kadar CO2 dalam tanah juga
dapat berpengaruh secara langsung dalam pembentukan topografi kars. Folk, dkk (1973)
Vide Ritter (1978) menyebutkan bahwa pembentukan phytokarst dipengeruhi oleh
tetumbuhan (dalam hal ini algae) secara langsung. Algae yang hidup pada betugamping
melekat dan menembus permukaan batugamping tersebut sedalam 0,1 – 0,2 mm. Algae
ini juga menghasilkan larutan asam yang kemudian melarutkan batuan disekitar tempat
tumbuhnya, akibat permukaan batugamping tersebut berlekuk-lekuk dengan lubang-
lubang yang saling berhubungan dan bentuk tepinya tajam-tajam.
Iklim dan lingkungan merupakan dua hal yang sering kali sulit untuk dipisahkan.
Lingkungan dalam arti sempit adalah kondisi disekitar tempat yang dimaksud (dalam
hal ini adalah lahan pembentukan topografi kars) dan lingkungan dalam arti luas
meliputi seluruh aspek biotik dan abiotik yang ada didaerah yang dimaksud.
Didalam membahas lingkungan dalam arti sempit, Von Engeln (1942)
mengemukakan bahwa kondisi lingkungan yang mendukung pembentukan topografi
kars adalah adanya lembah besar yang mengelilingi tempat yang tinggi, yang terdiri dari
batuan mudah larut (batugamping) yang terkekarkan dengan intensif. Kondisi ini
menyebabkan air tanah pada tempat yang tinggi dapat turun , menembus batugamping
tersebut dan melarutkannya dengan bebas. Selanjutnya air tanah tersebut msuk kedalam
lembah sebagai air permukaan.
Disamping itu Ritter (1978) menyebutkan bahwa kondisi lingkungan disekitar
batugamping harus lebih rendah, atau dengan kata lain batugamping tersebut haurs
memiliki elevasi yang lebih tinggi dibanding lingkungan disekitarnya. Kondisi
lingkungan seperti ini menyebabkan sirkulasi air dapat berjalan dengan baik sehingga
proses karstifikasi dapat berjalan lebih intensif.
Lingkungan dalam arti luas mencakup kondisi biotik (aktifitas biologis) dan
kondisi abiotik (suhu, curah hujan, presipitasi dan penguapan) daerah yang dimaksud.
Kondisi biotik dan abiotik disuatu daerah sangat ditentukan oleh iklim daerah tersebut
(Bloom, 1979). Selanjutnya dikemukakan pula bahwa kondisi biotik dan abiotik
tersebut sangat mempengaruhi proses eksogenik, yaitu baik pelapukan ataupun
pelarutan batugamping. Dengan demikian berarti bahwa iklim sangat mempengaruhi
proses eksogenik pada suatu daerah.
Daerah yang beriklim tropis basah (lintang 0° – 13°) curah hujan cukup tingggi,
kombinasi suhu dan presipitasi ideal untuk berlangsungnya proses pelarutan sehingga
proses karstifikasi berjalan sangat bagus (Riter, 1978). Selain itu sikulasi air tanah
sangat baik, tumbuh-tumbuhan lebah dan aktifitas mikroba cukup tinggi sehingga
sangat mendukung terjadinya proses karstifikasi. Air tanah didaerah ini sangat reaktif
untuk pelarutan dan suhu udara cukup tinggi sehinga reaksi kimia untuk melarutkan
batugamping berjalan lebih cepat. Menurut Bloom (1979), air tanah didaerah tropis
mengandung asam organic dan komponen nitrat sehingga agrasifitasnya naik. Dengan
kondisi daerah semacam ini maka topografi kras dapat berjalan dengan baik didaerah
beriklim tropis basah. Topografi kars yang dapat terbentuk pada daerah tropis basah
sangat bervariasi baik konstruksional maupun topografi sisa.
4. Macam-Macam Bentuk Lahan Asal Karst
Nama Kars menurut Thornbury (1964) dipakai pertama kali untuk menamakan sebuah
daerah di Italia yaitu Carso. Daerah Carso merupakan dareah seluas kurang lebih 38.500
km2 dengan ketinggian mencapai 2.500 m yang litologinya berupa batugamping dimana
gejala topografi kars berkembang baik didaerah ini. Daerah kars yang dimaksud tepatnya
berada disebelah timur laut Laut Adriatic.
Bentuk morfologi yang menyusun suatu bentang alam kars dapat dibedakan menjadi
dua macam (Srijono, 1984, dalam Widagdo, 1984), yaitu bentuk-bentuk konstruksional dan
bentuk-bentuk sisa pelarutan.
Bentuk konstruksional adalah bentuk topogrfi yang dibentuk oleh proses pelarutan
batugamping atau pengendapan material karbonat yang dibawa oleh air. Berdasarkan
ukurannya, topografi konstruksional dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu
bentuk-bentuk minor dan bentuk-bentuk mayor. Menurut Bloom (1979), yang dimaksud
dengan bentang alam kars minor adalah bentang alam yang tak dapat diamati pada foto
udara atau peta topografi, sedang bentang alam kars mayo adalah bentang alam yang dapat
diamati baik didalam foto udara atau peta topografi.

1. Bentuk-bentuk topografi kars minor adalah :

 Lapies
Lapies merupakan bentuk tak rata pada permukaan batugamping akibat adanya
proses pelarutan, penggerusan atau karena proses lain. Lapies (bahasa Prancis) sering
disebut Karren (bahasa Jerman) atau Clints (bahasa Inggris) (Thornbury, 1964).
Ritter (1978) mengklasifikasikan Karren berdasar bentuknya menjadi dua kelompok,
yaitu yang mempunyai bentuk lurus dan bentukBerdasarkan letak pembentukannya
(origin), lapies dapat dibedakan menjadi dua macam (Herak dan Stringfiels, 1972),
yaitu lapies yang originnya tersingkap dipermukaan dan lapies yang originya tidak
tersingkap dipermukaan / berada dibawah tanah dan lapies yang originnya tersingkap
dipermukaan.
 Kars Split
Kars Split adalah celah pelarutan yang terbentuk dipermukaan. Kars split
sebenarnya merupakan perkembangan dari kars-runnel (solution runnel). Bila jumlah
kars runnel banyak dan saling berpotongan maka akan membentuk kars split
(Srijono, 1984 dalam Widagdo, 1984).
 Parit Kars
Parit kars adalah alur pada permukaan yang memanjang membentuk parit.
Srijono (1984), mengemukakan bahwa parit kars ini merupakan kars split yang
memajang sehingga membentuk parit kars.
 Palung Kars
Palung kars adalah alur pada permukaan batuan yang besar dan lebar, dibentuk
oleh proses pelarutan. Kedalamannya dapat mencapai lebih dari 50 cm. biasanya
terbentuk pada permukaan batuan yang datar atau miring rendah dan dikontrol oleh
struktur yang memanjang.
 Speleothem
Speleothem dalah hiasan yang terdapat didalam gua yang dihasilkan oleh
endapan berwarna putih, bentuknya seperti tetesan air, mengkilat dan menonjol.
Hiasan ini merupakan endapan CaCO3 yang mengalami presipitasi pada saat air
tanah yang membawanya masuk kedalam gua (Sanders, J.E., 1981). Macam-macam
speleothems yang sering dijumpai adalah Stalagtit, yaitu hiasan yang menggantung
dilangit-langit dan Stalagmit, yaitu hiasan yang berada didasar atau dilantai gua serta
Tiang Masif (Massife Column), yaitu hiasan yang terbentuk bila stalagtit dan
stalagmite bertemu.
 Fitokars
Fitokars adalah permukaan yang berlekuk-lekuk, dengan lubang-lubang yang
saling berhubungan. Antara lubang satu dengan yang lainnya dibatasi oleh tepi-tepi
yang tajam, sehingga memberikan bentuk seperti bunga karang pada menara
(pinnacles) kars. Morfologi ini terbentuk karena adanya pengaruh aktifitas biologis,
yaitu adanya algae yang yang tumbuh didalam batugamping. Algae menutup
permukaan dan masuk kebawah permukaan sedalam 0,1 – 0,2 mm, tampaknya algae
tersebut tumbuh didalam batugamping dan menghasilkan larutan asam yang dapat
melarutkan batugampingnya sehingga membentuk lubang-lubang (Bloom, 1979).

2. Bentuk-bentuk topografi kars mayor adalah :


 Surupan
Surupan yaitu depresi tertutup hasil pelarutan denagn diameter mulai dari
beberapa meter sampai beberapa kilometer, kedalamannya mencapai ratusan meter
dan bentuknya dapat bundar atau lonjong (oval), (Twidale, 1967). Surupan (dolines)
ini di Amerika Serikat disebut sebagai sink atau sink-holey (Ritter, 1978). Jenning
(1971) dan Bloom (1979), mengemukakan bahwa ada lima macam surupan yang
dikenal yaitu surupan runtuhan (collapse dolines), surupan pelarutan (solution
dolines), subsidence dolines, subjacent kars collapse dolines dan star-shape doline.

 Uvala
Uvala adalah depresi tertutup yang besar, terdiri dari gabungan beberapa
doline, lantai dasarnya tidak rata. Jenning (1967) dalam Ritter (1978),
mengemukakan bahwa sebuah uvala terdiri dari 14 buah doline dengan ukuran dan
bentuk yang bervariasi. Ukuran diameternya berkisar antara 5 – 1000 meter dan
kedalamannya berkisar antara 1- 200 meter, dindingnya curam.
 Polje
Depresi tertutup yang besar dengan lantai dasar dan dinding yang curam,
bentuknya tidak teratur dan biasanya memanjang searah jurus perlapisan atau zona
lemah structural. Pembentukannya dikontrol oleh litologi dan struktur dan mengalami
pelebaran oleh proses korosi lateral pada saat ia terisi air (Riiter, 1979). Polje
mempunyai ukuran yang sangat besar minimal dalam satuan kilometer persegi

.
 Jendela Kars
Jendela kars adalah lubang pada atap gua yang menghubungkan antara ruang
dalam gua dengan udara diluar yang terbentuk karena atap gua tersebut runtuh,
(Twidale, 1976). Disamping itu jendela kars dapat pula terbentuk pada atap sungai
bawah tanah.
 Lembah Kars (Kars Valley)
Lembah kars adalah lembah atau alur yang besar yang terdapat pada lahan kars.
Lembah ini terbentuk oleh aliran air permukaan yang mengerosi batuan yang
dilaluinya. Secara umum, lembah kars dapat dibedakan menjadi beberapa macam
dengan sifat pembaeda yang jelas (Ritter, 1978). Dalam hal ini disebutkan ada empat
macam lembah kars, yaitu :
a. Allogenic Valley, yaitu lembah yang bagian hulunya berada pada batuan yang
kedap air kemudian masuk kedalam daerah kars. Panjang pendeknya lembah
allogenik ini tergantung pada besar kecilnya aliran yang membentuk, semakin
besar alirannya maka semakin panjag lembah yang terbentuk.
b. Lembah Buta (Blind Valley), yaitu lembah atau sungai pada lahan kars yang
secara tiba-tiba berakhir pada suatu tempat dan biasanya pada akhir lembah ini air
permukaan tanah akan masuk kedalam tanah. Bila suatu saat aliran dapat
melampaui lembah tersebut (misal, saat hujan lebat atau terjadi pencairan es),
maka lembah ini disebut sebagai semiblind valley, – Pocket Valley, yaitu lembah
yang dimulai dari tempat keluarnya air yang masuk melalui surupan. Pada
umumnya pocket valley berasosiasi dengan mata air yang besar yang keluar diatas
batuan kedap air yang terletak dibawah lapisan batugamping yang tebal. Lembah
in umumnya berbentuk huruf U dan memiliki tebing yang curam, ukurannya
tergantung besar kecilnya debit mata air yang keluar. Sweeting (1973) dalam
Ritter (1978) menyebutkan bahwa panjang lembah ini dapat mencapai 8 km, lebar
1 km dan dalamnya berkisar antara 300 – 400 meter.
c. Lembah Kering (Dry Valleys), yaitu lembah pada lahan kars yang mirip dengan
lembah fluviatil, hanya saja (sesuai dengan namanya) lembah ini tidak berfungsi
sebagai penyaluran air permukaan (kering), karena air hujan yang jatuh dan
masuk kedalam lebah ini dengan segera akan meresap kedalam retakan batuan
dasarnya.
 Gua (Cave),
Gua (Cave) yaitu serambi tau ruangan bawah tanah yang dapat dicapai dari
permukaan dan cukup besar bila dimasuki oleh manusia (Sanders, 1981). Gua
seringkali teridir dari rangkaian ruangan sehingga kedalamannya dapat mencapai
ratusan meter.

 Terowongan dan Jembatan Alam


Terowongan dan Jembatan Alam yaitu lorong bawah tanah yang terbentuk oleh
pelarutan dan penggerusan air tanah atau oleh aliran bawah tanah (Von Engeln,
1942). Terowongan alam memiliki ukuran yang bervariasi artinya dapat berukuran
besar atau kecil. Sebagai contoh, terowongan di Virginia dapat berukuran mencapai
275 meter, tingginya 23 meter dan lebarnya 40 meter. Suatu ketika atap terowongan
alam tersebut runtuh, sehingga panjang terowongan tersebut semakin berkurang,
akibatnya suatu saat morofologi yang terbentuk lebih tepat disebut dengan Jembatan
Alam (Von Engeln, 1942). Selanjutnya dikemukakan pula bahwa jembatan alam juga
dapat terbentuk oleh proses pelautan saja. Apabila jembatan alam tersebut terbentuk
oleh proses pelarutan batuan oleh air tanah maka disebut sebagai Jembatan Kars
(Kars Briges).
3. Bentuk-bentuk Sisa Pelarutan
Yang dimaksud dengan bentuk morfologi sisa pelarutan adalah morfologi yang
terbentuk karena pelarutan dan erosi sudah berjalan sangatlanjut sehingga meninggalkan
sisa yang khas untuk lahan kars. Morfologi sisa dapat berkembang baik terutama pada
daerah yang beriklim tropis basah (Bloom, 1979). Macam-macam bentuk morfologi sisa
yaitu :
 Kerucut Kars, yaitu bukit kars yang berbentuk kerucut, berlereng terjal dan dikelilingi
oleh depresi yang biasanya disebut sebagai bintang (Ritter, 1978). Kerucut kars sering
disebut sebagai kegelkars (bahasa Jerman). Pada kenyataannya kerucut kars sering
kali lebih mirip setengah bola dibanding dengan bentuk kerucut (Lehman, 1963,
dalam Bloom, 1979) (gambar V.14). Depresi tertutup yang mengelilingi bukit sisa
biasanya terbentuk bintang dan tidak teratur sering disebut sebagai cockpits dan
terbentuk oleh proses pelarutan sepanjang zona kekar atau patahan (Sweeting, 1958
dalam Ritter, 1978).

 Menara Kars, adalah bukit sisa pelarutan dan erosi berbentuk menara dengan lereng
yang terjal, tegak atau menggantung, terpisah satu dengan yng lain dan dikelilingi
oleh dataran alluvial (Ritter, 1978). Menurut Jenning (1971) dalam Ritter (1978)
menara kars dan kerucut kars dibedakan dalam hal keterjalan lereng dan adanya rawa
/ dataran alluvial yang mengelilinginya. Menara kars disebut juga pepino hill atau
haystack atau turmkarst. Contoh menara kars yang baik adalah menara kars yang
terdapat di Kweilin, Propinsi Kwangsi, China
 Mogote, adalah bukit terjal yang merupakan sisa pelarutan dan erosi, umumnya
dikelilingi oleh dataran alluvial yang hampir rata (flat). Bentuknya kadang-kadang
tidak simetri antara sisi yang mengarah kearah datangnya angin dengan sisi
sebaliknya (Ritter, 1978). Mogote dan menara kars dibedakan dari bentuk dan
keterjalan lereng sisi-sisinya.

 Vaucluse adalah gejala karst yang berbentuk lubang tempat keluarnya aliran air tanah
 Turm karst adalah lingkungan karst yang berupa bukit-bukit kars (Kerucut kars) yang
saling berhubungan antara satu dengan yang lain.
DAFTAR PUSTAKA

Drury, S.A, 1987. Image Interpretation in Geologi, Allen and Unwin, London.

adiyah j kapukong.2012.laporan praktikum geologi dasar.Ist Akprind,Yogyakartaa

Twidale, C.R, 1976. Analisis of Landsforms, Jhon Wiley & Sons Australasia Pty Ltd, Singapore.

aryadhani.blogspot.com/2009/05/bentang-alam-vulkanik.html

http://nsidc.org/cryosphere/glaciers/gallery/moraines.html

http://www.panoramio.com/photo/1312665

http://www.landforms.eu/cairngorms/truncated%20spur.html

http://antok-one.blogspot.com/2012/06/gua-pindul-gk.html

http://earlfhamfa.wordpress.com/2010/02/21/bentang-lahan-denudasional/

http://earthy-moony.blogspot.com/2010/11/bentuklahan-asal-proses-denudasional.html

Anda mungkin juga menyukai