Pada tanggal 22-25 September 1950 diadakan pertemuan I Muktamar Dokter Warganegara Indonesia (PMDWNI) di Jakarta, dimana hasil dari pertemuan tersebut disepakati bahwa akan dbentuk suatu perkumpulan para dokter Indonesia yang akan diberi nama “Ikatan Dokter Indonesia” (IDI), kemudian Pada tanggal 24 Oktober 1950 para dokter di Indonesia, yaitu dr. Soeharto, dr. Sarwono Prawirohardjo, dr. R. Pringgadi, dr. Puw Eng Liang, dr. Tan Eng Tie dan dr. Hadrianus sinaga menghadap notaris untuk mendapatkan dasar hukum atas berdirinya IDI dengan dr. Sarwono Prawirohardjo sebagai ketua umum IDI yang pertama. Kelak mulai saat itu pada tanggal 24 Oktober disebut hari Dokter Nasional. Jauh sebelum tanggal tersebut dokter Indonesia juga sudah banyak terlibat dalam sejarah perjuangan bangsa ini, dimulai dari pembentukan Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908 yang dibentuk oleh para dokter dan mahasiwa kedokteran yang belajar di STOVIA, kemudian Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 dimana salah satu pelopor gerakan tersebut adalah dr. Cipto Mangunkusumo, sampai terlibat dalam penculikan Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Melihat peran dokter Indonesia yang selalu ada dalam sejarah Republik Indonesia, miris rasanya melihat pada saat ini Dokter Indonesia dalam hal ini IDI tidak terdengar suaranya, betapa saat ini profesi kedokteran sedang turun ke titik yang meskipun belum sampai ke titik nadir, tapi secara umum profesi ini sudah turun derajatnya di mata masyarakat. Dokter saat ini hanya dipandang sebagai alat pemerintah, alat untuk mencapai tujuan politik penguasa atas nama rakyat, namun diperlakukan semena-mena oleh pemerintah.
DOKTER DAN BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL (BPJS)
Hanya karena lafal dalam sumpah dokter yang selalu dokter ucapkan ketika selesai menempuh pendidikan kedokteran yang berbunyi “saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan kemanusiaan”, dokter Indonesia menjadi terbelenggu dengan stigma bahwa dokter itu diwajibkan mengabdi, melayani dan tidak boleh menolak pasien. Di era BPJS ini, dengan pola pembayaran sistem kapitasi, seorang dokter di pelayanan kesehatan hanya mendapatkan imbalan Rp. 3.000-Rp. 6.000 untuk dokter di Puskesmas, dan Rp. 8.000-Rp. 10.000 di klinik pratama, bahkan untuk dokter gigi hanya dibayarkan Rp. 2.000 per pasien. Itupun masih harus dibagi-bagi dengan pegawai di tempat si dokter bekerja, karena dalam pelayanan kesehatan tidak hanya melibatkan dokter saja, tapi juga ada perawat, bidan, petugas laboratorium, administrasi dll., jadi bisa dibayangkan berapa yang didapat oleh dokter tersebut. Tetapi apakah masyarakat tahu semua itu? masyarakat hanya tahunya mereka berobat seperti yang digembar-gemborkan oleh BPJS, “Gratis!”. Protes pun terus mengiringi perjalanan BPJS baik dari para dokter ataupun masyarakat itu sendri, namun pemerintah hanya diam saja dan BPJS semakin leluasa mengatur dan membatasi para dokter indonesia dalam memberikan pelayanan kesehatan dan memaksa rakyat Indonesia untuk menjadi anggota BPJS.
DOKTER LAYANAN PRIMER
Belum habis polemik tentang sistem pembayaran BPJS, muncul lagi sebuah ide tentang Dokter Layanan Primer (DLP), Sebuah ide yang didasarkan fakta bahwa 80% anggaran kesehatan (BPJS) habis di rumah sakit, sehingga diperlukan penguatan di sektor pelayanan primer, misalnya puskesmas, tanpa mencari tahu penyebab kenapa pelayanan primer (Faskes tingkat 1) sering merujuk pasien ke rumah sakit? Pemerintah berharap dengan adanya dokter layanan primer yang memiliki kompetensi lebih dibandingkan dengan dokter umum dalam bidang pencegahan penyakit (preventif) dapat mengurangi angka kesakitan rakyat Indonesia, sehingga mengurangi beban pengeluaran anggaran kesehatan (BPJS-red). Padahal upaya preventif itu jauh lebih efektif bila dilakukan oleh pemerintah, sebagai contoh, bagaimana bisa pemerintah menurunkan angka kematian ibu dan anak bila angka persalinan tetap tinggi dan pemerintah tidak menggalakkan program keluarga berencana (KB) seperti di era Presiden Soeharto, bahkan pemerintah melalui Kementrian Sosial berencana memberikan uang tunjangan sebesar Rp. 1.2 juta untuk setiap ibu hamil, saya yakin akan banyak wanita di Indonesia berlomba-lomba untuk hamil demi mendapatkan tunjangan tersebut. Bagaimana bisa menurunkan angka kanker paru dan infeksi saluran pernafasan jika rokok terus bebas diperjual belikan. Bagaimana bisa menurunkan angka TB paru di Indonesia jika lingkungan padat dan kumuh selalu ada. Bagaimana bisa menciptakan Indonesia sehat bila pusat pendidikan dokter spesialis masih sedikit, biaya pendidikan dokter makin mahal, alat-alat kesehatan yang dikenakan pajak barang mewah sehingga menjadi sangat mahal dan fasilitas kesehatan di daerah masih minim peralatan dan obat-obatan. Apakah bisa program preventif hanya dilakukan oleh seorang dokter saja? Tentu saja tidak cukup, tetapi program preventif harus dilakukan oleh seluruh rakyat Indonesia, terutama lagi dilakukan oleh para pemangku kebijakan di Senayan sana. Dengan demikian maka tidak ada urgensinya program pendidikan dokter layanan primer, kecuali tentu saja bila dokter-dokter yang bergelar Sp.LP (Spesialis Layanan Primer) begitu lulus langsung ditempatkan sebagai pucuk pimpinan, mulai dari Menteri Kesehatan sampai Kepala Puskesmas. Tidak salah jika banyak pendapat yang mengatakan bahwa program tersebut hanya pemborosan dan sebagai lahan untuk mengeruk uang dari para dokter dan mahasiswa kedokteran, belum lagi waktu yang diperlukan bagi para dokter untuk bekerja dan mempraktekkan ilmunya akan semakin lama karena dokter yang telah lulus harus menempuh pendidikan DLP lagi selama 2-3 tahun. Biaya pendidikan untuk menjadi dokter pun akan semakin mahal, dan pendidikan kedokteran pun akan semakin jauh dari jangkauan rakyat kecil, sehingga semakin menciptakan kesan elit dan eksklusif bagi seorang dokter di mata masyarakat. Alangkah lebih bijaksana jikalau program pendidikan dokter layanan primer ini dimasukkan di dalam kurikulum kedokteran yang ada saat ini, namun bukan dengan menambah masa pendidikan kedokteran, sehingga para dokter bisa segera terjun ke masyarakat.
DOKTER DAN DEMONSTRASI
Mengingat peranan dokter dalam sejarah bangsa ini, maka sudah sepantasnya di era sekarang ini dokter ikut berperan aktif dalam pembangunan bangsa ini, khususnya dalam bidang kesehatan, seperti para dokter terdahulu, tetapi bagaimana bisa dokter berperan aktif, sementara “kedaulatan” dokter dalam memberikan pelayanan dibatasi, sementara tuntutan hukum dan malpraktek terus membayangi. Padahal dokter juga manusia, dokter juga bisa berbuat salah. Akhirnya segelintir dokter-dokter dari Sabang sampai Merauke yang masih mempunyai hati nurani dan peduli terhadap kesehatan bangsa ini tergerak dan memutuskan untuk turun ke jalan pada tanggal 24 oktober 2016, bertepatan dengan hari Dokter Nasional. Mereka sukarela meluangkan waktunya dan mengeluarkan biaya pribadi, rela berpanas-panasan dan kehujanan untuk menyuarakan aspirasi serta memperjuangkan nasib dokter dan nasib pelayanan kesehatan bangsa ini, Namun sayangnya aksi demonstrasi kemarin tidak mendapatkan respon dari pemerintah. Patut ditunggu apa reaksi IDI selanjutnya dalam mengembalikan eksistensinya di dunia kesehatan Indonesia serta memperjuangkan perbaikan mutu pelayanan kesehatan negara ini seperti yang sudah dilakukan oleh para dokter-dokter terdahulu di era sebelum kemerdekaan.