Anda di halaman 1dari 12

PARAMETER PERINGKAT BATUBARA

Kelas : 3 EGC
Nama : NIM
1. M.Ikrom Afifi 061740411824
2. Miftahul Hidayati 061740411825
3. Rifat Abdurrahman 061740411828
4. Salsyabila Yuhsinun 061740411830
Dosen Pembimbing : Ir. Fatria MT

JURUSAN TEKNIK KIMIA


PROGRAM STUDI D-IV TEKNIK ENERGI
POLITEKNIK NEGERI SRIWIJAYA
TAHUN AKADEMIK 2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah “PARAMETER PERINGKAT
BATUBARA ” dengan sebagaimana mestinya. Makalah ini disusun sebagai nilai teori
perkuliahan.
Adapun pembuatan makalah ini untuk merangkum hal-hal yang berkaitan dengan
“PARAMETER PERINGKAT BATUBARA”, sehingga dapat menambah wawasan dan
pengetahuan mahasiswa(i) Politeknik Negeri Sriwijaya dan para pembaca lainnya.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada dosen, dalam hal ini yang telah banyak
memberikan penjelasan materi selama teori perkuliahan berlangsung.
Akhir kata, penulis memohon maaf jika banyak kesalahan dan kekurangan dalam
makalah ini, untuk itu dibutuhkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
penyempurnaan makalah selanjutnya.
BAB 1
Pendahuluan
I. Tujuan
 Mahasiswa dapat menuliskan beberapa parameter kualitas batubara secara umum
 Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian analisis proksimat dan ultimat
 Mahasiswa dapat menjelaskan bentuk bentuk sulfur,analisis abu dan trace
elements dalam batubara.
 Mahasiswa dapat menjelaskan keterkaitan kualitas batubara dengan
pemanfaatannya

II. Pengertian Batubara


Batubara adalah suatu batuan sedimen tersusun atas unsur karbon, hidrogen, oksigen,
nitrogen, dan sulfur. Dalam proses pembentukannya, batubara diselipi batuan yang mengandung
mineral. Bersama dengan moisture, mineral ini merupakan pengotor batubara sehingga dalam
pemanfaatannya, kandungan kedua materi ini sangat berpengaruh. Dari ketiga jenis pemanfaatan
batubara, yaitu sebagai pembuat kokas, bahan bakar, dan batubara konversi, pengotor ini harus
diperhitungkan karena semakin tinggi kandungan pengotor, maka semakin rendah kandungan
karbon, sehingga semakin rendah pula nilai panas batubara tersebut.

Batubara indonesia berada pada perbatasan antara batubara subbitumen dan batubara
bitumen, tetapi hampir 59% adalah lignit. Menurut hasil eksplorasi pada tahun 1999 akhir, sumber
daya batubara indonesia jumlahnya sekitar 38,8 miliar ton, dan sampai tahun 2003 sekitar 57,85
miliar ton.

Kemajuan pesat teknologi industri khususnya sejak akhir tahun 1950-an membuat
konsumsi energi meningkat sangat pesat. Hal ini membuat pemakaian bahan bakar fosil (minyak
bumi, gas alam dan batubara) secara besar-besaran tidak terhindarkan. Bahan bakar fosil yang
mudah di eksplorasi dan dapat diperoleh dalam jumlah besar adalah batubara dengan biaya yang
tidak terlalu tinggi menjadi sumber energi utama dunia selama berpuluh-pulu tahun.Tetapi
pemakain bahan bakar batubara secara besar-besaran juga membawa dampak yang sangat serius
terhadap lingkungan terutama isu global warming dan hujan asam.
Batubara memiliki keunggulan dibandingkan bahan bakar fosil lainnya, yaitu:
1. Jumlah batubara yang economically exploitable lebih banyak.
2. Distribusi batubara di seluruh dunia lebih merata.
Batubara jug memiliki kelemahan, antara lain:
1. Karena komposisi coal adalah CHONS + Ash, coal identik dengan bahan bakar
yang kotor dan tidak ramah lingkungan.
2. Dibanding bahan bakar fosil lainnya, jumlah kandugan C per mol dari batubara jauh
lebih besar.
Hal ini menyebabkan pengeluaran CO2 dari batubara juga jauh lebih banyak. Demikian juga
dengan kandungan sulfur (S) dn nitrogen (N) nya yang bila keluar ke udara bebas bisa menjadi
H2SO4 dan HNO3 yang merupakan penyebab hujan asam.
BAB 2
PEMBAHASAN

Kualitas Batubara
Baik buruknya suatu kualitas batubara ditentukan oleh penggunaan batubara itu sendiri
Batubara yang berkualitas baik untuk penggunaan tertentu, belum tentu baik pula untuk
penggunaan yang lainnya, begitu juga sebaliknya. Kualitas suatu batubara dapat ditentukan
dengan cara analisa parameter tertentu baik secara fisik maupun secara kimia.

Parameter yang ditentukan dari suatu analisa batubara tergantung tujuan untuk apa batubara
tersebut digunakan.
 Proximate
 Total Sulfur
 HGI
 Ultimate Analysis
 Ash Fusion Temperature
 Free Swelling Index (FSI)

A. ANALISIS PROXIMATE
Proximate analysis merupakan suatu analisis yang dilakukan terhadap sampel batubara
untuk menentukan kandungan air (moisture), zat terbang (volatile matter), abu serta
karbon tetap (fixed carbon), yang penjelasannya adalah sebagai berikut :

1. Kandungan Air (Moisture)


Air atau moisture yang terkandung dalam batubara terbagi menjadi tiga macam yaitu :
 Free Moisture
Semua batubara mengandung free moisture dalam jumlah tertentu, yang pada umumnya
disebabkan oleh air bawah tanah yang bergabung dalam proses pembentukan batubara serta
semprotan-semprotan air pada proses-proses pencucian maupun berasal dari hujan dan salju.
Pada kebanyakan analisis, free moistureditetapkan sebagai langkah pertama untuk
memeperoleh total moisture, termasuk bagian yang menguap ketika sampel dalam proses menuju
keseimbangan dengan udara sekitar. Free moisture dinyatakan dalam presentase dan diukur dari
berkurangnya berat sampel antara 5 – 15 kg, hal ini dilakukan dengan cara menempatkan sampel
pada udara yang bersikulasi bebas pada temperatur kurang dari 15 0C diatas temperatur ambient
selama 16 sampai 24 jam. Sampel tersebut kemudian disebarkan dengan rata sehingga memiliki
ketebalan penampang sekitar 2,5 cm dan apabila sampel batubara memiliki tingkat kebasahan
yang lebih tinggi maka waktu pengeringan mungkin meningkat sampai melebihi 24 jam.

 Inherent Moisture
Diukur dengan mengukur kehilangan berat jika 1 kg sampel dipanaskan dalam oven
sampai 105 0C – 110 0C selama 5 – 6 jam dalam aliran udara lambat.

 Air – Dry Moisture


Untuk menetapkan kandungan air dari sampel laboratorium dalam rangka melakukan
analisa secara umum maka dapat dilakukan dengan cara mengeringkan 1 gram sampel dalam
suatu oven vakum menggunakan cara yang sama dengan free moisture dan selanjutnya
menimbang secara langsung kandungan air yang diserap oleh absorbent (alat penyerap) dari
gas nitrogen kering yang dilewatkan pada batubara di dalam tabung pemanas. Jika batubara
dipanaskan di udara pada suhu lebih dari 100 0C tetapi dibawah titik nyalanya maka akan terjadi
perubahan lain selain hilangnya uap air yang meliputi :
 Kehilangan berat sehubungan dengan evolusi gas-gas serta terurainya batubara.

 Bertambahnya berat sehubungan dengan pembentukan peroksida padat. Pemakaian


Nitrogen untuk mengeluarkan Oksigen dapat mencegah terjadinya hal ini.

2. Abu (Ash)
Ada tiga tipe abu yang diperoleh saat analisa, yaitu :
 Abu Inherent (inherent ash)
Abu inherent adalah kandungan abu yang tidak dapat dihilangkan dengan metoda
pembersihan apapun. Abu inherent boleh dianggap sama seperti unsur-unsur pokok mineral dari
bahan tumbuhan pada saat batubara diperoleh, dan ditambah dengan endapan (lumpur) dimana
tumbuhan itu tumbuh.

 Abu campuran (associated ash)


Abu campuran terdapat pada lapisan betubara dalam bentuk pola “bercak-bercak”, dan
diantaranya terdiri dari semacam zat mineral yang belum terpisahkan dari bongkahan-bongkahan
batubara selama penambangan

 Adventitous ash
Adventitous ash tidak terdapat pada lapisan batubara, akan tetapi berasal dari lantai atau atap
tambang yang tergantung pada kondisi geologis setempat. Adventitous ash mungkin berupa
lempung (tanah liat) tahan api atau serpihan carbon dari tanah liat yang mengendap pada air
dangkal dilokasi tambang batubara.

3. Zat Terbang (Volatile Matter)


Zat terbang dipakai sebagai pedoman dalam sistem klasifikasi batubara karena zat
terbang dapat mencerminkan tipe batubara serta karakteristiknya dalam suatu proses
pembakaran. Pengukuran dilakukan dengan cara memanaskan 1 gram sampel betubara
dalam wadah peleburan dengan suhu 900 0C selama 7 menit tanpa kontak langsung
dengan udara. Dihitung berdasarkan berkurangnya berat setelah dikurangi dengan
pengurangan berat karena hilangnya uap air. Zat terbang terdiri dari hidrogen dan
nitrogen yang ada dalam batubara dan campuran organik yang amat kompleks dari unsur
kimia.

4. Karbon Tetap (Fixed Carbon)


Karbon tetap adalah zat yang tidak menguap dan tersisa setelah
kandungan moisture, volatile matter (zat terbang) dan kadar abu dihilangkan. Fixed
carbon didapatkan dengan formula sebagai berikut.
Fixed Carbon = 100 % – % Moisture – % Volatile Matter – % Abu.

5. Nilai Kalori (Calorific Value)


Harga nilai kalor merupakan penjumlahan dari harga-harga panas pembakaran unsur-unsur
pembakaran batubara. Nilai kalor terdiri atas Gross Calorie Value yaitu nilai kalor yang
biasa dipakai sebagai laporan analisis dan Net Caloric Value yaitu nilai kalor yang benar-
benar dimanfaatkan dalam proses pembakaran batubara.

B. TOTAL SULFUR

Di dalam batubara, sulfur dapat merupakan bagian dari mineral sulfat dan sulfida.
Dengan sifatnya yang mudah bersenyawa dengan unsur hidrogen dan oksigen untuk membentuk
senyawa asam, maka keberadaan sufur diharapkan dapat seminimal mungkin karena sifat tersebut
yang merupakan pemicu polusi, maka beberapa negara pengguna batubara menerapkan batas
kandungan 1 % maksimum untuk batubara yang dimanfaatkan untuk keperluan industri.
Sulfur dalam batubara terdapat dalam tiga bentuk, yaitu pirit sulfur, sufat sulfur dan organik
sulfur. Sulfur dalam bentuk pirit dan sulfat merupakan bagian dari mineral matter yang terdapat
dalam batubara yang jumlahnya masih dapat dikurangi dengan teknik pencuci. Sedangkan organik
sulfur terdapat pada seluruh material karbon dalm batubara dan jumlahnya tidak dapat dikurangi
dengan teknik pencucian. Terdapatnya sulfat sulfur dalam batubara sering dipergunakan sebagai
petunjuk bahwa batubara telah mengalami oksidasi, sedangkan pirit sulfur dianggap sebagai salah
satu penyebab timbulnya pembakaran secara spontan.

Sulfur kemungkinan merupakan pengotor utama nomor dua (setelah ash) dalam batubara ;
 Dalam batubara bahan bakar, hasil pembakarannya mempunyai daya korosif dan sumber
polusi udara.
 Moisture dan sulfur (terutama sebagai pirit) dapat menunjang terjadinya pembakaran
spontan.
 Semua batubara bentuk sulfur tidak dapat dihilangkan dalam proses pencucian.

Hasil penentuan sulfur digunakan untuk menunjang evaluasi pencucian batubara, emisi
udara, dan evaluasi kualitas batubara berkaitan dengan spesifikasi dalam kontrak serta untuk
keperluan penelitian. Batubara dengan kadar sulfur yang tinggi menimbulkan banyak masalah
dalam pemanfaatannya. Bila batubara itu dibakar, sulfur menyebabkan korosi dalam ketel dan
membentuk endapan isolasi pada tabung ketel uap (yang disebut slagging). Disamping itu juga
menimbulkan pencemaran udara. Sebagaian sulfur akan terbawa dalam hasil pencairan batubara,
gasifikasi, dan pembuatan kokas. Jadi, harus dihilangkan dulu sebelum di lakukan proses-proses
tersebut. Unsur belerang terdapat pada batubara terdapat dengan kadar bervariasi dari rendah
(jauh dibawah 1 %) sampai lebih dari 4%. Unsur ini terdapat dalam batubara dalam tiga bentuk
yakni belerang organik, pirit, dan sulfat. Dari ketiga bentuk belerang tersebut, belerang organik
dan belerang pirit merupakan sumber utama emisi oksida belerang. Dalam pembakaran batubara
semua belerang organik dan sebagian belerang pirit menjadi SO2. Oksida belerang ini selanjutnya
dapat teroksidasi menjadi SO3. Sedangkan belerang sulfat disamping stabil dan sulit menjadi
oksida belerang, kadar relatifnya sangat mudah dibanding belerang bentuk lainnya. Oksida-
oksida belerang yang terbawa gas buang dapat bereaksi dengan lelehan abu yang menempel pada
dinding tungku maupun pipa boiler sehingga menyebabkan korosi. Sebagian SO2 yang
diemisikan ke udara dapat teroksidasi menjadi SO3yang apabila bereaksi dengan uap air menjadi
kabut asam sehingga menimbulkan turunnya hujan asam.

Analisa Sulfur
Belerang atau sulfur dalam batu bara dapat terjadi dalam beberapa bentuk:
 Sebagai organik sulfur, di mana sulfur terikat pada senyawa hidrokarbon dalam coal
matter
 Sebagai mineral sulfida, sulfur ada dalam fraksi anorganik, misalnya dalam pirit
 Sebagai mineral sulfat yang dihasilkan dari oksidasi mineral sulfida dengan bantuan udara
(besi sulfida besi sulfat, kalsium sulfida kalsium sulfat).

Dalam analisis ultimat ditentukan total sulfur (TS) yang mewakili semua bentuk sulfur
dalam batubara. Penentuan masing-masing bentuk sulfur atau forms of sulfphur tidak termasuk
dalam analisis ultimat.
Standar ISO 334-1975 dan ISO 351-1975 memberikan dua cara penentuan sulfur total,
masing-masing cara Eschka danhigh temperature combustion. Dalam cara Esckha, 1 g sampel
batubara halus dicampurkan dengan 3 g reagens Eschka (2 bagian berat magnesium oksida
ditambah 1 bagian berat natrium karbonat anhidrous) di dalam cawan porselen khusus atau cawan
platina, kemudian ditutup dengan 1 g reagens Eschka. Cawan dipanaskan dalam tungku
pembakaran yang biasa dipakai untuk penentuan ash, dari mulai dalam keadaan dingin sampai
suhu 800ºC selama 1 jam dengan kecepatan pemanasan yang rendah pada permulaannya. Pada
suhu 800ºC dibiarkan 1 jam lagi. Setelah didinginkan, diitambahkan larutan barium klorida dan
endapan barium sulfat hasil reaksi ditentukan secara gravimetri.
Dalam cara kedua, yaitu cara High Temperature combustion (HTM), sekitar 0,5 g sampel
batubara halus ditimbang dalam perahu porselen,ditutupi oleh 0,5 g aluminium oksida. Perahu
dipanaskan di dalam tabung dari furnace bersama aliran gas oksigen murni pada suhu 1350 ºC.
Sulfur oksida dan klor oksida yang terbentuk diabsorbsi dalam larutan hidrogen peroksida,
kemudian asam sulfat hasil reaksi sulfur dan asam klorida hasil reaksi klor, ditentukan secara
titrimetri. Cara ini lebih cepat bila dibandingkan dengan cara Eschka, tetapi dengan cara ini akan
diperoleh penjumlahan persentase sulfur dan klor. Untuk memperoleh persentase sulfur, sebelum
titrasi harus ditambahkan merkuri oksianida (racun).
Selain penentuan sulfur cara HTM yang diakhiri dengan titrasi, dapat pula diakhiri dengan
mendeteksi gas sulfur dioksida menggunakan instrumen, misalnya dengan Leco sulfur
determinator SC 132.
Dalam standar ASTM 3177 diberikan cara penentuan total sulfur dari larutan hasil
penentuan calorific value yang disebut cara bomb washing. Setelah penentuan calorific
value selesai, larutan sisa diambil dan ditentukan total sulfurnya menggunakan cara Eschka.

C. HGI

HGI merupakan salah satu sifat fisik dari batubara yang menyatakan kemudahan batubara
untuk di pulverise sampai ukuran 200 mesh atau 75 micron. Cara pengujian HGI ialah dengan
menggunakan mesin Wallace Hardgrove .Sampel batubara yang sudah digerus pada ukuran
partikel tertentu akan dimasukan kedalam mesin Wallace Hardgrove. Selanjutnya digerus
dengan menggunakan bola baja pada putaran (revolusi) tertentu.

Prinsip HARDGROVE GRINDABILITY INDEX (HGI)


Metode ini digunakan untuk menentukan nilai Grindability Index (HGI) batubara dengan
menggunakan mesin Wallace Hardgrove atau menguji kekerasan batubara. Sampel batubara
yang telah dipreparasi dengan distribusi ukuran khusus, dipaparkan pada kondisi
tertentu. Grindability Index dihitung dari hasil analisa ayakan terhadap hasil pemaparan yang
kemudian dibandingkan dengan data kalibrasi dari satu set sampel acuan yang telah disertifikasi.

D. ANALISIS ULTIMATE

Analisis ultimat adalah analisa laboratorium untuk menentukan kandungan abu,


karbon, hidrogen, oksigen dan belerang dalam batubara dengan metoda tertentu. Kandungan
itu dinyatakan dalam persen pada basis dan sampel dikeringkan pada suhu 105ºC dalam
keadan bebas kelembaban dan abu Analisis ultimat dilakukan untuk menentukan kadar karbon
(C), hidrogen (H), oksigen (O), nitrogen, (N), dan sulfur (S) dalam karbon.
Prosedur analisis ultimat ini cukup ringkas, dengan memasukkan sampel karbon ke
dalam alat dan hasil analisis akan muncul kemudian pada layar computer. Analisis ultimat untuk
menentukan kadar karbon (C), hidrogen (H), nitrogen (N) menggunakan alat LECO CHN 2000
dengan teknik infra merah (IR) dan analisis sulfur memakai LECO SC 632 dengan teknik infra
merah. Metode yang digunakan berdasarkan ASTM (American Society for Testing
and Materials)
1. Carbon dan Hydrogen
Dibebaskan sebagai CO2 dan H2O ketika batubara dibakar. CO2 bisa berasal dari mineral
karbonat yang ada, dan H2O bisa berasal dari mineral lempung atau inherent moisture pada air-
dried coal atau pada keduanya. Nilai kadar karbon ini semakin bertambah seiring dengan
meningkatnya kualitas batubara. Kadar karbon dan jumlah zat terbang digunakan sebagai
perhitungan untuk menilai kualitas bahan bakar, yaitu berupa nilai fuel ratio.
Nitrogen.kandungan nitrogen dari batubara merupakan hal yang signifikan, khususnya
dengan hubungan polusi udara. jadi batubara dengan nitrogen yang rendah lebih diharapkan pada
industri. Batubara tidak boleh mengandung nitrogen lebih dari 1.5-2.0% (d.a.f.)

2. Oksigen
Oksigen merupakan komponen dari banyak campuran organic dan anorganik pada batubara,
sebagaimana kandungan moisture. Ketika batubara teroksidasi, oksigen dapat hadir sebagai
oksida, hidroksida dan mineral sulfat, seperti material orgaink yang teroksidasi. Perlu diingat
bahwa oksigen merupakan indicator penting rank coal.
3. Chlorine
Chlorine adalah salah satu elemen batubara yang dapat menimbulkan korosi (pengkaratan)
dan masalah fouling/slagging (pengkerakkan) pada ketel uap. Kadar chlorine lebih kecil dari
0.2% dianggap rendah, sedangkan kadar chlorine lebih besar dari 0.5% dianggap tinggi. Adanya
elemen chlorine selalu bersama-sama dengan adanya elemen natrium.

4. Posphorus

Adanya phosphorus (posfor) di dalam coking coal sangat tidak diinginkan karena dalam
peleburan baja, phosphorus akan berakumulasi dan tinggal dalam baja yang dihasilkan. Baja
yang mengandung phosphorus tinggi akan cepat rapuh. Phosphorus juga dapat menimbulkan
masalah pada pembakaran batubara di ketel karena phosphorus dapat membentuk deposit posfat
yang keras di dalam ketel. Kandungan Fosfor; Fosfor dalam batubara dalam bentuk fosfat dan
senyawa organic fosfat. Pada pembakaran semua fosfat ini akan berubah menjadi abu.
Kandungan fosfor tidak terlalu diperhitungkan dalam hal pembakaran akan tetapi pada tahap
metalurgi.
Carbonate Carbondioxide
Penetapan carbonate carbondioxide dilakukan untuk mendapatkan angka yang dapat
dipergunakan sebagai pengoreksi hasil penetapan karbon, sehingga karbon yang dilaporkan
hanyalah karbon organik (organic carbon). Penetapan carbonate carbondioxide tidak perlu
dilakukan pada contoh batubara derajat rendah (brown coal dan lignite), karena batubara derajat
rendah atau lower rank coal bersifat asam sehingga carbonate carbon-nya akan kosong.

E. ASH FUSION TEMPERATURE


Ash fusion temperature (AFT) adalah analisis yang dapat menggambarkan sifat pelelehan abu
batubara yang diukur dengan mengamati perubahan bentuk contoh abu yang telah dicetak berupa
kerucut, selama pemanasan bertahap.
Analisis biasanya dilakukan dengan dua kondisi pemanasan, yaitu kondisi oksidasi dan
kondisi agak reduksi. Pada kondisi reduksi, pemanasan dilakukan dalam tabung pembakaran
yang dialiri oleh campuran 50% gas hidrogen dan 50% gas karbondioksida, sedangkan pada
kondisi oksidasi pemanasan dilakukan dalam tabung pembakaran yang dialiri oleh 100% gas
karbondioksida.
Pengamatan sifat pelelehan ini umumnya dilakukan pada suhu 900oC sampai dengan 1600oC.
Pengamatan dicatat dan dilaporkan pada saat contoh abu meleleh dan berubah menyerupai profil
standar yang telah tersedia.
Analisis yang dilakukan pada kondisi oksidasi umumnya mendapatkan hasil yang lebih
tinggi daripada yang dilakukan pada kondisi reduksi. Hal ini tergantung dari kandungan
komponen tertentu dalam abu tersebut, sebagai contoh, komponen besi oksida yang mempunyai
efek pelelehan yang berbeda pada kondisi oksidasi dengan pada kondisi reduksi.
Apakah itu AFT oksida atau reduksi yang dapat dipakai untuk memprediksi permasalahan
yang mungkin timbul pada suatu instalasi, tergantung dari bentuk operasi itu sendiri. Sebagai
contoh, dalam kasus pabrik penghasil gas, dimana kondisi reduksi terjadi di ruang pembakaran
maka AFT reduksilah yang cocok untuk dilakukan, sebaliknya pada dasar fixed furnace, dimana
udara pembakaran mengalir dari bawah ke atas, kondisinya ialah oksidasi,
sehingga AFT oksidasilah yang cocok. Dalam kasus pembakaran pulverized fuel, keadaannya
berbeda dan tidak menentu. Pada nyala pembakaran, sebagian besar kondisinya reduksi,
sedangkan di luar nyala pembakaran kondisinya agak oksidasi tergantung dari banyaknya
kelebihan udara yang dialirkan.
AFT sangat dipengaruhi oleh komposisi abu (ash analysis) :
 Apabila komposisi abu semakin mendekati Al2O3.2SiO2 (rasio Al2O3/SiO2 = 1 : 1.18)
semakin sulitlah untuk meleleh. Artinya flowtemperature-nya tinggi dan rentang suhu
lelehnya tinggi.
 CaO, MgO, dan Fe2O3 bersifat agak melelehkan sehingga akan
menurunkan AFT terutama apabila mengandung kelebihan SiO2.
 FeO, Na2O, dan K2O mempunyai kemampuan menurunkan AFT yang sangat kuat.
 Kandungan sulfur yang tinggi menurunkan suhu initial deformation dan memperlebar
rentang suhu lelehnya (flow-initial deformation).

Batubara yang abunya memiliki AFT yang tinggi (initial deformation > 1350oC), sangat
cocok dipergunakan pada operasi dengan sistem penanganan/pembuangan abu berupa padatan
kering, sedangkan batubara yang abunya memiliki AFT rendah (flow<1350 sup="">o
C) sangat cocok dipergunakan pada operasi

F. FREE SWELLING INDEX (FSI)


Free Swelling Index (FSI) merupakan suatu parameter seberapa jauh batubara akan memuai
apabila dipanaskan. FSI ditentukan dengan memanaskan batubara yang telah digerus dan dicetak
berbentuk “ kancing kemeja” sampai 800ºC di dalam cawan selama waktu tertentu. Setelah zat
terbang habis “kancing” kokas yang lebih kecil dari ukuran semula tetap berada dalam cawan.
Penampang sisa kokas dibandingkan dengan penampang baku bernomor 1-10.
Pengaruh nilai FSI pada batu bara :
 Bila pemuaian kokas mengakibatkan ia sama dengan ukuran panjang nomor 0-2 ( jadi
FSI -nya 0-2) batubara tersebut bukan batubara kokas yang baik (pori-porinya terlalu
rendah).
 Bila FSI -nya 8-10 berarti tingkat pemuaiannya terlalu tinggi berarti bila dijadikan kokas
terlalu berpori-pori besar sangat rapuh.
 Batubara dengan nomor FSI 4-6 adalah ideal untuk diproses menjadi kokas (batubara ini
akan menjadi kokas yang cukup berpori dan kuat menahan beban).

Anda mungkin juga menyukai