TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Definisi asma secara lengkap yang menggambarkan konsep inflamasi
sebagai dasar mekanisme terjadinya asma dikeluarkan oleh GINA (Global
Initiative for Asthma). Asma didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik
saluran respiratorik dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast,
eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan, inflamasi ini menyebabkan
episod wheezing yang berulang, sesak napas, rasa dada tertekan, dan batuk,
khususnya pada malam atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan
penyempitan saluran respiratorik yang luas namun bervariasi, yang paling tidak
sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan.
Inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperaktivitas saluran respiratorik terhadap
berbagai rangsangan.(6)
2.2 EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini merupakan penyakit yang cukup luas dalam persebarannya di
dunia. Dilaporkan bahwa sejak dua dekade terakhir prevalensi asma meningkat,
baik pada anak-anak maupun dewasa. Asma mempunyai dampak negatif pada
kehidupan penderitanya termasuk untuk anak, seperti menyebabkan anak sering
tidak masuk sekolah dan membatasi kegiatan olehraga, maupun aktivitas seluruh
keluarga. Prevalensi total asma di dunia diperkiralan 7,2% (6% pada dewasa dan
10% pada anak). Prevalensi tersebut sangatlah bervariasi, terdapat perbedaan antar
negara, bahkan di beberapa daerah di suatu negara.(8)
Salah satu masalah epidemiologi saat ini adalah mortalitas asma yang
relatif tinggi. Beberapa waktu yang lalu, penyakit asma tidak merupakan
penyebab kematian yang berarti. Namun belakangan ini dilaporkan dari berbagai
negara terjadi peningkatan kematian karena penyakit asma, juga pada anak.
Berbagai faktor yang dapat menjadi pencetus timbulnya serangan asma antara lain
aktivitas fisik, alergen, infeksi, perubahan mendadak suhu udara atau pajanan
3
terhadap iritan respiratorik seperti asap rokok dan lain sebagainya. Selain itu juga
berbagai faktor mempengaruhi tinggi rendahnya prevalensi asma di suatu tempat.
Beberapa faktor tersebut diantaranya yaitu umur, ras, jenis kelamin, tingkat sosio-
ekonomi dan faktor lingkungan. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi prevalensi
asma, terjadinya serangan asma, berat ringannya serangan, status asma dan
kematian karena penyakit asma.(5,7)
Salah satu penyebab tinggi prevalensi penyakit asma bronkial yaitu adanya
infeksi yang disebabkan oleh virus. Infeksi virus pada saluran napas merupakan
penyebab utama terjadinya mengi pada anak dan dewasa yang menderita asma
yaitu 10-85% pada anak dan 10-45% pada dewasa. Virus yang menyebabkan
infeksi pada saluran napas adalah respiratory syncytial virus (RSV), rhinovirus,
parainfluensa, adenovirus, influensa, dan coronavirus 1,5 seperti tampak pada
tabel 1 berikut :
229E
Coronavirus ++ ++
OC43
Influenza A, B, C + + ++ +
RSV A, B + + + + +++
Adenovirus 1-43 + + ++ + +
Keterangan :
4
Berdasarkan sebuah penelitian tentang asma yang dilakukan di Amerika
Serikat, pada anak-anak dengan usia berkisar 12 tahun di South Wales, prevalensi
riwayat mengi (wheezing) mengalami peningkatan dari 17% pada tahun 1973
menjadi 22% pada tahun 1988. Sedangkan dalam prevalensi penyakit asma di
dunia, ternyata populasi penduduk di Cina yang mengidap penyakit asma lebih
rendah jika dibandingkan dengan negara-negara barat.(2,4)
5
2.3 PATOFISIOLOGI
A. Obstruksi Saluran Respiratorik
Salah satu gejala yang dialami oleh pasien dalam kasus ini ialah sesak
napas. Tidak hanya itu, pada pasien juga ditemukan adanya suara napas berupa
wheezing. Hal tersebut diduga karena adanya proses inflamasi sehingga
menimbulkan penyempitan atau obstruksi pada saluran napasnya.
Obstruksi saluran napas ini bersifat difus dan bervariasi derajatnya, dapat
membaik spontan atau dengan pengobatan. Penyempitan saluran napas ini
menyebabkan gejala batuk, rasa berat di dada, mengi dan hiperesponsivitas
bronkus terhadap berbagai stimuli. Penyebabnya multifaktor, yang utama adalah
kontraksi otot polos bronkus yang diprovokasi oleh mediator yang dilepaskan sel
inflamasi.(1,7)
6
Gambar 1. Saluran napas normal dan penderita asma(1)
7
Setelah limfosit T teraktivasi akan mengeluarkan sitokin IL-3, IL-4, IL-5,
IL-9, IL-13 dan granulocyte monocyte colony stimulating factor (GMCSF).
Sitokin bersama sel inflamasi yang lain akan saling berinteraksi sehingga terjadi
proses inflamasi yang kompleks, degranulasi eosinofil, mengeluarkan berbagai
protein toksik yang merusak epitel saluran napas dan merupakan salah satu
penyebab hiperesponsivitas saluran napas (airway hyperresponsiveness / AHR).(1)
Sistem imun dibagi menjadi dua yaitu imunitas humoral dan selular. Imunitas
humoral ditandai oleh produksi dan sekresi antibodi spesifik oleh sel limfosit B
sedangkan selular diperankan oleh sel limfosit T. Sel limfosit T mengontrol fungsi
limfosit B dan meningkatkan proses inflamasi melalui aktivitas sitotoksik cluster
differentiation 8 (CD8) dan mensekresi berbagai sitokin. Sel limfosit T helper
(CD4) dibedakan menjadi Th1 dan Th2. Sel Th1 mensekresi interleukin-2 (IL-2),
IL-3, granulocytet monocyte colony stimulating factor (GMCSF), interferon-γ
(IFN-γ) dan tumor necrosis factor-α (TNF-α) sedangkan Th2 mensekresi IL-3, IL-
4, IL-5, IL-9, IL-13, IL-16 dan GMCSF. Respons imun dimulai dengan aktivasi
sel T oleh antigen melalui sel dendrit yang merupakan sel pengenal antigen primer
( primary antigen presenting cells/APC). Skema itu dapat kita lihat pada gambar 2
sebagai berikut (1,6) :
8
Keterangan :
Ig = imunoglobulin
eos= eosinofil,
Bas = basofil
9
B. Hipereaktivitas Saluran Respiratorik
Penyempitan saluran respiratorik secara berlebihan merupakan
patofisiologi yang secara klinik paling relevan pada penyakit asma. Mekanisme
yang bertanggung jawab terhadap reaktivitas yang berlebihan atau hiperreaktivitas
ini belum diketahui tetapi mungkin berhubungan dengan perubahan otot polos
saluran napas (hiperplasi dan hipertrofi) yang terjadi secara sekunder yang
menyebabkan perubahan kontraktilitas. Selain itu, inflamasi dinding saluran napas
terutama peribronkial dapat memperberat penyempitan saluran napas selama
kontraksi berlangsung.(1)
10
A. FAKTOR PEJAMU (Host)
Predisposisi genetik
Hiperesponsif saluran napas
Atopi
Jenis kelamin
Ras
B. FAKTOR LINGKUNGAN
11
Obesitas
2.5 DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan dengan aloanamnesa, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
Umumnya diagnosa asma tidak sulit, terutama bila ditemukan gejala klasik
asma yaitu batuk, sesak napas, dan mengi yang timbul secara tiba-tiba dan dapat
hilang secara spontan/pengobatan. Adanya riwayat asma/riwayat alergi dan faktor
pencetus.
Pemeriksaan Fisik
12
adanya napas cepat (60 kali per menit). Berdasarkan pemeriksaan auskultasi,
dijumpai adanya suara napas tambahan berupa mengi (wheezing) yang merupakan
salah satu gejala khas penyakit asma.
Pada pemeriksaan status gizi, pada pasien didapatkan adanya gizi kurang (standar
BB/U pada NCHS) dan mild malnutrition (standar CDC 2000). Hal ini dapat
menjadi salah satu faktor risiko dalam hal terjadinya asma dikarenakan status gizi
merupakan komponen penting dalam status imunologi pada anak.
Pemeriksaan Penunjang
Diperlukan uji laboratorium darah dan sputum serta uji fungsi fisiologi
paru guna menunjang diagnosis asma bronkial. Eosinofilia di dalam darah dan
sputum akan mengalami peningkatan. Di dalam darah, eosinofilia akan lebih dari
dari 250-400 sel/mm3. Sedangkan pada sputum juga akan dijumpai adanya
eosinofilia, akan tetapi hal ini tidaklah khas pada penderita asma karena beberapa
penyakit anak selain asma mungkin menyebabkan eosinofilia di dalam sputum.
Protein serum dan kadar imunoglobulin biasanya normal pada penderita asma
bronkial, kecuali kadar IgE mungkin bertambah.(7) Pada pasien ini, hasil
pemeriksaan laboratorium darah rutin didapatkan hasil adanya peningkatan
jumlah leukosit (leukositosis) yang dimungkinkan terjadinya inflamasi pada
pasien ini. Jumlah leukosit yang mengalami peningkatan ialah neutrofil.
Penentuan gas dan pH darah arterial merupakan hal yang penting dalam
mengevaluasi penderita asma selama masa eksaserbasi yang memerlukan
perawatan di rumah sakit. Penentuan saturasi oksigen dengan oksimetri secara
teratur akan membantu dalam menentukan keparahan eksaserbasi akut. PCO2
biasanya rendah selama stadium awal asma akut. Ketika penyumbatan memburuk,
maka PCO2 akan meningkat.(7)
13
Pada foto toraks akan tampak corakan paru yang meningkat. Hiperinflasi
terdapat pada serangan akut dan kronik. Atelektasis kadang-kadang dapat
ditemukan. Pada pasien ini hasil foto toraks didapatkan hasil gambaran infiltrat (-)
dan adanya gambaran bronkitis kronis.
Rhinitis alergika
Sinusitis
Bronkhiolitis
Benda asing pada saluran napas
Pada rhinitis alergika, ditemukan adanya penyumbatan hidung secara
bilateral akibat edema basahnya membran mukosa. Selain itu, pada rhenitis
alergika ditemukan bersin-bersin, hidung yang berair, mata yang terasa gatal dan
mengeluarkan air mata yang berlebihan.(7) Sinusitis mempunyai gejala berupa
adanya batuk malam hari, tetapi hal itu jarang karena lebih sering batuk pada
siang hari. Selain itu, juga ditemukan nyeri kepala, nyeri wajah dan bisa
ditemukan nanah dalah meatus media.(7) Dalam kasus ini, rhenitis alergika dapat
disingkirkan karena tidak ditemukannya sesak napas serta suara napas tambahan
berupa wheezing yang menjadi salah satu ciri khas penyakit asma bronkial ini.
14
KLASIFIKASI DERAJAT PENYAKIT
15
Tabel 4.2 Klasifikasi Asma Menurut Derajat Serangan GINA 2006 22
2.7 KOMPLIKASI
Penyakit asma bila tidak mendapatkan terapi atau penangan secara benar,
bisa menimbulkan komplikasi-komplikasi yang cukup mengkhawatirkan.
Beberapa komplikasi yang bisa terjadi diantaranya yaitu(9) :
16
Pneumotoraks spontan
Walaupun ini jarang sekali dijumpai, akan tetapi kadang dapat ditemukan
sebagai sebuah fenomena yang cukup menarik.
Empisema
Penyakit ini sering ditemukan terjadi di subdural dan paling sering terjadi
pada anak-anak. Pergerakan udara terjadi dengan mengarah ke posterior,
yakni dari pneumomediastinum menuju foramina intervertebralis.
Pneumoperikardium
Penyakit ini jarang ditemukan sebagai komplikasi asma. Akan tetapi bila
terjadi, maka akan lebih sering terjadi pada anak-anak. Hal ini disebabkan
selaput pericardial pada anak-anak cenderung lebih rapuh dibndingkan
dengan orang dewasa. Seperti halnya dengan pneumomediastinum,
pneumoperikardium biasanya ditemui dengan sifat yang benigna.
17
bukan hanya evaluasi klinis. Namun, di Indonesia penggunaan alat tersebut belum
memasyarakat.(6)
Jika menurut penilaian awal pasien datang jelas dalam serangan yang berat,
langsung berikan nebulisasi ß-agonis dikombinasikan dengan antikolinergik.
Pasien dengan serangan berat yang disertai dehidrasi dan asidosis metabolic,
mungkin akan mengalami takifilasis atau refrakter yaitu respons yang kurang baik
terhadap nebulisasi ß-agonis. Pasien seperti ini cukup sekali dinebulisasi
kemudian secepatnya dirawat untuk mendapat obat intravena selain dibatasi
masalah dehidrasi dan asidosisnya.(6,7)
18
Serangan Asma Ringan
Apabila keadaan pasien dengan sekali pemberian nebulisasi telah
menunjukkan respons yang baik (complete response), berarti serngannya
tergolong ringan. Pasien diobservasi selama 1 jam, jika tetap baik, maka pasien
dapat dipulangkan. Pasien dibekai dengan obat ß-agonis (obat hirup atau oral)
yang diberikan tiap 4-6 jam. Jika pencetus serangannya adalah infeksi virus, dapat
ditambahkan steroid oral, namun hanya diberikan untuk jangka waktu yang
pendek (3-5 hari).(6,7)
Jika pasien menunjukkan gejala dan tanda ancaman henti napas, pasien harus
langsung dirawat di ruang rawat intensif. Untuk pasien dengan serangan berat dan
ancaman henti napas, langsung dibuat foto Rontgen thoraks guna komplikasi
pneumotoraks dan/atau pneumomediastinum.(6,7)
19
hari. Jika dalam 12 jam klinis tetap baik, maka pasien dipulangkan dan dibekali
obat seperti pasien serangan ringan yang dipulangkan dari klinik/ UGD. Bila
dalam 12 jam responnya tetap tidak baik, maka pasien dialih rawat ke ruang rawat
inap dengan tatalaksana serangan asma berat.(6,7)
20
Kriteria pasien yang memerlukan perawatan di ICU adalah(6) :
Tidak ada respons sama sekali terhadap tatalaksana awal di UGD dan/atau
perburukan asma yang cepat.
Adanya kebingungan, disorientasi, dan tanda lain ancaman henti napas atau
hilangnya kesadaran.
Tidak ada perbaikan dengan tatalaksana di ruang rawat inap.
Ancaman henti napas : hipoksemia tetap terjadi walaupun sudah diberikan
oksigen (Kadar PaO2 <60 mmHg dan/atau PaCO2 > 45 mmHg, walaupun
tentu saja gagal napas dapat terjadi dalam kadar PaCO2 yang lebih tinggi atau
lebih rendah).
2.9 PROGNOSIS
Beberapa studi menemukan bahwa banyak bayi dengan wheezing tidak berlanjut
menjadi asma pada masa anak-anak dan remajanya. Proporsi kelompok tersebut
berkisar antara 45% hingga 85%, tergantung besarnya sampel studi, tipe studi, dan
lamanya pementauan. Adanya asma pada orang tua dan dermatitis atopik pada
anak dengan wheezing merupakan salah satu indikator penting untuk terjadinya
asma dikemudian hari. Apabila terdapat kedua hal tersebut, maka kemungkinan
menjadi asma lebih besar atau terdapat salah satu di atas disertai dengan 2 dari 3
keadaan berikut yaitu eosinofia, rinitis alergika, dan wheezing yang menetap pada
keadaan bukan flu.(6)
21