DEFINISI
Diabetes Melitus (DM) merupakan kumpulan gejala yang timbul pada seseorang
karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat kekurangan insulin baik absolut
maupun relatif.
Diabetes Melitus (DM) bukan penyakit yang disebabkan oleh satu faktor, tetapi
merupakan suatu sindrom yang disebabkan oleh banyak faktor (multifaktor). DM
dikarakterisasi oleh hiperglikemia kronik karena penurunan kerja insulin pada jaringan target
(disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, resistensi insulin atau keduanya). Penurunan
kerja insulin ini berhubungan dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein
pada jaringan termasuk hati.
2.2. EPIDEMIOLOGI
Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu penyakit endokrin yang paling sering
ditemukan dan diperkirakan diderita oleh 120 juta orang di seluruh dunia. Saat ini angka
kejadian DM diperkirakan akan terus meningkat. Berbagai penelitian di Indonesia
menunjukkan peningkatan prevalensi dari 1.5-2.3% menjadi 5.7% pada penduduk usia lebih
dari 15 tahun.
Diabetes Melitus (DM) sering disebut sebagai the great initator karena penyakit ini
dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. DM yang
tidak ditangani dapat mengakibatkan berbagai penyulit atau komplikasi yang meliputi
komplikasi akut dan kronik.
Prevalensi Diabetes melitus (DM) tipe 2 pada bangsa kulit putih berkisar antara 3-6%
dari orang dewasanya. Angka ini merupakan baku emas untuk membandingkan kekerapan
diabetes antar berbagai kelompok etnik di seluruh dunia. Dengan demikian kita dapat
membandingkan prevalensi di suatu negara atau suatu kelompok etnis tertentu dengan
kelompok etnis kulit putih pada umumnya. Misalnya di negara-negara berkembang yang laju
pertumbuhan eknominya sangat meningkat dibanding dengan 10 tahun yang lalu.
2.3. KLASIFIKASI
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010 diabetes melitus dibagi menjadi
4 berdasarkan etiologinya yakni :
2. Diabetes melitus tipe 2 (DMT2) karena defek sekresi insulin dan/atau resistensi
insulin.
4. Diabetes melitus tipe lain yang disebabkan oleh penyakit endokrin pankreas,
endokrinopati, penggunaan obat atau zat kimia, infeksi maupun kelainan imunologi.
2.4. PATOFISIOLOGI
Tubuh memerlukan bahan untuk membentuk sel baru dan mengganti sel yang rusak.
Di samping itu tubuh juga memerlukan energi supaya sel tubuh berfungsi dengan baik.
Energi pada ”mesin” tubuh manusia berasal dari bahan makanan yang dimakan sehari-hari,
yang terdiri dari karbohidrat, protein dan lemak.
Supaya dapat berfungsi sebagai bahan bakar, zat makanan harus masuk dulu ke dalam
sel untuk dapat diolah. Di dalam sel, zat makanan terutama glukosa dibakar melalui proses
kimia yang rumit, yang hasil akhirnya adalah timbulnya energi. Proses ini disebut
metabolisme. Dalam proses metabolisme itu insulin memegang peranan yang sangat penting
yaitu bertugas memasukkan glukosa ke dalam sel, untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai
bahan bakar. Insulin ini adalah suatu zat atau hormon yang dikeluarkan oleh sel beta pankreas
.
Diabetes Melitus (DM) tipe 1 disebabkan adanya reaksi otoimun yang disebabkan
oleh peradangan pada sel beta. Ini menyebabkan timbulnya antibodi terhadap sel beta yang
disebut Islet Cell Antibody (ICA). Reaksi antigen (sel beta) dengan antibodi (ICA)
menyebabkan hancurnya sel beta.
Pada Diabetes Melitus (DM) tipe 2 jumlah insulin normal, malah mungkin lebih
banyak tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang kurang.
Reseptor insulin ini dapat diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk ke dalam sel. Pada
keadaan tadi jumlah lubang kuncinya yang kurang, hingga meskipun anak kuncinya (insulin)
banyak, tetapi karena lubang kuncinya (reseptor) kurang, maka glukosa yang masuk akan
sedikit, sehingga sel akan kekurangan bahan bakar (glukosa) dan glukosa dalam pembuluh
darah meningkat. Keadaan ini disebut sebagai resistensi insulin.
Penyebab resistensi insulin pada NIDDM sebenarnya tidak begitu jelas tetapi faktor-
faktor di bahwa ini banyak berperan :
Obesitas terutama yang berbentuk sentral
Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat
Kurang gerak badan
Faktor keturunan (herediter)
Perjalan penyakit antara Diabetes Melitus (DM) tipe 1 dan DM tipe 2 tidak sama.
Demikian juga pengobatannya. Oleh karena itu ada baiknya bila diketahui sedikit tentang
perbedaannya, karena ada dampaknya pada rencana pengobatan.
Tabel 2.
Perbandingan antara DM tipe 1 dan DM tipe 2
DM Tipe 1 DM Tipe 2
Onset (umur) Biasanya < 40 tahun Biasanya > 40 tahun
Keadaan klinis saat Berat Ringan
diagnosis
Kadar Insulin Tak ada insulin Insulin normal atau
tinggi
Berat badan Biasanya kurus Biasanya gemuk atau
normal
Pengobatan Insulin, diet, olahraga Diet, olahraga, tablet,
insulin
2.7. PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatnya kualitas hidup
Diabetes Melitus (DM).
Tujuan penatalaksanaan
A. Jangka pendek : hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman dan
tercapainya target pengendalian glukosa darah.
B. Jangka panjang : tercegah dan terhambatnya progresivitas penyulit mikroangiopati,
makroangiopati, dan neuropati. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas
dan maortalitas dini DM.
Pengelolaan Diabetes Melitus (DM) dimulai dengan terapi gizi medis dan latihan
jasmani selama beberapa waktu (2 – 4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum
mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO)
dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal
atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat,
misalnya ketoasidosis berat, stres berat, berat adan yang menurun dengan cepat, adanya
ketonuria, insulin dapat segera diberikan. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri tanda dan
gejala hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan pada pasien, sedangkan
pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan
khusus
I. Edukasi
Edukasi yang diberikan kepada pasien meliputi pemahaman tentang :
- Perjalanan penyakit DM
- Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM
- Penyulit DM dan risikonya
- Intervensi farmakologis dan non-farmakologis serta target perawatan
- Interaksi antara asupan makanan, aktifitas fisik, dan obat hipoglikemik oral atau
insulin serta obat-obatan lain
- Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau urin
mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah mandiri tidak tersedia)
- Mengatasi sementara keadaan gawat darurat seperti rasa sakit, atau hipoglikemia
- Pentingnya latihan jasmani yang teratur
- Masalah khusus yang dihadapi ( missal : hiperglikemia pada kehamilan)
- Pentingnya perawatan diri
- Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan
Lemak
- Dianjurkan sekitar 20 – 25% kebutuhan kalori
- Lemak jenuh < 7% kebutuhan kalori
- Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh
tunggal
- Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak
jenuh dan lemak trans antara lain : daging berlemak dan susu penuh (whole
milk)
- Anjuran konsumsi kolesterol < 300 mg/hari. Diusahakan lemak berasal dari
sumber asam lemak tidak jenuh (MUFA / Mono Unsaturated Fatty Acid),
membatasi PUFA (Poly Unsaturated Acid) dan asam lemak jenuh
Protein
- Dibutuhkan sebesar 15 – 20% total asupan energi
- Sumber protein yang baik adalah ikan, seafood, daging tanpa lemak, ayam tanpa
kulit, produk susu rendah lemak, kacang dan kacang-kacangan, tahu, tempe
- Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/kg
BB/hari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai biologik
tinggi
Garam
- Sama dengan anjuran untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg
atau sama dengan 6 – 7 g (1 sendok teh) garam dapur
- Pembatasan natrium sampai 2400 mg atau sama dengan 6g/hari terutama pada
mereka yang hipertensi
Serat
- Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 g/hari, diutamakan serat larut
Pemanis
- Batasi penggunaan pemanis bergizi
- Fruktosa tidak dianjurkan karena efek samping pada lipid plasma
- Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman
B. Kebutuhan kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan diabetisi.
Diantaranya adalah dengan perhitungan berdasarkan kebutuhan kalori basal
sebesar 25-30 kalori / kg BB ideal, ditambah dan dikurangi bergantung pada
beberapa faktor, yaitu jenis kelamin, umur, aktifitas, berat badan, dll.
Perhitungan berat badan ideal ( BBI ) menurut Broca yang dimodifikasi adalah
sebagai berikut :
Berat badan ideal = 90 % x ( TB dalam cm - 100) x 1 kg
Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150
cm, rumus modifikasi menjadi : ( TB dalam cm – 100) x 1 kg
BB Normal : BB ideal ± 10 %
Kurus : < BBI – 10 %
Gemuk : > BBI + 10 %
Penentuan status gizi dapat digunakan
BMI / Body Mass Index = IMT / Indeks Masa Tubuh dan Rumus Broca.
BB ( Kg )
IMT =
TB ( M2 )
Klasifikasi IMT :
BB Kurang < 18,5
BB Normal 18,5 – 22,9
BB lebih ≥ 23,0
Dengan risiko 23,0 – 24,9
Obes I 25,0 – 29,9
Obes II ≥ 30
Berat badan
- Bila kegemukan dikurangi 20 – 30 % bergantung pada tingkat
kegemukan
-Bila kurus ditambah 20 – 30 % sesuai dengan kebutuhan untuk
meningkatkan BB
-Untuk tujuan penurunan BB jumlah kalori yang diberikan paling sedikit
1000 – 1200 kkal / hari untukwanita dan 1200 – 1600 kkal / hari untuk
pria
- Progressive
Latihan dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan dari intensitas ringan
sampai hingga mencapai 30-60 menit.
Sasaran Heart Rate = 75-85 % dari Maksimum Heart Rate
Maksimum Heart Rate = 220-umur
- Endurance
Latihan daya tahan untuk meningkatkan kemampuan kardiorespirasi, seperti jalan
(jalan santai/cepat, sesuai umur), jogging, berenang dan bersepeda.
Hal yang perlu diperhatikan dalam latihan jasmani ini adalah jangan sampai
memulai olah raga sebelum makan, harus menggunakan sepatu yang pas,
didampingi oleh orang yang tahu bagaimana cara mengatasi hipoglikemia, harus
membawa permen, membawa tanda pengenal sebagai pasien DM dalam
pengobatan, dan memeriksa kaki dengan cermat setelah berolahraga.
Sedapat mungkin mencapai zona sasaran atau zona latihan yaitu 75-85% denyut
nadi maksimal yang dapat dihitung dengan cara sbb :
Kegiatan jasmani sehari – hari dan latihan jasmani secara teratur ( 3 – 4 kali
seminggu selama ± 30 menit ) merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM
tipe 2. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan
berat badan dan memperbaiki sensitifitas insulin, sehingga akan memperbaiki
kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani
aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan
jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani.
Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas – malasan.
IV. Terapi Farmakologis
Intervesi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai
dengan TGM dan latihan jasmani.
1. Obat Hipoglikemik Oral ( OHO )
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan
(Sudoyo Aru, 2006) :
A. Pemicu sekresi insulin (insuline secretagogue): sulfonilurea dan glinid
B. Penambah sensitifitas terhadap insulin : metformin, tiazolidindion
C. Penghambat glukoneogenesis : metformin
D. Pengambat absorpsi glukosa : penghambat glukosidase α
1) SULFONILUREA
Digunakan untuk pengobatan Diabetes Melitus (DM) tipe 2 sejak tahun
1950-an. Obat ini digunakan sebagai terapi farmakologis pada awal pengobatan
diabetes dimulai, terutama bila konsentrasi glukosa tinggi dan sudah terjadi
gangguan pada sekresi insulin. Sulfonilurea sering digunakan sebagai terapi
kombinasi karena kemampuannya untuk meningkatkan atau mempertahankan
sekresi insulin.
Mekanisme kerja efek hipoglikemia sulfonilurea adalah dengan
merangsang channel K yang tergantung pada ATP dari sel beta pankreas. Bila
sulfonilurea terikat pada reseptor (SUR) pada channel tersebut maka akan terjadi
penutupan. Keadaan ini menyebabkan penurunan permeabilitas K pada membran
dan membuka channel Ca tergantung voltase, dan menyebabkan peningkatan Ca
intrasel. Ion Ca akan terikat pada Calmodilun dan menyebabkan eksositosis granul
yang mengandung insulin.
Golongan obat ini bekerja dengan merangsang sel beta pankreas untuk
melepaskan insulin yang tersimpan. Oleh karena itu hanya bermanfaat untuk
pasien yang masih mempunyai kemampuan untuk sekresi insulin. Golongan obat
ini tidak dapat dipakai pada diabetes mellitus tipe 1.
Pemakaian sulfonilurea umumnya selalu dimulai dengan dosis rendah,
untuk menghindari kemungkinan hipoglikemia. Pada keadaan tertentu dimana
kadar glukosa darah sangat tinggi, dapat diberikan sulfonilurea dengan dosis yang
lebih besar dengan perhatian khusus bahwa dalam beberapa hari sudah dapat
diperoleh efek klinis yang jelas dan dalam 1 minggu sudah terjadi penurunan
kadar glukosa darah yang cukup bermakna.
Bila konsentrasi glukosa puasa < 200mg/dl, Sulfonilurea sebaiknya
dimulai dengan pemberian dosis kecil dan titrasi secara bertahap setelah 1-2
minggu sehingga tercapai glukosa darah puasa 90-130mg/dl. Bila glukosa darah
puasa > 200mg/dl dapat diberikan dosis awal yang lebih besar. Obat sebaiknya
diberikan setengah jam sebelum makan karena diserap dengan lebih baik. Pada
obat yang diberikan satu kali sehari sebaiknya diberikan pada waktu makan pagi
atau pada makan makanan porsi terbesar.
2) GLINID
Kerjanya juga melalui reseptor sulfonilurea (SUR) dan mempunyai
struktur yang mirip dengan sulfonilurea tetapi tidak mempunyai efek sepertinya.
Repaglinid (derivat asam benzoat) dan nateglinid (derivat fenilalanin)
kedua-duanya diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan cepat
dikeluarkan melalui metabolisme dalam hati sehingga diberikan 2 sampai 3 kali
sehari.
2) GLITAZONE
Merupakan obat yang juga mempunyai efek farmakologis untuk
meningkatkan sensitivitas insulin. Mekanisme kerja Glitazone (Thiazolindione)
merupakan agonist peroxisome proliferators-activated receptor gamma (PPAR)
yang sangat selektif dan poten. Reseptor PPAR gamma terdapat di jaringan target
kerja insulin seperti jaringan adiposa, otot skelet dan hati, sedang reseptor pada
organ tersebut merupakan regulator homeostasis lipid, diferensiasi adiposit dan
kerja insulin.
Glitazone diabsorbsi dengan cepat dan konsentrasi tertinggi ter jadi setelah
1-2 jam dan makanan tidak mempengaruhi farmakokinetik obat ini. Waktu paruh
berkisar antara 3-4 jam bagi rosiglitazone dan 3-7 jam bagi pioglitazone.
Secara klinik rosiglitazone dengan dosis 4 dan 8 mg/hari (dosis tunggal
atau dosis terbagi 2 kali sehari) memperbaiki konsentrasi glukosa puasa sampai 55
mg/dl dan A1C sampai 1,5% dibandingkan dengan placebo. Sedang pioglitazone
juga mempunyai kemampuan menurunkan glukosa darah bila digunakan sebagai
monoterapi atau sebagai terapi kombinasi dengan dosis sampai 45 mg/dl dosis
tunggal. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung
kelas I – IV karena dapat memperberat udem / retensi cairan dan juga pada
gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan
pemantauan faal hati secara berkala. Saat ini tiazolidindion tidakdigunakan
sebagai obat tunggal.
C. Penghambat Glukoneogenesis
1) METFORMIN
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), disamping juga memperbaiki ambilan perifer. Terutama
dipakai pada diabetisi gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum > 1,5) dan hati, serta pasien – pasien
dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis,
syok, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk
mengurangi efek samping tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan.
Tabel 5
Mekanisme kerja, efek samping utama dan pengaruh OHO terhadap penurunan A1C
( Hb-glikosilat )
Tabel 6
Terapi kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk
kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa darah.
Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat
dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi. Terapi OHO dengan
kombinasi harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai
mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat
pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi
OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai alasan klinik dimana insulin tidak
memungkinkan untuk dipakai, dipilih terapi kombinasi dengan tiga OHO.
Untuk kombinasi OHO dengan insulin, yang banyak dipergunakan adalah
kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja sedang / panjang) yang diberikan
pada malam hari menjelang tidur. (PERKENI, 2006)
2.8 KOMPLIKASI
Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi penyulit akut dan menahun
(Sudoyo Aru, 2006).
I. Penyulit akut
Penyulit akut DM sampai saat ini masih merupakan kegawatan yang harus
ditangani dengan tepat dan benar karena hanya dengan cara itulah angka
kematiannya dapat ditekan serendah mungkin.
Ketoasidosis diabetik
Hiperosmolar nonketotik
Hipoglikemia
2.9. PROGNOSIS
Sekitar 60% pasien DM yang mendapat insulin dapat bertahan hidup seperti orang
normal, sisanya dapat mengalami kebutaan, gagal ginjal kronis, dan kemungkinan untuk
meninggal lebih cepat( Mansjoer, 2001).
DAFTAR PUSTAKA
Gustaviani Reno. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 4th. Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2006; 1857-9.
Soegondo S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 4th . Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta: 2006; Hal 1860-3.
Sudoyo Aru.W, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed IV, jl III.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2006