Anda di halaman 1dari 22

2.1.

DEFINISI
Diabetes Melitus (DM) merupakan kumpulan gejala yang timbul pada seseorang
karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat kekurangan insulin baik absolut
maupun relatif.
Diabetes Melitus (DM) bukan penyakit yang disebabkan oleh satu faktor, tetapi
merupakan suatu sindrom yang disebabkan oleh banyak faktor (multifaktor). DM
dikarakterisasi oleh hiperglikemia kronik karena penurunan kerja insulin pada jaringan target
(disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, resistensi insulin atau keduanya). Penurunan
kerja insulin ini berhubungan dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein
pada jaringan termasuk hati.

2.2. EPIDEMIOLOGI
Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu penyakit endokrin yang paling sering
ditemukan dan diperkirakan diderita oleh 120 juta orang di seluruh dunia. Saat ini angka
kejadian DM diperkirakan akan terus meningkat. Berbagai penelitian di Indonesia
menunjukkan peningkatan prevalensi dari 1.5-2.3% menjadi 5.7% pada penduduk usia lebih
dari 15 tahun.
Diabetes Melitus (DM) sering disebut sebagai the great initator karena penyakit ini
dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. DM yang
tidak ditangani dapat mengakibatkan berbagai penyulit atau komplikasi yang meliputi
komplikasi akut dan kronik.
Prevalensi Diabetes melitus (DM) tipe 2 pada bangsa kulit putih berkisar antara 3-6%
dari orang dewasanya. Angka ini merupakan baku emas untuk membandingkan kekerapan
diabetes antar berbagai kelompok etnik di seluruh dunia. Dengan demikian kita dapat
membandingkan prevalensi di suatu negara atau suatu kelompok etnis tertentu dengan
kelompok etnis kulit putih pada umumnya. Misalnya di negara-negara berkembang yang laju
pertumbuhan eknominya sangat meningkat dibanding dengan 10 tahun yang lalu.
2.3. KLASIFIKASI

Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010 diabetes melitus dibagi menjadi
4 berdasarkan etiologinya yakni :

1. Diabetes melitus tipe 1 (DMT1) karena defisiensi insulin absolut.

2. Diabetes melitus tipe 2 (DMT2) karena defek sekresi insulin dan/atau resistensi
insulin.

3. Diabetes melitus gestasional pada saat kehamilan

4. Diabetes melitus tipe lain yang disebabkan oleh penyakit endokrin pankreas,
endokrinopati, penggunaan obat atau zat kimia, infeksi maupun kelainan imunologi.

2.4. PATOFISIOLOGI
Tubuh memerlukan bahan untuk membentuk sel baru dan mengganti sel yang rusak.
Di samping itu tubuh juga memerlukan energi supaya sel tubuh berfungsi dengan baik.
Energi pada ”mesin” tubuh manusia berasal dari bahan makanan yang dimakan sehari-hari,
yang terdiri dari karbohidrat, protein dan lemak.
Supaya dapat berfungsi sebagai bahan bakar, zat makanan harus masuk dulu ke dalam
sel untuk dapat diolah. Di dalam sel, zat makanan terutama glukosa dibakar melalui proses
kimia yang rumit, yang hasil akhirnya adalah timbulnya energi. Proses ini disebut
metabolisme. Dalam proses metabolisme itu insulin memegang peranan yang sangat penting
yaitu bertugas memasukkan glukosa ke dalam sel, untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai
bahan bakar. Insulin ini adalah suatu zat atau hormon yang dikeluarkan oleh sel beta pankreas
.
Diabetes Melitus (DM) tipe 1 disebabkan adanya reaksi otoimun yang disebabkan
oleh peradangan pada sel beta. Ini menyebabkan timbulnya antibodi terhadap sel beta yang
disebut Islet Cell Antibody (ICA). Reaksi antigen (sel beta) dengan antibodi (ICA)
menyebabkan hancurnya sel beta.
Pada Diabetes Melitus (DM) tipe 2 jumlah insulin normal, malah mungkin lebih
banyak tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang kurang.
Reseptor insulin ini dapat diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk ke dalam sel. Pada
keadaan tadi jumlah lubang kuncinya yang kurang, hingga meskipun anak kuncinya (insulin)
banyak, tetapi karena lubang kuncinya (reseptor) kurang, maka glukosa yang masuk akan
sedikit, sehingga sel akan kekurangan bahan bakar (glukosa) dan glukosa dalam pembuluh
darah meningkat. Keadaan ini disebut sebagai resistensi insulin.
Penyebab resistensi insulin pada NIDDM sebenarnya tidak begitu jelas tetapi faktor-
faktor di bahwa ini banyak berperan :
 Obesitas terutama yang berbentuk sentral
 Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat
 Kurang gerak badan
 Faktor keturunan (herediter)

2.5. MANIFESTASI KLINIK


Gejala klasik Diabetes Melitus (DM) adalah rasa haus yang berlebihan (polidipsi),
sering kencing terutama pada malam hari (poliuri), banyak makan (polifagi) serta berat badan
yang turun dengan cepat. Di samping itu kadang-kadang ada keluhan lemah, kesemutan pada
jari tangan dan kaki, cepat lapar, gatal-gatal, penglihatan kabur, gairah seks menurun, luka
sukar sembuh dan pada ibu-ibu sering melahirkan bayi di atas 4 kg.

Perjalan penyakit antara Diabetes Melitus (DM) tipe 1 dan DM tipe 2 tidak sama.
Demikian juga pengobatannya. Oleh karena itu ada baiknya bila diketahui sedikit tentang
perbedaannya, karena ada dampaknya pada rencana pengobatan.
Tabel 2.
Perbandingan antara DM tipe 1 dan DM tipe 2
DM Tipe 1 DM Tipe 2
Onset (umur) Biasanya < 40 tahun Biasanya > 40 tahun
Keadaan klinis saat Berat Ringan
diagnosis
Kadar Insulin Tak ada insulin Insulin normal atau
tinggi
Berat badan Biasanya kurus Biasanya gemuk atau
normal
Pengobatan Insulin, diet, olahraga Diet, olahraga, tablet,
insulin

2.6. DIAGNOSIS DIABETES MELITUS


Diagnosis Diabetes Melitus (DM) ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa
darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan
diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa
secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole
blood) vena ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka-angka
kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO.
Keterangan :
GDP = Glukosa Darah Puasa
GDS = Glukosa Darah Sewaktu
GDPT = Glukosa Darah Puasa Terganggu

TGT = Toleransi Glukosa Terganggu

2.7. PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatnya kualitas hidup
Diabetes Melitus (DM).

Tujuan penatalaksanaan
A. Jangka pendek : hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman dan
tercapainya target pengendalian glukosa darah.
B. Jangka panjang : tercegah dan terhambatnya progresivitas penyulit mikroangiopati,
makroangiopati, dan neuropati. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas
dan maortalitas dini DM.

Pilar penatalaksanaan Diabetes Melitus.


1. Edukasi
2. Terapi gizi medis
3. Latihan jasmani
4. Intervensi farmakologis

Pengelolaan Diabetes Melitus (DM) dimulai dengan terapi gizi medis dan latihan
jasmani selama beberapa waktu (2 – 4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum
mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO)
dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal
atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat,
misalnya ketoasidosis berat, stres berat, berat adan yang menurun dengan cepat, adanya
ketonuria, insulin dapat segera diberikan. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri tanda dan
gejala hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan pada pasien, sedangkan
pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan
khusus
I. Edukasi
Edukasi yang diberikan kepada pasien meliputi pemahaman tentang :
- Perjalanan penyakit DM
- Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM
- Penyulit DM dan risikonya
- Intervensi farmakologis dan non-farmakologis serta target perawatan
- Interaksi antara asupan makanan, aktifitas fisik, dan obat hipoglikemik oral atau
insulin serta obat-obatan lain
- Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau urin
mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah mandiri tidak tersedia)
- Mengatasi sementara keadaan gawat darurat seperti rasa sakit, atau hipoglikemia
- Pentingnya latihan jasmani yang teratur
- Masalah khusus yang dihadapi ( missal : hiperglikemia pada kehamilan)
- Pentingnya perawatan diri
- Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan

II. Terapi gizi medis (TGM)


- Setiap diabetisi sebaiknya mendapat TGM sesuai dengan kebutuhannya guna
mencapai target terapi
- prinsip pengaturan makan pada diabetisi hampir sama dengan anjuran makan
untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan
kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada diabetisi perlu
ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan
jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa
darah atau insulin.

A. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari :


Karbohidrat
- Dianjurkan sebesar 45-65 % total asupan energi
- Pembatasan karbohidrat total < 130 g/hari tidak dianjurkan
- Makanan harus mengandung lebih banyak karbohidrat terutama yang berserat
tinggi
- Sukrosa todak boleh lebih dari 10% total asupan energi
- Sedikit gula dapat dikonsumsi sebagai bagian dari perencanaan makan yang
sehat dan pemanis non-nutrisi dapat digunakan sebagai pengganti jumlah besar
gula misalnya pada minuman ringan dan permen
- Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam sehari

Lemak
- Dianjurkan sekitar 20 – 25% kebutuhan kalori
- Lemak jenuh < 7% kebutuhan kalori
- Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh
tunggal
- Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak
jenuh dan lemak trans antara lain : daging berlemak dan susu penuh (whole
milk)
- Anjuran konsumsi kolesterol < 300 mg/hari. Diusahakan lemak berasal dari
sumber asam lemak tidak jenuh (MUFA / Mono Unsaturated Fatty Acid),
membatasi PUFA (Poly Unsaturated Acid) dan asam lemak jenuh

Protein
- Dibutuhkan sebesar 15 – 20% total asupan energi
- Sumber protein yang baik adalah ikan, seafood, daging tanpa lemak, ayam tanpa
kulit, produk susu rendah lemak, kacang dan kacang-kacangan, tahu, tempe
- Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/kg
BB/hari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai biologik
tinggi

Garam
- Sama dengan anjuran untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg
atau sama dengan 6 – 7 g (1 sendok teh) garam dapur
- Pembatasan natrium sampai 2400 mg atau sama dengan 6g/hari terutama pada
mereka yang hipertensi

Serat
- Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 g/hari, diutamakan serat larut

Pemanis
- Batasi penggunaan pemanis bergizi
- Fruktosa tidak dianjurkan karena efek samping pada lipid plasma
- Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman

B. Kebutuhan kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan diabetisi.
Diantaranya adalah dengan perhitungan berdasarkan kebutuhan kalori basal
sebesar 25-30 kalori / kg BB ideal, ditambah dan dikurangi bergantung pada
beberapa faktor, yaitu jenis kelamin, umur, aktifitas, berat badan, dll.

Perhitungan berat badan ideal ( BBI ) menurut Broca yang dimodifikasi adalah
sebagai berikut :
 Berat badan ideal = 90 % x ( TB dalam cm - 100) x 1 kg
 Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150
cm, rumus modifikasi menjadi : ( TB dalam cm – 100) x 1 kg
BB Normal : BB ideal ± 10 %
Kurus : < BBI – 10 %
Gemuk : > BBI + 10 %
Penentuan status gizi dapat digunakan
BMI / Body Mass Index = IMT / Indeks Masa Tubuh dan Rumus Broca.

BB ( Kg )

IMT =
TB ( M2 )

Klasifikasi IMT :
 BB Kurang < 18,5
 BB Normal 18,5 – 22,9
 BB lebih ≥ 23,0
 Dengan risiko 23,0 – 24,9
 Obes I 25,0 – 29,9
 Obes II ≥ 30

Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain :


 Jenis kelamin
Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil dari pada pria. Kebutuhan kalori wanita
sebesar 25 kal / kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal / kg BB
 Umur
Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5 % untuk dekade
antara 40 an 59 tahun, dikurangi 10 % untuk usia 60 s/d 69 tahun, dan dikurangi
20 % untuk usia diatas 70 tahun

 Aktifitas fisik atau pekerjaan


Penambahan 10 % dari kebutuhan basal diberikan pada keadaan istirahat, 20 %
pada pasien dengan aktifitas ringan, 30 % dengan aktifitas sedang, dan 50 %
dengan aktifitas sangat berat

 Berat badan
- Bila kegemukan dikurangi 20 – 30 % bergantung pada tingkat
kegemukan
-Bila kurus ditambah 20 – 30 % sesuai dengan kebutuhan untuk
meningkatkan BB
-Untuk tujuan penurunan BB jumlah kalori yang diberikan paling sedikit
1000 – 1200 kkal / hari untukwanita dan 1200 – 1600 kkal / hari untuk
pria

Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi


dalam 3 porsi besar untuk makan pagi( 20 % ), siang ( 30 % )dan sore ( 25 % )
serta 2 – 3 porsi makan ringan ( 10 – 15 % ) diantaranya. Untuk meningkatkan
kepatuhan pasien, sejauh mungkin perubahan dilakukan secara bertahap
disesuaikan dengan kebiasaan. Untuk diabetisi yang mengidap penyakit lain, pola
pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit penyertanya.

III. Latihan jasmani


Dianjurkan latihan jasmani teratur 3-4 kali tiap minggu selama + 30 menit yang
sifatnya CRIPE ( Continous Rhytmical Interval Progressive Endurace training ).
- Continous
Latihan harus berkesinambungan dan dilakukan terus-menerus tanpa henti. Contoh
: bila dipilih jogging 30 menit, maka selama 30 menit pasien melakukan jogging
tanpa istirahat.
- Rytmical
Latihan olah raga harus dipilih yang berirama, yaitu otot-otot berkontraksi dan
berelaksasi secara teratur.
- Interval
Latihan dilakukan selang-seling antara gerak cepat dan lambat. Contoh : jalan
cepat diselingi dengan jalan lambat, dsb.

- Progressive
Latihan dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan dari intensitas ringan
sampai hingga mencapai 30-60 menit.
Sasaran Heart Rate = 75-85 % dari Maksimum Heart Rate
Maksimum Heart Rate = 220-umur
- Endurance
Latihan daya tahan untuk meningkatkan kemampuan kardiorespirasi, seperti jalan
(jalan santai/cepat, sesuai umur), jogging, berenang dan bersepeda.

Hal yang perlu diperhatikan dalam latihan jasmani ini adalah jangan sampai
memulai olah raga sebelum makan, harus menggunakan sepatu yang pas,
didampingi oleh orang yang tahu bagaimana cara mengatasi hipoglikemia, harus
membawa permen, membawa tanda pengenal sebagai pasien DM dalam
pengobatan, dan memeriksa kaki dengan cermat setelah berolahraga.

Sedapat mungkin mencapai zona sasaran atau zona latihan yaitu 75-85% denyut
nadi maksimal yang dapat dihitung dengan cara sbb :

DNM = 220 – Umur ( dalam Tahun )

Kegiatan jasmani sehari – hari dan latihan jasmani secara teratur ( 3 – 4 kali
seminggu selama ± 30 menit ) merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM
tipe 2. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan
berat badan dan memperbaiki sensitifitas insulin, sehingga akan memperbaiki
kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani
aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan
jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani.
Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas – malasan.
IV. Terapi Farmakologis
Intervesi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai
dengan TGM dan latihan jasmani.
1. Obat Hipoglikemik Oral ( OHO )
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan
(Sudoyo Aru, 2006) :
A. Pemicu sekresi insulin (insuline secretagogue): sulfonilurea dan glinid
B. Penambah sensitifitas terhadap insulin : metformin, tiazolidindion
C. Penghambat glukoneogenesis : metformin
D. Pengambat absorpsi glukosa : penghambat glukosidase α

A. Golongan Insulin Secretagogues


Insulin secretagogues mempunyai efek hipoglikemik dengan cara stimulasi
sekresi insulin oleh sel beta pankreas.

1) SULFONILUREA
Digunakan untuk pengobatan Diabetes Melitus (DM) tipe 2 sejak tahun
1950-an. Obat ini digunakan sebagai terapi farmakologis pada awal pengobatan
diabetes dimulai, terutama bila konsentrasi glukosa tinggi dan sudah terjadi
gangguan pada sekresi insulin. Sulfonilurea sering digunakan sebagai terapi
kombinasi karena kemampuannya untuk meningkatkan atau mempertahankan
sekresi insulin.
Mekanisme kerja efek hipoglikemia sulfonilurea adalah dengan
merangsang channel K yang tergantung pada ATP dari sel beta pankreas. Bila
sulfonilurea terikat pada reseptor (SUR) pada channel tersebut maka akan terjadi
penutupan. Keadaan ini menyebabkan penurunan permeabilitas K pada membran
dan membuka channel Ca tergantung voltase, dan menyebabkan peningkatan Ca
intrasel. Ion Ca akan terikat pada Calmodilun dan menyebabkan eksositosis granul
yang mengandung insulin.
Golongan obat ini bekerja dengan merangsang sel beta pankreas untuk
melepaskan insulin yang tersimpan. Oleh karena itu hanya bermanfaat untuk
pasien yang masih mempunyai kemampuan untuk sekresi insulin. Golongan obat
ini tidak dapat dipakai pada diabetes mellitus tipe 1.
Pemakaian sulfonilurea umumnya selalu dimulai dengan dosis rendah,
untuk menghindari kemungkinan hipoglikemia. Pada keadaan tertentu dimana
kadar glukosa darah sangat tinggi, dapat diberikan sulfonilurea dengan dosis yang
lebih besar dengan perhatian khusus bahwa dalam beberapa hari sudah dapat
diperoleh efek klinis yang jelas dan dalam 1 minggu sudah terjadi penurunan
kadar glukosa darah yang cukup bermakna.
Bila konsentrasi glukosa puasa < 200mg/dl, Sulfonilurea sebaiknya
dimulai dengan pemberian dosis kecil dan titrasi secara bertahap setelah 1-2
minggu sehingga tercapai glukosa darah puasa 90-130mg/dl. Bila glukosa darah
puasa > 200mg/dl dapat diberikan dosis awal yang lebih besar. Obat sebaiknya
diberikan setengah jam sebelum makan karena diserap dengan lebih baik. Pada
obat yang diberikan satu kali sehari sebaiknya diberikan pada waktu makan pagi
atau pada makan makanan porsi terbesar.

2) GLINID
Kerjanya juga melalui reseptor sulfonilurea (SUR) dan mempunyai
struktur yang mirip dengan sulfonilurea tetapi tidak mempunyai efek sepertinya.
Repaglinid (derivat asam benzoat) dan nateglinid (derivat fenilalanin)
kedua-duanya diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan cepat
dikeluarkan melalui metabolisme dalam hati sehingga diberikan 2 sampai 3 kali
sehari.

B. Golongan Insulin Sensitizing


1) BIGUANID
Saat ini golongan biguanid yang banyak dipakai adalah metformin.
Metformin terdapat dalam konsentrasi yang tinggi didalam usus dan hati, tidak
dimetabolisme tetapi secara cepat dikeluarkan melalui ginjal. Oleh karena itu
metformin biasanya diberikan dua sampai tiga kali sehari kecuali dalam bentuk
extended release.
Efek samping yang dapat terjadi adalah asidosis laktat, dan untuk
menghindarinya sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal (kreatinin >1,3mg/dl pada perempuan dan >1,5mg/dl pada laki-laki) atau
pada gangguan fungsi hati dan gagal jantung serta harus diberikan dengan hati-
hati pada orang usia lanjut.
Mekanisme kerja metformin menurunkan glukosa darah melalui
pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat seluler, distal reseptor insulin dan
menurunkan produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan pemakaian glukosa
oleh usus sehigga menurunkan glukosa darah dan menghambat absorpsi glukosa
di usus sesudah asupan makan. Setelah diberikan secara oral, metformin akan
mencapai kadar tertingi dalam darah setelah 2 jam dan diekskresi lewat urin dalam
keadaan utuh dengan waktu paruh 2,5 jam.
Metformin dapat menurunkan glukosa darah tetapi tidak akan
menyebabkan hipoglikemia sehingga tidak dianggap sebagai obat hipoglikemik,
tetapi obat antihiperglikemik. Metformin tidak meyebabkan kenaikan berat badan.
Kombinasi sulfonilurea dengan metformin saat ini merupakan kombinasi
yang rasional karena mempunyai cara kerja sinergis sehingga kombinasi ini dapat
menurunkan glukosa darah lebih banyak daripada pengobatan tuggal masing-
masing, baik pada dosis maksimal keduanya maupun pada kombinasi dosis
rendah.
Pemakaian kombinasi dengan sulfonilurea sudah dapat dianjurkan sejak
awal pengelolaan diabetes, berdasarkan hasil penelitian UKPDS (United Kingdom
Prospective Diabetes Study) dan hanya 50 persen pasien DM tipe 2 yang
kemudian dapat dikendalikan dengan pengobatan tungal metformin atau
sulfonylurea sampai dosis maksimal.
Kombinasi metformin dan insulin juga dapat dipertimbangkan pada pasien
gemuk dengan glikemia yang sukar dikendalikan. Kombinasi insulin dengan
sulfonilurea lebih baik daripada kombinasi insulin dengan metformin. Penelitian
lain ada yang mendapatkan kombinasi metformin dan insulin lebih baik dibanding
dengan insulin saja.
Karena kemampuannya mengurangi resistensi insulin, mencegah
penambahan berat badan dan memperbaiki profil lipid maka metformin sebagai
monoterapi pada awal pengelolaan diabetes pada orang gemuk dengan
dislipidemia dan resistensi insulin berat merupakan pilihan pertama. Bila dengan
monoterapi tidak berhasil maka dapat dilakukan kombinasi dengan SU atau obat
anti diabetik lain.

2) GLITAZONE
Merupakan obat yang juga mempunyai efek farmakologis untuk
meningkatkan sensitivitas insulin. Mekanisme kerja Glitazone (Thiazolindione)
merupakan agonist peroxisome proliferators-activated receptor gamma (PPAR)
yang sangat selektif dan poten. Reseptor PPAR gamma terdapat di jaringan target
kerja insulin seperti jaringan adiposa, otot skelet dan hati, sedang reseptor pada
organ tersebut merupakan regulator homeostasis lipid, diferensiasi adiposit dan
kerja insulin.
Glitazone diabsorbsi dengan cepat dan konsentrasi tertinggi ter jadi setelah
1-2 jam dan makanan tidak mempengaruhi farmakokinetik obat ini. Waktu paruh
berkisar antara 3-4 jam bagi rosiglitazone dan 3-7 jam bagi pioglitazone.
Secara klinik rosiglitazone dengan dosis 4 dan 8 mg/hari (dosis tunggal
atau dosis terbagi 2 kali sehari) memperbaiki konsentrasi glukosa puasa sampai 55
mg/dl dan A1C sampai 1,5% dibandingkan dengan placebo. Sedang pioglitazone
juga mempunyai kemampuan menurunkan glukosa darah bila digunakan sebagai
monoterapi atau sebagai terapi kombinasi dengan dosis sampai 45 mg/dl dosis
tunggal. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung
kelas I – IV karena dapat memperberat udem / retensi cairan dan juga pada
gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan
pemantauan faal hati secara berkala. Saat ini tiazolidindion tidakdigunakan
sebagai obat tunggal.

C. Penghambat Glukoneogenesis
1) METFORMIN
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), disamping juga memperbaiki ambilan perifer. Terutama
dipakai pada diabetisi gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum > 1,5) dan hati, serta pasien – pasien
dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis,
syok, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk
mengurangi efek samping tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan.

D. Penghambat Alfa Glukosidase ( acarbose )


Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim alfa
glukosidase di dalam saluran cerna sehingga dengan demikian dapat menurunkan
penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia postprandial. Obat ini bekerja
di lumen usus dan tidak menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh
pada kadar insulin. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah kembung
dan flatulen.
Acarbose hampir tidak diabsorbsi dan bekerja local pada saluran
pencernaan. Acarbose mengalami metabolisme di dalam saluran pencernaan,
metabolisme terutama oleh flora mikrobiologis, hidrolisis intestinal dan aktifitas
enzim pencernaan. Waktu paruh eliminasi plasma kira-kira 2 jam pada orang sehat
dan sebagian besar diekskresi melalui feses.
Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Memilih Obat Hipoglikemi Oral:
a. Dosis selalu harus dimulai dengan dosis rendah yang kemudian dinaikkan
secara bertahap.
b. Harus diketahui betul bagaimana cara kerja, lama kerja dan efek samping
obat-obat tersebut (misalnya klorpropamid jangan diberikan 3 kali 1 tablet,
karena lama kerjanya 24 jam).
c. Bila memberikannya bersama obat lain, pikirkan kemungkinan adanya
interaksi obat.
d. Pada kegagalan sekunder terhadap obat hipoglikemik oral, usahakanlah
menggunakan obat oral golongan lain, bila gagal baru beralih kepada
insulin.
e. Usahakan agar harga obat terjangkau oleh pasien.

Tabel 5

Mekanisme kerja, efek samping utama dan pengaruh OHO terhadap penurunan A1C

( Hb-glikosilat )

Golongan Cara kerja utama Efeksamping utama Penurunan A1C


Meningkatkan BB naik,
Sulfonilurea sekresi insulin hipoglikemia 1,5 – 2 %
Meningkatkan BB naik,
Glinid sekresi insulin hipoglikemia 1,5 – 2 %
Menekan produksi Diare, dyspepsia,
glukosa hati & asidosis laktat
Metformin menambah 1,5 – 2 %
sensitifitas terhadap
insulin
Penghambat Menghambat Flatulens, tinja
glukosidase α absorpsi glukosa lembek 0,5 – 1,0 %
Menambah Edema
Tiazolidindion sensitifitas terhadap 1,3%
insulin
Menekan produksi Hipoglikemia, BB
Insulin glukosa hati, naik Potensial sampai
stimulasi normal
pemanfaatan glukosa
Sumber : Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2006

Cara pemberian OHO terdiri dari (PERKENI, 2006) :


 OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan
secara bertahap sesuai respon kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis
hampir maksimal
 Sulfonilurea generasi I & II : 15 – 30 menit sebelum
makan
 Glimepiride : sebelum / sesaat sebelum makan
 Repaglinid, Nateglinid : sebelum / sesaat sebelum
makan
 Metformin : sebelum / pada saat / sesudah makan
karbohidrat
 Acarbose : bersama suapan pertama makan
 Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan

Tabel 6

Obat Hipoglikemik Oral di Indonesia


Golongan Generik Mg/tab Dosis Lama Frek/hari Waktu
harian kerja
Klorpropamid 100-250 100-500 24-36 1
Glibenklamid 2,5 - 5 2,5 - 15 12-24 1–2
Sulfonilurea Glipizid 5 - 10 5 – 2- 10-16 1–2 Sebelum
Glikuidon 30 30 - 120 6-8 2–3 makan
Glimepirid 1,2,3,4 0,5 - 6 24 1
Glinid Repaglinid 0,5,1,2 1,5 - 6 - 3
Nateglinid 120 360 - 3
Tiazolidindion Rosiglitazon 4 4-8 24 1 Tdk
bergantung
Pioglitazon 15,30 15 - 45 24 1 jadwal
makan
Penghambat Acarbose 50-100 100-300 3 Bersama
glukosidase α suapan
pertama
Biguanid Metformin 500-850 250- 6-8 1-3 Bersama/ses
3000 udah makan
Sumber : Sudoyo Aru, 2006

2. INSULIN (Sudoyo Aru, 2006)


Insulin diperlukan pada keadaan :
- Penurunan berat badan yang cepat
- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
- Ketoasidosis diabetik
- Hiperglikemia hiperosmolar nonketotik
- Hiperglikemia dengan asidosis laktat
- Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
- Stres berat ( infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke )
- Diabetes melitus gestasional yang tidak trkendali dengan TGM
- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
- Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yaitu :


- Insulin kerja cepat ( rapid acting insulin )
- Insulin kerja pendek ( short acting insulin )
- Insulin kerja menengah ( intermediate acting insulin )
- Insulin kerja panjang ( long acting insulin )
- Insuln campuran tetap ( premixed insulin )

Efek samping terapi insulin


- Efek samping utama adalah terjadinya hipoglikemia
- Efek samping yang lain berupa reaksi imun terhadap insulin yang dapat
menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin

Terapi kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk
kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa darah.
Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat
dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi. Terapi OHO dengan
kombinasi harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai
mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat
pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi
OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai alasan klinik dimana insulin tidak
memungkinkan untuk dipakai, dipilih terapi kombinasi dengan tiga OHO.
Untuk kombinasi OHO dengan insulin, yang banyak dipergunakan adalah
kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja sedang / panjang) yang diberikan
pada malam hari menjelang tidur. (PERKENI, 2006)

2.8 KOMPLIKASI
Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi penyulit akut dan menahun
(Sudoyo Aru, 2006).
I. Penyulit akut
Penyulit akut DM sampai saat ini masih merupakan kegawatan yang harus
ditangani dengan tepat dan benar karena hanya dengan cara itulah angka
kematiannya dapat ditekan serendah mungkin.
 Ketoasidosis diabetik
 Hiperosmolar nonketotik
 Hipoglikemia

II. Penyulit menahun


1. Makroangiopati, yang melibatkan :
 Pembuluh darah jantung
 Pembuluh darah tepi
 Pembuluh darah otak
2. Mikroangiopati:
 Retinopati diabetik
 Nefropati diabetik
3. Neuropati

2.9. PROGNOSIS
Sekitar 60% pasien DM yang mendapat insulin dapat bertahan hidup seperti orang
normal, sisanya dapat mengalami kebutaan, gagal ginjal kronis, dan kemungkinan untuk
meninggal lebih cepat( Mansjoer, 2001).

DAFTAR PUSTAKA
Gustaviani Reno. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 4th. Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2006; 1857-9.

Mansjoer Arif, dkk. Kapita selekta kedokteran ed III jl I.


Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.Jakarta : 2001

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelelolaan Diabetes Melitus


Tipe 2 di Indonesia. PB Perkeni, Jakarta: 2002; hal 1-19

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus


Tipe 2 Di Indonesia. Semarang: 2006.

Powers C Alvin. Harrison’s Principle of Internal Medicine 16th.


Medical Publishing Division Mc Graw-Hill. North America: 2005.

Soegondo S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed 4 jl 2. Perhimpunan Spesialis


Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta: 2005; Hal 1974-80.

Soegondo S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 4th . Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta: 2006; Hal 1860-3.

Subekti I (2004). Penatalaksanaan diabetes mellitus terpadu. Balai Penerbit Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2004; Hal 217-23.

Sudoyo Aru.W, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed IV, jl III.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2006

Supartondo, Waspadji S. Ilmu Penyakit Dalam. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia. Jakarta: 2003; hal 375-7.

Suyono S. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Penerbit Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia. Jakarta: 2007; Hal 7-14
Yunir Em, Soebardi Suharko. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 4th. Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta: 2006; 1864-7.

Anda mungkin juga menyukai