Anda di halaman 1dari 29

TRAUMA CAPITIS

I. KONSEP PENYAKIT
1.1. Definisi
Trauma capitis adalah bentuk trauma yang dapat mengubah kemampuan otak dalam menghasilkan
keseimbangan aktivitas fisik, intelektual, emosi, sosial atau sebagai gangguan traumatik yang dapat
menimbulkan perubahan pada fungsi otak. (Black, 1997)
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang
terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. (Suriadi, 2003)
Cedera kepala adalah cedera yang menimbulkan kerusakan atau perlukaan pada kulit kepala, tulang
tengkorak, dan jaringan otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan. (Lukman, 1993)

1.2. Etiologi
Penyebab yang sering adalah kecelakaan lalu lintas dan terjatuh. Seiring dengan kemajuan teknologi,
frekuensi cedera kepala cenderung meningkat. Cedera kepala melibatkan kelompok usia produktif yaitu
antara 15-44 tahun dengan usia rata-rata 30 tahun dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki.

Ø Cedera kepala dapat dibagi menurut berat ringannya :


a. Cedera kepala ringan/minor (Hudak & Gallo, 1996)
- GCS : 13-15
- Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia < 30 menit
- Tidak ada fraktur tengkorak
- Tidak ada kontusio serebral
- Tidak ada hematoma
b. Cedera kepala sedang
- GCS : 9-12
- Kehilangan kesadaran atau amnesia > 30 menit tapi < 24 jam
- Dapat mengalami fraktur tengkorak
c. Cedera kepala berat
- GCS : 3-8
- Kehilangan kesadaran atau amnesia > 24 jam
- Juga meliputi kontusio serebral
- Laserasi
- Hematoma intracranial

Ø Gejala yang muncul bergantung pada jumlah dan distribusi cedera otak (Brunner & Suddarth, 2002) :
a. Penurunan kesadaran
b. Nyeri setempat
c. Sukar bangun dan bicara
d. Muntah
e. Kelemahan pada suatu sisi tubuh tiba-tiba
f. Pembengkakan pada daerah fraktur
g. Abnormalitas pupil
h. Perubahan tanda-tanda vital.

Pada klasifikasi klinis cedera kepala misalnya: cedera kepala disertai cedera pada daerah spinal atau
cedera ekstrimitas, pengklasifikasian berdasarkan cedera kepala terbuka dan tertutup, cedera kepala
coup dan contra coup:
1. Cedera Kepala Terbuka
a. Cedera kepala terbuka berarti mengalami laserasi kulit kepala atau menembus otak. Ini dapat
menimbulkan fraktur tulang tengkorak dan laserasi durameter.
b. Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak masuk ke dalam otak, sehingga menyebabkan
kerusakan atau robekan pada durameter, pembuluh darah dan jaringan otak.
c. Tanda dan gejala cedera kepala terbuka:
- Battle sign : echymosis pada daerah mastoid
- Perdarahan telinga, periorbital.

2. Cedera Kepala Tertutup


a. Dapat disamakan dengan pasien gegar ringan dengan edema serebral ringan
b. Komosio serebri atau gegar otak
Adalah sindrom yang melibatkan bentuk ringan dari cederea otak menyebar, terjadi disfungsi neurologik
sementara dan bersifat dapat pulih dengan atau tanpa kehilangan kesadaran, jika ada penurunan
kesadaran mungkin hanya beberapa detik atau beberapa menit. Setelah itu pasien mungkin mengalami
disorientasi dan bingung dalam waktu relative singkat, gejala lain : sakit kepala, tidak mampu untuk
berkonsentrasi, gangguan memori sementara.
3. Kontosio Serebri / Memar Otak
Menggambarkan area otak yang mengalami memar tanpa mengalami laserasi. Tanda dan gejala
berviariasi tergantung pada lokasi dan derajat perdarahan kecil pada jaringan otak akibat pecahnya
pembuluh darah kapiler, rusaknya jaringan saraf yang akan mengakibatkan edema jaringan otak dan
sekitarnya pada akhirnya meningkatkan TIK dan meningkatkan laju mortalitas.
- Cedera coup mengakibatkan kebanyakan kerusakan yang relative dibagian daerah yang terbentur
- Cedera contra coup mengakibatkan kerusakan berlawanan pada sisi desakan benturan.
Cedera kepala coup dan contra coup setelah trauma tumpul :
1. Cedera Kepala Coup
- Sisi benturan dan tr5auma langsung pada otak
- Robekan pada vena subdural
- Trauma pada dasar otak
2. Cedera Kepala Contra Coup
- Sisi benturan dari pukulan otak sisi berlawanan dari tengkorak
- Robekan kuat pada otak

1.3. Manifestasi Klinis


1. Cedera Kepala Ringan
a. cedera kepala sekunder yang ditandai dengan nyeri kepala, tadak pingsan, tidak muntah, tidak ada
tanda-tanda neurology.
b. Komusio serebri ditandai denga tidak sadar kurang dari 10 menit, muntah, nyeri kepala, tidak ada
tanda-tanda neurology.
2. Cedera Kepala Sedang
Ditandai dengan pingsan lebih dari 10 menit, muntah, amnesia, dan tanda-tanda neurology.
3. Cedera Kepala Berat
a. laserasi serebri ditandai dengan pingsan berhari-hari atau berbulan-bulan, kelumpuhan anggota
gerak, biasanya disertai fraktur basis kranii.
b. Perdarahan epidural ditandai dengan pingsan sebentar-sebentar kemudian sadar lagi namun
beberapa saat pingsan lagi, mata sembab, pupil anisokor, bradikardi, tekanan darah dan suhu
meningkat.
c. Perdarahan subdural ditandai dengan perubahan subdural, nyeri kepala, TIK meningkat, lumpuh.

1.4. Fisiologi
Sistem persarafan.
· Pengertian
Salah satu organ yang berfungsi untuk menyelenggarakan kerjasama yang rapi dalam organisasi san
koordinasi kegiatan tubuh.
· Pembagian susunan saraf
a. Susunan saraf sentral
- Medula spinalis
- Otak : otak besar, otak kecil dan batang otak
b. Susunan saraf perifer
Susunan saraf somatic
Susunan saraf otonom : susunan saraf simpatis dan susunan saraf parasimpatis.
c. Sel saraf dan serabut saraf
Ø Meningen (selaput otak)
Selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang belakang, melindungi struktur saraf halus yang
membawa pembuluh darah ke cairan sekresi (CSS), memperkecil benturan atau getaran yang terdiri dari
3 lapisan :
1. Durameter (lapisan luar)
Selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat tebal dan kuat, dibagian tengkorak terdiri
selaput tulang tengkorak dan durameter propia dibagian dalam. Didalam kanalis vertebralis kedua
lapisan ini terpisah.
2. Arachnoid (lapisan tengah)
Merupakan selaput halus yang memisahkan durameter dengan piameter mmbentuk sebuah kantong
dan balon berisa cairan otak yang meliputi seluruh susunan saraf sentral.
3. Piameter (lapisan dalam)
Merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak, piameter behubungan dengan
arachnoid melalui struktur-struktur jaringan ikat yang disebut Trabekel.
1.5. Komplikasi
1. Edema cerebral
2. Herniasi
3. Komplikasi lain :
· Infeksi sistemik atau infeksi bedah neuro contohnya infeksi luka, osteomelitis, atau meningitis.
· Paralisis saraf fokal (setempat)
- Anosmia
- Abnormalitas gerakan mata
- Afasia
- Kejang-kejang
· Defisit psikososial organik dan tidak ada respon emosional

1.6. Pemeriksaan Diagnostik


1. Rontgen tengkorak
Untuk mengetahui perubahan struktur tengkorak
2. Ct scan kepala
Untuk mengetahui perbahan struktur tengkorak, adanya Sol, hemoragik, pergeseran jaringan otak.
3. Angiografi serebral
Untuk mengetahui hematoma serebral, kelainan sirkulasi serebral.
4. EEG
Untuk mengetahui pergeseran susunan garis tengah otak
5. Laboratorium
Pemeriksaan dara, Hb dan leukosit.

1.7. Penatalaksanaan
1. Penaganan terhadap 5B yaitu :
- Breathing : Bebaskan obstruksi, suction, intubasi, trakeostomi
- Blood : Monitor TD, pemeriksaan Hb, leukosit
- Brain : Ukur GCS
- Bladder : Kosongkan bladder karena urine yang penuh dan merangsang mengedan.
- Bower : Kosongkan dengan alasan dapat meningkatkan TIK
2. Penatalaksanaan Medik
a. Konservatif
Ø Istirahat baring di tempat tidur.
Ø Analgetik untuk mengurangi rasa sakit.
Ø Pemberian obat penenang
Ø Pemberian obat gol osmotic diuretic ( manitol). Untuk mengatasi edema serebral.
Ø Setelah keluhan-keluhan hilang, maka mobilisasi dapat dilakukan secara bertahap, dimulai dengan
duduk di tempat tidur, berdiri lalu berjalan.
b. Operatif
Operasi hanya dapat dilakukan pada kasus tertentu seperti pada perdarahan epidural dan perdarahan
subdural dengan maksud menghentikan perdarahan dan memperbaiki fraktur terbuka jaringan otak
yang menonjol keluar, atau pada fraktur dimana fragmen-fragmen tulang masuk ke jaringan otak.
KONSEP KEGAWAT DARURATAN

a. Airway
Jalan nafas apakah ada sumbatan/tidak
b. Breathing
- Apakah ada sesak/tidak
- Frekuensi pernafasan dalam/dangkal, reguler/ ireguler
- Irama pernafasan cepat/ lambat, apakah ada suara tambahan/tidak
c. Circulation
– Frekuensi nadi regular/tidak
– Akral hangat/ dingin
– Capillary refiil time <> 3 detik
– Warna kulit pucat, sianosis, kemerahan
– Apakah ada edema di muka, ekstermitas atas/ bawah
– Irama jantung teratur/ tidak, apakah ada bunyi jantung tambahan
– Adanya palpitasi
d. Dissability (pencegahan dari kecacatan)
Drugs : obat-obatan.
Obat-0batan yang pernah dikonsumsi.
e. Explosure
Apakah ada trauma/ luka pada bagian tubuh.
f. Fluid
Cairan yang sering digunakan
g. Good vital
Temp, nadi, respirasi, tekanan darah.
h. Head to toe
KONSEP KEPERAWATAN

1. Pengkajian
a. Anamnesa
- Identitas klien
- Keluhan utama
- Riwayat penyakit sekarang
- Riwayat penyakit dahulu
- Riwayat keluarga
- Riwayat pekerjaan
- Riwayat geografi
- Riwayat alergi
- Riwayat kebiasaan sosial
b. Kaji hal penting saat kejadian : tempat, bagaimana posisi saat kejadian, serangannya, lamanya, factor
pencetus, adanya fraktur dan status kesadaran.
c. Status neurologi : perubahan kesadaran, pusing kepala, vertigo, menurunnya reflkeks, malaise, kejang,
iritabel, hemiparesis, letargi, coma.
d. Status Gastrointestinal : mual-muntah
e. Status kardiopulmonal : kesukaran bernapas / sesak, depresi napas, napas lambat, hipotensi,
bradikardi.

2. Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan :
- Penghentian aliran darah oleh SOL ( hemoragik, hematoma)
- Edema serebral
- Penurunan tekanan darah sistemik/ hipoksia
2. Resti pola nafas tidak efektif berhubungan dengan:
- Kerusakan neurovaskuler ( cedera pada pusat pernafasan otak)
- Kerusakan persepsi atau kognitif
3. Perubahan persepsi sensorik berhubungan dengan trauma, deficit neurology
4. Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis, konflik psikologis
5. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan
- Kerusakan persepsi atau kognitif
- Kekuatan/tahanan
- Terapi pembatasan/kewaspadaan keamanan
6. Resti terhadap infeksi berhubungan dengan
- Trauma jaringan, kulit rusak, prosedur invasive
- Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh
- Kekurangan nutrisi
- Respon inflamasi tertekan
7. Resti perubahan nutsisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
- Perubahan kemampuan untuk mencerna nutrient ( penurunan tingkat kesadaran )
- Kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan
- Status hipermetabolik.
8. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan kerusakan jaringan otak dan perdarahan, serta
meningkatnya TIK
9. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan
- Transisi dan krisis situasi
- Ketidakpastian tentang hasil/ harapan
10. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan
- Kurang pemajanan, tidakmengenal informasi
- Kurang mengigat/ keterbatasan kognitif

3. Intervensi Keperawatan
1. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan TIK, edema serebral,
perdarahan serebral.
Tujuan : Mempertahankan perfusi jaringan serebral yang adekuat.
Kriteria hasil :
a. Pusing (-), muasl (-), muntah (-), gelisah (-).
b. TD dalam batas normal
c. Tidak ada tanda peningkatan TIK
d. Kesadaran CM, GCS : 15
e. Pupil isokor, reaksi terhadap cahaya kuat

NO
Intervensi

1.Pantau adanya tanda peningkatan TIK : sakit kepala berat, muntah


2.Monitor TTV
3.Pantau GCS
4.Berikan posisi setinggi 15-30 o pada kepala
5.Bantu klien untuk mneghindari batuk
6.Jelaskan manfaat pembatasan aktivitas pada klien

Rasional
1.Peningkatan TD dan penurunan RR secara bermakna akan memperberat kondisi TIK
2.Monitor tingkat kesadaran klien
3.Mengurangi TIK dengan menurunkan tahanan dan pengaruh gravitasi
4.Meminimalisir rangsangan yang dapat meningkatkan TIK
5.Pembatasan aktivitas klien dimaksudkan untuk pemakaian O2 dan energi yang membutuhkan suplay
darah yang meningkat.

2. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan penurunan refleks dan akumulasi secret.
Tujuan : - Pasien mendemonstrasikan bersihan jalan napas yang adekuat
Kriteria : - Batuk efektif
a. Sianosis (-)
b. Sesak (-)
c. Pernapasan cuping hidung (-)
d. HR 60 – 100 x/menit
e. Sesak napas bersih

NO
Intervensi

1.Pertahankan jalan napas : pastikan secret dikeluarkan minimal tiap 2 jam


2.Anjurkan cara napas dalam
3.Demonstrasikan cara batuk efektif
4.Berikan posisi semi fowler

Rasional
Pantau adanya tanda dan gejala ketidakmampuan napas dalam dan pneumothoraks
Anjurkan untuk perubahan posisi tiap 2 jam
Membebaskan jalan naspa hambatan ventilasi lancer
Kontrol diri dengan bernapas dalam
Memungkinkan pengeluaran secret
Mengurangi tahanan pada paru-paru, memungkinkan compliance paru.
Perlu penanganan lebih intensif

Mobilisasi sekresi dan memudahkan pembuangan

3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan, terapi pembatasan,


immobilisasi.
Tujuan : Klien dapat mobilisasi secara optimal
Kriteria : - Melakukan kembali/ mempertahankan posisi fungsi optimal
- Mempertahankan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit atau kompensasi
- Mendemonstrasikan tehnik/ perilaku yang memungkinkan dilakukannya kembali aktifitas.
NO
Intervensi
1.Periksa kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada kerusakan yang terjadi.

2.Atur posisi pasien untuk menghindari kerusakan karena tekanan, ubah posisi pasien secara teratur

3.Sokong kepala dan badan, tangan dan lengan, kaki dan paha ketika pasien barada pada kursi roda.

4.Beri/ Bantu untuk melakukan latihan rentang gerak

5.Indikasikan/ Bantu pasien dengan program latihan dan penggunaanalat mobilisasi. Tingkatkan aktivitas
dan partisipasi dalam merawat diri sendiri sesuai kemampuan.

Rasional
Mengidentifikasi kemungkinan kerusakan secara fungsional dan mempengaruhi pilihan intervensi yang
akan dilakukan.
Perubahan posisi secara teratur menyebabkan penyebaran terhadap BB dan meningkatkan sirkulasi
pada seluruh bagian tubuh.
Memperthankan kenyamanan, keamanan dan respon tubuh yang normal dan mencegah/ menurunkan
resiko kerusakan kulit padadaerah koksigis.
Mempertahankan mobilisasi dan fungsi sendi/ posisi normal ekstremitas dan menemukan terjadinya
vena yang statis.
Proses penyembuhan yang lambat, seringkali menyertai Trauma kepala dan pemulihan secara fisik
merupakan bagian yang amat [enting dari suatu program pemulihan tersebut.
(http://patoflowaskep.blogspot.com/2008/12/trauma-capitis.html)

Sabtu, 13 Desember 2008


TRAUMA CAPITIS
Disususn Oleh

Muhammad Akbar

A. Definisi

TK adalah trauma yang mengenai calvaria dan atau basis cranii serta organ-organ di
dalamnya, dimana kerusakan tersebut bersifat non-degeneratif/non-kongenital, yang
disebabkan oleh gaya mekanik dari luar → timbul gangguan fisik, kognitif maupun sosial
serta berhubungan dengan atau tanpa penurunan tingkat kesadaran (Dawodu, 2003;
Sutantoro, 2004).

B. Anatomi

 Calvaria (os frontalis, parietalis, occipitalis, dan temporalis).


 Basis cranii (os petrosus, ethmoidalis, sphenoidalis, mastoideus, dan atap

orbita).
 Struktur pelindung otak:

Rambut, kulit, tulang, meninges dan cairan serebrospinal (LCS)

 Struktur otak:

Otak → 100 milyar neuron & 1 trilyun neuroglia.

Berat ± 1400 gram atau 2% BB manusia, dikelilingi LCS → mengisi ruang

Subaraknoid.

Komponen otak : cerebrum, cerebellum dan batang otak.

Pasokan darah otak dari : a. carotis interna dan a. vertebralis.

C. Epidemiologi

 Menurut Dawodu (2003) insidensi TK tertinggi pada kelompok umur 15-45 tahun →
32,8/100.000. Perbandingan ♂ > ♀ = 3,4 : 1. Penyebab utama → kecelakaan lalu-lintas
(bermotor) tiap tahun 1 juta meninggal & 20 juta cedera (Islam, 1999; Fauzi, 2002).
 Insiden TK 26% dari semua kecelakaan; 33% kematian karena trauma kapitis.
 Insiden TK karena kecelakaan → 50% meninggal sebelum tiba di RS, 40% meninggal
dalam 1 hari dan 35% meninggal dalam 1 minggu perawatan. (Sidharta, 2003).

D. Klasifikasi dan Patogenesis Trauma Kepala

 Menurut Listiono (1998), klasifikasi TK berdasarkan keadaan patologis dan tampilan


klinisnya.

Klasifikasi Patologis TK

a. TK Primer
TK primer merupakan efek langsung trauma pada fungsi otak, dimana kerusakan
neurologis langsung disebabkan oleh suatu benda/serpihan tulang yang
menembus/merobek jaringan otak karena efek percepatan-perlambatan (Lombardo,
1995). Jaringan yang mungkin terkena pada TK adalah:

1. Kulit (hematom kulit kepala; luka kulit kepala  luka lecet dan luka robek).
2. Tulang (fraktur calvaria  linear, impresi, depresi, ekspresi; fraktur basis cranii).
3. Lesi intrakranial :

 Lesi fokal (Kontusio cerebri, PIS, PED, PSD, PSA).


 Lesi difus (Konkusio/comutio cerebri, Cedera Axonal Difus, Laserasi cerebri).

b. TK Sekunder

Menurut Listiono (1998) dan Fauzi (2002), penyebab TK sekunder adalah:

 Penyebab sistemik (hipotensi, hipoksia, hipertermi, hiponatremia).


 Penyebab intrakranial (TIK meningkat, hematom, edema, kejang, vasospasme dan
infeksi).

Klasifikasi berdasarkan pemeriksaan klinis

Mengingat fasilitas pemeriksaan neuroradiologis berupa CT-scan masih jarang,


maka agar dapat mengelola dengan baik, pasien-pasien cedera otak, khususnya jenis
tertutup, berdasarkan gangguan kesadarannya (berdasarkan Glasgow Coma Scale + GCS)
dikelompokkkan menjadi :

1. Cedera kepala ringan (Head Injury Grade I)

GCS : 13-15 bisa disertai disorientasi, amnesia, sakit kepala, mual, muntah.

2. Cedera kepala sedang (Head Injury Grade II)


GCS : 9-12 atau lebih dari 12 tetapi disertai kelainan neurologis fokal.

Disini pasien masih bisa mengikuti/menuruti perintah sederhana.

3. Cedera kepala berat.

GCS : 8 atau kurang (penderita koma), dengan atau tanpa disertai gangguan fungsi
batang otak.

Perlu ditekankan di sini bahwa penilaian derajat gangguan kesadaran ini dilakukan
sesudah stabilisasi sirkulasi dan pernafasan guna memastikan bahwa defisit tersebut
diakibatkan oleh cedera otak dan bukan oleh sebab yang lain.

Skala ini yang digunakan untuk menilai derajat gangguan kesadaran, dikemukakan
pertama kali oleh Jennet dan Teasdale pada tahun 1974.

Penilaiannya adalah berdasarkan respons membuka mata (= E), respon motorik (= M)


dan respon verbal (= V).

Pemeriksaan GCS tidak memerlukan alat bantu, mudah dikerjakan sehingga dapat
dilakukan dimana saja oleh siapa saja.

Daftar penilaian GCS selengkapnya adalah seperti terlihat pada tabel di bawah ini.

Eye opening (E)

Spontaneous 4

To call 3

To pain 2

None 1

Motor response (M)

Obeys commands
Localizes pain 6

Normal flexion (withdrawal) 5

Abnorma flexion 4
(decoraticate)
3
Extension (decerebrate)
2
None (flaccid)
1

Verbal respons (V)

Oriented
5
Confused conversation
4
Inappropriate words
3
Incomprehensible sounds
2
None
1

* GCS sum score = (E + M + V); best possible score = 15; worst possible score = 3

E. Mekanisme Trauma Kepala

1. Direct Impact → lesi berada satu sisi dengan trauma

2. Akselerasi-Deselerasi

* Dasar : massa jenis kranium > massa jenis otak.

* Terjadi percepatan kranium searah dengan trauma padahal cerebrum sedang dalam
perjalanan searah trauma→ terjadi benturan antara kranium dengan cerebrum.
3. Shock wave injury

- Dasar : trauma merupakan gelombang yang dijalarkan melalui kranium dan

cerebrum.

- Terjadi pada trauma beberapa kali sekaligus:

* trauma I → terjadi perambatan gelombang.

* trauma II → gelombang dialirkan kembali kearah semula sehingga

terjadi benturan 2 gelombang yang mengakibatkan kerusakan berupa

kontusio/comutio.

4. Rotational injury

Trauma dengan membentuk sudut akibat putaran kepala (pemuntiran).

F. Pemeriksaan Klinis

 Pemeriksaan fisik, meliputi : penilaian GCS, reflek pupil, gerakan bola mata, vital sign,
meningeal sign, nervi kranialis, fungsi motorik.
 Px. Penunjang, meliputi: CT-scan, foto polos kepala, MRI, lab. darah dan elektrolit.

G. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan neurologis (GCS dan reaksi pupil) dan
pemeriksaan penunjang (CT-scan, foto polos kepala, MRI, lab. darah dan elektrolit).
H. Diagnosis Banding

Jika riwayat trauma kurang jelas dan pasien tidak sadar, kita hrs membedakan cedera
kepala tertutup dengan penyebab lainnya, seperti: koma diabetik, koma alkoholik, CVD atau
epilepsy (jika pasien kejang).

I. Komplikasi Jangka Panjang

Menurut Harsono (1999), terdapat faktor prediksi terhadap komplikasi jangka


panjang TK, yaitu: kualitas TK, frekuensi TK, jenis perubahan anatomi, usia penderita.

Akibat jangka panjang TK;

1. Kerusakan saraf cranial (anosmia, gangguan visual, oftalmoplegi, paresis fasialis,


gangguan auditorik)
2. Disfasia.
3. Hemiparesis.
4. Sindrom Pasca TK/ Post Concussional Syndrome.
5. Fistula karotika-kavernosus.
6. Epilepsi post trauma.
7. Infeksi dan fistula LCS.

J. Terapi

o Menurut Chusid (1982), penatalaksanaan TK dibagi 2, yaitu:

a. Tindakan darurat → atasi syok (cairan dan darah) dan prinsip ABC.

b. Tindakan umum → obat-obatan dan observasi kontinyu.


o Menurut Harsono (1999), penatalaksanaan TK sangat kompleks. Mulai dari
menjaga keseimbangan kardiovaskuler, respirasi, cairan elektrolit dan kalori serta
obat-obatan untuk gejala yang timbul, seperti: anti edema cerebri, anti kejang,
antibiotik, AINS serta vitamin neurotropik. Selain farmakoterapi, pasien TK yang
telah membaik memerlukan fisioterapi-rehabilitatif, psikoterapi serta re-adaptasi
lingkungan kerja dan keluarga.

 Menurut Islam (1999), penanganan TK disesuaikan dengan jenis TK (CKR, CKS, CKB).
 Menurut Fauzi (2002), penanganan awal TK mempunyai tujuan: memantau sedini
mungkin dan mencegah TK sekunder; memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin
sehingga membantu penyembuhan sel-sel otak yg rusak.

K. Prognosis

 Menurut Chusid (1982), prognosis TK tergantung berat dan letak TK.


 Menurut King & Bewes (2001), prognosis TK buruk jika pada pemeriksaan ditemukan
pupil midriasis dan tidak ada respon E, V, M dengan rangsangan apapun. Jika
kesadarannya baik, maka prognosisnya dubia, tergantung jenis TK, yaitu: pasien dapat
pulih kembali atau traumanya bertambah berat.
 Menurut Fauzi (2002), faktor yang memperjelek prognosis adalah terlambatnya
penanganan awal/resusitasi, transportasi yang lambat, dikirim ke RS yang tidak memadai,
terlambat dilakukan tindakan pembedahan dan disertai trauma multipel yang lain.
(http://ababar.blogspot.com/2008/12/trauma-capitis.html)

FISIOLOGI TULANG

Tulang terdiri atas matriks organic keras yang sangat diperkuat dengan endapan garam kalsium
dan garam tulang.
1. Matriks organik ini terdiri dari serat-serat kolagen dan medium gelatin homogen yang
disebut substansi dasar. Substansi dasar ini terdiri atas cairan ekstraseluler ditambah
proteoglikan, khususnya kondroitin sulfat dan asam hialuronat yang membantu mengatur
pengendapan kalsium.
2. Garam-garam tulang terutama terdiri dari kalsium dan fosfat. Rumus garam utamanya
dikenal sebagai hidroksiapatit.
Tahap awal pembentukan tulang adalah sekresi kolagen (kolagen monomer) dan substansi
dasar oleh osteoblas. Kolagen monomer dengan cepat membentuk serat-serat kolagen dan
jaringan akhir yang terbentuk adalah osteoid, yang akan menjadi tempat di mana kalsium
mengendap. Sewaktu osteoid terbentuk, beberapa osteoblas terperangkap dalam osteoid
dan selanjutnya disebut osteosit.
Osteoblas dapat dijumpai di permukaan luar tulang dan dalam rongga tulang. Lawan dari
osteoblas yang membentuk tulang adalah osteoklas yang menyerap tulang dan mengikisnya.
Pada pertumbuhan tulang normal, kecepatan pengendapan dan absorpsi tulang sama satu dengan
lainnya, sehingga massa total dari tulang tetap konstan. Biasanya, osteoklas terdapat dalam
massa yang sedikit tetapi pekat, dan sekali massa osteoklas mulai terbentuk, maka osteoklas akan
memakan tulang dalam waktu 3 minggu dan membentuk terowongan. Pada akhir waktu ini,
osteoklas akan menghilang dan terowongan itu akan ditempati osteoblas. Selanjutnya, mulai
dibentuk tulang baru. Pengendapan tulang ini kemudian terus berlangsung selama beberapa
bulan, dan tulang yang baru itu diletakkan pada lapisan berikutnya dari lingkaran konsentris
(lamella) pada permukaan dalam rongga tersebut sampai pada akhirnya terowongan itu terisi
semua. Pengendapan ini berhenti setelah ada pembuluh darah yang mendarahi daerah tersebut.
Kanal yang dilewati pembuluh darah ini disebut kanal harvers. Setiap daerah tempat terjadinya
tulang baru dengan cara seperti ini disebut osteon.

Apabila mendapat beban yang berat, tulang akan menebal. Selain itu, tulang akan terus
melakukan regenerasi kalau sudah mulai perlu diganti. Kemampuan tulang melakukan
regenerasi akibat adanya absorpsi-pengendapan tulang. Kecepatan absorpsi-pengendapan
tulang yang berlangsung cepat, misalnya pada anak-anak, cenderung membuat tulang
rapuh dibandingkan dengan absorpsi-pengendapan tulang yang lambat. Jadi, pada anak-
anak akan terjadi regenerasi yang cepat apabila ada kerusakan.

KALSIUM

Tubuh manusia dewasa mengandung sekitar 1100gr kalsium, dan 99%nya berada dalam
kerangka tubuh. Kalsium dalam tulang terdiri Atas 2 tipe: cadangan yang dapat ditukar dengan
cepat, dan cadangan kalsium yang jauh lebih besar ddengan proses penukaran yang lambat. Ada
2 sistem homeostatik yang independen: sistem yang mengatur Ca2+ plasma yang tiap harinya
bergerak keluar masuk dari cadangan yang mudah ditukar; dan sistem yang berperan dalam
remodelling tulang melalui resropsi dan deposisi tulang yang konstan.
Ada 2 tipe kalsium: plasma dan bebas. Kalsium plasma ada yang terikat pada protein (albumin
dan globulin) dan ada juga yang berdifusi (berionisasi dan berkompleks dengan HCO3-, sitrat,
dst). Kalsium bebas yang terionisasi dalam cairan tubuh adalah perantara kedua dan diperlukan
untuk pembekuan darah, kontraksi otot, dan fungsi saraf. Penurunan kadar Ca2+ dapat
menyebabkan tetani hipokalsemik yang ditandai dengan sejumlah besar spasme otot rangka,
seperti yang terjadi pada laringospasme dimana jalan napas akan tersumbat dan menimbulkan
asfiksia fatal.
Metabolisme kalsium pada manusia dewasa yang mengonsumsi 1000mg (25mmol) kalsium per
hari adalah sebagai berikut:
Makanan (25mmol)
Tulang
Pertukaran cepat
500 mmol
Dapat dipertukarkan 100mmol

Stabil
27200 mmol

Penyerapan
15 mmol

Saluran
Reabsorbsi
7,5 mmol
Penambahan
7,5 mmol
cerna

Sekresi
12,5 mmol

feses
22,5 mmol
Reabsorbsi
7,5 mmol
Filtrate golemulus
250 mmol

Urine
2,5 mmol

Terdapat 3 hormon yang mengatur metabolisme kalsium, yaitu:


1. 1,25-dihidroksikolikalsiferol yang merupakan hormon steroid yang dibentuk dari vitamin D.
Reseptor 1,25-dihidrokolekalsiferol ditemukan di banyak jaringan selain usus, ginjal, dan
tulang. Jaringan tersebut di antaranya adalah kulit, limfosit, monosit, otot rangka dan jantung,
payudara, dan kelenjar hipofisis anterior. Zat ini dapat mempermudah penyerapan Ca2+ dari
usus, mempermudah reasorbsi Ca2+ di ginjal, meningkatkan aktivitas sintetik osteoblas, dan
diperlukan untuk klasifikasi normal matriks.
2. hormon paratiroid (PTH) yang memobilisasi kalsium dari usus. PTH bekerja langsung pada
tulang untuk meningkatkan resorpsi tulang, ekskresi fosfat dalam urine dan memobilisasi Ca2+.
3. kalsitonin yang menurunkan kadar kalsium dengan cara menghambat resorpsi tulang, dan
menghambat aktivitas osteoklas secara in vitro.
Ketiga hormon ini bekerja secara terpadu untuk mempetahankan kadar Ca2+ yang konstan dalam
cairan tubuh.
MINERALISASI DAN DEMINERALISASI
Mineralisasi tulang merupakan proses penempatan kalsium ke dalam jaringan tulang. Sedangkan
demineralisasi merupakan proses yang antagonis dengan mineralisasi yaitu proses pengambilan
kalsium dari jaringan tulang.
Selama hidup, tulang secara terus-menerus diresobsi dan dibentuk tulang baru. Kalsium dalam
tulang mengalami pergantian dengan kecepatan 100% per tahun pada bayi dan 18% per tahun
pada orang dewasa. Remodeling tulang ini, sebagian bessar adalah proses local yang berlangsung
di daerah yang terbatas oleh populasi sel yang disebut unit remodeling tulang.
Tulang mempertahankan bentuk eksternalnya selama masa pertumbuhan akibat proses
remodeling konstan, disertai proses pengerasan tulang oleh osteoblas (mineralisasi) dan pada
proses resoprsi oleh osteoklas (demineralisasi) yang terjadi pada permukaan dan di dalam tulang.
Osteoklas membuat terowongan ke dalam tulang korteks yang diikuti oleh osteoblas, sedangkan
remodeling tulang trabekular terjadi di permukaan trabekular. Pada kerangka manusia, setiap
saat sekitar 5% tulang mengalami remodeling oleh sekitar 2 juta unit remodeling tulang.
Kecepatan pembaruan untuk tulang adalah sekitar 4% per tahun untuk tulang kompak dan 20%
per tahun untuk tulang trabekular.

KELAINAN PADA TULANG


Terdapat beberapa kelainan yang dapat terjadi pada tulang, antara lain:
1. Osteopetrosis, merupakan penyakit tulang yang jarang sekali dijumpai dan sering kali parah.
Hal ini dimana osteoklas mengalami gangguan dan tidak mampu menyerap tulang secara wajar
sehingga osteoblas bekerja tanpa ada yang menyeimbagi. Akibatnya adalah pemadatan tulang,
gangguan neurologik akibat penyempitan dan distorsi forame tempat lewatnya berbagai saraf,
dan kelainan hematologik akibat dipenuhinya rongga sumsum.
2. Osteoporosis, merupakan kelainan pada tulang ayng disebabkan oleh kelebihan relatif fungsi
osteoklas. Matriks tulang pada penyakit ini berkurang dan insidens fraktura meningkat. Artinya,
keadaan tulang osteoporosis ini sangat rapuh karena osteoklas tidak diimbangi oleh osteoblas.
Osteoporosis ini sering terjadi pada wanita dewasa terutama yang telah mnegalami menopaose
karena tingkat estrogen sangat berpengaruh dalam pembetukan tulang atau osteoblas.
3. Osteomalasia, merupakan kelainan pada tulang yang terjadi karena gagalnya osteoid pada
tulang untuk mengeras karena kekurangan vitamin D dan Estrogen, selain itu juga penurunannya
tingkat kalsium dan fosfat serta demineralisasi seperti yang telah dijelaskan di atas. Hal ini juga
terjadi karena meningkatnya hormon paratiroid dalam tubuh. Osteomalasia ini sering disebut
softbone atau tulang lunak. (http://adul2008.wordpress.com/2009/04/30/fisiologi-tulang/)

Askep pada Trauma Kapitis


Posted by yenichrist under Kumpulan Askep Mahasiswa
[9] Comments

Disusun oleh: Dwi Widyaningrum, Nanik Wahyuni, Shinta Dwi Oktarina (Tingkat II tahun 2008)

Editing: Ch. Yeni Kustanti


Pengertian

“Trauma merupakan penyebab utama kematian pada populasi dibawah umur 45 tahun dan merupakan
penyebab kematian no. 4 pada seluruh populasi. Lebih dari 50% kematian disebabkan oleh cidera
kepala. Kecelakaan kendaraan bermotor menrupakan penyebab cedera kepala pada lebih dari 2 juta
orang setiap tahunnya, 75.000 orang meninggal dunia dan lebih dari 100.000 orang yang selamat akan
mengalami disabilitas permanent” (York, 2000). Sedangkan menurut Brunner & Suddarth (2000), trauma
capitis adalah “gangguan traumatic yang menyebabkan gangguan fungsi otak disertai atau tanpa disertai
perdarahan in testina dan tidak mengganggu jaringan otak tanpa disertai pendarahan in testina dan
tidak mengganggu jaringan otak”

Tipe-Tipe Trauma :

1. Trauma Kepala Terbuka: Faktur linear daerah temporal menyebabkan pendarahan epidural,
Faktur Fosa anterior dan hidung dan hematom faktur lonsitudinal. Menyebabkan kerusakan
meatus auditorius internal dan eustachius.
2. Trauma Kepala Tertutup

 Comosio Cerebri, yaitu trauma Kapitis ringan, pingsan + 10 menit, pusing dapat menyebabkan
kerusakan struktur otak.
 Contusio / memar, yaitu pendarahan kecil di jaringan otak akibat pecahnya pembuluh darah
kapiler dapat menyebabkan edema otak dan peningkatan TIK.
 Pendarahan Intrakranial, dapat menyebabkan penurunan kesadaran, Hematoma yang
berkembang dalam kubah tengkorak akibat dari cedera otak. Hematoma disebut sebagai
epidural, Subdural, atau Intra serebral tergantung pada lokasinya.

Ada berbagai klasifikasi yang di pakai dalam penentuan derajat kepala.

The Traumatic Coma Data Bank mendefinisakan berdasarkan skor Skala Koma Glasgow (cited
in Mansjoer, dkk, 2000: 4):

Cidera kepala ringan/minor (kelompok resiko rendah)

 Skor skala koma Glasglow 15 (sadar penuh,atentif,dan orientatif)


 Tidak ada kehilangan kesadaran(misalnya konkusi)
 Tidak ada intoksikasi alkohaolatau obat terlarang
 Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
 Pasien dapat menderita abrasi,laserasi,atau hematoma kulit kepala
 Tidak adanya kriteria cedera sedang-berat.

Cidera kepala sedang (kelompok resiko sedang)

 Skor skala koma glasgow 9-14 (konfusi, letargi atau stupor)


 Konkusi
 Amnesia pasca trauma
 Muntah
 Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle,mata rabun,hemotimpanum,otorhea atau
rinorhea cairan serebrospinal).

Cidera kepala berat (kelompok resiko berat)

 Skor skala koma glasglow 3-8 (koma)


 Penurunan derajat kesadaran secara progresif
 Tanda neurologis fokal
 Cidera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresikranium.

Menurut Keperawatan Klinis dengan pendekatan holistik (1995: 226):

Cidera kepala ringan /minor

 SKG 13-15
 Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.Tidak ada fraktur
tengkorak,tidak ada kontusio cerebral,dan hematoma.

Cidera kepala sedang

 SKG 9-12
 Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.Dapat
mengalami fraktur tengkorak.

Cidera kepala berat

 SKG 3-8
 Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam,juga meliputi kontusio
serebral,laserasi atau hematoma intrakranial.

Annegers ( 1998 ) membagi trauma kepala berdasarkan lama tak sadar dan lama amnesia pasca trauma
yang di bagi menjadi :

1. Cidera kepala ringan,apabila kehilangan kesadaran atau amnesia berlangsung kurang dari 30
menit
2. Cidera kepala sedang,apabila kehilangan kesadaran atau amnesia terjadi 30 menit sampai 24
jam atau adanya fraktur tengkorak
3. Cidera kepala berat,apabiula kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 24 jam,perdarahan
subdural dan kontusio serebri.

Arif mansjoer, dkk (2000) mengklasifikasikan cidera kepala berdasarakan mekanisme, keparahan dan
morfologi cidera.

Mekanisme : berdasarkan adanya penetrasi durameter:

v Trauma tumpul : Kecepatan tinggi(tabrakan mobil).

: Kecepatan rendah(terjatuh,di pukul).

v Trauma tembus(luka tembus peluru dan cidera tembus lainnya.

Keparahan cidera

v Ringan : Skala koma glasgow(GCS) 14-15.

v Sedang : GCS 9-13.

v Berat : GCS 3-8.

Morfologi

v Fraktur tengkorak : kranium: linear/stelatum; depresi/non depresi; terbuka/tertutup.


Basis:dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinal, dengan/tanpa kelumpuhan nervus VII.

v Lesi intrakranial : Fokal: epidural, subdural, intraserebral. Difus: konkusi ringan, konkusi klasik,
cidera difus.

Jenis-jenis cidera kepala (Suddarth, dkk, 2000, l2210-2213)


1. Cidera kulit kepala. Cidera pada bagian ini banyak mengandung pembuluh darah, kulit kepala
berdarah bila cidera dalam. Luka kulit kepala maupun tempat masuknya infeksi intrakranial.
Trauma dapat menyebabkan abrasi, kontusio, laserasi atau avulsi.
2. Fraktur tengkorak. Fraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuitas tulang tengkorak di sebabkan
oleh trauma. Adanya fraktur tengkorak biasanya dapat menimbulkan dampak tekanan yang
kuat. Fraktur tengkorak diklasifikasikan terbuka dan tertutup. Bila fraktur terbuka maka dura
rusak dan fraktur tertutup keadaan dura tidak rusak.
3. Cidera Otak. Cidera otak serius dapat tejadi dengan atau tanpa fraktur tengkorak, setelah
pukulan atau cidera pada kepala yang menimbulkan kontusio, laserasi dan hemoragi otak.
Kerusakan tidak dapat pulih dan sel-sel mati dapat diakibatkan karena darah yang mengalir
berhenti hanya beberapa menit saja dan kerusakan neuron tidak dapat mengalami regenerasi.
4. Komosio. Komosio umumnya meliputi sebuah periode tidak sadarkan diri dalam waktu yang
berakhir selama beberapa detik sampai beberapa menit. Komosio dipertimbangkan sebagai
cidera kepala minor dan dianggap tanpa sekuele yang berarti. Pada pasien dengan komosio
sering ada gangguan dan kadang efek residu dengan mencakup kurang perhatian, kesulitan
memori dan gangguan dalam kebiasaan kerja.
5. Kontusio. Kontusio serebral merupakan didera kepala berat, dimana otak mengalami memar,
dengan kemungkinan adanya daerah haemoragi. Pasien tidak sadarkan dari, pasien terbaring
dan kehilangan gerakkan, denyut nadi lemah, pernafsan dangkal, kulit dingin dan pucat, sering
defekasi dan berkemih tanpa di sadari.
6. Haemoragi intrakranial. Hematoma (pengumpulan darah) yang terjadi di dalam kubah kranial
adalah akibat paling serius dari cidera kepala, efek utama adalah seringkali lambat sampai
hematoma tersebut cukup besar untuk menyebabkan distorsi dan herniasi otak serta
peningkatan TIK.
7. Hematoma epidural (hamatoma ekstradural atau haemoragi). Setelah cidera kepala, darah
berkumpul di dalam ruang epidural (ekstradural) diantara tengkorak dan dura. Keadaan ini
karena fraktur tulang tengkorak yang menyebabkan arteri meningeal tengah putus /rusak
(laserasi), dimana arteri ini berada di dura dan tengkorak daerah inferior menuju bagian tipis
tulang temporal; haemoragi karena arteri ini menyebabkan penekanan pada otak.
8. Hematoma sub dural. Hematoma sub dural adalah pengumpulan darah diantara dura dan dasar,
suatu ruang yang pada keadaan normal diisi oleh cairan. Hematoma sub dural dapat terjadi
akut, sub akut atau kronik. Tergantung ukuran pembuluh darah yang terkena dan jumlah
perdarahan yang ada. Hematoma sub dural akut d hubungkan dengan cidera kepala mayor yang
meliputi kontusio dan laserasi. Sedangkan Hematoma sub dural sub akut adalah sekuele
kontusio sedikit berat dan di curigai pada pasien gangguan gagal meningkatkan kesadaran
setelah trauma kepala. Dan Hematoma sub dural kronik dapat terjadi karena cidera kepala
minor dan terjadi paling sering pada lansia.
9. Haemoragi intraserebral dan hematoma. Hemoragi intraserebral adalah perdaraan ke dalam
substansi otak. Haemoragi ini biasanya terjadi pada cidera kepala dimana tekanan mendesak ke
kepala sampai daerah kecil (cidera peluru atau luka tembak; cidera kumpil).

Etiologi

Cedera kepala dapat disebabkan oleh dua hal antara lain :


1. Benda Tajam. Trauma benda tajam dapat menyebabkan cedera setempat.
2. Benda Tumpul, dapat menyebabkan cedera seluruh kerusakan terjadi ketika energi/ kekuatan
diteruskan kepada otak.

Kerusakan jaringan otak karena benda tumpul tergantung pada :

v Lokasi

v Kekuatan

v Fraktur infeksi/ kompresi

v Rotasi

v Delarasi dan deselarasi

Mekanisme cedera kepala

1. Akselerasi, ketika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam. Contoh : akibat
pukulan lemparan.
2. Deselerasi. Contoh : kepala membentur aspal.
3. Deformitas. Dihubungkan dengan perubahan bentuk atau gangguan integritas bagan tubuh yang
dipengaruhi oleh kekuatan pada tengkorak.

Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala cedera kepala dapat dikelompokkan dalam 3 kategori utama ( Hoffman, dkk, 1996):

1. Tanda dan gejala fisik/somatik: nyeri kepala, dizziness, nausea, vomitus


2. Tanda dan gejala kognitif: gangguan memori, gangguan perhatian dan berfikir kompleks
3. Tanda dan gejala emosional/kepribadian: kecemasan, iritabilitas

Gambaran klinis secara umum pada trauma kapitis :

 Pada kontusio segera terjadi kehilangan kesadaran.


 Pola pernafasan secara progresif menjadi abnormal.
 Respon pupil mungkn lenyap.
 Nyeri kepala dapat muncul segera/bertahap seiring dengan peningkatan TIK.
 Dapat timbul mual-muntah akibat peningkatan tekanan intrakranial.
 Perubahan perilaku kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan gerakan motorik dapat
timbul segera atau secara lambat.

Pemeriksaan Dianostik:

1. CT –Scan : mengidentifikasi adanya sol, hemoragi menentukan ukuran ventrikel pergeseran


cairan otak.
2. MRI : sama dengan CT –Scan dengan atau tanpa kontraks.
3. Angiografi Serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti pergeseran jaringan otak
akibat edema, perdarahan dan trauma.
4. EEG : memperlihatkan keberadaan/ perkembangan gelombang.
5. Sinar X : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (faktur pergeseran struktur dan garis
tengah (karena perdarahan edema dan adanya frakmen tulang).
6. BAER (Brain Eauditory Evoked) : menentukan fungsi dari kortek dan batang otak..
7. PET (Pesikon Emission Tomografi) : menunjukkan aktivitas metabolisme pada otak.
8. Pungsi Lumbal CSS : dapat menduga adanya perdarahan subaractinoid.
9. Kimia/elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berpengaruh dalam peningkatan
TIK.
10. GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan dapat
meningkatkan TIK.
11. Pemeriksaan toksitologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap
penurunan kesadaran.
12. Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif
untuk mengatasi kejang.

Komplikasi

1. Kebocoran cairan serebrospinal akibat fraktur pada fossa anterior dekat sinus frontal atau dari
fraktur tengkorak bagian petrous dari tulang temporal.
2. Kejang. Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama dini, minggu pertama)
atau lanjut (setelah satu minggu).
3. Diabetes Insipidus, disebabkan oleh kerusakan traumatic pada rangkai hipofisis meyulitkan
penghentian sekresi hormone antidiupetik.

Penatalaksanaan Medik

Penatalaksanaan medik cedera kepala yang utama adalah mencegah terjadinya cedera otak sekunder.
Cedera otak sekunder disebabkan oleh faktor sistemik seperti hipotesis atau hipoksia atau oleh karena
kompresi jaringan otak (Tunner, 2000). Pengatasan nyeri yang adekuat juga direkomendasikan pada
pendertia cedera kepala (Turner, 2000).

Penatalaksanaan umum adalah sebagai berikut :

· Nilai fungsi saluran nafas dan respirasi.

· Stabilisasi vertebrata servikalis pada semua kasus trauma.

· Berikan oksigenasi.

· Awasi tekanan darah

· Kenali tanda-tanda shock akibat hipovelemik atau neuregenik.

· Atasi shock

· Awasi kemungkinan munculnya kejang.

Penatalaksanaan lainnya:

1. Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai dengan


berat ringannya trauma.
2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat). Untuk mengurangi vasodilatasi.
3. Pemberian analgetika
4. Pengobatan anti oedema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau glukosa 40 % atau
gliserol 10 %.
5. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisilin).
6. Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila terjadi muntah-muntah tidak dapat diberikan
apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5% , aminofusin, aminofel (18 jam pertama dan terjadinya
kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikana makanan lunak.
7. Pada trauma berat, hari-hari pertama (2-3 hari), tidak terlalu banyak cairan. Dextrosa 5% untuk
8 jam pertama, ringer dextrose untuk 8 jam kedua dan dextrosa 5% untuk 8 jam ketiga. Pada
hari selanjutnya bila kesadaran rendah, makanan diberikan melalui ngt (2500-3000 tktp).
Pemberian protein tergantung nilai urea N.

Tindakan terhadap peningktatan TIK

1. Pemantauan TIK dengan ketat.


2. Oksigenisasi adekuat.
3. Pemberian manitol.
4. Penggunaan steroid.
5. Peningkatan kepala tempat tidur.
6. Bedah neuro.

Tindakan pendukung lain

1. dukungan ventilasi.
2. Pencegahan kejang.
3. Pemeliharaan cairan, elektrolit dan keseimbangan nutrisi.
4. Terapi anti konvulsan.
5. Klorpromazin untuk menenangkan pasien.
6. Pemasangan selang nasogastrik.

Pengkajian Keperawatan

Data tergantung pada tipe, lokasi dan keparahan cedera dan mungkin diperlukan oleh cedera tambahan
pada organ-organ vital.

Aktivitas/ Istirahat

Gejala : Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.

Tanda : Perubahan kesehatan, letargi

Hemiparase, quadrepelgia

Ataksia cara berjalan tak tegap

Masalah dalam keseimbangan

Cedera (trauma) ortopedi

Kehilangan tonus otot, otot spastik

Sirkulasi

Gejala : Perubahan darah atau normal (hipertensi)

Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi bradikardia disritmia).

Integritas Ego

Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis)


Tanda : Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung depresi dan impulsif.

Eliminasi

Gejala : Inkontenensia kandung kemih/ usus atau mengalami gngguan fungsi.

Makanan/ cairan

Gejala : Mual, muntah dan mengalami perubahan selera.

Tanda : Muntah (mungkin proyektil)

Gangguan menelan (batuk, air liur keluar, disfagia).

Neurosensoris

Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus
kehilangan pendengaran, fingking, baal pada ekstremitas.

Tanda : Perubahan kesadaran bisa sampai koma

Perubahan status mental

Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri)

Wajah tidak simetri

Genggaman lemah, tidak seimbang

Refleks tendon dalam tidak ada atau lemah

Apraksia, hemiparese, Quadreplegia

Nyeri/ Kenyamanan

Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda biasanya koma.

Tnda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangangan nyeri yang hebat, gelisah tidak bisa
beristirahat, merintih.

Pernapasan
Tanda : Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi). Nafas berbunyi stridor,
terdesak

Ronki, mengi positif

Keamanan

Gejala : Trauma baru/ trauma karena kecelakaan

Tanda : Fraktur/ dislokasi

Gangguan penglihatan

Gangguan kognitif

Gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekutan secara umum mengalami paralisis

Demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh

Interaksi Sosial

Tanda : Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang.

Diagnosa Keperawatan

1. Perfusi jaringan serebral tidak efektif b/d interupsi aliran darah


2. Resiko terhadap ketidakefektifan pola nafas b/d kerusakan neurovaskuler, kerusakan persepsi
atau kognitif, obstruksi trakeo bronkial
3. Perubahan persepsi sensori b/d perubahan resepsi sensori, transmisi.
4. Perubahan proses pikir b/d perubahan fisiologis, konflik psikologis.
5. Kerusakan mobilitas fisik b/d kerusakan persepsi atau kognitif, penurunan kekuatan.
6. Resiko infeksi b/d jaringan trauma, penurunan kerja silia, kekurangan nutrisi, respon inflamasi
tertekan. (http://yenibeth.wordpress.com/2008/08/05/askep-pada-trauma-kapitis/)

Anda mungkin juga menyukai