Anda di halaman 1dari 59

Laporan Kasus

Seorang Laki-Laki Usia 60 Tahun Datang dengan


Keluhan Batuk Berdarah Bertambah Banyak Sejak
1 Minggu SMRS

Pembimbing:
dr. Nova Kurniati, SpPD, KAI

Oleh:
Marlan Pardamean L.H., S.Ked. 04054821719137
Dwi Lisa Nur’aini, S.Ked. 04084821820045

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA /
RSUP dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2018

i
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

“Seorang Laki-Laki Usia 60 Tahun Datang dengan Keluhan


Batuk Berdarah Bertambah Banyak Sejak 1 Minggu SMRS”

Marlan Pardamean L.H., S.Ked. 04054821719137


Dwi Lisa Nur’aini, S.Ked. 04084821820045

Sebagai syarat untuk mengikuti kepaniteraan klinik periode 26 Maret 2018 – 4


Juni 2018 di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya/RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang.

Palembang, April 2018

dr. Nova Kurniati, SpPD, KAI

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
referat yang berjudul “Seorang Laki-Laki Usia 60 Tahun Datang dengan Keluhan
Batuk Berdarah Bertambah Banyak Sejak 1 Minggu SMRS” sebagai salah satu
tugas kepaniteraan klinik di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit
Mohammad Hoesin Palembang.

Melalui kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada dr.


Nova Kurniati, SpPD, KAI selaku pembimbing atas bimbingan dan nasihat
sehingga penulis dapat menyelesaikan referat ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini.


Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi
perbaikan di masa yang akan datang. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi
berbagai pihak yang turut membaca.

Palembang, April 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................. i


HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................. ii
KATA PENGANTAR ............................................................................................ iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
BAB II LAPORAN KASUS ..................................................................................... 3
2.1. Identifikasi Pasien .......................................................................................... 3
2.2. Anamnesis ...................................................................................................... 3
2.3. Pemeriksaan Fisik........................................................................................... 5
2.4. Pemeriksaan Penunjang ................................................................................ 10
2.5. Diagnosis ...................................................................................................... 11
2.6. Diagnosis Banding ....................................................................................... 11
2.7.Tatalaksana .................................................................................................... 11
2.8. Rencana Pemeriksaan ................................................................................... 12
2.9. Prognosis ...................................................................................................... 12
2.10. Follow Up ................................................................................................... 12
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 14
3.1. Tuberkulosis Paru ......................................................................................... 14
3.1.1 Definisi ................................................................................................... 14
3.1.2 Epidemiologi .......................................................................................... 14
3.1.3 Etiologi ................................................................................................... 14
3.1.4 Manifestasi Klinis................................................................................... 15
3.1.5 Patofisiologi............................................................................................ 16
3.1.6 Klasifikasi ............................................................................................... 18
3.1.7 Penegakan Diagnostik ............................................................................ 21
3.1.8 Tatalaksana ............................................................................................. 26
3.1.9 Komplikasi ............................................................................................. 35
3.1.10 Prognosis .............................................................................................. 35

iv
BAB IV ANALISIS KASUS ................................................................................... 36
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 38

v
BAB I
PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) paru adalah suatu penyakit infeksi yang menyerang
parenkim paru sudah sangat lama dikenal. Nama tuberculosis berasal dari tuberkel
yang berarti tonjolan kecil dan keras yang terbentuk waktu sistem kekebalan
membangun tembok mengelilingi bakteri dalam paru. TB paru ini bersifat
menahun dan secara khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan
menimbulkan nekrosis jaringan. TB paru menular melalui droplet di udara ketika
seseorang dengan TB aktif paru batuk, bersin, atau berbicara. Oleh karena itu
penyakit ini sering dihubungkan dengan tempat tinggal di daerah urban dan
lingkungan yang padat. Hampir seluruh tubuh manusia dapat terserang olehnya
tetapi yang paling banyak adalah organ paru.6
TB sampai dengan saat ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat di dunia walaupun upaya pengendalian dengan strategi DOTS
(Directly Observerd Treatment, Short-course) telah diterapkan di banyak negara
sejak tahun 1995. Dalam laporan WHO 2013, diperkirakan terdapat 8,6 juta kasus
TB pada tahun 2012 dan 1,3 juta meninggal akibat TB Paru.1 Dan menurut
laporan WHO tahun 2015, diperkirakan terdapat 9,6 juta kasus TB baru. Hal ini
menunjukan angka kejadian Tb paru secara global meningkat dari tahun ke tahun.
Indonesia adalah negara dengan prevalensi TB ketiga tertinggi di dunia setelah
China dan India.4
Gejala TB dapat berupa demam, batuk, sesak napas, dan malaise. Diagnosis
TB dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan penunjang pada TB yaitu, rontgen toraks, tes tuberkulin,
sputum BTA, kultur dan tes resistensi.6,4 Metode baku emas atau gold standard
dalam diagnosis TB adalah melalui pemeriksaan kultur sputum atau biakan dahak.
Ketidakpatuhan untuk meminum obat pada penderita TB akan menyebabkan
peningkatan angka kekambuhan serta resistensi terhadap OAT atau disebut
Multiple Drug Resistance (MDR).
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu
atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur

6
darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang
lebih dari satu bulan. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi,
maka setiap orang yang datang ke Fasyankes dengan gejala tersebut, dianggap
sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB dan perlu dilakukan pemeriksaan
dahak secara mikroskopis langsung.4,6,5
Selain lingkungan yang padat, pasien dengan penyakit penyerta seperti DM
dan HIV/AIDS juga rentan terhadap TB. Penyakit TB ini sendiri dapat dicegah
dengan cara vaksinasi BCG, kemoprofilaksis, dan mengetahui cara penularan
TB.4,5
Mengingat angka kematian dan kasus kambuh pada penderita TB masih
tinggi, maka diperlukan pengetahuan yang baik tentang penyakit TB pada
masyarakat luas terutama bagimana penularan penyakit TB dan pencegahannya.
Oleh karena itu, sebagai dokter umum penting untuk dapat melakukan edukasi
dan mensosialisasikan penyakit TB dalam masyarakat. Selain itu juga penting
untuk mendiagnosis, melakukan skrinning dan tatalaksana penderita TB dengan
baik sehingga angka kejadian dan kematian yang disebabkan TB dapat berkurang.

7
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identifikasi
Nama : Abdullah bin Abdu R
Usia : 60 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Lorong Setia I RT.33 RW. 04 Kelurahan 13 Ulu
Kecamatan Seberang Ulu II Palembang
Agama : Islam
Status : Menikah
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Pendidikan : SLTA
MRS : 30 Maret 2018
No. Rekmed : 872645

2.2 Anamnesis
Autoanamnesis dan Alloanamnesis (tanggal, 2 April pukul 15.00 WIB)
Keluhan Utama :
Batuk berdarah bertambah banyak sejak 1 minggu sebelum masuk
rumah sakit (SMRS).

Riwayat Perjalanan Penyakit:


± 3 bulan SMRS pasien mengeluh batuk (+) berdahak, warna hijau
kekuningan, darah (-), sesak nafas (-), mual muntah (-), nyeri dada (-),
demam (+) dirasakan tidak terlalu tinggi, menggigil (-), keringat pada
malam hari (+). Pasien mengeluh nafsu makan menurun. Pasien belum
berobat
± 1 minggu SMRS pasien mengeluh batuk berdarah, darah segar,
banyaknya ± 1 sendok teh tiap batuk. Pasien juga mengeluh sesak nafas
sesaat setelah pasien batuk. Sesak tidak dipengaruhi aktivitas, sesak tidak

8
hilang dengan istirahat dan tidak dipengaruhi posisi, cuaca dan emosi.
Mengi (-), demam (+) hilang timbul, tidak terlalu tinggi. Menggigil (-),
berkeringat malam hari tanpa aktivitas (+), nafsu makan berkurang (+).
Berat badan menurun (berat badan 3 bulan yang lalu 63 kg dan sekarang 60
kg). Pasien mengeluh badan lemas. Pasien belum berobat.
± 1 hari SMRS pasien mengeluh batuk berdarah semakin berat,
banyaknya ± 1 gelas belimbing setiap batuk. Frekuensi batuk 4x sehari.
Sesak masih dirasakan setelah pasien batuk. Sesak dipengaruhi posisi, cuaca
dan lingkungan. Nyeri dada (-). Pasien merasa lemas, demam masih ada
hilang timbul, tidak terlalu tinggi. Pasien berobat ke IGD RSMH lalu
dirawat inap.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat tuberkulosis tahun 1997 dan 2004, dapat OAT dan injeksi
streptomisin, pasien dinyatakan sembuh
Riwayat asma disangkal
Riwayat penyakit jantung disangkal
Riwayat diabetes melitus disangkal
Riwayat hipertensi disangkal

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga


Riwayat tuberculosis pada keluarga disangkal
Riwayat diabetes mellitus disangkal
Riwayat hipertensi disangkal

Riwayat Sosial Ekonomi, Pekerjaan dan Kebiasaan


Pasien merupakan merupakan pegawai swasta di Palembang dan memiliki
istri seorang ibu rumah tangga. Pasien dan suami menyangkal kebiasaan
merokok dan juga kebiasaan minum-minuman beralkohol.

9
Riwayat Gizi
Sebelum sakit, pasien makan teratur 3x sehari dan lahap. Banyaknya
setiap kali makan 1 piring. Jenis makanan yang bervariasi.
Nasi/lontong/ubi+ lauk pauk berupa ikan/tahu/tempe/telur+sayur-sayuran
berupa sayur bayam/ katu/ sayur asam. Minum ± 2 L/hari. Nafsu makan baik
dan pencernaan dalam keadaan baik.
Saat sakit, pasien tetap makan 3x sehari, namun nafsu makan
menurun. Banyaknya setiap kali makan hanya 3-4 sendok makan. Pasien
mengaku berat badan sejak sakit menurun. Pasien tidak ingat berat badan
sebelumnya. Berat badan pasien saat ini 60 kg.

2.3 Pemeriksaan Fisik (tanggal 2 April 2018, pukul 15.30 WIB)


KEADAAN UMUM
Keadaan umum : Sakit ringan, lemas
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 120/70 mmHg (lengan kanan, posisi tidur)
Nadi : 70 x/menit, reguler, isi cukup
Pernafasan : 20 x/menit, Tipe pernapasan torako-abdominal
Suhu : 36,2o C (aksila)
Berat Badan : 60 kg
Tinggi Badan : 160 cm
IMT : 23,43 (status gizi baik)
Lingkar lengan atas : 21 cm
VAS :0

KEADAAN SPESIFIK
Pemeriksaan Organ
Kepala
Bentuk : Normocephali
Ekspresi : Wajar

10
Rambut : Hitam, sebagian putih, lurus dan tidak
mudah dicabut
Alopesia : (-)
Deformitas : (-)
Perdarahan temporal : (-)
Nyeri tekan : (-)
Wajah sembab : (-)

Mata
Eksoftalmus : (-)
Endoftalmus : (-)
Palpebral : Edema (-)
Konjungtiva palpebra : Pucat (+)
Sklera : Ikterik (-)
Kornea : Katarak (-)
Pupil : Bulat, isokor, diameter 3mm/3mm, reflek
cahaya (+/+)
Hidung
Sekret : (-)
Epistaksis : (-)
Septum : deviasi (-)

Telinga
Meatus akustikus eks. : Lapang
Nyeri tekan : Processus mastoideus (-/-), tragus (-/-)
Nyeri tarik : Aurikula (-/-)
Sekret : (-)
Pendengaran : Baik

11
Mulut
Higiene : baik
Bibir : Cheilitis (-), rhagaden (-),sianosis (-),
Lidah : Kotor (-), atrofi papil (-), pucat (-)
Tonsil : T1-T1
Mukosa
Mulut : Basah, stomatitis (-), ulkus (-)
Gusi : Hipertrofi (-), berdarah (-), stomatitis (-)
Faring hiperemis : (-)
Gigi : (-)
Bau Pernapasan : Tidak ada bau pernapasan

Leher
Inspeksi : benjolan (-)
Palpasi : Pembesaran kelenjar tiroid / struma (-)
Auskultasi : Bruit (-)
Tekanan vena jugularis : (5-2) cmH2O.

Dada
Inspeksi : Bentuk dada normal, sela iga melebar (-), retraksi
dinding dada (-), spider nevi (-), venektasi (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), nyeri ketok (-), krepitasi (-)

Paru-paru (Anterior)
Inspeksi:
Statis : retraksi iga (-)
Dinamis : kanan dan kiri sama
Palpasi : nyeri tekan (-), sela iga (-), stem fremitus kiri atas
menurun
Perkusi : kanan: nyeri ketok (-), sonor pada lapang paru kanan
kiri: nyeri ketok (-),redup pada apeks paru

12
Auskultasi : kanan: vesikuler (+), ronkhi (-), wheezing (-)
kiri: vesikuler (+), ronkhi basah kasar di apeks kiri (+),
wheezing (-)

Paru-paru (Posterior)
Inspeksi:
Statis : retraksi iga (-)
Dinamis : kanan dan kiri sama
Palpasi : nyeri tekan (-), sela iga (-), stem fremitus kiri atas
menurun
Perkusi : kanan: nyeri ketok (-), sonor pada lapang paru kanan
kiri: nyeri ketok (-), sonor pada lapang paru kiri
Auskultasi : kanan: vesikuler (+), ronkhi (-), wheezing (-)
kiri: vesikuler (+), ronkhi basah kasar di apeks kiri (+),
wheezing (-)

Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat, venektasi (-)
Palpasi : ictus cordis tidak teraba, thrill (-), tidak ada nyeri tekan
Perkusi : Batas atas ICS II linea parasternalis dextra,
Batas kanan ICS V linea sternalis dextra,
Batas kiri ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : HR 96 x/menit, reguler, BJ I-II normal, murmur (-),
gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : datar, venektasi (-), scar (+), caput medusae (-)
Palpasi : lemas, nyeri tekan (-), defans muskuler (-), ballotement
ginjal (-)
Perkusi : timpani, shifting dullness (-), nyeri ketok CVA (-)
Auskultasi : bising usus normal

13
Ekstremitas
Inspeksi:
Superior : deformitas (-), kemerahan (-), edema (-/-), koilonikia (-),
sianosis (-), jari tabuh (-), palmar eritem (-), kulit lembab,
flapping tremor (-), onikomikosis (-)
Inferior : deformitas (-), kemerahan (-), edema pretibial (-/-),
koilonikia (-), sianosis (-), jari tabuh (-), onikomikosis (-)

Palpasi:
Superior : akral hangat (+/+), edema (-/-), krepitasi (-/-)
Inferior : akral hangat (+/+), edema pretibial (-/-), krepitasi (-/-)
ROM:
Superior : kekuatan 5, rom aktif pasif luas
Inferior : kekuatan 5, rom aktif pasif luas

Genitalia
Tidak dilakukan

Kulit
Kulit : Sawo matang
Efloresensi : (-)
Pigmentasi : (-)
Jaringan parut : (-)
Turgor : Baik
Keringat : Cukup
Pertumbuhan rambut : Dalam batas normal
Lapisan lemak : Tipis
Ikterus : (-)
Lembab/kering : Kering

14
Kelenjar Getah Bening (KGB)
Tidak terdapat pembesaran KGB pada regio periauricular, submandibula,
cervical anterior dan posterior, supraclavicula, infraclaviculla, axilla, dan
inguinal.

Pembuluh Darah
a.temporalis, a.carotis, a.brakhialis, a.femoralis, a.poplitea, a.tibialis
posterior, a.dorsalis pedis : teraba

Status Neurologis
Tidak dilakukan pemeriksaan

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium:
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hematologi
Hemoglobin 11,3 g/dL 13,48-17,40 g/dL
RBC 4,19x106/mm3 4,40-6,30x106/mm3
Leukosit 10,8x103/mm3 4.73-10.89x103/mm3
Hematokrit 35% 41 - 51%
Trombosit 596x103/ µL 170-396x103/µL
Diff. count 0/1/82/12/5 0-1/1-6/50-70/20-40/2-8
Hati
AST/SGOT 16 U/L 0-38 U/L
ALT/SGPT 15 U/L 0-41 U/L
Metabolisme Karbohidrat
GDS 132 mg/dL <200 mg/dL
Ginjal
Ureum 21 mg/dL 16,6-48,5 mg/dL
Kreatinin 0,80 mg/dL 0,50-0,90 mg/dL

15
Elektrolit
Kalsium 9 mg/dL 8,4-9,7 mg/dL
Natrium 142 mEq/L 135-155 mEq/L
Kalium 4,3 mEq/L 3,5-5,5 mEq/L

Rontgen Thorax

2.5 Diagnosis Sementara


Hemoptoe ec causa kasus kambuh TB paru

2.6 Diagnosis Banding


- Hemoptoe ec causa bekas TB
- Hemoptoe ec causa kasus baru TB resisten OAT

2.7 Penatalaksanaan
Non Farmakologis:
a. Istirahat
b. Edukasi batuk efektif
c. Edukasi makanan bergizi
d. Head up 30o
e. Monitoring vital sign
Farmakologis:
a. IVFD Asering gtt XX/m
b. Injeksi asam traneksamat 3 x 500 mg IV

16
c. Injeksi ceftriakson 2 x 1 gr IV
d. Asam folat 1 mg / 8 jam Po
e. Ambroxol 3 x 10 ml PO
f. 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3:
- 4 tablet 4KDT+ 1000 mg streptomisin injeksi selama 56 hari
- 4 tablet 4KDT selama 28 hari
- 4 tablet 2KDT + 4 tablet etambutol selama 20 minggu

2.8 Rencana Pemeriksaan


- Cek Sputum BTA I/II/III
- Kultur sputum BTA
- Gene Expert
- Bronkoskopi
- CT scan thoraks
- Spirometri

2.9 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad malam

2.10 Follow Up
Tanggal P
9/3/2018 S: Batuk berdarah, ½ gelas belimbing, 4x Non farmakologi:
batuk/hari Istirahat
O: Istirahat
Sensorium: compos mentis Monitoring vital sign
TD: 120/80 mmHg
Nadi: 70 x/m Farmakologi:
RR: 22 x/m 1. IVFD Asering gtt

17
Temp: 36,7ºC XX/m
VAS: 0 2. Injeksi asam
Kepala: konjungtiva palpebra pucat (-), traneksamat 3 x 500
sklera ikterik (-) mg IV
Leher: JVP (5-2) cmH2O, pembesaran 3. Injeksi ceftriakson 2
KGB (-) x 1 gr IV
Thorax: 4. Asam folat 1 mg / 8
Paru-paru jam PO
Inspeksi: 5. Ambroxol 3 x 10 ml
Statis: retraksi iga (-) PO
Dinamis: kanan = kiri 6. 2(HRZE)S / (HRZE)
Palpasi: nyeri tekan (-), sela iga melebar, / 5(HR)3E3:
stem fremitus kiri atas menurun - 4 tablet 4KDT+ 1000
dibandingkan kanan mg streptomisin injeksi
Perkusi : selama 56 hari
kanan: nyeri ketok (-), sonor pada lapang - 4 tablet 4KDT selama
paru kanan 28 hari
kiri: nyeri ketok (-),redup pada apeks paru - 4 tablet 2KDT + 4
Auskultasi : tablet etambutol selama
kanan: vesikuler (+), ronkhi (-), wheezing 20 minggu
(-)
kiri: vesikuler (+), ronkhi basah kasar di
apeks kiri (+), wheezing (-)

Cor: HR 85 kali/menit, reguler, BJ I-II


normal, murmur (-), gallop (-)

Abdomen: datar, lemas, hepar dan lien


tidak teraba, bising usus (+) normal, nyeri
tekan (-)
Ekstremitas: akral hangat (+/+), palmar

18
eritem (-/-), edema (-)

A: Hemoptoe ec causa kasus kambuh TB


paru

19
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Tuberkulosis Paru


3.1.1 Definisi
Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi pada saluran nafas
bawah yang menular disebabkan mycobakterium tuberkulosa yaitu bakteri batang
tahan asam baik bersifat patogen atau saprofit dan terutama menyerang parenkim
paru1,2.
3.1.2 Epidemiologi
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting
di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah
mencanangkan tuberkulosis sebagai “Global Emergency”. Dalam laporan WHO
2013, pada tahun 2012 terdapat 8,6 juta kasus TB dimana 1,1 juta orang (13%)
adalah pasien TB dengan HIV positif. Prevalensi TB tertinggi di dunia adalah
China, India, dan Indonesia. Pada tahun 1998 diperkirakan TB di China, India,
dan Indonesia berturut-turut 1.828.000, 1.414.000, dan 591.000 kasus. Perkiraan
kejadian BTA di sputum yang positif di Indonesia adalah 266.000 tahun 1998.
Berdasarkan survei kesehatan rumah tangga 1985 dan survei kesehatan nasional
2001, TB menempati ranking nomor 3 sebagai penyebab kematian tertinggi di
Indonesia.4

3.1.3 Etiologi
Tuberkulosis paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh basil
mikrobakterium tuberkulosis tipe humanus, sejenis kuman yang yang berbentuk
batang dengan ukuran panjang 1-4/mm dan tebal 0,3-0,6/mm. Microbacterium
tuberkulosis memiliki ciri sebagai berikut3,5:
- Sebagian besar kuman terdiri atas asam lemak (lipid) sehingga membuat
kuman lebih tahan terhadap asam (asam alkohol) dan disebut bakteri tahan
asam (BTA)
- Kuman dapat bertahan hidup pada udara kering maupun dingin (dormant). Sifat

20
kuman inilah yang dapat menjadikan tuberculosis menjadi aktif lagi. Sifat lain
kuman ini adalah aerob.
- Kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi oksigennya sehingga bagian
apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis.

3.1.4 Manifestasi Klinis


Keluhan pasien tuberkulosis berbeda-beda setiap individu. Keluhan yang
terbanyak dirasakan pasien adalah demam, batuk, sesak, nyeri dada, dan malaise6,7
a. Demam biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-
kadang panas badan dapat mencapai 40-41oC. Serangan demam pertama dapat
sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali.
b. Batuk atau batuk darah banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi
pada bronkus. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian
setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan
yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang
pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberkulosis terjadi pada kavitas, tetapi
dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus6.
c. Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang
infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.
d. Nyeri dada jarang ditemukan, timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke
pleura sehingga menimbulkan pleuritis.
e. Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia, tidak ada nafsu makan,
berat badan menurun, sakit kepala, dan keringat malam. Gejala malaise ini
semakin lama semakin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur6.
Pada pemeriksaan fisik pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan
terutama pada kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara asimtomatik.
Demikian juga bila sarang penyakit terletak di dalam, akan sulit menemukan
kelainan pada pemeriksaan fisik, karena hantaran getaran/suara yang lebih dari 4
cm ke dalam paru sulit dinilai secara palpasi, perkusi, dan auskultasi. Tempat
kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks paru. Bila
dicurigai adanya infiltrat yang agak luas, maka didapatkan perkusi yang redup dan

21
auskultasi suara napas tambahan berupa ronki basah, kasar, dan nyering. Tetapi
bila infiltrat ini diliputi oleh penebalan pleura, suara napasnya menjadi vesikular
melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi memberikan suara
hipersonor atau timpani dan auskultasi memberikan suara amforik6.

3.1.5 Patofisiologi
Penyakit TB dapat menular pada seseorang melalui udara. Kuman TB
dalam droplet nuclei yang terhirup dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman
TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis nonspesifik. Makrofag
alveolus akan memfagosit kuman TB di mana sebagian besar kuman TB akan
hancur. Pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman
TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag dan kuman TB membentuk
koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru
disebut fokus primer Ghon3,6.
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di
saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena.
Kompleks primer merupakan gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe
regional yang membesar (limfadenitis), dan saluran limfe yang meradang
(limfangitis)3,6.
Masa inkubasi TB biasanya berlangsung antara 4-8 minggu dengan
rentang waktu antara 2-12 minggu. Pada minggu-minggu awal proses infeksi,
terjadi pertumbuhan logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya
belum tersensitisasi terhadap tuberkulin, mengalami perkembangan sensitivitas.
Pada saat terbentuknya kompleks primer ini, infeksi TB primer dinyatakan telah
terjadi3,6.
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya tidak sesempurna

22
fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama
bertahun-tahun dalam kelenjar ini 3,6.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Fokus primer di paru
dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis dan pleuritis fokal. Jika terjadi
nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui
brokus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe
hilus atau paratrakeal akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut
sehingga mengganggu bronkus. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan
eksternal menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru. Obstruksi total dapat
menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis
perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga
menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Masa kiju dapat
menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan
pneumonitis dan atelektasis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-
konsolidasi3,6.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat
terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman
menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan
pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan
menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang
menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik3,6.

23
Gambar 1. Patofisiologi Tuberkulosis
Organ yang biasanya dituju adalah organ yang memiliki vaskularisasi
baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau
lobus atas paru. Di berbagai tempat tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan
membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan
membatasi pertumbuhannya3,6.

3.1.6 Klasifikasi
A. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit4
1) Tuberkulosis paru
2) Tuberkulosis ekstra paru
B. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA)
1) Tuberkulosis Paru BTA (+)
 Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA
positif.
 Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.

24
 Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
biakan positif.
2) Tuberkulosis Paru BTA (-)
 Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran
klinik dan kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif serta tidak
respons dengan pemberian antibiotik spektrum luas
 Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan
M.tuberculosis positif
 Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum diperiksa
C. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya4
1) Kasus kambuh, adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan
TB sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1
bulan (˂ dari 28 dosis).
2) Kasus yang sebelumnya diobati: adalah pasien yang sebelumnya pernah
menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis). Pasien ini
selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir,
yaitu:
• Kasus kambuh (relaps), adalah pasien TB yang pernah dinyatakan
sembuh atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan
hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar
kambuh atau karena reinfeksi).
• Kasus setelah gagal (failure), adalah pasien yang hasil pemeriksaan
dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima
atau lebih selama pengobatan.
• Kasus setelah putus berobat (default), adalah pasien yang telah berobat
dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
• Kasus lain, adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas.
i. Tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya
ii. Pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya
iii. Kembali diobati dengan BTA negatif

25
D. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat4
Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji dari
Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa :
i. Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama
saja
ii. Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini
pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan
iii. Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R) secara bersamaan
iv. Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga
resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal
salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan
Amikasin)
v. Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan atau
tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode
genotip (tes cepat) atau metode fenotip (konvensional).

E. Klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIV4


1) Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TB/HIV): adalah pasien
TB dengan:
 Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan ART, atau
 Hasil tes HIV positif pada saat diagnosis TB
2) Pasien TB dengan HIV negatif: adalah pasien TB dengan:
 Hasil tes HIV negatif sebelumnya, atau
 Hasil tes HIV negatif pada saat diagnosis TB
3) Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui: adalah pasien TB tanpa ada
bukti pendukung hasil tes HIV saat diagnosis TB ditetapkan.

26
3.1.7 Penegakan Diagnostik
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan
penunjang lainnya.
3.1.7.1 Gejala Klinik4
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala
respiratorik (atau gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik.
a. Gejala respiratorik
 Batuk ≥ 2 minggu
 batuk darah
 Sesak napas
 Nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai
gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang penderita terdiagnosis
pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit,
maka penderita mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi
karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak
ke luar. Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat.
3.1.7.2 Pemeriksaan Fisik2
Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit
sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah
lobus superior terutama daerah apex dan segmen posterior , serta daerah apex
lobus inferior. Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas
bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru,
diafragma & mediastinum.
Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari
banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada
auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang
terdapat cairan.

27
3.1.7.3 Pemeriksaan Bakteriologik
Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan
mengumpulkan 3 contoh uji dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan
yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPSS). Daya mikroskop
cahaya biasa sangat terbatas untuk dapat mendeteksi jumlah kuman yang sedikit
sehingga hasil negatif belum tentu tidak ada kuman6.
Pembiakan merupakan cara yang paling sensitif untuk mendiagnosis
tuberkulosis terutama untuk dahak yang sedikit kumannya dan sulit ditemukan
dengan cara mikroskopik. Pembiakan juga penting untuk dapat melakukan tes
kepekaan terhadap obat-obatan. Medium biakan yang sering dipakai yaitu
Lowenstein Jensen, Kudoh, dan Ogawa.3,6
Ziehl Neelsen merupakan pewarnaan bakteri tahan asam (BTA) dari jenis
Mycobacterium. Reagen yang dibutuhkan antara lain karbol fuchsin, alkohol dan
metilen blue. Dengan pewarnaan Ziehl-Nellsen, bakteri yang berwarna merah
disebut bakteri tahan asam (acid fast) dan bakteri yang berwarna biru disebut
bakteri tidak tahan asam (non acid fast).3,6

3.6.1.4. Pemeriksaan Radiologi


Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral.
Pemeriksaan lain atas indikasi: foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada
pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam
bentuk (multiform). Lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah apeks paru
(segmen apikal lobus atas atau segmen apikal lobus bawah). Selain itu, lokasi lesi
dapat juga mengenai lobus bawah atau di daerah hilus menyerupai tumor paru
(misalnya pada tuberkulosis endobronkial).1
Gambaran radiologis lain yang sering menyertai tuberkulosis paru adalah
penebalan pleura (pleuritis), massa cairan di bagian bawah pleura (efusi pleura/
empiema), bayangan hitam radiolusen di pinggir paru/ pleura (pneumotoraks).
Pada satu foto dada sering didapatkan bermacam-macam bayangan sekaligus
(pada tuberkulosis yang sudah lanjut) seperti infiltrat, garis-garis fibrotik,
kalsifikasi, kavitas (non sklerotik/ sklerotik) maupun atelektasis, dan empiema.

28
Adanya bayangan (lesi) pada foto dada, bukanlah menunjukkan adanya aktivitas
penyakit, kecuali suatu infiltrat yang betul-betul nyata. Lesi penyakit yang sudah
non-aktif, sering menetap selama hidup pasien. Lesi yang berupa fibrotik,
kalsifikasi, kavitas, sering dijumpai pada orang-orang yang sudah tua.3
Menurut American Tuberculosis Association, lesi pada tuberkulosis
sekunder dapat diklasifikasikan sebagai berikut:7
• Lesi minimal, yaitu luas sarang-sarang yang kelihatan tidak melebihi daerah
yang dibatasi oleh garis median, apeks, dan iga 2 depan, sarang-sarang soliter
dapat berada di mana saja, tidak harus berada di dalam daerah tersebut di atas.
Tidak dijumpai adanya lubang (kavitas).
• Lesi sedang, yaitu luas sarang-sarang yang bersifat bercak-bercak tidak melebihi
luas satu paru, sedangkan bila ada lubang, diameternya tidak melebihi 4 cm.
Kalau sifat bayangan sarang-sarang tersebut berupa awan-awan yang menjelma
menjadi daerah konsolidasi yang homogen, luasnya tidak boleh melebihi luas
satu lobus.
• Lesi luas, yaitu luas sarang-sarang yang dihinggapi oleh sarang-sarang lebih
daripada klasifikasi kedua di atas, atau bila ada ada lubang-lubang, maka
diameter keseluruhan semua lubang melebihi 4 cm.

3.6.1.5 Pemeriksaan Penunjang


a) Darah
Pemeriksaan ini hasilnya tidak sensitif dan kurang spesifik sehingga jarang
diperhatikan. Hasil pemeriksaan darah lain dapat didapatkan anemia ringan
dengan gambaran normokrom normositer, gammaa globulin meningkat, dan kadar
natrium darah menurun.3,8
Pemeriksaan serologis yang pernah dipakai adalah reaksi Takahashi untuk
menunjukkan proses tuberkulosis masih aktif atau tidak. Pemeriksaan serologis
lainnya adalah Peroksidase Anti Peroksida (PAP-TB). Prinsip dasar uji PAP-TB
ini adalah menentukan adanya antibodi IgG yang spesifik terhadap antigen M.
tuberculosase. Uji serologis lain terhadap TB yang hampir sama cara dan nilainya
dengan uji PAP-TB adalah uji Mycodot. 3

29
b) PCR
Pemeriksaan dengan teknik PCR dapat dideteksi DNA kuman TB dalam
waktu yang lebih cepat atau mendeteksi M. tuberculosis yang tidak tumbuh pada
sediaan biakan3,9.
c) Uji Tuberkulin
Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan
diagnosis tuberkulosis terutama pada anak-anak. Biasanya dipakai tes Mantoux
yakni dengan menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin PPD (Purified Protein Derivative)
intrakutan. Tes tuberkulin hanya menyatakan apakah seseorang individu sedang
atau pernah mengalami infeksi M. tuberculosae, M. bovis, BCG, dan
Mycobacteria lainnya. Dasar tes tuberkulin ini adalah reaksi alergi tipe lambat3.
Hasil tes Mantoux ini dibagi dalam: 1) indurasi 0-5 mm (diameternya):
Mantoux negatif= golongan no sensitivity. Di sini peran antibodi humoral paling
menonjol; 2) indurasi 6-9 mm: hasil meragukan= golongan low grade sensitivity.
Di sini peran antibodi humoral masih menonjol; 3) indurasi 10-15 mm: Mantoux
positif =golongan normal sensitivity. Di sini peran kedua antibodi seimbang; 4)
indurasi lebih dari 15 mm: Mantoux positif kuat= golongan hypersensitivity. Di
sini peran antibodi selular paling menonjol. Pada pasien dengan HIV positif, tes
Mantoux= 5 mm, dinilai positif1.
Negatif palsu lebih banyak ditemui antara lain: 1) pasien yang baru 2-10
minggu terpajan tuberkulosis; 2) anergi, penyeakit sistemik berat (sarkoidosis); 3)
penyakit eksantematous dengan panas yang akut (morbili, cacar air, poliomielitis);
4) reaksi hipersensitivitas menurun pada penyakit limforetikular (Hodgkin); 5)
pemberian kortikosteroid yang lama, pemberian obat-obat imunosupresi lainnya;
6) usia tua, malnutrisi, uremia, penyakit keganasan1.

30
Gambar 2. Alur diagnosis dan tindak lanjut TB paru pad pasien dewasa (tanpa
kecurigaan/ bukti: hasil tes HIV (+) atau terduga TB Resisten Obat) 4

31
3.1.8 Tatalaksana
A. Tahapan pengobatan TB4,8,9
 Tahap awal
Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini adalah
dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada
dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil
kuman yang mungkin sudah resistan sejak sebelum pasien mendapatkan
pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru, harus
diberikan selama 2 bulan. pada umumnya dengan pengobatan secara
teratur dan tanpa adanya penyulit, daya penularan sudah sangat menurun
setelah pengobatan selama 2 minggu.
 Tahap lanjutan
Pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang penting untuk
membunuh sisa-sisa kuman yang masih ada dalam tubuh sehingga pasien
dapat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan.
B. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)2,6,7
OAT lini pertama, yaitu isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin,
dan etambutol (Tabel 2 dan Tabel 3).
Tabel 1. OAT Lini Pertama4

Tabel 2. Kisaran Dosis OAT Lini Pertama Bagi Pasien Dewasa4

32
* Pemberian streptomisin untuk pasien yang berumur >60 tahun atau pasien
dengan berat badan <50 kg dianjurkan penurunan dosis menjadi 10
mg/kg/BB/hari.

C. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia4,8,9


Panduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian
Tuberkulosis di Indonesia adalah:
 Kategori 1: 2 (HRZE)/4(HR)3
 Kategori 2: 2(HRZE)S/5(HR)3E3
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2, disediakan dalam bentuk paket obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2
atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan
pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. Paket kombipak
adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan
Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan
program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang terbukti mengalami efek
samping pada pengobatan dengan OAT KDT sebelumnya.
Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket,
dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan
(kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien
dalam satu (1) masa pengobatan. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam
bentuk paket KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB, yaitu:

33
a. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin
efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
b. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya
resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep
c. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi
sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien

D. Paduan OAT KDT Lini Pertama dan Peruntukannya4


a. Kategori-1 : 2(HRZE) / 4(HR)3 (Tabel 3 dan Tabel 4)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru: pasien TB paru terkonfirmasi
bakteriologis, pasien TB paru terdiagnosis klinis, dan pasien TB ekstra paru.
Tabel 3. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3 4

Tabel 4. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 1: 2HRZE/4H3R34

b. Kategori -2: 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3 (Tabel 5 dan Tabel 6)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati
sebelumnya (pengobatan ulang): pasien kambuh, pasien gagal pada pengobatan
dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya, dan pasien yang diobati kembali
setelah putus berobat (lost to follow-up).

34
Tabel 5. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 2

Tabel 6. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 2: 2HRZES/HRZE/5H3R3E3 2

Catatan:
i. Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB pada keadaan khusus.
ii. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan
aquabidest sebanyak 3,7 ml sehingga menjadi 4 ml. (1 ml = 250 mg).
iii. Berat badan pasien ditimbang setiap bulan dan dosis pengobatan harus
disesuaikan apabila terjadi perubahan berat badan.
iv. Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya
kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien
baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah
daripada OAT lini pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkan risiko
terjadinya resistensi pada OAT lini kedua.
v. OAT lini kedua disediakan di fasilitas pelayanan kesehatan yang telah ditunjuk
guna memberikan pelayanan pengobatan bagi pasien TB yang resistan obat.

Pengobatan pada TB Paru kasus lalai


Penderita TB kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan
kriteria sebagai berikut :

35
 Penderita yang menghentikan pengobatanya < 2minggu, pengobatan OAT
dilanjutkan sesuai jadwal.
 Penderita menghentikan pengobatan ≥ 2 minggu :
1. Berobat ≥4 bulan, BTA – dan klinik, radiologi - , pengobatan OAT stop
2. Berobat ≥ 4 bulan, BTA + : Pengobatan dimulai dari awal dengan panduan
obat lebih kuat dan jangka waktu pengobatan lebih lama.
3. Berobat < 4 bulan, BTA + : Pengobatan dimulai dari awal dengan panduan
obat yang sama.
4. Berobat < 4 bulan, berhenti berobat > 1 bulan, BTA -, akan tetapi klinik dan
atau radiologi + : Pengobatan dimulai dari awal dengan panduan obat yang
sama.
5. Berobat < 4 bulan, BTA -, berhenti berobat 2 – 4 minggu pengobatan
diteruskan kembali sesuai jadwal.

E. Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan TB


1. Pemantauan kemajuan pengobatan TB4

36
2. Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur
Tabel 7. Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur4

3. Hasil pengobatan pasien TB 4


a. Sembuh: pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan bakteriologis positif
pada awal pengobatan yang hasil pemeriksaan bakteriologis pada akhir
pengobatan menjadi negatif dan pada salah satu pemeriksaan sebelumnya.
b. Pengobatan lengkap: pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatan
secara lengkap dimana pada salah satu pemeriksaan sebelum akhir pengobatan
hasilnya negatif namun tanpa ada bukti hasil pemeriksaan bakteriologis pada
akhir pengobatan.
c. Gagal: pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan atau kapan

37
saja apabila selama dalam pengobatan diperoleh hasil laboratorium yang
menunjukkan adanya resistensi OAT.
d. Meninggal: pasien TB yang meninggal oleh sebab apapun sebelum memulai
atau sedang dalam pengobatan.
e. Putus berobat (loss to follow-up): pasien TB yang tidak memulai
pengobatannya atau yang pengobatannya terputus selama 2 bulan terus
menerus atau lebih.
f. Tidak dievaluasi: pasien TB yang tidak diketahui hasil akhir pengobatannya.
Termasuk dalam kriteria ini adalah ”pasien pindah (transfer out)” ke
kabupaten/kota lain dimana hasil akhir pengobatannya tidak diketahui oleh
kabupaten/kota yang ditinggalkan.

4. Pengawasan langsung menelan obat


Untuk tercapainya penyembuhan pasien TB baru tanpa memicu munculnya
kuman resistan obat, sangat penting dipastikan bahwa pasien menelan seluruh
obat yang diberikan sesuai anjuran dengan cara pengawasan langsung oleh
seorang PMO (Pengawas Menelan Obat) agar mencegah terjadinya resistensi
obat. 4,8,9

5. Efek samping OAT dan penatalaksanaannya


Tabel 7. Efek samping ringan OAT 4

38
Tabel 8. Efek samping berat OAT 4

Pengobatan Tuberkulosis dalam Keadaan Khusus


a. Kontrasepsi
OAT yang berinteraksi dengan kontrasepsi adalah rifampisin. Rifampisin
berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk KB),
sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang pasien TB
sebaiknya menggunakan kontrasepsi non-hormonal, atau kontrasepsi yang
mengandung esterogen dosis tinggi (50 mcg).
b. Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan
pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk
kehamilan, kecuali streptomicin. Streptomicin tidak dapat dipakai pada kehamilan
karen bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus barier placenta. Keadaan
ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan
yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil
bahwa keberhasilan pengobatannya sangat penting artinya supaya proses
kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkan terhindar dari
kemungkinan tertular TB.
c. Menyusui
Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan
pengobatan pada umumnya. Penularan TBC tidak melalui ASI, kecuali dalam
kasus mastitis TB. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu

39
menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat.
Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan
kuman. TB kepada bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus
disusui. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi tersebut sesua
dengan berat badannya.
d. Diabetes mellitus
Rifampisin dapat mengurangi efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil
urea) sehingga dosis obat anti diabetes perlu ditingkatkan. Insulin dapat
digunakan untuk mengontrol gula darah, setelah selesai pengobatan TB,
dilanjutkan dengan anti diabetes oral. Pada pasien diabetes mellitus sering terjadi
komplikasi retinopathy diabetika, oleh karena itu hati-hati dengan pemberian
etambutol, karena dapat memperberat kelainan tersebut.
e. Anak
Pada semua anak, terutama balita yang tinggal serumah atau kontak erat
dengan penderita TB dengan BTA positif, perlu dilakukan pemeriksaan
menggunakan sistem skoring. Bila hasil evaluasi dengan sistem skoring didapat
skor <5, kepada anak tersebut diberikan isoniazid (INH) dengan dosis 5-10
mg/kgBB/hari selama 6 bulan. Bila anak tersebut belum pernah mendapat
imunisasi BCG, imunisasi BCG dilakukan setelah pengobatan pencegahan selesai.

3.1.9 Komplikasi
- Komplikasi dini: pleuritis , efusi pleura, empiema, laryngitis
- Komplikasi lanjut; TB usus, Obstruksi jalan nafas , Fibrosis paru, kor
pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, sindrom gaal nafas dewasa, meningitis
TB

3.1.10 Prognosis
Pasien yang tidak diobati, setelah 5 tahun akan8:
1. 50% meninggal
2. 35% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi
3. 25% menjadi kasus kronis yang tetap menular

40
41
BAB IV
ANALISA KASUS

Seorang pasien laki-laki berusia 60 tahun datang dengan keluhan utama


batuk berdarah bertambah banyak sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien
tinggal di daerah Seberang Ulu di pemukiman padat penduduk. Lokasi tempat
tinggal yang padat penduduk meningkatkan risiko terkena penyakit menular
melalui proses reinfeksi dalam komunitas. Penyakit yang sering dijumpai di
pemukiman padat penduduk salah satunya adalah tuberkulosis.
Pasien datang dengan keluhan utama batuk berdarah yang bertambah
banyak sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Pada anamnesis ditemukan
bahwa keluhan batuk sudah dialami pasien sejak 3 bulan SMRS. Batuk lebih dari
3 bulan merupakan keluhan batuk kronis, yang memiliki beberapa kemungkinan
penyebab, antara lain tuberkulosis paru, asma, penyakit paru obstruktif kronis, dan
bronkitis kronis. Pasien mengeluh demam yang tidak terlalu tinggi tanpa
menggigil, keringat malam hari, dan nafsu makan menurun yang mengarah ke
diagnosis tuberkulosis paru.
Sejak sekitar 1 minggu SMRS pasien mengeluh batuk berdarah sekitar 1
sendok teh tiap batuk dan sesak napas. Sesak timbul sesaat setelah batuk, tidak
dipengaruhi aktivitas, cuaca, emosi atau posisi, dan tidak hilang dengan istirahat.
Keluhan sesak dapat memiliki beberapa kemungkinan penyebab, seperti gangguan
pada sistem respiratorius (pneumonia, tuberkulosis, efusi pleura), sistem
kardiovaskular (edema paru akut, gagal jantung), sistem imun (asma, reaksi
anafilaksis), keseimbangan cairan dan elektrolit (gagal ginjal, asidosis metabolik),
serta pada hepar (sirosis hepatis). Sesak yang timbul sesaat setelah batuk
mengindikasikan hubungan antara kedua keluhan tersebut. Demam yang tidak
terlalu tinggi serta dahak yang tidak purulen mengarahkan bukan ke pneumonia.
Tidak ada sesak yang semakin memberat ketika berbaring miring ke salah satu sisi
mengarahkan bukan ke efusi pleura. Sesak yang tidak dipengaruhi posisi dan
aktivitas mengarahkan bukan ke gagal jantung. Tidak ada keluhan mengi
mengarahkan bukan ke asma. Tidak ada keluhan mata sembab, perut membesar,

42
dan bengkak pada tungkai dan kaki mengarahkan bukan ke keluhan ginjal atau
hepar.
Sejak sekitar 1 hari SMRS pasien mengeluh baruk berdarah semakin berat
sebanyak sekitar 1 gelas 4 kali sehari. Jumlah darah yang keluar dari pasien
tersebut dapat diperkirakan berjumlah sekitar 1000 cc dan dengan demikian
merupakan hemoptoe masif. Kehilangan darah yang sedemikian banyak mungkin
menyebabkan pasien anemis dan menunjukkan tanda-tanda kompensasi dengan
peningkatan kerja jantung. Keluhan batuk berdarah yang bertambah banyak ini
membuat pasien cemas dan berobat ke IGD RSUP dr. Mohammad Hoesin
Palembang.
Pada riwayat penyakit dahulu ditemukan bahwa pasien pernah didiagnosis
menderita tuberkulosis paru pada tahun 1997 dan 2004. Pada 1997 pasien
mendapatkan obat yang rutin diminum selama 6 bulan dan pada 2004
mendapatkan obat makan dan suntikan. Pada kedua kesempatan pasien dinyatakan
sembuh. Kasus tuberkulosis paru dapat kembali terjadi pada pasien yang sama.
Kekambuhan biasanya terjadi akibat penatalaksanaan yang tidak adekuat atau
kondisi imun yang terkompromi, seperti pada pasien dengan infeksi HIV atau
diabetes mellitus. Tidak ada riwayat asma, penyakit jantung, kencing manis, atau
darah tinggi pada pasien. Pada keluarga pasien juga tidak ditemukan riwayat
menderita penyakit tuberkulosis, kencing manis, dan darah tinggi.
Pada riwayat sosial ekonomi ditemukan bahwa pasien merupakan pegawai
swasta di Palembang dengan pemasukan yang cukup untuk membiayai keluarga.
Keluarga pasien terdiri atas istri dan dua orang anak. Pasien menyangkal
kebiasaan merokok dan minum minuman beralkohol. Tidak ada kebiasaan
merokok mengarahkan bukan ke penyakit paru obstruktif kronis, sementara tidak
ada kebiasaan minum minuman beralkohol mengarahkan bukan ke arah sirosis
hepatis. Riwayat diet pasien sebelum sakit menunjukkan bahwa pasien
mendapatkan makanan yang cukup dan seimbang.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan kelainan berupa ronkhi basah kasar di
apeks paru kiri, sementara paru kanan tidak terdengar ronkhi. Tidak juga
terdengar wheezing di kedua lapangan paru. Laju pernapasan pasien meningkat

43
disertai adanya retraksi iga dan otot-otot pernapasan tambahan yang
mengindikasikan pasien sesak. Palpasi lapangan paru kiri atas ditemukan stem
fremitus menurun yang mengindikasikan terjadi proses yang menurunkan aerasi
paru di kiri atas.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien menemukan Hb 11,3
g/dL, yang tidak menunjukkan anemia. Hal ini dapat terjadi pada pasien karena
perdarahan yang terjadi bersifat akut sehingga belum menurunkan hemoglobin.
Pada pemeriksaan radiologi foto toraks tampak gambaran fibrosis dan
infiltrat di lapangan atas paru kiri disertai penarikan segmen trakea setinggi
vertebrae Th2-Th3 ke arah kiri. Tampak pula gambaran kavitas kecil-kecil di
apeks paru kiri. Gambaran tersebut memberikan kesan tuberkulosis paru lama
proses aktif.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
tersebut dapat ditegakkan diagnosis sementara berupa hemoptoe masif e.c. kasus
kambuh tuberkulosis paru, dengan diagnosis banding bekas tuberkulosis dan
kasus baru tuberkulosis paru resisten obat.
Tatalaksana nonfarmakologis pasien meliputi istirahat, edukasi batuk
efektif, edukasi makanan bergizi, dan elevasi kepala 30o. Tatalaksana
farmakologis meliputi injeksi asam traneksamat untuk mengatasi perdarahan,
asam folat untuk suplementasi darah, dan ambroksol untuk batuk. Terapi definitif
berupa OAT kategori II yaitu regimen 2(HRZE)S + HRZE + 5(HR)3E3.
Pemeriksaan yang direncanakan untuk pasien berupa cek sputum BTA
I/II/III, kultur dan tes resistensi sputum, dan Gene expert. Pemeriksaan tersebut
dapat melihat apakah pasien memang memiliki bakteri MTB di sputumnya serta
apakah bakteri tersebut menunjukkan sifat resisten terhadap OAT. Monitoring
pasien dilakukan mencakup tanda-tanda vital dan perdarahan.

44
SOAL-SOAL UKMPPD
1. Perempuan 27 tahun datang ke dokter dengan keluhan penglihatan menjadi
kabur. Pasien didiagnosis dokter TB dan sedang minum obat teratur 2 bulan ini.
Obat yang sebabkan keluhan adalah...
a. Rifampicin d. Pyrazinamid
b. INH e. Streptomicin
c. Etambutol
Pembahasan:
Efek samping OAT

Sumber: Kemenkes RI. 2014. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.


Kemenkes, Jakarta.

45
2. Perempuan 46 tahun masuk dengan diagnosa TB aktif diberikan strategi dosis
kategori I. Sesudah pengobatan 2 bulan, BTA masih positif. Penatalaksanaan yang
tepat adalah....
a. OAT kat 1 fase intermiten/fase lanjutan d. OAT kat 2
b. OAT kat 1 fase intensif e. OAT kat 3
c. Pengobatan sisipan
Pembahasan:

46
Sumber: Kemenkes RI. 2014. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.
Kemenkes, Jakarta.

3. Seorang perempuan usia 30 tahun biasa menggunakan kontrasepsi oral selama


3 tahun dan tidak keluhan. Sedang mengonsumsi obat TBC kombinasi. Hasil
HCG (+). OAT yang sering menyebabkan efek samping tersebut....

47
a. INH d. Rifampicin
b. Etambutol e. Streptomicin
c. Pirazinamid
Pembahasan:
OAT yang berinteraksi dengan kontrasepsi adalah rifampisin. Rifampisin
berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk KB),
sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang pasien TB
sebaiknya menggunakan kontrasepsi non-hormonal, atau kontrasepsi yang
mengandung esterogen dosis tinggi (50 mcg).

4. Pria 22 tahun datang dengan keluhan batuk sejak 2 minggu terakhir. Keringat
malam (+). Pemeriksaan Hb 11,9 mg/dL, LED 90. Pada gambaran foto thorax
tampak infiltrat pada apex paru. Pemeriksaan penunjang selanjutnya yang paling
tepat adalah....
a. Pewarnaan BTA sputum d. Biakan mikroorganisme TB
b. Pewarnaan gram sputum e. Kultur sputum
c. Imunologi TB
Pembahasan:
Metode baku emas atau gold standard dalam diagnosis TB adalah melalui
pemeriksaan kultur sputum atau biakan dahak. Namun pemeriksaan kultur
memerlukan waktu lebih lama (paling cepat sekitar 6 minggu) dan mahal.

5. Perempuan 35 tahun datang dengan keluhan batuk sejak 3 minggu yang lalu.
Pasien juga sering berkeringat dingin dan merasa selalu lemas. Dua tahun lalu
pasien pernah minum OAT selama 2 minggu. Saat ini dilakukan pemeriksaan
BTA dua kali dan hasilnya positif. Apakah diagnosis pada pasien ini?
A.TB paru kasus baru D.TB paru kasus kambuh
B. Sindrom obstruksi pasca TB E.TB paru kasus gagal pengobatan
C.TB paru kasus putus obat
Pembahasan:

48
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya disebut sebagai tipe
pasien, yaitu:
1) Kasus baru 

Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). Pemeriksaan BTA bisa positif
atau negatif 

2) Kasus yang sebelumnya diobati
 Kasus kambuh (Relaps) 
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya
pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh
atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan
atau kultur). 

 Kasus setelah putus berobat (Default )
Adalah pasien yang telah berobat
dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif. 

 Kasus setelah gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan
dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau
lebih selama pengobatan. 

3). Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan keregister
lain untuk melanjutkan pengobatannya. 

4). Kasus lain: 
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas,
seperti
i. tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya, 

ii. pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya, 

iii. kembali diobati dengan BTA negative. 


6. Pasien 30 tahun hamil 24 minggu datang dengan keluhan batuk berdahak sejak
kemarin. Batuk berdahak 2 minggu yang lalu disertai demam dan penurunan nafsu
makan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan TD: 110/70 mmHg. Nadi 80x/menit,
RR 20x/menit, suhu 38,6 oC. Pada auskultasi ditemukan ronki basah halus pada
apeks paru kiri. BTA +++. Terapi yang tepat pada pasien ini adalah...
a. Pengobatan TB INH dan rifampicin
b. Pengobatan TB 2RHZE/4H3R3

49
c. Pengobatan ditunda sampai melahirkan
d. Antibiotik spektrum luas yang aman untuk ibu hamil
e. Multivitamin
Pembahasan:
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan pengobatan
TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk
kehamilan, kecuali streptomicin. Streptomicin tidak dapat dipakai pada
kehamilan karen bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus barier
placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan
keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu dijelaskan
kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya sangat penting artinya
supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkan
terhindar dari kemungkinan tertular TB.

7. Anak laki-laki 8 tahun batuk berdahak kadang bercampur darah sejak 5


minggu. Keluah tambahan demam hilang timbul, penurunan berat badan, nafsu
makan menurun, mudah lelah dan berkeringat malam hari tanpa aktivitas fisik.
Didapatkan ronki pada apeks paru, kelenjar leher membesar. Diagnosisnya
adalah...
a. TB aktif d. TB chest pain
b. TB tersangka e. TB milier
c. TB tersangka + ekstra paru
Pembahasan:
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah,
batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang
lebih dari satu bulan.
Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang
yang datang ke Fasyankes dengan gejala tersebut, dianggap sebagai seorang

50
tersangka (suspek) pasien TB dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara
mikroskopis langsung.

8. Seorang laki-laki 50 tahun didiagnosis menderita TB. Riwayat DM 5 tahun.


Obat TB apa yang dapat menurunkan aktivitas obat DM berupa glibenklamid
adalah...
a. INH d. Pirazinamid
b. Etambutol e. Streptomicin
c. Rifampisin
Pembahasan:
Rifampisin dapat mengurangi efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea)
sehingga dosis obat anti diabetes perlu ditingkatkan. Insulin dapat digunakan
untuk mengontrol gula darah, setelah selesai pengobatan TB, dilanjutkan dengan
anti diabetes oral. Pada pasien diabetes mellitus sering terjadi komplikasi
retinopathy diabetika, oleh karena itu hati-hati dengan pemberian etambutol,
karena dapat memperberat kelainan tersebut.

9. Seorang perempuan berusia 25 tahun hamil 8 minggu datang berobat dengan


keluhan batuk dan demam yang naik-turun sejak 3 minggu yang lalu. Pasien juga
mengeluh sering berkeringat di malam hari dan nafsu makan menurun. Riwayat
tinggal serumah dengan neneknya yang menderita TB paru BTA +. Dokter
mencurigai perempuan ini juga menderita TB dan berencana melakukan
pemeriksaan BTA sputum dan rontgen thoraks. Seandainya terbukti, OAT yang
akan diberikan pada perempuan ini adalah....
a. OAT kategori I d. Ciprofloxacin +GG
b. OAT kategori II e.Streptomycin + Ambroxol
c. INH tunggal
Pembahasan:

51
Paduan OAT ini kategori 1 yang diberikan untuk pasien baru (pasien TB
paru terkonfirmasi bakteriologis, pasien TB paru terdiagnosis klinis, dan pasien
TB ekstra paru)
Tahap awal (intensif)
 Pada tahap intensif (awal) pasien mendaoat obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
 Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya
pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu
 Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negative (konversi)
dalam 2 bulan
Tahap lanjutan
 Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama
 Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan

10. Perempuan 35 tahun datang dengan keluhan batuk berdarah sejak 1 minggu yg
lalu. Dua tahun lalu pasien pernah didiagnosis TB Paru. Pasien minum OAT
selama 6 bulan dan telah dinyatakan sembuh. Saat ini dilakukan pemeriksaan
BTA dua kali dan hasilnya positif. Apakah regimen pengobatan yang tepat diberikan pada
pasien tersebut?
a. 2 RHZ – 4 R3H3 d. 2 RHZES – 1 RHZE – 5R3H3E3
b. 2 RHZ – 4 RH e. 2 RHZES – 4 R3H3S3
c. 2 RHZE – 4 R3H3
Pembahasan:
Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati

52
sebelumnya:
1. Pasien kambuh 

2. Pasien gagal 

3. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default) 


Catatan:
1. Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin
adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan. 

2. Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus. 

3. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan
menambahkan
aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg). 


11. Seorang ibu membawa anaknya dengan keluhan batuk berdahak. Ayahnya
seorang penderita TB. Dari pemfis dan foto rontgen tidak ditemukan kelainan.
Bagaimana penatalaksanaa pada anak?
a. INH profilaksis sampai 1 bulan
b. INH profilaksis sampai 6 bulan
c. INH profilaksis sampai 2 bulan
d. Obat yang diberikan sama seperti ayahnya
e. Tidak diberikan obat TBC
Pembahasan:

53
Pada semua anak, terutama balita yang tinggal serumah atau kontak erat dengan
penderita TB dengan BTA positif, perlu dilakukan pemeriksaan menggunakan
sistem skoring. Bila hasil evaluasi dengan sistem skoring didapat skor <5, kepada
anak tersebut diberikan isoniazid (INH) dengan dosis 5-10 mg/kgBB/hari selama
6 bulan. Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, imunisasi
BCG dilakukan setelah pengobatan pencegahan selesai.

12. Laki-laki berusia 50 tahun, datang dengan keluhan batuk berdarah sejak 1
minggu yang lalu. 2 tahun terakhir pasien pernah minum OAT namun hanya 3
bulan. Hasil pemeriksaan BTA SPS/-++. Diagnosis pasien tersebut adalah....
a. Tb kasus baru d. TB kasus kambuh
b. TB kasus bekas TB e. TB kasus gagal pengobatan
c. TB kasus putus obat
Pembahasan:
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya4
1) Kasus kambuh, adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB
sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1 bulan (˂
dari 28 dosis).
2) Kasus yang sebelumnya diobati: adalah pasien yang sebelumnya pernah
menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis). Pasien ini
selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir, yaitu:
• Kasus kambuh (relaps), adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh
atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil
pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar kambuh atau
karena reinfeksi).
• Kasus setelah gagal (failure), adalah pasien yang hasil pemeriksaan
dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau
lebih selama pengobatan.
• Kasus setelah putus berobat (default), adalah pasien yang telah berobat dan
putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
• Kasus lain, adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas.

54
iv. Tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya
v. Pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya
vi. Kembali diobati dengan BTA negatif

13. Anak 5 tahun dibawa orangtuanya ke klinik dengan keluhan demam selama 3
hari. Sejak 6 bulan memiliki riwayat demam dan batuk pilek, berdahak warna
kuning kehijauan. Sudah diobati di puskesmas namun tidak membaik. Anak tidak
nafsu makan, BB tidak pernah naik. BB saat ini 13 kg. Ayah pasien riwayat TB
tapi tidak selesai pengobatan. Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien ini
adalah...
a. Gram d. Methylene blue
b. Neisser e. HE
c. Ziehl Neelsen
Pembahasan:
Ziehl Neelsen merupakan pewarnaan bakteri tahan asam (BTA) dari jenis
Mycobacterium. Reagen yang dibutuhkan antara lain karbol fuchsin, alkohol dan
metilen blue. Dengan pewarnaan Ziehl-Nellsen, bakteri yang berwarna merah
disebut bakteri tahan asam (acid fast) dan bakteri yang berwarna biru disebut
bakteri tidak tahan asam (non acid fast).

14. Pasien perempuan usia produktif datang ke RS dengan hasil pemeriksaan


berdasarkan anamnesis , pemeriksaan, laboratorium, foto thorax, dan BTA (+)
terdiagnosis TB paru. Pasien sedang menyusui 2 bulan. Dokter ingin
merencanakan terapi TB. Hal yang harus dilakukan adalah...
a. Tidak menyusui karena risiko bayi tertular TB
b. Tidak menyusui karena obat TB ikut masuk dalam ASI
c. Tidak menyusui dengan bayi diberi profilaksis rifampicin
d. Tetap menyusui dengan bayi diberi profilaksis INH
e. Tetap menyusui karena TB tidak berbahaya.
Pembahasan:

55
Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan
pengobatan pada umumnya. Penularan TBC tidak melalui ASI, kecuali dalam
kasus mastitis TB. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu
menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat.
Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan
kuman. TB kepada bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus
disusui. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi tersebut sesua
dengan berat badannya.

15. Seorang perempuan didiagnosis menderita spondiolitis lumbalis sejak 3 bulan


yang lalu. Penderita rutin mengonsumsi Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Sejak 1
minggu terakhir pasien mengeluhkan gangguan vestibuler. OAT yang dapat
menyebabkan kondisi tersebut adalah....
a. INH d. Streptomicin
b. Pirazinamid e. Etambutol
c. Rifampisin
Pembahasan:
Efek samping OAT

56
Sumber: Kemenkes RI. 2014. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.
Kemenkes, Jakarta.

57
DAFTAR PUSTAKA

4. Price. A,Wilson. L. M. Tuberkulosis Paru. Dalam: Patofisiologi Konsep


Klinis Proses-Proses Penyakit, bab 4, Edisi VI. Jakarta: EGC, 2004 : 852-64
5. Gerakan Terpadu Nasional Penanganan TB. 2007. Buku Pedoman Nasional
Penanggulangan TB. edisi 2. cetakan pertama. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
6. Utji R, Hasrul Harun. 2010. Basil Tahan Asam. Dalam: Staf Pengajar Bagian
Mikrobiologi FKUI. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran Edisi Revisi.
Binarupa Aksara, Tangerang, p.227-238.
7. Kemenkes RI. 2014. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.
Kemenkes, Jakarta.
8. Amin Z, Asril Bahar. 2009. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir. Dalam: Aru
W. Sudoyo, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Interna
Publishing, Jakarta, p.2240-2248.
9. Amin Z, Asril Bahar. 2009. Tuberkulosis Paru. Dalam: Aru W. Sudoyo, et al.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Interna Publishing, Jakarta,
p.2230-2239.
10. Alwi, Idrus, et al. 2015. Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam,
Panduan Praktik Klinis. Interna Publishing, Jakarta, p.794-801.
11. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006. Tuberkulosis, Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksaan di Indonesia. Jakarta.
12. Aditama TY. 2002. Tuberkulosis Diagnosis, Terapi, dan Masalahnya Edisi
V. Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia, Jakarta.
13. Rasad S. 2005. Tuberkulosis Paru. Dalam: Iwan Ekayuda. Radiologi
Diagnostik. Badan Penerbit FKUI, Jakarta, p.131-144.
14. Adeyeye, O. O., O. O. Ogunleye, A. Coker, Y. Kuyinu, R. T. Bamisile, U.
Ekrikpo, B. Onadeko. 2014. Factors Influencing Quality of Life and
Predictors of Low Quality of Life Scores in Patients on Treatment for

58
Pulmonary Tuberculosis: A Cross Sectional Study. J Public Health Africa
2014; 5(2): 366
15. Brown, J., S. Capocci, C. Smith, S. Morris, I. Abubakar, M. Lipman. 2014.
Health status and quality of life in tuberculosis. Int J Infect Dis 2015; 32: 68-
75

59

Anda mungkin juga menyukai