Anda di halaman 1dari 50

Daftar Pidana di Draf RUU Hapus Kekerasan

Seksual yang Disebut Pro-Zina


Bagus Prihantoro Nugroho - detikNews

Share 0 Tweet Share 0 2 komentar

Ilustrasi: Luthfy Syahban

Jakarta - Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS)


mendapat penolakan dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sejauh ini RUU
tersebut memang masih berupa draf.

"Fraksi PKS bukan tanpa upaya (memberi masukan) sehingga sampai pada kesimpulan
menolak draf RUU. Fraksi sudah secara tegas memberikan masukan perubahan, tetapi
tidak diakomodir dalam RUU. Untuk itu, Fraksi PKS menyatakan dengan tegas menolak
draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual," tegas Ketua Fraksi PKS DPR Jazuli
Juwaini dalam keterangannya, Jumat (1/2/2019).
Baca juga: Jadi Pro-Kontra, RUU Hapus Kekerasan Seksual Belum
Dibahas Per Pasal

Sebelumnya muncul pula petisi yang menolak pembahasan RUU PKS. Petisi itu
dilayangkan oleh orang yang pernah membuat petisi terkait iklan yang
dibintangi Blackpink, Maimon Herawati.

Maimon menilai RUU PKS pro terhadap perzinahan karena hanya melarang hal-hal
terkait seksual yang bersifat pemaksaan. Menurut penilaian Maimon, dalam RUU PKS
tak dilarang mengenai hubungan seksual sukarela yang tidak sesuai dengan adat
ketimuran.

"RUU ini bagus, tapi tidak lengkap. RUU ini tidak mengatur kejahatan seksual yang
dilarang agama dan nilai tata susila ketimuran. Dengan demikian, konsep hukum terkait
pelarangan. Jika tidak dilarang, berarti boleh," kata Maimon saat dihubungi.

Baca juga: Fraksi PKS Tolak Draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

detikcom mendapatkan draf RUU PKS pekan lalu. Dalam draf yang masih mungkin
berubah itu, ada sejumlah poin yang termasuk tindak pidana kekerasan seksual pada
Pasal 11. Berikut kutipannya:

Pasal 11

(1) Setiap orang dilarang melakukan Kekerasan Seksual.

(2) Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. pelecehan seksual;
b. eksploitasi seksual;
c. pemaksaan kontrasepsi;
d. pemaksaan aborsi;
e. perkosaan;
f. pemaksaan perkawinan;
g. pemaksaan pelacuran;
h. perbudakan seksual; dan/atau
i. penyiksaan seksual.

(3) Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi peristiwa
Kekerasan Seksual dalam lingkup relasi personal, rumah tangga, relasi kerja, publik,
dan situasi khusus lainnya.

Maimon melalui petisi yang dia layangkan lewat situs change.org, mengkritisi poin
tentang pemaksaan hubungan seksual. Sedangkan hubungan suka sama suka tanpa
melalui pernikahan tak dilarang.

Pemaksaan hubungan seksual yang dimaksud Maimon tercantum dalam poin


eksploitasi seksual. Berikut pengertian eksploitasi seksual menurut draf RUU PKS:

Pasal 13

Eksploitasi seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b adalah
Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk kekerasan, ancaman kekerasan, tipu
daya, rangkaian kebohongan, nama atau identitas atau martabat palsu, atau
penyalahgunaan kepercayaan, agar seseorang melakukan hubungan seksual
dengannya atau orang lain dan/atau perbuatan yang memanfaatkan tubuh orang
tersebut yang terkait hasrat seksual, dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau
orang lain.

Tonton video: Musisi Indonesia Ramai-ramai Petisikan RUU Permusikan

Selain itu Maimon juga mengkritisi soal pemaksaan aborsi. Menurut dia RUU itu tak
melarang aborsi yang dilakukan secara sukarela.

Adapun pengertian tindak pidana pemaksaan aborsi dalam draf RUU PKS itu yakni
sebagai berikut:

Pasal 15
Pemaksaan aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf d adalah
Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk memaksa orang lain untuk melakukan
aborsi dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan,
penyalahgunaan kekuasaan, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu
memberikan persetujuan.
(bag/tor)

Komnas Perempuan: Setop Hoax RUU


Hapus Kekerasan Seksual Atur Free Sex
Kanavino Ahmad Rizqo - detikNews

Share 0 Tweet Share 0 2 komentar

Foto: Ilustrator: Andhika Akbarayansyah/detikcom

Jakarta - Komnas Perempuan menyatakan informasi mengenai RUU Penghapusan


Kekerasan Seksual (RUU P-KS) yang akan mengatur perzinahan atau free sex adalah
informasi bohong atau hoax. Komnas Perempuan meminta penyebaran hoax itu
dihentikan.

"Pesan-pesan secara sistematis dan meluas bahwa RUU Penghapusan Kekerasan


Seksual menyarankan perzinahan atau free sex, dan pesan-pesan negatif lainnya yang
membuat kesalah-pemahaman masyarakat terhadap substansi dari RUU tersebut,"
kata Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin, dalam keterangannya, Rabu
(6/2/2019).

Baca juga: F-PDIP: RUU Hapus Kekerasan Seksual Lindungi Korban, Tak Atur
Free Sex

Menurut Mariana, informasi hoax itu memicu kontroversi masyarakat. Situasi pun
menjadi tidak kondusif akibat beredarnya pesan hoax tersebut.

"Pesan-pesan negatif tersebut mengakibatkan pro-kontra di masyarakat dan menjadi


tidak berakhir dan tidak berujung pada penyelesaian. Pesan-pesan tersebut beredar
tanpa adanya konfirmasi, dialog, dan pembahasan yang sehat sehingga situasi menjadi
tidak kondusif," tutur dia.

Baca juga: Disebut Pro-Zina, RUU Hapus Kekerasan Seksual Diusulkan PDIP-
PKB-PAN

Mariana pun mengimbau masyarakat untuk selalu melakukan klarifikasi apabila


menerima informasi mengenai RUU P-KS. Informasi resmi, menurut Mariana, dapat
dilihat langsung di situs DPR dan Komnas Perempuan.

"Pihak-pihak yang melakukan pembohongan publik dengan menyebarkan informasi


yang tidak benar tentang RUU P-KS supaya segera menghentikan tindakannya, supaya
situasi yang kondusif untuk penghapusan kekerasan seksual di Indonesia di tengah
kondisi yang darurat kekerasan seksual ini, dapat diupayakan. Masyarakat sebelum
menyebarkan informasi, untuk klarifikasi, mengkonfirmasi terlebih dahulu sehingga
pesan-pesan negatif tentang substansi RUU P-KS tidak menjadi hoax. Informasi
tersebut dapat dilihat melalui website DPR-RI dan Komnas Perempuan," ujarnya.

Berikut sikap dari Komnas Perempuan dalam merespons beredarnya informasi hoax
mengenai RUU P-KS:

1. Bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dilatarbelakangi oleh hambatan-


hambatan yang dialami korban kekerasan seksual terutama perempuan dan anak
dalam mengakses pemulihan dan keadilan;

2. Akibat dengan tidak adanya perlindungan hukum, para korban kekerasan seksual
dan keluarganya mengalami penderitaan terus menerus. Hukum yang berlaku hanya
menempatkan kasus kekerasan seksual sebagai kasus kesusilaan, bukan sebagai
kasus kejahatan;

3. Komnas Perempuan sepanjang tahun 2013-2017 menerima laporan 28.019 kasus


kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan dan anak-anak baik terjadi di ranah
pribadi atau personal maupun komunitas (publik). Terdapat diantaranya 15.068 kasus
kekerasan seksual yang terjadi di dalam rumah tangga (relasi personal) dan terdapat
12.951 kasus kekerasan seksual terjadi di ranah komunitas (publik);

4. Dampak yang dialami korban kekerasan seksual diantaranya kehamilan yang tak
dikehendaki hingga lahirnya anak;

5. Korban terus bertambah diantaranya mengalami stress, depresi hingga gangguan


jiwa dan percobaan bunuh diri;

6. Minimnya partisipasi masyarakat dalam mencegah dan menangani korban kekerasan


seksual, perlu difasilitasi melalui regulasi sehingga mereka dapat optimal dalam
memberikan dukungan penuh untuk menikmati hak-hak korban sebagai manusia dan
warga negara;

7. Komnas Perempuan bersama Forum Pengada Layanan (Jaringan Organisasi


Masyarakat Pendamping Perempuan dan Anak Korban Kekerasan) sejak tahun 2015
telah menyusun Draft RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS) dan draft tersebut
sudah diserahkan ke Pimpinan DPR RI pada tahun 2016. Badan Legislasi DPR RI telah
membahas draft tersebut dan melakukan beberapa perbaikan. Melalui Sidang
Paripurna DPR RI, RUU itu disetujui sebagai RUU inisiatif DPR RI dan menunjuk
Komisi 8 untuk memimpin pembahasan. Pada tahap ini Draft RUU P-KS sudah menjadi
Naskah RUU P-KS yang akan dibahas oleh DPR RI bersama Pemerintah;

8. DPR RI sudah mengirimkan Naskah RUU kepada Pemerintah dan Presiden sudah
menunjuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA)
sebagai leading sector pembahasan. Pemerintah sudah menyampaikan DIM (Daftar
Inventaris Masalah) terkait RUU tersebut kepada Komisi 8;

9. Terhadap Naskah RUU dan DIM Pemerintah, Komnas Perempuan juga telah
menyampaikan DIM (Daftar Inventaris Masalah) kepada Pimpinan Panitia Kerja (Panja)
RUU P-KS di Komisi 8.
(knv/fjp)

Kawin Paksa Masuk Pidana di RUU Hapus


Kekerasan Seksual
Mochamad Zhacky - detikNews

Share 0 Tweet Share 0 2 komentar

Foto: andi saputra


Jakarta - Pembahasan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan
Seksual (RUU PKS) belum dilakukan secara mendalam oleh DPR. Meski demikian,
penolakan terhadap RUU PKS sudah muncul melalui sebuah petisi.

Petisi penolakan RUU PKS dilayangkan oleh orang yang pernah membuat petisi terkait
iklan yang dibintangi Blackpink, Maimon Herawati di situs change.org pada Minggu
(27/1/2019). Maimon menilai RUU PKS pro terhadap perzinahan karena hanya
melarang hal-hal terkait seksual yang bersifat pemaksaan.

"RUU ini bagus, tapi tidak lengkap. RUU ini tidak mengatur kejahatan seksual yang
dilarang agama dan nilai tata susila ketimuran. Dengan demikian, konsep hukum terkait
pelarangan. Jika tidak dilarang, berarti boleh," kata Maimon saat dihubungi.

Baca juga: F-PDIP: RUU Hapus Kekerasan Seksual Lindungi Korban, Tak Atur
Free Sex

Dalam draf RUU PKS yang diunggah dari situs DPR RI, terdapat sembilan poin tindak
pidana. Namun, sembilan poin itu tak mengatur tindak pidana mengenai hubungan
seksual sukarela. Namun mengatur juga soal pemaksaan perkawinan. Berikut
kutipannya:

Pasal 11

(1) Setiap orang dilarang melakukan Kekerasan Seksual.

(2) Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. pelecehan seksual;
b. eksploitasi seksual;
c. pemaksaan kontrasepsi;
d. pemaksaan aborsi;
e. perkosaan;
f. pemaksaan perkawinan;
g. pemaksaan pelacuran;
h. perbudakan seksual; dan/atau
i. penyiksaan seksual.
(3) Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi peristiwa
Kekerasan Seksual dalam lingkup relasi personal, rumah tangga, relasi kerja, publik,
dan situasi khusus lainnya.

Pasal berikutnya yakni dari Pasal 12-20 kemudian dijelaskan definisi dari masing-
masing poin yang terdapat dalam Pasal 11 ayat 2, termasuk soal definisi pemaksaan
perkawinan yang dijelaskan dalam Pasal 17. Berikut petikannya:

Baca juga: Disebut Pro-Zina, RUU Hapus Kekerasan Seksual Diusulkan PDIP-
PKB-PAN

Pasal 12

(1) Pelecehan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a adalah
Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk tindakan fisik atau non-fisik kepada
orang lain, yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang dan terkait hasrat
seksual, sehingga mengakibatkan orang lain terintimidasi, terhina, direndahkan, atau
dipermalukan.

(2) Pelecehan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a adalah
delik aduan, kecuali jika dilakukan terhadap anak, penyandang disabilitas dan anak
dengan disabilitas.

Pasal 13

Eksploitasi seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b adalah
Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk kekerasan, ancaman kekerasan, tipu
daya, rangkaian kebohongan, nama atau identitas atau martabat palsu, atau
penyalahgunaan kepercayaan, agar seseorang melakukan hubungan seksual
dengannya atau orang lain dan/atau perbuatan yang memanfaatkan tubuh orang
tersebut yang terkait hasrat seksual, dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau
orang lain.

Pasal 14

Pemaksaan kontrasepsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf c adalah
Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk mengatur, menghentikan dan/atau
merusak organ, fungsi dan/atau sistem reproduksi biologis orang lain, dengan
kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau
penyalahgunaan kekuasaan, sehingga orang tersebut kehilangan kontrol terhadap
organ, fungsi dan/atau sistem reproduksinya yang mengakibatkan Korban tidak dapat
memiliki keturunan.

Pasal 15

Pemaksaan aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf d adalah
Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk memaksa orang lain untuk melakukan
aborsi dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan,
penyalahgunaan kekuasaan, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu
memberikan persetujuan.

Pasal 16

Perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf e adalah Kekerasan
Seksual yang dilakukan dalam bentuk kekerasan, ancaman kekerasan, atau tipu
muslihat, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan
persetujuan untuk melakukan hubungan seksual.

Pasal 17

Pemaksaan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf f adalah
Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk menyalahgunakan kekuasaan
dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau
tekanan psikis lainnya sehingga seseorang tidak dapat memberikan persetujuan yang
sesungguhnya untuk melakukan perkawinan.

Pasal 18

Pemaksaan pelacuran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf g adalah
Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk kekerasan, ancaman kekerasan,
rangkaian kebohongan, nama, identitas, atau martabat palsu, atau penyalahgunaan
kepercayaan, melacurkan seseorang dengan maksud menguntungkan diri sendiri
dan/atau orang lain.
Pasal 19
Perbudakan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf h adalah
Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk membatasi ruang gerak atau
mencabut kebebasan seseorang, dengan tujuan menempatkan orang tersebut
melayani kebutuhan seksual dirinya sendiri atau orang lain dalam jangka waktu
tertentu.

Pasal 20

Penyiksaan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf i adalah
Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk menyiksa Korban.
(zak/tor)

F-PDIP: RUU Hapus Kekerasan Seksual


Lindungi Korban, Tak Atur Free Sex
Marlinda Oktavia Erwanti - detikNews

Share 0 Tweet Share 0 14 komentar


Foto: Budiman Sudjatmiko (Agung Pambudhy/detikcom)

Jakarta - Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual


(RUU PKS) jadi kontroversi setelah muncul petisi penolakan. Fraksi PDIP, sebagai
salah satu pengusul, menjelaskan urgensi dari RUU itu.

Anggota Komisi VIII dari Fraksi PDIP, Budiman Sudjatmiko, menegaskan RUU PKS
tidak mengatur tentang seks bebas. RUU ini dirancang untuk melindungi para korban
kekerasan seksual yang selama ini kerap disalahkan.

"Tujuannya adalah untuk melindungi korban-korban kekerasan seksual yang selama ini
tidak pernah dianggap sebagai korban, semata-mata adalah karena berbagai aturan
yang selama ini ada," ujar Budiman saat dihubungi, Senin (4/2/2019).

"UU ini tidak mengatur soal free seks dan segala macam," imbuhnya.

Baca juga: Disebut Pro-Zina, RUU Hapus Kekerasan Seksual Diusulkan PDIP-
PKB-PAN
Budiman mengatakan, selama ini aturan yang ada justru membebankan kesalahan
pada korban kekerasan seksual, yang seringkali dari kelompok sosial yang lebih lemah.
UU yang ada, kata dia, tidak melindungi korban kekerasan seksual.

"UU ini ada untuk mengatur adanya pemaksaan-pemaksaan dan jebakan-jebakan.


Karena selama ini yang dipaksa, yang dijebak adalah korban akibat kekerasan seksual,
setelah jadi masalah malah mereka disalahkan. Malah mereka adalah korban
pemaksaan dan korban jebakan, korban kekerasan," tutur Budiman.

"Nah justru ini adalah untuk mengatur agar korban-korban itu tidak lagi ditelanjangi
seperti sekarang. Sudah jadi korban kekerasan, objek pemaksaan, objek jebakan
budaya itu, malah mereka yang kemudian dipidanakan. Nah kebanyakan mereka itu
adalah kaum perempuan, apalagi jika mereka dari kalangan sosial yang menengah ke
bawah, kebanyakan di situ," sambungnya.

Baca juga: Daftar Pidana di Draf RUU Hapus Kekerasan Seksual yang Disebut
Pro-Zina

Budiman pun menilai penentangan terhadap RUU PKS sangat bias maskulinitas.
Penentangan itu seolah menjadi bentuk keberpihakan terhadap para pelaku kekerasan
seksual yang selama ini berlindung di bawah aturan yang tidak pro terhadap korban.

"Bias dari kelompok sosial yang selama ini dalam banyak kasus kerap mereka menjadi
pelaku, dan mereka selama ini berlindung di bawah hal itu, tidak disalahkan karena itu,
tidak bertanggung jawab karena itu, yang disalahkan adalah si korbannya yang
kebanyakan perempuan dan dari kelompok yang lebih rendah. Jadi artinya kalau
mereka perempuan dan dari kelas yang lebih rendah bebannya semakin berat," ujar
Budiman.

"Itu saya kira tidak bicara soal free seks, tapi melindungi korban. Ini soal kesetaraan,
keadilan, hak-hak korban, segala macam. Mulia sekali," sambung dia.

Sebelumnya, RUU PKS jadi kontroversi setelah muncul petisi penolakan. Bahkan, RUU
itu mendapat penolakan dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Penolakan itu lantaran RUU PKS dianggap pro perzinahan karena dianggap hanya
melarang hal-hal terkait seksual yang bersifat pemaksaan. Apalagi, dalam RUU PKS
tak dilarang mengenai hubungan seksual sukarela yang tidak sesuai dengan adat
ketimuran.
(mae/tor)

Selasa 29 Januari 2019, 17:13 WIB

Komnas Perempuan: RUU Hapus Kekerasan


Seksual Bukan untuk Legalkan Zina
Jabbar Ramdhani - detikNews

Share 0 Tweet Share 0 2 komentar

Aliansi Masyarakat Tolak Kekerasan Seksual beraksi di depan kantor Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan
Anak (PPA), Selasa (8/12/2015) lalu. (Foto: Ari Saputra/detikcom)

Jakarta - Sebuah petisi online dibuat untuk menolak RUU Penghapusan Kekerasan
Seksual (RUU PKS) karena disebut mendukung perbuatan zina. Komnas Perempuan
meluruskan tuduhan tersebut.

Komisioner Komnas Perempuan Imam Nakhae'ie menegaskan RUU ini dibuat bukan
untuk melegalkan perzinaan hingga LGBT. Dia mengatakan RUU ini akan khusus pada
kasus kekerasan seksual.

Baca juga: Penggagas Petisi Blackpink Kini Bikin Petisi Tolak RUU Kekerasan
Seksual

"Sebetulnya petisi yang menolak RUU PKS dengan alasan bahwa RUU PKS pro-zina,
pro-aborsi, pro-LGBT, dan seterusnya, itu tidak membaca baik RUU itu. RUU PKS
sama sekali tidak ingin melegalkan perzinaan, melegalkan aborsi atau bahkan
melegalkan LGBT," ucap Imam kepada wartawan, Selasa (29/1/2019).

Petisi ini dibuat Maimon Herawati di situs change.org pada Minggu (27/1). Komnas
Perempuan salah satu pihak yang dituju petisi berjudul 'TOLAK RUU Pro Zina'. Dalam
petisi tersebut, Maimon menjelaskan alasan menolak RUU Penghapusan Kekerasan
Seksual. Poin yang disorotnya di antaranya soal pemaksaan hubungan seksual yang
bisa dijerat hukum. Sementara hubungan seksual suka sama suka di luar pernikahan
diperbolehkan. Begitu soal aborsi yang bisa dijerat hukum hanya yang bersifat
pemaksaan. Sementara jika sukarela diperbolehkan.

Baca juga: Muncul Penolakan, Komisi VIII DPR Bantah RUU Kekerasan
Seksual Pro-zina

Kembali ke penjelasan Imam, dia menegaskan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual


ini khusus (lex spesialis) menangani kekerasan seksual. Terkait perzinaan sudah diatur
dalam KUHP. Begitu juga soal aborsi yang sudah diatur dalam KUHP, UU Kesehatan,
hingga PP 61/2014 tentang kesehatan reproduksi.

"RUU PKS ini adalah rancangan undang-undang yang lex spesialis untuk kekerasan
seksual. Jadi untuk perzinaan kita tidak atur karena memang sudah diatur, contohnya
dalam KUHP. Jadi kita lebih melihat pada aspek kekerasannya, ini lex spesialis. Lebih
melihat pada aspek pemenuhan kebutuhan korban, pemenuhan hak korban. Yang mau
diatur di situ. Bukan konteksnya ingin melegalkan perzinaan atau LGBT," tutur Imam.
Baca juga: Menteri PPA Perjuangkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Jadi UU

Imam mengatakan di dalam tim yang fokus pada RUU Kekerasan seksual juga banyak
melibatkan para ulama dan tokoh perempuan. Dia mengatakan Komnas Perempuan
ingin agar RUU ini disahkan karena kasus kekerasan seksual yang terus terjadi.

"RUU ini semangatnya bukan untuk legalkan perzinaan, LGBT, ataupun pro-aborsi.
Tapi untuk perlindungan korban dan tak terjadi impunitas terhadap pelaku kekerasan
seksual," ujar Imam.
(jbr/imk)

Ketua DPR Tepis RUU Kekerasan Seksual


Pro-zina: Dasar Kita Agama
Tsarina Maharani - detikNews

Share 0 Tweet Share 0 30 komentar


Ketua DPR Bambang Soesatyo (Foto: dok DPR)

Jakarta - Ketua DPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) membantah Rancangan Undang-


Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) memuat pasal-pasal pro-zina.
Bamsoet memastikan DPR tidak mendukung zina.

"Saya pastikan bahwa kami akan menjaga dengan ketat. Karena dasar kita agama.
Mayoritas adalah muslim. Masalah zina dan LGBT pasti nomor satu akan kita adang,"
kata Bamsoet di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (30/1/2019).

Soal tuduhan pro-zina ini berawal dari munculnya petisi penolakan terhadap RUU PKS.
Petisi penolakan RUU PKS dibuat oleh Maimon Herawati dengan judul 'TOLAK RUU
Pro Zina'. Hanya dalam kurun dua hari, petisi itu sudah diteken 91 ribu kali pada Selasa
(29/1).

Petisi ini ditujukan ke Komisi VIII DPR RI dan Komnas Perempuan. Maimon dulu juga
pernah membuat petisi penolakan iklan yang menampilkan girlbandasal Korea Selatan,
Blackpink.
Baca juga: Komnas Perempuan: RUU Hapus Kekerasan Seksual Bukan untuk
Legalkan Zina

Bamsoet mengaku heran atas petisi penolakan itu. Sebab, menurut dia, DPR kerap
didesak segera menyelesaikan RUU PKS.

"Sekarang kita melihat mendukung di sisi apa, menolaknya di sisi apa," ujarnya.

Ia pun menegaskan RUU PKS akan diselesaikan secepatnya. Bamsoet menargetkan


RUU PKS selesai di DPR periode ini.

"Kami menargetkan sebelum masa periode kita ini berakhir RUU PKS itu diselesaikan,"
sebut Bamsoet.

Fraksi PKS Tolak Draf RUU Penghapusan


Kekerasan Seksual
Gibran Maulana Ibrahim - detikNews

Share 0 Tweet Share 0 9 komentar


Jazuli Juwaini (Lamhot Aritonang/detikcom)

Jakarta - Draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sedang ramai dibahas lantaran
ada petisi yang berisi penolakan karena menganggap rancangan undang-undang itu
pro-zina. Atas berbagai masukan, Fraksi PKS DPR menolak draf tersebut.

"Fraksi PKS bukan tanpa upaya (memberi masukan) sehingga sampai pada kesimpulan
menolak draf RUU. Fraksi sudah secara tegas memberikan masukan perubahan, tetapi
tidak diakomodir dalam RUU. Untuk itu, Fraksi PKS menyatakan dengan tegas menolak
draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual," tegas Ketua Fraksi PKS DPR Jazuli
Juwaini dalam keterangannya, Jumat (1/2/2019).

Baca juga: Ketua DPR Tepis RUU Kekerasan Seksual Pro-zina: Dasar Kita
Agama

Jazuli memerinci masukan substansial Fraksi PKS yang, menurutnya, sama sekali
tidak diakomodasi dalam RUU. Masukan itu dari perubahan definisi dan cakupan
kekerasan seksual hingga perspektif yang menempatkan Pancasila, khususnya nilai-
nilai agama yang berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai asas dalam RUU.
"Definisi kekerasan seksual hingga cakupan tindak pidana kekerasan seksual dominan
berperspektif liberal yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, agama, dan budaya
ketimuran. Bahkan berpretensi membuka ruang sikap permisif atas perilaku seks bebas
dan menyimpang," kata Jazuli.

Baca juga: Komnas Perempuan: RUU Hapus Kekerasan Seksual Bukan untuk
Legalkan Zina

Sikap tegas Fraksi PKS ini, kata Jazuli, diperkuat oleh derasnya kritisi dan penolakan
dari tokoh-tokoh agama, para ahli, ormas, dan elemen masyarakat lainnya terhadap
RUU ini. RUU ini dinilai sejumlah pihak justru berpotensi memberi ruang bagi perilaku
seks bebas dan perilaku seks menyimpang yang secara otomatis bertentangan dengan
Pancasila dan norma agama.

"Atas dasar itulah, Fraksi PKS semakin mantap dan yakin untuk menolak draf RUU
tersebut serta akan menempuh langkah konstitusional agar DPR membatalkan
pembahasan RUU tersebut," sebut Jazuli.

Baca juga: Penggagas Petisi Blackpink Kini Bikin Petisi Tolak RUU Kekerasan
Seksual

Soal tuduhan pro-zina ini berawal dari kemunculan petisi penolakan terhadap RUU
PKS. Petisi penolakan RUU PKS dibuat oleh Maimon Herawati dengan judul 'TOLAK
RUU Pro Zina'. Ketua DPR Bambang Soesatyo atau Bamsoet mengaku heran atas
petisi penolakan itu. Sebab, menurut dia, DPR kerap didesak segera menyelesaikan
RUU PKS.

Ia pun menegaskan RUU PKS akan diselesaikan secepatnya. Bamsoet menargetkan


RUU PKS selesai di DPR periode ini.

"Sekarang kita melihat mendukung di sisi apa, menolaknya di sisi apa," ujarnya. "Kami
menargetkan sebelum masa periode kita ini berakhir RUU PKS itu diselesaikan," imbuh
Bamsoet.
Jadi Pro-Kontra, RUU Hapus Kekerasan
Seksual Belum Dibahas Per Pasal
Dwi Andayani - detikNews

Share 0 Tweet Share 0 1 komentar

Diskusi 'Pro-Kontra RUU Penghapusan Kekerasan Seksual' di d'Consulate Resto & Lounge, Jl KH Wahid Hasyim,
Jakarta Pusat (Dwi Andayani/detikcom)

Jakarta - RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masih menjadi perbincangan banyak


pihak. Komisi VIII DPR RI mengatakan saat ini belum melakukan pembahasan secara
mendalam terkait RUU tersebut.

"Saya anggota Panja (Panitia Kerja) RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Kami
agak sedikit bingung kalau saat ini dibilang bisa lolos, karena pembahasan belum
dilakukan. Jadi ini harus clear dulu," ujar anggota Komisi VIII DPR RI Rahayu Saraswati
Djojohadikusumo dalam diskusi polemik 'Pro-Kontra RUU Penghapusan Kekerasan
Seksual' di d'Consulate Resto & Lounge, Jl KH Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Sabtu
(2/2/2019).
Baca juga: Fraksi PKS Tolak Draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Sara mengatakan saat ini Komisi VIII belum melakukan pembahasan per pasal, hanya
baru menggelar rapat dengar pendapat umum (RPDU). Menurutnya, saat ini Komisi VIII
masih membahas RUU lain.

"Sampai sekarang belum ada pembahasan pasal per pasal. Kita baru RDPU yang
dimana kami masih kumpulkan masukan-masukan," ujar Sara.

"Kita melihat di Komisi VIII masih ada RUU yang masuk terlebih dahulu, karena ada
RUU lain yang sudah masuk ke Prolegnas prioritas terlebih dulu. Seperti RUU Praktik
Pekerjaan Sosial, yang tidak kalah pentingnya," sambungnya.

Baca juga: Ketua DPR Tepis RUU Kekerasan Seksual Pro-zina: Dasar Kita
Agama

Dia mengatakan pembahasan RUU sampai diputuskan berlangsung lama, dan masih
dapat direvisi. Sara juga menanggapi soal penolakan disahkannya RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual dari publik. Menurutnya, hal ini menjadi masukan bagi Komisi VIII
saat dilakukan pembahasan.

"RUU ini berbeda dengan perppu. Kalau perppu diajukan pemerintah. Kalau RUU
sampai ketok palu masih bisa ada masukan-masukan. Kalau ini sudah berakhir. Kalau
ada gerakan penolakan fine-fine saja karena itu jadi masukan. Jadi jangan langsung
dikira draf itu hasil akhir," tuturnya.

Baca juga: Komnas Perempuan: RUU Hapus Kekerasan Seksual Bukan untuk
Legalkan Zina

Diketahui draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sedang ramai dibahas lantaran
ada petisi yang berisi penolakan karena menganggap rancangan undang-undang itu
pro-zina. Tuduhan pro-zina ini berawal dari munculnya petisi penolakan terhadap RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual.

Petisi penolakan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dibuat oleh Maimon


Herawati dengan judul 'TOLAK RUU Pro Zina'. Petisi ini ditujukan ke Komisi VIII DPR
RI dan Komnas Perempuan.

Baca juga: Penggagas Petisi Blackpink Kini Bikin Petisi Tolak RUU Kekerasan
Seksual

Dalam petisi tersebut, Maimon menjelaskan alasan menolak RUU Penghapusan


Kekerasan Seksual. Poin yang disorotnya di antaranya soal pemaksaan hubungan
seksual yang bisa dijerat hukum. Sementara itu, hubungan seksual suka sama suka di
luar pernikahan diperbolehkan. Begitu juga soal aborsi yang bisa dijerat hukum hanya
yang bersifat pemaksaan. Sedangkan jika sukarela diperbolehkan.

Godok RUU Hapus Kekerasan Seksual, DPR


Libatkan Tokoh Lintas Agama
Dwi Andayani - detikNews

Share 0 Tweet Share 0 0 komentar


Anggota Komisi VIII DPR RI, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo (Foto: Dwi Andayani/detikcom)

Jakarta - Komisi VIII DPR RI belum membahas secara mendalam RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual. Namun, Komisi VIII yakin RUU ini selesai tahun ini.

"Kami berharap dan kami optimis bisa selesai tahun ini. Saya berharap sebelum
pergantian periode tentunya," ujar anggota Komisi VIII DPR RI, Rahayu Saraswati
Djojohadikusumo, di d'Consulate Resto & Lounge, Jl KH Wahid Hasyim, Jakarta Pusat,
Sabtu (2/2/2019).

Baca juga: Jadi Pro-Kontra, RUU Hapus Kekerasan Seksual Belum Dibahas Per
Pasal

Sara menampik pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini mandek dan
menemui kendala. Dia mengatakan Komisi VII perlu mendapat masukan dan
pertimbangan dari berbagai pihak agar tidak kembali adanya revisi.

"Nggak juga, karena ada RUU yang lain yang jauh lebih lama belum selesai, jadi bukan
mandek tapi terus berjalan. Namun memang hal seperti ini masih harus jadi bahan
pertimbangan jangan sampai kita blunder, buat RUU di desak-desak akhirnya malah
nanti harus direvisi lagi," ujar Sara.

Sara mengatakan pihaknya telah melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU)
bersama para tokoh lintas agama. Selain itu, memastikan agar tidak adanya celah
hukum dalam aturan tersebut. Komisi VIII menggodok RUU ini dengan melibatkan
tokoh agama.

Baca juga: Fraksi PKS Tolak Draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

"Tentunya dengan banyak masukan dari tokoh agama, dari segi agama kita tidak
melepas itu. Kita gelar RDPU dengan tokoh-tokoh agama, bahkan kita pertimbangkan
masukan dari MUI dan juga dari tokoh-tokoh lintas agama," kata Saras.

"Kedua memastikan bahwa undang-undang lainnya tidak tumpang tindih, jangan


sampai ini kita memberikan celah seperti yang ditakutkan orang," sambungnya.

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tengah ramai dibahas setelah ditolak lewat
petisi online karena dianggap mendukung kegiatan zina. Petisi penolakan RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual dibuat oleh Maimon Herawati dengan judul 'TOLAK
RUU Pro Zina'.

Baca juga: Ketua DPR Tepis RUU Kekerasan Seksual Pro-zina: Dasar Kita
Agama

Petisi ini ditujukan ke Komisi VIII DPR RI dan Komnas Perempuan. Dalam petisi
tersebut, Maimon menjelaskan alasan menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Poin yang disorotnya di antaranya soal pemaksaan hubungan seksual yang bisa dijerat
hukum. Sementara hubungan seksual suka sama suka di luar pernikahan
diperbolehkan. Begitu soal aborsi yang bisa dijerat hukum hanya yang bersifat
pemaksaan. Sementara jika sukarela diperbolehkan.

Komisi VIII dan Komnas Perempuan sudah membantah dan meluruskan bahwa RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual pro-zina. Ketua DPR Bambang Soesatyo (Bamsoet)
pun menegaskan masalah zina dan LGBT akan dihadang atas alasan agama.
Komnas Perempuan: RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual Penting demi Keadilan
Dwi Andayani - detikNews

Share 0 Tweet Share 0 0 komentar

Diskusi 'Pro Kontra RUU Penghapusan Kekerasan Seksual' (Dwi Andayani/detikcom)

Jakarta - Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas


Perempuan) menyatakan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual penting bagi para
korban. Menurut Komnas, RUU itu nantinya bakal membuka akses yang cukup bagi
korban kekerasan seksual untuk mencari keadilan.

"Ini sesungguhnya keresahan Komnas Perempuan, mengusulkan untuk RUU


Penghapusan Kekerasan Seksual, sebenarnya berangkat dari fenomena ada hambatan
di mana perempuan korban seksual dan laki-laki tidak mendapatkan akses yang cukup
untuk dapatkan keadilan," ujar komisioner Komnas Perempuan Imam Nahe'i dalam
diskusi polemik 'Pro-Kontra RUU Penghapusan Kekerasan Seksual' di d'Consulate
Resto & Lounge, Jl KH Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Sabtu (2/2/2019).

Baca juga: Godok RUU Hapus Kekerasan Seksual, DPR Libatkan Tokoh Lintas
Agama

Imam mengatakan korban kekerasan seksual yang tak mendapat akses cukup untuk
keadilan bakal mengalami dampak yang serius. Dampak itu bisa berupa dampak fisik
ataupun psikis.

"Ketika perempuan tak mendapat akses keadilan dengan baik, akan terjadi viktimisasi.
Ada dampak serius, yakni fisik dan psikis. Ini dampak khas dari kekerasan seksual,"
tuturnya.

Dia menyebut akses keadilan bagi korban kekerasan seksual belum terdapat dalam
aturan yang ada saat ini. Menurutnya, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
mengatur tindak pidana kekerasan seksual yang tidak seluruhnya diatur dalam KUHP.

Baca juga: Penggagas Petisi Blackpink Kini Bikin Petisi Tolak RUU Kekerasan
Seksual

"Ini tak didapatkan dari kebijakan sebelumnya. KUHP dalam kajian Komnas Perempuan
tak menyentuh ruang itu. Karena ada kekhasan dari RUU Penghapusan Kekerasan
seksual yang kosong dari KUHP dan ini yang dibidik dari RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual," kata Imam.

Saat ini draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tengah digodok oleh DPR. Pro-
kontra pun terjadi, salah satunya lewat adanya petisi yang berisi penolakan karena
menganggap RUU itu pro-zina.

Baca juga: Ketua DPR Tepis RUU Kekerasan Seksual Pro-zina: Dasar Kita
Agama

Tuduhan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini pro-zina ini dibuat oleh Maimon
Herawati di change.org pada Minggu (27/1). Maimon, yang dulu juga membuat petisi
terkait Blackpink, kali ini membuat petisi dengan judul 'TOLAK RUU Pro Zina' yang
ditujukan ke Komisi VIII DPR RI dan Komnas Perempuan.

Dalam petisi tersebut, Maimon menjelaskan alasan menolak RUU Penghapusan


Kekerasan Seksual. Poin yang dia soroti di antaranya soal pemaksaan hubungan
seksual yang bisa dijerat hukum. Sementara itu, hubungan seksual suka sama suka di
luar pernikahan diperbolehkan. Begitu juga soal aborsi, yang bisa dijerat hukum hanya
yang bersifat pemaksaan. Sedangkan jika sukarela diperbolehkan.

Ketua DPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) pun telah membantah RUU ini memuat
pasal-pasal pro-zina. Bamsoet memastikan DPR tidak mendukung zina.

"Saya pastikan bahwa kami akan menjaga dengan ketat. Karena dasar kita agama.
Mayoritas adalah muslim. Masalah zina dan LGBT pasti nomor satu akan kita hadang,"
kata Bamsoet di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (30/1).

Beda Sikap Gerindra-PKS di RUU Hapus


Kekerasan Seksual yang Disebut Pro-Zina
Tim detikcom - detikNews

Share 0 Tweet Share 0 6 komentar


Ilustrasi kekerasan seksual. Foto: Edi Wahyono

Jakarta - Di tengah ramainya perhelatan politik Pemilu 2019, dinamika di DPR juga
menghangat mengenai pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU)
Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Gerindra dan PKS beda sikap soal
RUU ini.

RUU ini tercatat di situs DPR diusulkan oleh tiga fraksi, yaitu Fraksi PDIP, PKB.
Sejumlah fraksi juga mendukung RUU ini, termasuk Gerindra.

"Ya kami hargai masing-masing pilihan dan sikap," kata Wakil Ketua Komisi VIII DPR
dari F-Gerindra Sodik Mujahid menanggapi penolakan F-PKS, Senin (4/2/2019).

Baca juga: Daftar Pidana di Draf RUU Hapus Kekerasan Seksual yang Disebut
Pro-Zina

Sodik menegaskan Gerindra fokus pada perlindungan dan pemulihan korban kekerasan
seksual. Gerindra juga akan menolak jika ada pasal pro-zina dan LGBT di RUU ini.

"RUU ini masih draf dan sangat terbuka untuk penyempurnaan. Gerindra tidak
mendukung dan akan menutup rapat-rapat jika ada pasal-pasal yang memberi ruang
untuk zina, untuk aborsi, untuk LGBT dan lain-lain," ujar Sodik.
Ilustrasi Gedung MPR/DPR. Foto: Lamhot Aritonang

Di sisi lain, Fraksi PKS menolak RUU ini. Atas berbagai masukan, Fraksi PKS DPR
menolak draf tersebut.

"Fraksi PKS bukan tanpa upaya (memberi masukan) sehingga sampai pada kesimpulan
menolak draf RUU. Fraksi sudah secara tegas memberikan masukan perubahan, tetapi
tidak diakomodir dalam RUU. Untuk itu, Fraksi PKS menyatakan dengan tegas menolak
draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual," tegas Ketua Fraksi PKS DPR Jazuli
Juwaini dalam keterangannya, Jumat (1/2/2019).

Baca juga: Godok RUU Hapus Kekerasan Seksual, DPR Libatkan Tokoh Lintas
Agama

Jazuli memerinci masukan substansial Fraksi PKS yang, menurutnya, sama sekali tidak
diakomodasi dalam RUU. Masukan itu dari perubahan definisi dan cakupan kekerasan
seksual hingga perspektif yang menempatkan Pancasila, khususnya nilai-nilai agama
yang berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai asas dalam RUU.

"Definisi kekerasan seksual hingga cakupan tindak pidana kekerasan seksual dominan
berperspektif liberal yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, agama, dan budaya
ketimuran. Bahkan berpretensi membuka ruang sikap permisif atas perilaku seks bebas
dan menyimpang," kata Jazuli.

Sikap tegas Fraksi PKS ini, kata Jazuli, diperkuat oleh derasnya kritik dan penolakan
dari tokoh-tokoh agama, para ahli, ormas, dan elemen masyarakat lainnya terhadap
RUU ini. RUU ini dinilai sejumlah pihak justru berpotensi memberi ruang bagi perilaku
seks bebas dan perilaku seks menyimpang yang secara otomatis bertentangan dengan
Pancasila dan norma agama.

"Atas dasar itulah, Fraksi PKS semakin mantap dan yakin untuk menolak draf RUU
tersebut serta akan menempuh langkah konstitusional agar DPR membatalkan
pembahasan RUU tersebut," sebut Jazuli.

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tengah ramai dibahas setelah ditolak lewat
petisi online karena dianggap mendukung kegiatan zina. Petisi penolakan RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual dibuat oleh Maimon Herawati dengan judul 'TOLAK
RUU Pro Zina'.

Petisi ini ditujukan ke Komisi VIII DPR RI dan Komnas Perempuan. Dalam petisi
tersebut, Maimon menjelaskan alasan menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Poin yang disorotnya di antaranya soal pemaksaan hubungan seksual yang bisa dijerat
hukum. Sementara hubungan seksual suka sama suka di luar pernikahan
diperbolehkan. Begitu soal aborsi yang bisa dijerat hukum hanya yang bersifat
pemaksaan. Sementara jika sukarela diperbolehkan.

Komisi VIII dan Komnas Perempuan sudah membantah dan meluruskan bahwa RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual pro-zina. Ketua DPR Bambang Soesatyo (Bamsoet)
pun menegaskan masalah zina dan LGBT akan dihadang atas alasan agama.
(tor/imk)

Urgensi Pengesahan RUU PKS


Fanny S. Alam
 - detikNews

Fanny S. Alam


Share 0 Tweet Share 0 0 komentar


Komisi VIII DPR rapat bahas RUU PKS (Foto: Yayas)

Jakarta - Kabupaten Ogan Ilir, Palembang menjadi saksi bagaimana ditemukannya


jasad seorang perempuan berinisial IA yang dibunuh dan dibakar serta sebelumnya
mengalami tindak ruda paksa oleh dua orang tersangka dari empat yang tertangkap
pada 20 Januari 2019 silam. Lebih mengenaskan lagi, tindakan itu dilakukan oleh salah
seorang tersangka ketika perempuan tersebut telah meninggal akibat pukulan sebilah
kayu oleh tersangka lainnya.

Kasus tersebut mengingatkan kita kepada pengalaman mengerikan yang terjadi


terhadap Yuyun pada 2016 di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu ketika yang
bersangkutan ditemukan meninggal dalam keadaan tangan terikat hingga ke paha serta
ditemukan lebam di wajah dan mengalami tindak ruda paksa serta dinyatakan telah
meninggal ketika tindak tersebut dilakukan. Sebanyak 14 tersangka ditemukan
melakukan ini terhadap Yuyun.

Kasus tersebut akhirnya berimbas kepada pemerintah pusat, di mana saat itu Presiden
Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perpu) Kekerasan Seksual terhadap Anak No 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua
atas UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Salah satu tindakan yang
tercatat secara legal terhadap para pelaku kejahatan kekerasan seksual ini adalah
kebiri secara kimiawi. Apakah Perpu ini berjalan dengan efektif atau tidak sebenarnya
bisa dilihat dengan naiknya kasus kekerasan seksual, terutama terhadap perempuan
dari angka 259.150 menjadi 335.062 kasus. Ini belum termasuk kasus yang melibatkan
korban anak laki-laki. Demikian menurut Komisioner Komnas Perempuan Riri Khairiroh.

Sementara itu, usaha yang lebih komprehensif dari sekedar rilis Perpu sebenarnya
telah diinisiasi oleh Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan, suatu forum
yang sudah bekerja secara mendalam dalam penanganan kasus-kasus kekerasan
seksual serta pendampingan secara telisik kepada korban-korban kekerasan seksual,
sehingga mereka dapat mengakses layanan advokasi secara menyeluruh dari medis,
psikologis, serta penanganan hukum. Upaya penetapan usulan-usulan masyarakat sipil
sejak 2015 telah dilakukan sehingga terciptalah tahapan lanjut pengajuan Rancangan
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang menjadi prioritas
dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada 2016.

Sekarang, RUU tersebut telah berada di tangan Panitia Kerja Komisi VIII DPR. Hingga
kini pengesahan RUU ini masih belum menemukan titik temu positif sehingga
keberadaannya masih mengawang-awang pada saat masa kerja para anggota dewan
akan berakhir.

Perluasan Terminologi

Dilema mengenai kekerasan seksual, terutama yang dipahami oleh aparat dan pejabat
negara sering menimbulkan kebuntuan untuk memberikan solusi tepat ke depannya.
Termasuk dimensi yang terdapat dalam RUU PKS. Pasal 11 dalam RUU ini mengatur
kekerasan seksual yang jauh lebih mendalam daripada tindak ruda paksa semata,
termasuk di dalamnya adalah pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan
kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan
pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.

Dimensi yang lebih luas itu ada karena regulasi pemerintah yang ada diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak mengatur secara mendalam kasus-kasus
yang termasuk dalam kekerasan seksual sehingga regulasi tersebut tidak menyasar
pada akar permasalahannya serta minim perlindungan pada korban (Ratna Bantara
Munti, Koordinator Jaringan Prolegnas pro Perempuan). Konsep ini juga berlaku tidak
hanya perlindungan terhadap perempuan, tetapi anak-anak dan laki-laki, orang dengan
disabilitas, serta kelompok rentan lainnya akan kekerasan seksual.

Perluasan terminologi kekerasan seksual merupakan hal yang sebelumnya tidak


diakomodasi oleh KUHP yang kemungkinan besar akan membiarkan impunitas
pelakunya dan cenderung menyudutkan korbannya.

Perspektif negara yang seharusnya melindungi warga negaranya dalam kasus-kasus


kekerasan seksual ditantang di sini karena jarangnya mereka memperlihatkan
keberpihakan secara total terhadap korban-korban kekerasan seksual. Masih belum
disepakatinya konsepsi kekerasan seksual dalam pemikiran para aparat serta anggota
perwakilan rakyat menyebabkan terhambatnya pengesahan RUU PKS dalam jangka
waktu relatif lama.

Kombinasi peran pemerintah dan masyarakat dalam pengentasan kekerasan seksual


dalam RUU PKS dapat terlihat jelas dalam usaha pemenuhan hak-hak korban
kekerasan seksual, mulai dari pendampingan hukum, medis, psikologis ditambah
psikososial dan aspek pemulihan korban.

Dalam hal pemberdayaan aparatur sipil negara dan penegak hukum lengkap beserta
satuan di bawahnya, RUU PKS jelas memasukkan materi penghapusan kekerasan
seksual dalam kurikulum pendidikan dan pelatihan bagi mereka dan dikelola negara
(Pasal 6 ayat e) serta bagaimana negara membangun dan mengintegrasikan data
kekerasan seksual dalam sistem pendataan nasional diatur oleh Badan Pusat Statistik.

Integrasi peran aparat sipil negara, penegak hukum, dan satuan di bawahnya dalam
mengentaskan kekerasan seksual secara komprehensif dimulai dengan pemberdayaan
pengetahuan yang berbasis kesetaraan gender, mendorong empati terhadap korban,
serta membangun sensitivitas terhadap kasus-kasus kekerasan seksual untuk
mendorong kerja aparat yang lebih serius dan mendalam.

Hambatan Signifikan

Dapat dipahami mengapa terdapat hambatan-hambatan signifikan dalam pengesahan


RUU PKS ini. Kontroversi yang berada di media sosial menyatakan bahwa RUU ini
akan menjadi jalan liberalisasi hubungan seks bebas, dan inisiasi nilai-nilai feminisme
barat yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia.
Semangat RUU PKS yang jelas-jelas melibatkan tokoh-tokoh akademisi, lembaga
kemanusiaan, advokat hukum, tokoh-tokoh pemuka lintas agama, serta elemen
pemerintah dan masyarakat setidaknya dianggap kontroversial oleh beberapa
kelompok yang berseberangan dengan pengesahan RUU ini.

Pro dan kontra sebenarnya wajar mengingat pengesahan RUU PKS ini bukan hal yang
dianggap setengah-setengah karena ini merupakan upaya perlindungan kepada warga
negara Indonesia secara keseluruhan tanpa adanya diskriminasi dan berbasis nilai hak
asasi manusia dengan mempertimbangkan nilai-nilai sosial budaya Indonesia.
Kepentingan demi kepentingan memang tidak mudah dicapai dalam waktu singkat
karena banyaknya pertimbangan. Tapi, terkadang beda pendapat hingga meluas terjadi
karena hal-hal yang sebenarnya mudah untuk diatasi, misalnya meningkatkan
kapasitas literasi untuk memeriksa ulang sumber informasi sehingga kita tidak
terjerumus dalam lingkaran hitam sebaran kabar yang mungkin belum valid.

RUU PKS ini tidak mungkin menghilangkan semangat anti kekerasan seksual tanpa
mengindahkan nilai-nilai yang sudah ada. Sekarang hanya diperlukan "goodwill" atau
niat baik tanpa berprasangka untuk sama-sama membahas isi RUU dengan
komprehensif sehingga tidak akan ada penundaan lebih lama jika diperlukan revisi
tambahan atau sejenisnya. Karena usaha-usaha preventif dan pasca kekerasan
seksual jauh lebih menanti penanganan serius dari elemen pemerintah dan
masyarakat.

Polemik RUU PKS dan Perlunya Nalar Kritis


Ersa Khaiya - detikNews

Ersa Khaiya

Share 0 Tweet Share 0 0 komentar


Foto: Lamhot Aritonang

Jakarta - Akhir-akhir ini sangat ramai diperbincangkan mengenai Rancangan Undang-


Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS)yang kabarnya bila disahkah
bisa menjerumuskan orang kepada zina. Banyak tersebar berita bahwa pengesahan
RUU itu bisa sangat berbahaya dan bisa menimbulkan kekacauan sosial. Isi dari RUU
tersebut dikatakan berisi pelegalan untuk membebaskan kaum-kaum LGBT, pelegalan
aborsi, bahkan kebebasan berpakaian. Pada poin terakhir ini, bahkan ada sumber yang
mengatakan bahwa kebebasan berpakaian berarti seorang ibu bisa dijerat dengan
pasal di RUU PKS jika ibu tersebut menyuruh anaknya memakai jilbab tapi anaknya
tidak mau.

RUU ini bila disahkan dikatakan bisa melanggengkan fenomena seks bebas dalam
masyarakat karena menjadi justifikasi bagi seseorang untuk bisa bebas berhubungan
seks dengan siapa saja yang ia mau. Selain itu, RUU ini dikatakan pro dengan zina dan
juga pro dengan prostitusi. Apalagi ditambahi kabar bahwa RUU ini adalah produk
Barat, dan dalang yang menciptakan RUU ini adalah kaum feminis liberal. Kalau RUU
ini sampai diloloskan, ia akan menyampingkan UU PKDRT, UU Perkawinan, bahkan
UU Perlindungan Anak karena dalam hukum berlaku asas ''lex posteriori derogat legi
priori'' yang artinya UU terbaru menyampingkan UU yang lama.

Tak sampai di situ, dikatakan pula bahwa di RUU PKS ini memperjuangkan penyediaan
alat kontrasepsi bagi remaja dan pengakuan gender ketiga (LGBT). Banyak juga yang
beranggapan bahwa KUHP saja sudah cukup untuk melindungi korban-korban
kekerasan seksual, jadi tak perlu lagi ada RUU baru yang mengatur secara lebih jauh
terkait hal itu.

Ada banyak sekali tanggapan maupun kritik serta interpretasi dari RUU PKS tersebut.
Banyak orang yang menafsirkan RUU PKS sesuai dengan sudut pandangnya masing-
masing dan hal itu tentu sah-sah saja. Namun, di antara kabut-kabut komentar yang
semakin pekat dan riuh, seseorang bisa mudah sekali untuk terhalang pandangannya
dan sulit mendengar apa yang sebenarnya dimaksudkan oleh sumber utama yang
dijadikan perbincangan.

Sebelum kita memutuskan hendak berada dalam garis yang mana antara hitam-putih
maupun pro dan kontra terhadap RUU P-KS, akan lebih bijak kalau kita menelusuri
sumber pertama yang menyebabkan keriuhan ini. Yakni draftresmi RUU
PKS. Draft resmi tersebut bisa kita akses dengan mudah di laman
http://dpr.go.id/doksileg/proses2/RJ2-20170201-043128-3029.pdf dan bisa
kita download secara bebas. Dalam draft tersebut dikemukakan poin yang menjelaskan
apakah kekerasan seksual itu, dan apa makna penghapusan kekerasan seksual, dan
segala perincian mengenai RUU PKS.

Mengutip dari draft RUU PKS, kekerasan seksual adalah setiap perbuatan
merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh,
hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi secara paksa, bertentangan
dengan kehendak seseorang yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu
memberikan persetujuan dalam keadaan bebas karena ketimpangan relasi kuasa
dan/atau relasi gender yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau
kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya,
dan/atau politik.

Kemudian Penghapusan Kekerasan Seksual adalah segala upaya untuk mencegah


terjadi kekerasan seksual, menangani, melindungi, dan memulihkan Korban, menindak
pelaku dan mengupayakan tidak terjadi keberulangan kekerasan seksual.
Dalam RUU tersebut juga dijelaskan mengenai langkah yang sekiranya akan diambil
untuk menghapus kekerasan seksual, yaitu melalui tahap pencegahan, penanganan,
perlindungan, pemulihan korban, dan penindakan pelaku kekerasan supaya dia tidak
lagi mengulangi perbuatannya. Pada bagian pencegahan tertulis pula bidang-bidang
yang sekiranya harus dibenahi demi terciptanya lingkungan yang bebas dari kekerasan
seksual, di antaranya bidang pendidikan, infrastruktur, pelayanan publik dan tata ruang,
pemerintahan dan tata kelola kelembagaan, ekonomi, dan juga bidang sosial budaya.

Maka dari itu dengan RUU PKS ini kita lebih diberi ruang untuk mengedukasi
masyarakat mengenai kekerasan seksual, selain itu akan lebih mudah pula untuk
menciptakan program-program anti kekerasan seksual dan sistem keamanan yang
terpadu untuk kita semua.Aanak-anak sekolah juga akan lebih paham mengenai
pentingnya untuk menjaga diri karena terdapat pula agenda untuk memasukkan materi
penghapusan kekerasan seksual dalam kurikulum pendidikan di Indonesia.

Pada pasal yang lain dijelaskan pula apa saja yang tergolong dalam kekerasan seksual
itu, di antaranya pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi,
pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran,
perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. Tiap poinnya telah dijabarkan pula
dalam draft RUU PKS, dan pada bab inilah memang merupakan hal yang paling banyak
dikomentari. Hal seperti aborsi dalam draft ini ditentang jika dilakukan secara paksa dan
aborsi dilakukan tanpa persetujuan orang yang bersangkutan, sama halnya dengan
perkawinan tidak diperkenankan pula bila dilakukan dengan tanpa persetujuan salah
satu pihak. Begitu pula dengan pemaksaan pelacuran, orang yang memaksa
saudaranya atau orang lain untuk masuk ke dunia pelacuran akan bisa dihukum lewat
UU PKS.

Berdasarkan itu, kita menjadi tahu bahwa ternyata selama ini yang diatur dalam RUU
tersebut ialah kita tidak boleh melakukan pemaksaan kepada orang lain terkait dengan
fungsi reproduksinya. Seseorang tidak bisa untuk memaksa orang lain memuaskan
nafsu seksualnya semata dan merugikan pihak lain secara bebas. Seorang ayah tidak
bisa memaksa anaknya untuk menikah dengan orang lain yang dia tidak inginkan.
Ketika seseorang merasa tersiksa saat berhubungan seks, orang itu bisa melapor dan
mendapatkan payung hukum. Seorang calon ibu bisa memutuskan untuk
melangsungkan kehamilannya karena jika ada yang memaksanya untuk aborsi, si
pemaksa itu bisa dijerat UU PKS. Seseorang yang dipaksa untuk melacur kini bisa
menjerat orang yang mengeksploitasinya tersebut menggunakan UU ini. Dan, masih
banyak lagi.
Namun, ada yang berpendapat bahwa peraturan aborsi dalam RUU PKS cenderung
melegalkan praktik aborsi karena yang dijerat hanyalah masalah "pemaksaannya" --
''Jadi, kalau nggak dipaksa, berarti boleh dong gue aborsi''-- dan kalau sudah seperti itu
maka yang terjadi adalah orang-orang menjadi tidak takut lagi untuk melakukan
hubungan seks, karena tidak lagi khawatir kalau dalam berhubungan itu akan
menimbulkan kehamilan, karena aborsi "dilegalkan" dalam RUU PKS.

Tapi, ternyata tidak begitu! Undang-undang kita sudah mengatur perihal mengenai
aborsi dalam Pasal 75 UU 36/2009 tentang Kesehatan. Aborsi tetap tidak
diperkenankan kecuali ada indikasi kedaruratan medis dan kehamilan pada korban
perkosaan. Dengan kata lain aborsi memang diperbolehkan kalau mengganggu
kesehatan sang ibu maupun janin, dan juga boleh kalau memang janin itu adalah hasil
pemerkosaan. Namun, dalam pasal itu memang tidak diatur mengenai bagaimana
kalau seseorang dipaksa untuk aborsi, dan RUU PKS mencoba untuk memberikan
jalan keluar terkait masalah ini.

Sama halnya dengan peraturan prostitusi yang ada di RUU PKS, dalam RUU tersebut
pemaksaan pelacuran dilarang dan orang yang melakukan pemaksaan bisa dijerat oleh
hukum. Saya memang kurang bisa mengerti, bagaimana poin ini bisa berubah tafsirnya
menjadi "pelegalan zina". Mungkin karena tidak dituliskan bagaimana hukumnya orang
yang melakukan hubungan seks atas dasar suka sama suka. Terkait perzinaan KUHP
pun sudah mengaturnya dalam Pasal 284 dan sejujurnya RUU PKS memang tidak
membahas tentang "pelegalan zina", melainkan masalah pemaksaan prostitusi.

Prostitusi pun sudah diatur dalam KUHP Pasal 506 dan Pasal 296, di mana mucikari
dan penyedia tempat lokalisasi bisa dipidana, sedangkan untuk para pekerja seks RUU
PKS berusaha untuk memberikan perlindungan kepada seseorang (bahkan anak) yang
berada dalam lingkaran prostitusi paksa, yang sebelumnya belum ditegaskan dalam UU
Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Kabar bahwa dalam RUU PKS juga mengatur cara berpakaian serta melegalkan LGBT
tidak saya temukan pembahasannya dalam draft asli. Tidak disebutkan sama sekali
mengenai hukuman bagi orang yang memaksa orang lain berpakaian sesuai dengan
keinginannya. Dalam RUU tersebut juga tidak disebutkan bahwa RUU itu hanya berlaku
bagi orang dengan ketertarikan seksual tertentu, yang mana menunjukkan bahwa RUU
PKS memang tidak pandang bulu mengenai apa ketertarikan seksual korban kekerasan
seksual tersebut sebelum memutuskan mau diberi pertolongan atau tidak. Semua
orang bisa terlindungi dengan adanya RUU ini.

Pernyataan yang menegaskan bahwa RUU PKS adalah produk Barat dan diciptakan
oleh para feminis radikal tidak ditemukan pula kebenaran faktanya, dan bisa dipastikan
bahwa pernyataan in tidak memiliki dasar fakta yang riil alias hanya asumsi semata.

Lalu, bagaimana dengan asas hukum yang menyatakan bahwa keberadaan UU baru
akan menyampingkan UU yang lama? Sejauh pemahaman saya, fungsi RUU ini
bukanlah bertujuan untuk mengganti UU yang lama, melainkan menambahkan
peraturan-peraturan yang belum dicantumkan di KUHP maupun UU yang lain. Komnas
Perempuan ternyata juga telah menyatakan bahwa RUU PKS ini adalah aturan khusus
alias Lex Specialist dari KUHP.

Alasan lain mengapa RUU PKS ini muncul ialah karena pengaturan dalam KUHP
tentang kekerasan sangatlah terbatas. Inilah yang akan menjawab pernyataan
kelompok yang mengaku bahwa kita tidak membutuhkan RUU PKS karena sudah
memiliki undang-undang lain dan KUHP yang mengatur tentang kekerasan maupun
hubungan seksual. Pengaturan yang ada dalam KUHP secara garis besar mengatakan
bahwa bentuk kekerasan seksual hanyalah perkosaan dan pencabulan, padahal masih
banyak lagi bentuk-bentuk kekerasan seksual di luar itu. Pengaturan yang ada pun
belum sepenuhnya menjamin perlindungan hak korban. Melalui RUU PKS-lah detail
definisi kekerasan seksual yang kurang lengkap pada KUHP disempurnakan.

Penting rasanya ketika kita semua berada dalam kebingungan menentukan mana yang
sebenarnya benar, kekritisan harus menjadi hal yang utama untuk kita asah. Contohnya
saja pada kasus pro-kontra RUU PKS yang ternyata terdapat banyak sekali asumsi-
asumsi yang berada di luar tujuan maupun isi dari RUU itu sendiri.

Memang perlu kita sadari sebagai orang Indonesia kita lebih menyukai budaya
mendengar daripada budaya membaca, namun perlu kita sadari pula bahwa semua
yang diucapkan oleh beberapa orang atau kelompok tertentu tidak lantas menjadi
sebuah kebenaran yang final. Mau tidak mau, untuk mendapatkan kebenaran yang
objektif kita harus bisa bersabar dan mengkritisi situasi. Selain itu tentunya kita tetap
harus membaca supaya kita mendapatkan data-data secara holistik dan bisa
dipertanggungjawabkan, tidak hanya bergantung pada "katanya" yang tidak jelas
sumber data tersebut berasal entah dari golongan atau kepentingan yang mana.

Ersa Khaiya aktivis kesetaraan gender dan founder @feminisyogya


(mmu/mmu)

DPR Diminta Segera Sahkan RUU Penghapusan


Kekerasan Seksual
Samsudhuha Wildansyah - detikNews

Share 0 Tweet Share 0 0 komentar

DPR diminta segera sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (Foto: Samsudhuha Wildansyah/detikcom)

Jakarta - Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak jadi kasus yang paling
banyak ditangani LBH Jakarta. Terbaru ada kasus Baiq Nuril, tenaga honorer di SMAN
7 Mataram karena merekam percakapan mesum kepala sekolah.

"Untuk kasus kekerasan seksual ada 39 kasus. Karena maraknya kasus kekerasan
anak dan dewasa apalagi kita tahu kasus Bu Nuril. Bu Nuril menggambarkan kekerasan
seksual itu begitu tinggi," kata Direktur LBH APIK Jakarta, Siti Mazuma, Selasa
(27/11/2018).

Siti mengatakan ini di Pusat Kebudayaan Amerika, @america, di Pasific Place, Jalan
Jend Sudirman, Senayan, Jakarta Selatan. Dalam diskusi ini ikut hadir perwakilan
Komnas Perempuan, Komnas HAM, dan UN Women.

Baca juga: RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Diminta Segera Disahkan

Dia mengatakan pada 2017, di LBH APIK Jakarta saja ada 39 kasus kekerasan seksual
yang ditangani. Atas tingginya kasus ini, mendorong DPR untuk segera
mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

"Kasus Bu Nuril ini menggambarkan kekerasan seksual itu begitu tinggi. Ia baru mau
bersuara menyampaikan ia korban kekerasan seksual itu baru-baru ini. Padahal dia
tahu dia merekam dan dilecehkan. Bu Nuril dan perempuan-perempuan lain bahkan
setiap hari ada yang mengadu ke Komnas Perempuan, UN Women. Makanya kita
mendorong adanya RUU Penghapusan Kekerasan Perempuan," beber Siti.

Dia mengatakan kasus kekerasan terhadap perempuan butuh dorongan banyak pihak.
Pengungkapan kasus ini membutuhkan pendampingan dari proses pelaporan hingga
pembuktian.

Baca juga: Kasus Baiq Nuril, DPR Janji Kebut RUU Penghapusan Kekerasan
Seksual

Acara ini juga digelar untuk mengajak masyarakat ikut melakukan Kampanye 16 Hari
Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Kampanye ini dilakukan tiap tahun dimana
berlangsung dari tanggal 25 November yang merupakan Hari Internasional
Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan hingga tanggal 10 Desember yang
merupakan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional.

Di lokasi yang sama, komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan perjuangan
melawan kekerasan terhadap perempuan butuh perlindungan yang kuat. Dia
mengatakan perempuan punya kontribusi dalam merekonstruksi kebenaran. Dia
menambahkan, perempuan punya peran dalam hal perlindungan hukum. Salah satunya
ialah hadirnya pelayanan terpadu di kantor kepolisian.
"Kayak tadi kasusnya Nuril itu soal perspektif. Tantangan paling berat kita harus punya
perspektif. Banyak kasus di Komnas HAM yang kategorinya biasa atau pelanggaran
HAM berat. Di kantor ini hampir delapan tahun itu yang nanya proses kebanyakan
perempuan," ujar Choirul.

Baca juga: Komnas Perempuan Sesalkan Putusan MA Vonis Baiq Nuril 6 Bulan
Bui

Sementara itu, komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin, menyoroti


lambatnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dibahas DPR RI. Komnas
Perempuan menilai saat ini kekerasan seksual masih dianggap bukan pelanggaran
berat.

"Komnas Perempuan mengkritisi lambatnya RUU Penghapusan Kekerasan


Seksual dibahas DPR yang tidak kunjung dibahas dan disahkan di DPR sampai
sekarang. Padahal regulasi terkait kekerasan seksual saat ini sangat minim, hanya
berpegang pada KUHP," ungkap Mariana.

"Hal ini menjadi tantangan bagi sejumlah kasus kekerasan seksual yang terus
meningkat dilaporkan banyak korban perempuan," sambungnya.

Baca juga: Komisi VIII DPR Rapat Perdana Bahas RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual

Ia menyebut hingga akhir tahun 2017 terdapat 65 kasus kekerasan terhadap


perempuan di dunia maya yang dilaporkan korban ke Unit Pengaduan untuk Rujukan
(UPR) Komnas Perempuan. Disebutnya, bentuk kekerasan yang dilaporkan itu
beraneka ragam dan mayoritas pelaku kekerasan itu adalah orang terdekat korban.

"Selain itu, kejahatan cyber bukanlah bentuk kekerasan terhadap perempuan biasa,
namun juga kejahatan transnasional yang membutuhkan perhatian khusus dari
pemerintah," kata Mariana.
(jbr/dnu)
PSI Desak DPR Sahkan RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual
Eva Safitri - detikNews

Share 0 Tweet Share 0 5 komentar

PSI mendesak DPR segera mengesahkan RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual. (Eva Safitri/detikcom)

Jakarta - Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mendesak DPR RI segera mengesahkan


Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).
PSI meminta RUU tersebut disahkan sebelum Pilpres 2019.

PSI mengatakan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan saat ini menjadi
genting. Hal itu dikatakan seusai adanya kasus kekerasan seksual yang terjadi pada
RA, staf Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan yang diduga diperkosa atasannya.

Baca juga: DPR Targetkan 5 RUU Rampung dalam 1 Masa Sidang


"RUU ini sudah dua tahun mangkrak di DPR dan ini menunjukkan bagaimana partai
yang sudah ada di DPR tidak menunjukkan komitmennya untuk melindungi kaum
perempuan," ujar juru bicara PSI Dara Andini Nasution di kantor DPP PSI, Jl Wahid
Hasyim, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Selasa (8/1/2019).

Dara mengatakan persoalan kekerasan seksual itu terus terjadi karena saat ini belum
ada payung hukumnya. Perlindungan secara struktural, menurutnya, masih lamban di
Indonesia. Apalagi ketika para anggota DPR disebutnya lamban mengesahkan RUU
soal kekerasan seksual.

Baca juga: Sepanjang 2018, Tercatat 75 Kasus Kekerasan Seksual di Cirebon

"Sebenarnya persoalan seksual itu ada dua masalah, pertama struktural kita berbicara
dari perlindungan payung hukumnya, RUU PKS kita lamban disahkan, sementara
payung hukum sekarang dijelaskan sangat sulit pembuktiannya," ucapnya.

Dara menuturkan, tidak adanya payung hukum juga mempengaruhi stigma terhadap
perempuan. Saat ini perempuan di Indonesia masih ditempatkan dalam posisi yang
lemah.

Baca juga: Menteri PPA Perjuangkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual


Jadi UU

"Dan yang kedua relasi kuasa yang timpang, kita di Indonesia masih patriarkis masih
menempatkan perempuan di posisi yang lemah," katanya.

Untuk itu, PSI meminta DPR RI, khususnya Komisi VIII, segera mengesahkan RUU
tersebut sebelum Pemilu 2019.

Baca juga: DPR Diminta Segera Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

"Dan kepada DPR yang terhormat sekarang terutama Komisi VIII harus segera
mengesahkan UU ini sebelum pemilu, kalau nggak kita patut menanyakan komitmen,
dan kami di PSI berjanji UU ini akan menjadi prioritas kami ketika kami terpilih di
parlemen," tutur Dara.

Desakan ini bukan yang pertama ditujukan ke DPR. Sebelumnya, Komnas Perempuan
hingga LBH APIK ingin RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini segera disahkan
mengingat tingginya angka kasus kekerasan seksual yang terjadi.

Kasus Baiq Nuril, DPR Janji Kebut RUU


Penghapusan Kekerasan Seksual
Nabila Putri - detikNews

Share 0 Tweet Share 0 30 komentar

Foto: Feny Selly/ANTARA FOTO

FOKUS BERITA:Ironi Baiq Nuril


Jakarta - Ketua DPR Bambang Soesatyo angkat suara soal tenaga honorer di SMAN 7
Mataram, Baiq Nuril, yang dituntut hukuman penjara oleh Mahkamah Agung (MA)
karena merekam percakapan mesum Kepala SMAN 7 Mataram. Pria yang disapa
Bamsoet ini pun mengkritik putusan MA yang menjerat baik ke dalam UU ITE.

"Melaporkan tindakan kekerasan seksual yang diterimanya, beliau justru malah


dikriminalisasi dengan vonis penjara 6 bulan dan denda Rp 500 juta. Padahal saksi UU
ITE dari Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam persidangan sudah
menyatakan bahwa apa yang dilakukan Ibu Baiq Nuril tidak melanggar UU ITE," ujarnya
dalam keterangan tertulis, Senin (19/11/2018).

Baca juga: Habiburokhman: Jokowi Harus Beri Amnesti untuk Baiq Nuril

Ia menilai, dalam menjatuhkan vonis, hakim seperti kekurangan dasar hukum dan
terkesan tidak cermat lantaran tidak ada UU Penghapusan Kekerasan Seksual yang
menjadi dasar utama pembelaan terhadap kaum perempuan.

"Apa yang terjadi terhadap Ibu Baiq Nuril harus dituntaskan secepatnya karena ini tidak
hanya menyangkut pribadi beliau, tetapi juga menjadi pembelaan terhadap harkat,
derajat, dan martabat kaum perempuan pada umumnya," tambah Bamsoet.

Setelah masa reses berakhir dan dewan kembali bersidang pada 21 November 2017,
DPR RI bersama pemerintah akan mengebut penyelesaian RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual. Setelah mendapat banyak masukan dari berbagai Rapat Dengar
Pendapat Umum (RDPU), Panitia Kerja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual DPR RI
akan memformulasikannya ke dalam berbagai pasal-pasal.

Menurut dia, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak hanya akan mengatur hukum
terhadap pelakunya, tetapi juga akan memberikan perlindungan kepada korban.
Terutama juga memfokuskan kepada tindakan pencegahan (preventif).

Berbagai pihak juga sudah dilibatkan dalam pembahasan RUU tersebut, antara lain
Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), Perwakilan
Umat Buddha Indonesia (Walubi), Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI),
Komnas Perempuan, Aliansi Cinta Keluarga Indonesia, serta para pakar hukum pidana.
Baca juga: Bamsoet Minta Pemerintah Tindak Tegas PNS Tolak Pancasila

Pelibatan organisasi keagamaan dimaksudkan, lanjut Bamsoet, dilakukan agar RUU


tersebut bisa kuat secara aspek moral dan agama. Dengan demikian, akan
memperkuat ruh dalam implementasinya di lapangan.

"Jika ada anggapan DPR RI tidak serius menyelesaikan RUU ini karena sebagian besar
anggota Dewan adalah pria, ini salah besar. Kekerasan seksual tak hanya terjadi pada
perempuan, kaum pria dengan maskulinitasnya juga rentan terhadap kekerasan
seksual," tegas Bamsoet.

Dengan demikian, disahkannya RUU tersebut akan menjadi salah satu jalan keluar
agar tindak kekerasan seksual bisa diproses tuntas secara hukum. Sekaligus menjadi
pegangan bagi para penegak hukum agar bisa memberikan keadilan.

Anda mungkin juga menyukai