Anda di halaman 1dari 19

TATALAKSANA ANESTESI DAN REANIMASI PADA

OPERASI LIANG TELINGA

Oleh:
Stephanie Inge Wijanarko

dr. I Made Agus Kresna Sucandra,Sp.An,KIC.

BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
RSUP SANGLAH DENPASAR
2017
DAFTAR ISI

Halaman Judul ……………………………………………………………… .... i


Kata Pengantar ……………………………………………………………... .... ii
Daftar Isi.......................................................................................................... iii
Daftar Gambar ………………………………………………………………… .iv
BAB I Pendahuluan ........................................................................................ 1
BAB II Tinjauan Pustaka ................................................................................. 2
2.1 Definisi Anestesi dan Reanimasi ................................................................ 3
2.2 Anatomi Liang Telinga .............................................................................. 2
2.2.1 Anatomi Daun Telinga ....................................................................... 4
2.2.2 Anatomi Liang Telinga....................................................................... 5
2.2.3 Anatomi Membran Timpani ............................................................... 5
2.3 Tindakan Anestesi pada Operasi Liang Teliang Secara Umum ................... 6
2.3.1 Anestesi Lokal.................................................................................... 7
2.3.2 Blok Saraf .......................................................................................... 8
2.3.3 Anestesi Umum .................................................................................. 9
2.3.4 Menjaga Nervus Facialis .................................................................... 9
2.4 Permasalahan pada Operasi Liang Telinga ................................................. 9
2.4.1 Nitrous Oksida dan Tekanan Telinga Tengah ..................................... 9
2.4.2 Pembedahan Telinga Tengah : Mual dan Muntah ............................... 11
2.5 Prosedur Operasi Telinga Tengah............................................................... 12
2.5.1 Myringotomy & Insertion of Pressure Equalization Tubes .................. 12
2.3.3 Tympanoplasty ................................................................................... 13
BAB III Simpulan............................................................................................ 15
DAFTAR GAMBAR

2.1 Anatomi Skematis Telinga ……………………………………………..4


2.2 Anatomi Liang Telinga………………….……………………………... 5
BAB I
PENDAHULUAN

Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan


aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan
menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur
lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.Istilah anestesi digunakan pertama
kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846.1
Telinga, Hidung dan Tenggorokan (THT) operasi adalah operasi yang paling
umum dilakukan pada anak-anak, dan sangat sering membutuhkan ahli bedah dan
anestesi untuk berbagi ruang kerja yang sama. Karenanya komunikasi antara kedua
pihak sangat penting. Tracheal tube lebih mudah untuk lepas dari trakea selama
prosedur ini daripada sebagian besar prosedur lain karena Dokter bedah harus sering
memindahkan kepala pasien untuk mencapai operasi. 2
Prosedur telinga-hidung-tenggorokan (THT) merupakan prosedur yang unik
dikarenakan antara anestesiologis dan operator berbagi jalan nafas. Pengelolaan
anestesi pada pasien berpusat pada pengaturan jalan nafas. Tidak pernah kerjasama
dan komunikasi antara operator dan anestesiologis menjadi lebih penting dibanding
pembedahan pada wajah dan leher.3
Membuat, memelihara dan menjaga jalan nafas pada kondisi anatomi yang
abnormal dan intervensi pembedahan yang simultan dapat menguji ketrampilan dan
kesabaran ahli anestesi. Tepatnya pengetahuan mendalam tentang anatomi jalan nafas
dan apresiasi umum prosedur THT akan membuktikan betapa bernilainya hal tersebut
dalam menangani tantangan para ahli anestesi ini. 3
Penelitian terbaru tentang pertanggungjawaban medis mengklaim melalui
American Society of Anesthesilogist , bahwa faktor kesalahan manusia masih
menjadi penyebab terbanyak kematian dalam anestesi; masalah jalan nafas
menyumbang lebih dari 30% kasus pada orang dewasa dan 43% kasus pada anak.3

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Anestesi dan Reanimasi


Berdasarkan analisis kata “anestesi” (an = tidak, aetesi = rasa) dan
“reanimasi” (re = kembali, animasi/animation = gerak = hidup) maka ilmu
anestesi dan reanimasi merupakan cabang ilmu kedokteran yane mempelajari
tatalaksana untuk me”matikan” rasa, baik rasa nyeri, takut dan rasa tidak nyama
yang lain sehingga pasien nyaman dan ilmu yang mempelajari tatalaksana untuk
menjaga/mempertahankan hidup dan kehidupan pasien selama mengalami
“kematian” akibat obat anestesi.
Ruang lingkup cabang ilmu anestesi dan reanimasi sendiri meliputi :
a. Usaha – usaha penanggulangan nyeri dan stress emosional agar pasien merasa
nyaman, baik pada keadaan nyeri akut maupun nyeri kronik
b. Usaha – usaha kedokteran gawat darurat yang meliputi bantuan resusitasi,
PPGD dan terapi intensif
c. Usaha – usaha kedokteran perioperative yang meliputi evaluasi persiapan
praoperatif, tindakan anestesi dan reanimasi intraoperative dan tindakan
anestesi dan reanimasi pascaoperatif.4

2
2.2 Anatomi Telinga
2.2.1 Anatomi DaunTelinga

Gambar 2.1 Anatomi skematis daun telinga5


Pinna atau daun telinga merupakan corong terbentuk dari tulang rawan yang
simetris bilateral yang membantu memfokuskan suara serta menentukan arah
datangnnya suara. Pinna terdiri atas mangkuk konka, tragus di bagian anterior,
antiheliks di bagian superior dan posterior, serta antitragus di bagian inferior. Heliks
memanjang dibagian superior dan posterior membentuk helical crus pada lobulus,
mengelilingi antiheliks, konka, dan antitragus. Diantara heliks dan anti heliks terdapat
scaphoid fossa. Fossa triangular terletak diantara crura superior dan inferior dari
antiheliks. Pinna tertambat pada tulang kranial oleh kulit, tulang rawan, otot-otot
auricular, serta ligamen-ligamen ekstrinsik.5

3
2.2.2 Anatomi Liang Telinga

Gambar 2.2 Anatomi liang telinga5


Liang telinga memiliki panjang sekitar 2,5 cm dan diameter sekitar
0,6 cm. Liang telinga sedikit berbentuk huruf S. Sepertiga lateral liang
telinga merupakan tulang rawan sedangkan duapertiga medialnya
merupakan tulang keras. Bagian tulang rawan dari liang telinga ini
berbentuk relatif bulat pada individu yang masih muda dan sejalan dengan
pertambahan usia akan berubah menjadi lebih oval. Bagian tulang rawan
ini memiliki celah-celah kecil yang disebut fissura santorini yang dapat
berperan sebagai jalan penyebaran infeksi dari liang telinga ke kelenjar
parotis dan mastoid. Struktur tulang keras liang telinga dibentuk oleh
bagian timpanik dan squamous dari tulang temporal.6
Liang telinga di selimuti oleh kulit yang menghasilkan serumen (ear
wax) dan memiliki rambut di permukaannya. Tidak ada kelenjar keringat di
liang telinga. Karena letaknya yang terlindung, kulit liang telinga tidak
bersentuhan atau bergesekan secara alami sebagaimana kulit yang ada di

4
permukaan tubuh. Sehingga untuk membersihkannya di butuhkan
mekanisme pembersihan sendiri untuk menyingkirkan sel-sel mati dan
serumen. Ada dua jenis sel yang berperan dalam sekresi serumen, yaitu sel
sebacea yang letaknya berdekatan dengan follikel rambut dan sel
seruminous penghasil serumen.6
Kulit di liang telinga memiliki persarafan yang tidak biasa.
Reseptor sensorisnya dipersarafi oleh empat saraf kranial (CN) yang
berbeda, yaitu bagian mandibular dari nervus Trigeminus (CN V), nervus
facial (CN VII), nervus glossofaringeal (CN IX), dan cabang auricular dari
nervus vagus (CN X), yang mempersarafi dinding posterior dari liang
telinga dan membran timpani. Cabang saraf ini merupakan bagian dari
Arnold’s nerve, yang juga menerima kontribusi persarafan dari nervus
glossofaringeus sehingga beberapa individu akan mengalami refleks batuk
saat kulit dari bagian dalam liang telinga tersentuh. Persarafan oleh nervus
glossofaringeus dan nervus vagus juga mengakibatkan timbulnya efek pada
jantung dan sirkulasi darah saat ada stimulasi mekanis pada liang telinga,
sehingga pada individu-individu yang sensitif dapat pingsan saat telinganya
dibersihkan dari serumen (ear wax).6
Telinga luar membantu transimisi suara menjadi lebih efisien
mencapai membran timpani dengan berperan sebagai resonator fungsional.
Kontribusi akustik dari telinga luar adalah meningkatkan transmisi serta
frekuensi suara. Kedalaman serta bentuk liang telinga yang berkelok-kelok
melindungi membrane timpani serta struktur di telinga tengah dan telinga
dalam. Rambut di lateral liang telinga luar mencegah masuknya benda
asing berukuran kecil serta debris-debris dari luar. 5

2.2.3 Anatomi Membran Timpani


Membran timpani adalah sebuah membran tipis yang sedikit oval
yang mengakhiri liang telinga. Berbentuk kerucut dengan tinggi 2 mm serta
apeks yang mengarah kedalam. Terlihat dari liang telinga luar, membran

5
ini sedikit cekung dan digantung oleh cincin tulang. Secara normal
membran ini berada pada tegangan tertentu. Luas permukaan nya kira-kira
85 mm2. Bagian utama dari membran timpani adalah pars tensa dengan
area kira-kira seluas 55 mm2, yang tersusun atas serat-serat sirkuler yang
saling tumpang tindih. Serat-serat ini tersusun atas kolagen dan membentuk
membran kaku yang ringan sehingga ideal untuk mengubah gelombang
suara menjadi getaran pada tulang malleus. Bagian lebih kecil dari
membran timpani adalah pars flaccida, terletak diatas manubrium malleus,
lebih tebal dari pada pars tensa dan serat-seratnya tidak tersusun baik
seperti serat-serat kolagen pada pars tensa. Membran timpani di lapisi oleh
selapis sel epidermis, yang merupakan lanjutan dari liang telinga. Bagian
luar membrane timpani ini bermigrasi dari tengah ke bagian luar dan
memindahkan luka kecil dan parut serta mentransport benda asing kecil
keluar ke liang telinga. Lubang kecil pada membran timpani biasanya akan
sembuh spontan.6

2.3 Tindakan Anestesi Pada Operasi Liang Telinga Secara Umum


Tindakan anestesia yang dilakukan pada operasi – operasi liang telinga :
- Mastoidektomi
- Rekonstruksi liang telinga termasuk timpanoplasti
Masalah anestesi dan reanimasi
1. Ancaman sumbatan jalan nafas selama operasi
2. perdarahan luka operasi
3. Operasi berlangsung lama
4. Perubahan tekanan pada liang telinga tengah khususnya pada operasi
timpanoplasti
Penatalaksanaan anestesi dan reanimasi
1. Evaluasi
a. Penilaian status presen

6
b. Evaluasi status generalis dengan pemeriksaan fisik dan penunjang
yang lain sesuai dengan indikasi]
2. Persiapan praoperatif : persiapan rutin
3. Premedikasi, diberikan secara intramuscular 30 – 45 menit pra induksi
dengan obat – obat sebagai berikut
Petidin : 1,0 – 2,0 mg/kgBB
Midazolam :0,04 – 0,10 mg/kgBB
Atropin : 0,01 mg/kgBB
4. Pilihan anestesinya
Anestesi umum inhalasi (imbang) dengan pemasangan pipa
endotrakea dan nafas kendali. Hindari pemakaian N2O pada operasi
timpanoplasti, karena NO akan mempengaruhi tekanan pada liang telinga
5. Pemantauan selama anestesia, sesuao dengan standar pemantauan dasar
intra operatif
6. Terapi cairan dan transfuse darah
Diberikan cairan pengganti perdarahan apabila perdarahn yang
terjadi <20% dari perkiraan volume darah pasien dan apabila > 20%,
diberikan transfuse darah
7. Pemulihan anestesinya, sesuai dengan tatalaksana anestesi yang dipilih
8. Pasca anestesia, sesuai dengan tatalaksana pasien pasca anestesi dengan
perhatian khusus terhadap penanggulangan nyeri pasca bedah.4

2.3.1 Anestesi Lokal


Prosedur pembedahan telinga seperti operasi premeatal,
stapedektomi, dan pembedahan telinga tengah yang tidak disertai
komplikasi dimana lamanya kurang dari 2 jam, dapat diberikan pada pasien
yang terseleksi penggunaan infiltrasi dari lokal anestesi dan titrasi sedasi
yang hati-hati. Pasien harus mengerti, komunikatif dan kooperatif (harus
selalu diingat, terutama selama bedah mikroskopik telinga tengah). Pada

7
kunjungan preoperatif, anestesiolog sebaiknya mempersiapkan juga
pemeriksaan yang sama seperti pada anestesi umum.
Tujuan sedasi preoperatif adalah membuat pasien tenang,
kooperatif, dan nyaman tetapi tidak overmedicated atau kehilangan kontak
dengan sekitar. Sedasi ringan dapat diberikan titrasi iv propofol (0,5-0,7
mg/kg) selama penyuntikan lokal anestesi dan, jika perlu, disertai
midazolam (0,02-0,04 mg/kg iv) selama prosedur. 7

2.3.2 Blok Saraf


Terdapat empat saraf sensoris yang menginervasi telinga. N
auriculotemporal (bagian mandibula dari saraf trigeminal) mensuplai
meatus auditorius yang lebih luar dan dapat diblok dengan injeksi 2 ml
lokal anestesi kedalam dinding anterior meatus auditorius eksternus.
Cabang utama n. aurikular (pleksus saraf servikal) menyuplai bagian
medial bawah dari aurikula dan sebagian meatus auditorius eksternus.
Berkas aurikular N. Vagus berjalan diantara processus mastoideus dan
meatus auditorius eksternus untuk mensuplai konkha dan meatus auditorius
eksternus. Saraf utama aurikular dan aurikular (vagus) dapat diblok dengan
injeksi 2-3 ml lokal anestesi posterior ke saluran telinga (saraf utama
aurikular). Saraf tympani (N. Glossofaringeus) mensuplai cavum tympani
dan dapat dilakukan blok topikal dengan menginstalasi 4% lidokain. Ketika
perforasi luas membrane tympani, berhati-hati untuk tidak memasukan
substansi beracun kedalam canalis auditorius, karena dapat merusak ruang
telinga tengah.7
Penambahan efinefrin pada lokal anestesi meningkatkan intensitas
dan durasi dari efek dan memberikan vasokonstriksi lokal, yang dapat
menurunkan perdarahan. Dosis aman bagi efinefrin adalah 0,1 mg (10 ml
dalam konsentrasi 1:10.000) dan bila perlu dapat diulang setelah 20 menit.7

8
2.3.3 Anestesi Umum
Anestesi umum pada bedah telinga membutuhkan perhatian untuk
menjaga n. facialis, dan efek N2O pda telinga tengah, posisi kepala yang
ekstrim, kemungkinan emboli udara, kehilangan darah, dan, selama bedah
mikro pada telinga, kontrol perdarahan, dan pencegahan mual dan muntah. 8
Posisi Penderita Selama Pembedahan Telinga yakni ketika posisi
kepala penderita pada pembedahan dengan anestesi umum, salah satunya
termasuk ekstensi kepala yang ekstrem dan diputarnya leher. Cedera dapat
terjadi pada pleksus brachialis (cedera regangan) atau servik vertebrae.
Penderita dengan aliran darah karotis yang terbatas terutama mudah
terserang penurunan aliran darah yang berlanjut pada posisi leher yang
berlebihan.8

2.3.4 Menjaga Nervus Facialis


Identifikasi pembedahan dan penjagaan terhadap n. facialis
merupakan hal yang esensial dalam banyak pembedahan pada telinga. Hal
tersebut menjadi lebih mudah diketahui dan dikonfirmasikan jika pasien
tidak lumpuh total. Jika tehnik pelumpuh otot narkotik harus dipakai, efek
dari pelumpuh otot harus dimonitor untuk memastikan masih tersisanya 10-
20% respon otot. Prosedur pembedahan telinga dihubungkan dengan 0,6-
3,0% insiden paralisis n. facialis. Monitoring intraoperatif berupa
bangkitan aktivitas electromyographic wajah dapat menjaga fungsi n. facial
selama pembedahan pada mastoid/area tulang temporal. 2

2.4. Permasalah pada operasi liang telinga


2.4.1 Nitrous Oksida dan Tekanan Telinga Tengah
Telinga tengah dan sinus-sinus paranasal merupakan rongga normal
berudara dan tetap terbuka, ruangan tanpa ventilasi. Ruangan telinga
tengah mendapat ventilasi intermiten saat tuba eusthachia terbuka.
Ekspansi dari udara ruangan melalui pergantian nitrogen dengan N2O

9
dimana terdapat perbedaan 34 kalilipat antara koefisien darah/gas dari dua
gas (0,013 untuk nitrogen dan 0,46 untuk N2O). Terutama pada inhalasi
dengan konsentrasi tinggi, N2O memasuki ruang berudara lebih cepat dari
keluarnya nitrogen. Pada ruang yang tetap seperti telinga tengah, akan
menghasilkan peningkatan tekanan.9
Normalnya ventilasi pasif pada tuba eusthachii menghasilkan
tekanan sekitar 200-300 mmH2O. Jika fungsi tuba eusthachii menurun
karena trauma bedah, penyakit atau inflamasi dan udema akut, tekanan
telinga tengah dapat mencapai 375 mmH2O dalam 30 menit mulai
diberikannya N2O.
Sebagai tambahan, setelah penghentian N2O, gas dengan cepat
direabsorbsi, dan menyokong, ditandai, terbentuknya tekanan negatif
telinga tengah. Saat fungsi tubae eusthachii abnormal, tekanan negative
telinga -285 mm H2O dapat tercapai setelah 75 menit penghentian N2O.
Tekanan tertentu dapat mendukung terjadinya serous ottitis, disartikulasi
stapes, dan mengganggu pendengaran. Diperlihatkan tanda berubahnya
tekanan telinga tengah berhubungan dengan N2 O, Patterson dan Bartlet
juga mencatat gangguan pendengaran yang disebabkan oleh
hematotympani dan disartikulasi penopang stapes. Penelitian ini dipercaya
bahwa anestesi N2O dapat beresiko pada pendengaran pasien yang
mendapatkan bedah rekonstruksi telinga tengah sebelumnya. 9,10
Memburuknya fungsi telinga tengah untuk sementara, peningkatan
cepat tekanan telinga tengah sesuai dengan konsentrasi inhalasi N2O, mual
dan muntah, dan sobeknya membran tympani semua berhubungan dengan
meningkatnya tekanan telinga tengah dan fungsi abnormal tuba eustachii
selama anestesi N2O diberikan pada pasien yang rentan. Pasien yang rentan
termasuk di dalamnya adalah dengan riwayat bedah otologik, otitis media
akut atau kronik, sinusitis, infeksi saluran nafas bagian atas, membesarnya
adenoid, dan kondisi patologis pada nasofaring. Menurunnya kepekaan,

10
10
meningkatnya hambatan, dan tuli hantaran telah ditemukan pada pasien
yang diberikan anestesi N2O untuk adenotonsilektomi. 9,10
Bulging eardrum dan “lifting of” graft membran timpani dapat
terjadi selama bedah tymphanoplasty. Tidak ditemukan kejadian
penggunaan N2O (kurang dari 50%) pada anestesi umum timpanoplasti tipe
I yang mengganggu penempatan graft atau hasil akhir prosedur
pembedahan. Untuk menghindari komplikasi, anestesiologi harus
mengetahui batas konsentrasi N2O sampai 50% dan menghentikan
penggunaannya 15 menit sebelum menutup telinga tengah.10

2.4.2. Pembedahan Telinga Tengah : Mual dan Muntah


Prosedur pada telinga tengah sering menyebabkan mual dan
muntah, Karena telinga mempunyai bagian erat yang terlibat dengan
keseimbangan. Operasi telinga dapat menyebabkan pusing (vertigo)
pascaoperasi dan mual pasca operasi dan muntah (PONV). Induksi dan
pemeliharaan dengan propofol telah terbukti menurunkan PONV di
pasien yang menjalani operasi telinga tengah. PONV dapat merusak hasil
rekonstruksi telinga tengah. Pengaturan anestesi pembedahan telinga
11
tengah termasuk didalamnya adalah minimalisasi PONV. Banyak obat
yang terbukti efektif, termasuk infus propofol, granisetron, transdermal
scopolamine, ondansetron, droperidol, dan eliminasi N2O. Diperlihatkan
juga bahwa N2O mendorong muntah pada anak setelah anestesi umum
singkat untuk miringotomi. PONV dapat dikontrol dengan dosis iv obat
potensial antiemesis (contoh droperidol, 0,01/kg: ondansetron, 0,05
10,11
mg/kg; atau dolasetron, 0,20 mg/kg) diberi selama pembedahan.

11
11
2.5. Prosedur Operasi Telinga Tengah
2.5.1 Myringotomy & Insertion of Pressure Equalization Tubes
Anestesi umum, contoh dengan Laryngeal Mask Airway, cukup
memuaskan. Vagal henti jantung dapat terjadi bila area ‘vagal’ pada
membran timpani (disuplai oleh serabut auricular) terangsang, dimana
dapat dihindari dengan pemberian atropin.2
Beberapa jenis analgesi diperlukan pada seluruh anak yang diobati
tanpa rawat inap. Derkay dkk menemukan bahwa dapat digunakan tetes
telinga saat operasi yang telah dicampur dengan 4% lidokain, penggunaan
analgesik oral preoperasi dapat memberikan sedikit manfaat. Pemberian
oral preoperasi berupa acetaminofen, atau acetaminophen dengan codein,
dan bahkan buthorphanol intranasal direkomendasikan sama efektifnya. 2
Otitis media kronis (OM) ditandai dengan demam dan sakit telinga
(baik ada atau tidak discharge telinga) dan sering terjadi pada anak-anak.
Ini sering terjadi dan berhubungan dengan saluran pernapasan atas baik
berasal dari virus atau bakteri. Dalam banyak kasus OM merespon
merespon antibiotik, namun infeksi berulang biasanya memerlukan operasi,
yang memerlukan pembuatan sebuah lubang di gendang telinga
(miringotomi) untuk mengurangi tekanan dan mengalirkan sekresi telinga
tengah.2,10
Sebuah tekanan kecil penyama logam (equalizing metal) atau
tabung plastik (plastic tube) umumnya dimasukkan untuk menjaga lubang
terbuka dan mencegah akumulasi cairan. Tabung ini berada di lubang
tersebut selama enam bulan dan akan terlepas secara spontan. 2
Tak menutup kemungkinan terkadang harus diangkat dengan
operasi jika memiliki dampak buruk. Bedah untuk penempatan tabung ini
membutuhkan watu yang sangat singkat tetapi membutuhkan anak untuk
tetap diam.2
Anestesi untuk penyisipan tekanan penyama (equalizing) atau
tabung miringotomi biasanya menggunakan induksi inhalasi anestesi

12
12
dengan halotan atau sevoflurane dengan atau tanpa nitrous oxide (jika
tersedia) dan oksigen. N2O dapat membuat distensi pada gendang telinga
dan membuatnya lebih mudah bagi dokter bedah. 2
Ventilasi spontan dipertahankan sepanjang operasi dimana dialirkan
memulai facemask. Oral airway mencegah obstruksi jalan napas dan
gerakan pernapasan. Jika tersedia, ahli bedah menggunakan mikroskop atau
pembesar kacamata untuk melakukan myringotomies. Perangkat pembesar
meningkatkan kemampuan dokter bedah untuk melihat bidang operasi dan
meningkatkan penempatan tabung. Prosedur ini biasanya berlangsung 10-
15 menit, bahkan ketika tabung ditempatkan di kedua telinga. 2,10
Nyeri yang terjadi biasanya minimal setelah prosedur ini, dan hanya
analgesik ringan biasanya diperlukan (acetaminophen oral 10-15mg / kg,
intra-operatif rectal acetaminophen 40-45mg / kg, intranasal fentanyl 2mcg
/ kg atau intramuskular morfin 0.1mg / kg sampai dengan jumlah 2mg).2

2.5.2 Tympanoplasty
Infeksi telinga yang parah dapat berkembang menjadi infeksi
telinga tengah kronis, terutama tulang mastoid (Mastoiditis). infeksi telinga
berulang terus-menerus dapat menyebabkan lubang besar di gendang
telinga yang tidak bisa dengan mudah ditutup dengan patch. Dalam hal ini
cangkok lemak mungkin diperlukan untuk menutup lubang. Lubang yang
terjadi, bersama-sama dengan pertumbuhan kulit ke dalam lubang persisten
di dalam gendang telinga menghasilkan kondisi dikenal sebagai
kolesteatoma.2
Perbaikan kolesteatoma membutuhkan pendekatan posterior
auricular dibandingkan dengan pendekatan transauricular untuk perbaikan
bedah dari membran timpani (timpanoplasti) dan berlangsung lebih lama
dari myringotomy dan / atau penempatan tabung telinga (placement of ear
tubes). Ini juga membutuhkan rotasi tempat tidur ruang operasi 180 derajat
menjauh dari anestesi dan membutuhkan

13
13
intubasi trakea.2
Inhalasi induksi anestesi dilakukan dengan halotan atau sevoflurane
di dalam oksigen dan nitrous oxide, jika yang terakhir tersedia. Namun,
penggunaan nitrous oxide secara berlanjut selama operasi tidak dianjurkan
karena N2O mudah mengembang udara apapun dalam telinga tengah. 2
Penghentian N2O memungkinkan gas di telinga tengah akan cepat
diserap, yang dapat mengubah konfigurasi gendang telinga dan
memindahkan graft dari posisi normal. Oleh karena itu, nitrous oxide
merupakan kontraindikasi untuk pemeliharaan (maintenance) anestesi pada
pasien ini. Nitrous oxide juga bisa memperburuk mual dan muntah pasca
operasi yang biasanya pada operasi telinga tengah. 2
Setelah induksi anestesi, akses intravena dan sedative hypnotic
agent diperbolehkan, misalnya, propofol 2-3mg / kg, atau ketamin 2mg /
kg, diberikan untuk memfasilitasi intubasi trakea.2
Menggunakan relaksan otot dihindari karena pemantauan saraf
wajah diperlukan untuk operasi ini, untuk membantu ahli bedah dari
ketidak sengajaan memotong saraf wajah. Intra-operative opioid atau
tambahan ketamin mungkin diperlukan untuk mengontrol rasa sakit selama
dan setelah operasi. Karena pasca operasi mual dan muntah yang umum
mengikuti prosedur telinga tengah, Decadron intravena 0.15-0.5mg / kg
dan ondansetron 0.15mg / kg harus diberikan pada awal dan dekat akhir
operasi masing-masing bila memungkinkan. 2

14
14
BAB III
SIMPULAN

Pada bedah telinga, dapat dilakukan anestesi lokal, regional, dan umum. Pada
tehnik anestesi lokal pasien harus kooperatif, prosedur pembedahan sederhana dan
singkat. Persiapan sebaiknya sama seperti pada prosedur anestesi umum dan
premedikasi tidak berlebihan.
Pada blok saraf selain hal-hal tersebut diatas perlu juga diperhatikan
penambahan epinefrin untuk meningkatkan intensitas dan durasi kerja. Dosis amam
adalah 1:10.000. Anestesi umum membutuhkan perhatian untuk menjaga n. facialis,
efek N2O pada telinga tengah, posisi kepala yang ekstrim, kemungkinan emboli
udara, kehilangan darah, kontrol perdarahan, dan pencegahan mual-muntah.
N2O dapat meningkatkan tekanan telinga tengah, maka harus hati-hati
terutama untuk timpanoplasti, karena dapat mengganggu penempatan graft. Harus
diketahui batas konsentrasi N2O sampai 50% dan penghentian penggunaanya 15
menit sebelum menutup telinga tengah.
Posisi kepala yang ekstrim dapat menyebabkan cedera pada pleksus brakhialis
atau servik vertebrae. N fasialis perlu dijaga berhubungan dengan kejadian paralisis,
terutama selama pembedahan pada mastoid atau area tulang temporal. Kejadian
PONV sering terjadi pada prosedur pembedahan telinga tengah yang biasanya dapat
dikontrol dengan obat potensial antiemesis intravena.

15
15
DAFTAR PUSTAKA

1. Robinson DH, Toledo AH. Historical development of modern anesthesia. 2012.


2. Olutoyin O. A. George. Anesthesia for ear, nose, and throat (ENT) surgery..
Chapter 17. p(469-470). Anesthesia Care of Pediatric patient.2014
3. Donlon JV. Anesthesia for eye, ear, nose, and throat surgery. In: Miller RD, ed.
Anesthesia. 5th ed. New York: Churchill Livingston. 2000. p(2173-98)
4. Mangku Gd, Senapathi TGA, Ilmu anestesia dan reanimasi. 2010. p(1-2, 180-1).
5. Reena AB. Thomas RG. Ear anatomy : overview, Embryology, and gross
anatomy. 2016
6. Aage RM. Anatomy, Physiology, and disorders of the auditory system. 2nd.
2006. p(3-9).
7. Alexander B, Richard W. Open access atlas of otolaryngology, head & neck
operative surgery. Local and regional anaesthesia technique for otologic (EAR)
surgery. 2012
8. Miller’s Anesthesia. Ronald D Milller, International Edition, Volume 2. 2010.
p(2364-66).
9. David EL, David LB. Anesthesia for Otorhinolaryngologic (Ear, Nose, Throat)
Surgery. Anesthesiology. 2nd. 2012. p(1226-28)
10. Paul GB. Bruce FC. Clinical Anesthesia. 5th. 2001. p(1002-3).
11. Morgan GE, Mikhail MS. Clinical Anesthesiology, ED 5. New York : McGraw
Hill; 2013, p(784)

Anda mungkin juga menyukai