Anda di halaman 1dari 15

Pendekatan Klinis pada Epilepsi Umum Tonik-Klonik

Edward Christianto Mangedong


102016177
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510

Abstrak: Epilepsi adalah suatu gangguan fungsi otak yang dicirikan oleh kecenderungan
predisposisi untuk menimbulkan bangkitan epileptik beserta konsekuensinya yang bersifat
neurobiologik, kognitif, psikologik, dan sosial. Epilepsi memiliki gejala tunggal yang khas,
yaitu kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik neuron otak secara berlebihan dan
paroksimal. Manifestasi kliniknya dapat berupa gangguan kesadaran, perilaku, emosi, fungsi
motorik, persepsi, dan sensasi, yang dapat terjadi tersendiri ataupun dalam kombinasi.
Manifestasi klinis pasien dengan epilepsi tonik-klonik adalah: ketidaksadaran biasanya
disertai dengan jatuh, otot-otot seluruh badan kaku dan diikuti oleh kejang klonik. Terapi
epilepsy dimulai dengan mengatasi serangan akut kemudian memberikan terapi sesuai
dengan jenis epilepsy.

Abstract: Epilepsy is a brain function disorder characterized by a predisposing tendency to


cause epileptic seizures and its neurobiological, cognitive, psychological, and social
consequences. Epilepsy has a unique single symptom, which is recurrent seizures due to
excessive release of electrical neurons and paroxymal electrical charges. Clinical
manifestations can be disturbances of consciousness, behavior, emotions, motor functions,
perceptions, and sensations, which can occur alone or in combination. The clinical
manifestations of patients with tonic-clonic epilepsy are: unconsciousness is usually
accompanied by falls, the muscles of the entire body are stiff and are followed by clonic
seizures. Epilepsy therapy begins with overcoming an acute attack then providing therapy
according to the type of epilepsy.

1
Pendahuluan

Epilepsi merupakan “koleksi gangguan fungsi otak yang beraneka ragam” atau “badai listrik
di otak”. Bangkitan epilepsi adalah suatu tanda atau gejala sepintas yang disebabkan oleh
aktivitas neuronal di otak yang bersifat sinkron dan berlebihan atau abnormal. Epilepsi adalah
suatu gangguan fungsi otak yang dicirikan oleh kecenderungan predisposisi untuk
menimbulkan bangkitan epileptik beserta konsekuensinya yang bersifat neurobiologik,
kognitif, psikologik, dan sosial.1 Epilepsi memiliki gejala tunggal yang khas, yaitu kejang
berulang akibat lepasnya muatan listrik neuron otak secara berlebihan dan paroksimal.2
Terdapat dua kategori dari kejang epilepsi yaitu kejang fokal (parsial) dan kejang umum.
Manifestasi kliniknya dapat berupa gangguan kesadaran, perilaku, emosi, fungsi motorik,
persepsi, dan sensasi, yang dapat terjadi tersendiri ataupun dalam kombinasi.3 Epilepsi juga
dihubungkan dengan konsekuensi psikososial yang lebih berat bagi para penyandangnya.
Stigma sosial yang melekat pada epilepsi juga menghambat penyandangnya untuk terlibat
dalam kegiatan olahraga, pekerjaan, pendidikan, dan pernikahan.2

Anamnesis

Anamnesis adalah cara pemeriksaan yang dilakukan dengan wawancara, baik langsung
kepada pasien (autonamnesis) maupun kepada orang tua atau sumber lain (aloanamnesis)
yang memiliki tiga tujuan utama yaitu mengumpulkan informasi, membagi informasi, dan
membina hubungan saling percaya untuk mendukung kesejahteraan pasien. Dalam kasus ini,
dokter melakukan anamnesis secara langsung karena kondisi pasien dalam keadaan sadar.
Riwayat kesehatan yang perlu dikumpulkan meliputi (1) Identifikasi data meliputi nama,
usia, jenis kelamin, alamat, agama, suku bangsa, pekerjaan, dan status perkawinan; (2)
Keluhan utama yang berasal dari pasien sendiri yang menyebabkan pasien mencari
perawatan; (3) Penyakit saat ini meliputi perincian tentang tujuh karakteristik gejala dari
keluhan utama yaitu lokasi, kualitas, kuantitas, waktu terjadinya gejala, kondisi saat gejala
terjadi, faktor yang meredakan atau memperburuk penyakit, dan manifestasi terkait (hal-hal
lain yang menyertai gejala); (4) Riwayat kesehatan masa lalu seperti pemeliharaan kesehatan
(5) Riwayat keluarga yaitu diagram usia dan kesehatan, atau usia dan penyebab kematian dari
setiap hubungan keluarga yang paling dekat mencakup kakek-nenek, orang tua, saudara
kandung, anak, cucu dan (6) Riwayat Pribadi dan Sosial seperti aktivitas dan gaya hidup
sehari-hari, situasi rumah dan orang terdekat, sumber stress jangka pendek dan panjang dan
pendidikan.2,4

2
Untuk anamnesis tambahan terkait dengan epilepsi dapat ditanyakan pada pasien langsung
atau orang yang mengatahui kondisi pasien dengan baik mengenai sejak kapan mulai
serangan, lama serangan yang dialami, jenis serangan yang dialami seperti apa, perjalanan
keluhan, apakah menetap, bertambah berat, bertambah ringan atau datang dalam bentuk
serangan, faktor-faktor yang membuat keluhan lebih berat atau ringan, riwayat penyakit
sistemik atau SSP seperti keganasan, infeksi, kelainan metabolik, keracunan, putus alkohol,
dan banyak kondisi lain yang memberikan petunjuk penyebab terjadinya kejang, riwayat
putus obat atau gagalnya pengobatan yang sudah berjalan, riwayat trauma kepala, serta
tanyakan apakah terdapat riwayat keluarga menderita kejang, infeksi SSP, stroke, dan
penyakit jantung.2,3,5
Pada anamnesis di kasus, seorang laki-laki berumur 19 tahun mengalami kejang-kejang sejak
30 menit yang lalu. Kejang diawali dengan kaku pada tangan dan kaki selama 1 menit, tidak
demam, mata mendelik ke atas, pasien belum pernah berobat. Riwayat penyakit dahulu
ditemukan adanya kejang seperti sekarang 6 bulan yang lalu tetapi tidak dibawa ke UGD,
riwayat trauma disangkal, aura tidak ada data.

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik mempunyai nilai yang sangat penting untuk memperkuat temuan-temuan
dalam anamnesis. Teknik pemeriksaan fisik secara umum meliputi pemeriksaan kesadaran,
keadaan umum serta tanda- tanda vital (Suhu, Tekanan Darah, Frekuensi pernapasan, Nadi).
Pada kasus ini diperlukan pemeriksaan fisik neurologis secara umum yang meliputi
kesadaran, tanda rangsang meningeal (kaku kuduk, Bruczinsky, Lasegue’ sign, Kernig’s
sign), saraf kranialis (N. I – N. XII), motorik (inspeksi, palpasi, pemeriksaan gerakan pasif,
pemeriksaan gerakan aktif), sensorik (nyeri, raba, suhu, posisi, gerak, getar), koordinasi,
status mental/kognitif (atensi, orientasi, bahasa, daya ingat, fungsi lobus frontalis).1,6
Selain itu, diperlukan pemeriksaan yang dapat menentukan adanya tanda-tanda dari gangguan
yang berhubungan dengan epilepsi seperti trauma kepala, gangguan kongenital, gangguan
neurologik fokal atau difus, infeksi telinga atau sinus.4 Sebab-sebab terjadinya serangan
epilepsi harus dapat ditepis melalui pemeriksaan fisik dengan menggunakan umur dan
riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada kejang multifokal yang berpindah-pindah atau
kejang tonik, biasanya menunjukkan adanya kelainan struktur otak.2 Pada kepala yang
terdapat fraktur atau depresi berlebihan yang disebabkan oleh trauma, ubun-ubun besar yang

3
tegang dan membenjol menunjukkan adanya peninggian tekanan intrakranial yang dapat
disebabkan oleh pendarahan sebarakhnoid atau subdural.5

Penilaian status mental yang baik dapat mengidentifikasi lesi di lobus frontal anterior,
parietal atau temporal. Pengujian lapang pandang visual bisa membantu menyaring lesi di
jalur optik dan lobus oksipital.2 Tes skrining fungsi motorik seperti refleks tendon dalam,
gaya berjalan, dan koordinasi dapat menunjukkan lesi pada korteks motorik (frontal), dan
pengujian sensorik kortikal dapat mendeteksi lesi pada korteks parietal.5

Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah rutin diindikasikan untuk mengidentifikasi penyebab metabolik
kejang yang lebih umum seperti kelainan pada elektrolit, glukosa, kalsium, magnesium
atau ada penyakit hati atau ginjal. Pungsi lumbal diindikasikan jika ada kecurigaan
meningitis dan ensefalitis. Pemeriksaan toksikologi serum dan urin juga sebaiknya
dilakukan bila dicurigai adanya drug abuse.5,6
2. Elektroensefalografi (EEG)
Tes EEG adalah prosedur non invasif menggunakan elektroensefalograf yang mecatat
atau merekam gelombang elektrik sel saraf otak untuk mengetahui ada atau tidaknya
gangguan fisiologis fungsi otak dan letak kelainannya. Pemeriksaan EEG harus
dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan pemeriksaan penunjang yang
paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis serta memberikan bantuan dalam
menentukan prognosis epilepsi.2 Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada
EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.
Dikombinasikan dengan hasil pemeriksaan fisik dan neurologi, pola epileptiform pada
EEG (spikes and sharp waves) sangat mendukung diagnosis epilepsi. Adanya gambaran
EEG yang spesifik seperti “3-Hz spike-wave complexes“ adalah karakteristik kearah
sindrom epilepsi yang spesifik. Meskipun standar kriteria untuk diagnosis dan
klasifikasi epilepsi meliputi interpretasi EEG, riwayat klinis tetap menjadi landasan
untuk diagnosis epilepsi.6,7 Selain itu, terdapat video-EEG yang dilakukan bila ada
keraguan untuk memastikan diagnosis epilepsi atau serangan kejang yang bukan karena
epilepsi atau bila pada pemeriksaan rutin EEG hasilnya negatif tetapi serangan kejang
masih saja terjadi, atau juga perlu dikerjakan bila pasien epilepsi dipertimbangkan akan

4
dilakukan terapi pembedahan.7 Namun, video-EEG merupakan prosedur yang mahal
sehingga hanya digunakan pada pasien yang kondisinya tidak membaik dengan
pengobatan atau diduga kuat alami pseudoseizure.5
3. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk melihat struktur
otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRl lebih
unggul dalam mendeteksi lesi otak yang berhubungan dengan epilepsi. Dalam beberapa
kasus, MRI dapat mengidentifikasi lesi seperti tumor, malformasi vaaskular, atau
patologi lain yang membutuhkan terapi segera. Pada pasien dengan dugaan infeksi ssp
atau massa dalam kranium, dapat dilakukan pemeriksaaan CT scan segera bila tidak
tersedia MRI. Selain itu, CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra
indikasi.5,6

Working Diagonose
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE), secara konseptual, epilepsy
didefinisikan sebagai kelainan otak yang ditandai oleh adanya kecenderungan untuk
menimbulkan bangkitan epilepsi secara terus menerus dengan konsekuensi neurobiologis,
kognitif, psikologis, dan sosial.8 Faktor resiko epilepsi antara lain asfiksia neonatorium,
riwayat demam tinggi, riwayat ibu yang memiliki faktor resiko tinggi (wanita dengan latar
belakang susah melahirkan atau pengguna obat-obatan, hipertensi), pasca trauma kelahiran,
riwayat ibu yang menggunakan obat anti konvulsan selama kehamilan, riwayat intoksikasi
obat-obatan maupun alkohol, adanya riwayat penyakit pada masa anak-anak (campak,
mumps), riwayat gangguan metabolisme nutrisi dan gizi, riwayat keturunan epilepsi.
Penyebab timbulnya kejang pada penderita antara lain ketidakpatuhan meminum obat sesuai
jadwal yang diberikan oleh dokter dan dosis yang telah ditetapkan, meminum minuman keras
seperti alkohol, memakai narkoba seperti kokain atau pil lain seperti ekstasi, kurangnya tidur
pada penderita, mengkonsumsi obat lain sehingga mengganggu efek obat epilepsi.8
Klasifikasi bangkitan Epileptik menurut ILAE:
1. Bangkitan umum: Terjadi pada seluruh area otak. Kesadaran akan terganggu pada awal
kejadian kejang. Kejang umum dapat terjadi diawali dengan kejang parsial simpleks atau
kejang parsial kompleks. Jika ini terjadi, dinamakan kejang umum tonik-klonik sekunder.8
o Tonik – klonik: Jenis kejang yang paling dikenal. Diawali dengan hilangnya
kesadaran dan sering penderita akan menangis. Jika berdiri, orang akan terjatuh, tubuh
menegang (tonik) dan diikuti sentakan otot (klonik). Bernafas dangkal dan sewak-tu-

5
waktu terputus menyebabkan bibir dan kulit terlihat keabuan/ biru. Air liur dapat
terakumu-lasi dalam mulut, terkadang bercampur darah jika lidah tergigit. Dapat terjadi
kehilangan kontrol kandung kemih. Kejang biasanya berlangsung sekitar dua menit atau
kurang. Hal ini sering diikuti dengan periode kebingungan, agitasi dan tidur. Sakit kepala
dan nyeri juga biasa terjadi setelahnya.8
o Absens: Kejang ini biasanya dimulai pada masa anak-anak (tapi bisa terjadi pada
orang dewasa), seringkali keliru dengan melamun atau pun tidak perhatian. Sering ada
riwayat yang sama dalam keluarga. Diawali mendadak ditandai dengan menatap,
hilangnya ekspresi, tidak ada respon, menghenti-kan aktifitas yang dilakukan. Terkadang
dengan kedipan mata atau juga gerakan mata ke atas. Durasi kurang lebih 10 detik dan
berhenti secara tiba-tiba. Penderita akan segera kembali sadar dan melanjutkan aktifitas
yang dilakukan sebelum kejadian, tanpa ingatan tentang kejang yang terjadi. Penderita
biasanya memiliki kecerdasan yang normal. Kejang pada anak-anak biasanya teratasi
seiring dengan pubertas.8
o Mioklonik: Kejang berlangsung singkat, biasanya sentakan otot secara intens terjadi
pada anggota tubuh atas. Sering setelah bangkitan mengakibatkan menjatuh-kan dan
menumpahkan sesuatu. Meski kesadaran tidak terganggu, penderita dapat merasa
kebingun-gan dan mengantuk jika beberapa episode terjadi dalam periode singkat.
Terkadang dapat memberat menjadi kejang tonik-klonik.8
o Tonik: Terjadi mendadak. Kekakuan singkat pada otot seluruh tubuh, menyebabkan
orang menjadi kaku dan terjatuh jika dalam posisi berdiri. Pemulihannya cepat namun
cedera yang terjadi dapat bertahan. Kejang tonik dapat terjadi pula saat tertidur.8
o Atonik: Terjadi mendadak, kehilangan kekuatan otot, menye-babkan penderita lemas
dan terjatuh jika dalam posisi berdiri. Biasanya terjadi cedera dan luka pada kepala. Tidak
ada tanda kehilangan kesadaran dan cepat pemulihan kecuali terjadi cedera.8
2. Bangkitan Parsial / Fokal: Kejang parsial mungkin tidak diketahui maupun dibingungkan
dengan kejadian lain. Terjadi pada satu area otak dan terkadang menyebar ke area lain.
Jika menyebar, akan menjadi kejang umum (sekunder), paling sering terjadi kejang tonik
klonik. 60 % penderita epilepsi merupakan kejang parsial dan kejang ini terkadang resisten
terhadap terapi antiepileptik.8
o Parsial sederhana: Kejang singkat ini diistilahkan “aura” atau “warn-ing” dan terjadi
sebelum kejang parsial kompleks atau kejang tonik klonik. Tidak ada penurunan
kesadaran, dengan durasi kurang dari satu menit.8

6
o Parsial kompleks: Serangan ini dapat sangat bervariasi, bergantung pada area dimulai
dan penyebaran di otak. Banyak kejang parsial kompleks dimulai dengan tatapan kosong,
kehilangan ekspresi atau samar-samar, penampilan bingung. Kesadaran terganggu dan
orang mungkin tidak merespon. Kadang-kadang orang memiliki perilaku yang tidak biasa.
Perilaku umum termasuk mengunyah, gelisah, berjalan di sekitar atau bergumam. Kejang
parsial dapat berlangsung dari 30 detik sampai tiga menit. Setelah kejang, penderita sering
bingung dan mungkin tidak ingat apa-apa tentang kejang.8

Berdasarkan consensus ILAE 2014, epilepsi dapat ditegakkan pada tiga kondisi, yaitu:
terdapat dua kejadian kejang tanpa provokasi yang terpisah lebih dari 24 jam, terdapat satu
kejadian kejang tanpa provokasi, namun resiko kejang selanjutnya sama dengan resiko
rekurensi umum setelah dua kejang tanpa provokasi dalam 10 tahun mendatang, serta,
sindrom epilepsi (berdasarkan pemeriksaan EEG).8 Berdasarkan hasil anamnesis dan
pemeriksaan fisik dari kasus, seorang laki-laki diduga menderita epilepsi dengan manifestasi
kejang umum dengan tonik-klonik. Kejang ini juga sering disebut dengan kejang grand mal.

Differential Diagnose
1. Epilepsi parsial kompleks sering juga disebut dengan lobus frontalis, psikomotor, atau
kejang fokal dengan fitur diskognitif. Pada serangan parsial kompleks terjadi gangguan
atau penurunan kesadaran dan daya ingat.2 Dalam hal ini penderita mengalami gangguan
dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Pasien tidak bisa menanggapi perintah visual
atau verbal dengan tepat selama kejang. Serangan parsial kompleks melibatkan bagian-
bagian otak yang bertanggung jawab atas berlangsungnya kesadaran dan memori, dan
pada umumnya melibatkan kedua belah lobus temporalis atau frontalis dan sistem
limbik. Selain itu, terdapat gejala otomatisme (gerakan involuntir saat serangan terjadi).
Pasien biasanya bingung setelah kejang dan transisi ke fase pemulihan penuh dapat
beragam waktunya. Pemeriksaan setelah kejang dapat menunjukkan amnesia retrograde
atau dalam kasus yang melibatkan belahan dominan, sebuah afasia postiktal.2,5,6
2. Kejang psikogenik atau psychogenic non epileptic seizure (PNES) adalah hilangnya
kontrol motorik, emosi, sensasi, atau pengalaman, menyerupai kejang epilepsi, tetapi
yang muncul dari sebab-sebab emosional. PNES sering muncul dalam konteks tertentu
sebagai respons terhadap pemicu eksternal (tempat, waktu, saksi) atau internal (kilas
balik, emosi) dan tidak disertai adanya hasil abnormal berupa perubahan gelombang
listrik pada perekaman EEG maupun ditemukan lesi atau massa pada pemeriksaan CT

7
scan dan MRI.1,4 Faktor predisposisi terjadinya PNES antara lain seperti kekerasan fisik,
penelantaran, kekerasan seksual, komorbid medis dan komorbiditas psikiatri atau
kehilangan orang yang sangat disayangi. Berbeda dengan perkembangan khas dan durasi
singkat GTCS, PNES sering lebih tahan lama dan bervariasi dalam manifestasi
klinisnya.6 Gejala yang sering timbul termasuk gerakan ekstrem diskontinyu, tidak
teratur, atau asinkron. Pergerakan kepala ke sisi, postur opistotonik, gagap, penutupan
mata persisten, dan menangis adalah hal biasa. Sering kali gerakan yang bertujuan baik
dipertahankan selama periode tidak responsif seperti memegang pegangan tangan,
menjauhkan perangkat asing atau orang, dan menjaga diri dari cedera. Pasien dapat
terjerumus ke dalam sikap tidak responsif yang tenang atau "pseudosleep" atau
"pseudocoma" selama PNES di mana bahkan rangsangan yang menyakitkan sekalipun
tidak dapat memperoleh respons.2,3,5

Epidemiologi

Epilepsi mnerupakan salah satu penyakit neurologi tertua, ditemukan pada semua umur dan
dapat menyebabkan hendaya serta mortalitas. Diduga terdapat sekitar 50 juta orang dengan
epilepsi didunia. Populasi epilepsi aktif (penderita dengan bangkitan tidak terkontrol atau
yang memerlukan pengobatan) diperkirakan antara 4 hingga 10 /.1000 penduduk /tahun,
dinegara berkembang diperkirakan 6 hingga 10/1000 penduduk. Prevalensi dinegara sedang
berkembang ditemukan lebih tinggi dari pada negara maju. Dilaporkan prevalensi dinegara
maju berkisar antara 4-7 /1000 orang dan 5-74/1000 orang dinegara sedang berkembang.
Daerah pedalaman memiliki angka prevalensi lebih tinggi dibendingkan daerah perkotaan
yaitu 15,4/1000 (4,8-49,6) dipedalaman dan 10,3 (2,8-37,7) diperkotaan.9

Pada negara maju, prevalensi median epilepsi yang aktif (bangkitan dalam 5 tahun terakhir)
adalah 4,9/1000 (2,3-10,3), sedanglkan pada negara berkembang dipedalaman 12,7
/1000(3,5-45,5) dan diperkotaan 5,9 (3,4-10,2).2 dinegara Asia, prevalensi epilepsi aktif
tertinggi dilaporkan divietnam 10,7/1000 orang, dan terendah ditaiwan 2,8/1000 orang.9

Prevalensi epilepsi pada usia lanjut (>65 tahun) dinegara maju diperkirakan sekitar >0,9%,
lebih dari decade 1 dan 2 kehidupan. Pada usia >75 tahun prevalensi meningkat 1,5%.
Sebaliknya prevalensi epilepsi dinegara berkembang lebih tinggi pada usia decade 1-2
dibandingkan pada usia lanjut. Kemungkinan penyebabnya adalah insiden yang rendah dan

8
usia harapan hidup rata-rata dinegara maju lebih tinggi. Prevalensi epilepsi berdasarkan jenis
kelamin dinegara-negara asia, dilaporkan laki-laki sedikit lebih tinggi daripada wanita.9

Etiologi

Etiologi epilepsi dapat dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu idiopatik, kriptogenik, dan
simtomatis. Idiopatik adalah keadaan dimana tidak terdapat les structural di otak atau deficit
neurologis, dan diperkirakan mempunyai predisposisi genetic dan umumnya berhubungan
dengan usia. Kriptogenik adalah epilepsy dengan penyebabnya belum diketahui, termasuk di
sini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut, dan epilepsi mioklonik. Simtomatis
adalah bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi structural pada otak, misalnya; cedera
kepala, infeksi SSP, kelainan congenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak,
toksik (alkohol,obat), metabolic, kelainan neurodegeneratif.10

Patogenesis

Secara umum sifat epileptogenik jaringan saraf ditentukan oleh 2 faktor, yaitu eksitabilitas
dan sinkronisasi. Pada saat mendapatkan serangan epileptik yang memegang peranan adalah
adanya eksitabilitas pada sejumlah neuron atau sekelompok neuron, yang kemudian terjadi
lepas muatan listrik secara serentak pada sejumlah neuron atau sekelompok neuron dalam
waktu bersamaan, yang disebut sinkronisasi. Munculnya bangkitan epileptik yang disebabkan
karena adanya gangguan eksitabilitas dan sinkronisasi neuronal belum banyak diketahui.
Hipotesis terakhir disebutkan karena adanya kelainan membran neuronal dan kelainan
mekanisme inhibisi.6,11
1. Kelainan membran neuronal
Secara fisiologis, peranan membran neuron adalah untuk mempertahankan perbedaan
potensial antara ruang intraseluler dan ruang ekstraseluler. Dalam keadaan istirahat
ruang intraseluler bermuatan negatif dan ruang ekstraseluler bermuatan positif.2
Potensial membran istirahat ini dipertahankan melalui proses pengeluaran ion Na dari
dalam sel dan diikuti pemasukan ion K ke dalam sel, sehingga di dalam sel kekurangan
ion Na, Cl, Ca dan kelebihan ion K. Kelainan membran neuron pada bangkitan epilepsi
dimulai dari suatu neuron epileptik yang berperan memicu terjadinya aksi potensial.2,6
Depolarisasi yang terjadi pada neuron epileptik tersebut bersifat paroksismal, yang
disebut ’paroxysmal depolarization shifts’ (PDSs), yaitu mempunyai amplitudo lebih
tinggi, durasi lebih lama dan diikuti oleh after depolarization yang diperpanjang.6
Terjadinya PDSs tersebut tergantung masuknya ion Ca ke dalam neuron, yang

9
disebabkan oleh berbagai factor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau
mengganggu fungsi membaran neuron sehingga membrane mudah dilampaui oleh ion Ca
dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan
depolarisasi membrane dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali.
Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan
dasar suatu serangan epilepsy.2,3
2. Gangguan pada mekanisme inhibisi
Sel neuron saling berhubungan satu sama lain melalui sinaps-sinaps. Potensial aksi yang
terjadi di satu neuron dihantar melalui neurakson yang kemudian mernbebaskan zat
transmiter pada sinaps, yang mengeksitasi atau menginhibisi membran pascasinaps.2
Gamma Amino Butiric Acid (GABA) adalah suatu inhibitor utama neurotransmiter pada
susunan saraf pusat dan reseptornya adalah GABAA dan GABAB. GABAA adalah ligant
gated channel ion Cl- yang menyebabkan masuknya ion dan GABAB berpasangan
dengan secondary messengers menyebabkan keluarnya ion K+.6 Kedua reseptor akan
menimbulkan inhibisi potensial aksi pada neuron post sinaps. Pada keadaan normal
didapatkan keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi. Gangguan terhadap keseimbangan
ini dapat mengakibatkan terjadinya bangkitan kejang. Efek inhibisi ialah meningkatkan
tingkat polarisasi membran sel. Kegagalan mekanisme inhibisi mengakibatkan terjadinya
lepas muatan listrik yang berlebihan. Secara tradisional yang berperan pada inhibisi oleh
GABA adalah reseptor GABAA dalam bentuk inhibisi potensi postsinaptik (ISPSs=
inhibitory post synaptic potentials).3,6 Terikatnya GABA pada reseptor mengakibatkan
saluran Cl terbuka sehingga untuk sesaat potensial membran sel ditentukan oleh
potensial keseimbangan klorida. Reversal potensial dari IPSP umumnya adalah sekitar -
70 mV. Perubahan voltase yang ditimbulkan GABAA tergantung pada “resting potential”
dari sel tersebut dan pada gradien klorida antara kompartment intra dan ekstrasel.
Gradien ini tentunya terpengaruh oleh mekanisme lalu lintas klorida. Interfensi pada
proses ini akan mendorong akumulasi Cl intrasel.2 Pada saat saluran GABAA terbuka sel
akan mengalami depolarisasi dan ion klorida keluar. Perubahan induksi yang menyertai
pembukaan saluran klorida menyebabkan shunting aliran dari sel yang memulai
bangkitan dan blocking ini merupakan penghambat yang lebih kuat daripada yang
ditimbulkan oleh mekanisme GABAA sendiri.2,6 Pada susunan saraf pusat juga terdapat
reseptor GABAB yang terkait dengan saluran kalium oleh suatu protein penghubung
yaitu guanosine triphosphate binding protein (G-protein) yang merupakan sistem
perantara intrasel. Hiperpolarisasi yang ditimbulkan oleh GABAB ini merupakan

10
komponen inhibitorik (IPSP) yang tahan lama. Efeknya tergantung pada konsentrasi
kalium ekstrasel. Bila kalium naik efek hiperpolarisasinya akan berkurang.
Hiperpolarisasi yang ditimbulkan oleh GABAB terutama peting dalan mengendalikan
bangkitan yang berlangsung lama.2,3,6

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pasien dengan epilepsi tonik-klonik adalah: ketidaksadaran biasanya


disertai dengan jatuh, otot-otot seluruh badan kaku dan diikuti oleh kejang klonik. Bila
pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut menjadi berbusa karena hembusan nafas.
Pasien juga dapat mengalami inkontinensia urin dan atau alvi. Setelah kejang berhenti, pasien
tertidur beberapa lama atau terbangun dengan kesadaran yang masih rendah, dapat pula
langsung sadar dengan keluhan badan pegal, lelah, dan nyeri kepala.12

Komplikasi

Komplikasi potensial epilepsi tonik-klonik umum meliputi trauma kepala dan trauma pada
lidah, bibir, dan pipi, fraktur kompresi vertebral, pneumonia aspirasi, edema paru neurogenic,
aritmia jantung, dan kematian mendadak.11

Tatalaksana farmakologis

1. Tatalaksana fase akut (saat kejang)

Tujuan pengelolaan pada fase akut adalah mempertahankan oksigenasi otak yang adekuat,
mengakhiri kejang sesegera mungkin, mencegah kejang berulang, dan mencari faktor
penyebab.2 Tanda-tanda vital termasuk suhu dan tekanan darah juga harus dipantau. Darah
dikirim untuk studi laboratorium (fungsi hati, fungsi ginjal, elektrolit, kalsium, fosfor,
magnesium, hitung darah lengkap, toksikologi, dan tingkat obat antikonvulsan serum).2,13
Selanjutnya pantau EKG, status oksigenasi dengan oksimetri, nadi, dan gas darah arteri.
Lorazepam intravena adalah terapi awal yang paling umum digunakan, atau diazepam rectal
juga dapat digunakan jika tidak ada akses intravena.13 Midazolam intranasal bisa menjadi
pilihan lain. Jika benzodiazepin tidak menghentikan kejang, phenytoin atau fosphenytoin
dapat dicoba.10 Dosis lorazepam 0,1 mg/kg IV dengan kecepatan 2 mg/menit sebagai loading
dose, maksimum 4 mg/dosis, diikuti dengan dosis kedua dalam 10-15 menit hanya jika perlu,
maksimum 8 mg / 12 jam. Diazepam rectal dosisnya 0,2-0,5 mg/kg sebagai dosis tunggal,
dapat diulang dalam 4-12 jam jika perlu.

11
2.Pengobatan epilepsi umum dengan tonik-klonik

Lamotrigin dan asam valproat saat ini dianggap sebagai pilihan awal terbaik untuk pengobtan
kejang tonik-klonik umum primer.11 Pada pasien dengan temuan EEG atau MRI yang
menunjukkan epilepsi onset umum, asam valproat telah dianggap sebagai obat anti epilepsi
pilihan pertama untuk pasien yang memiliki beberapa jenis kejang, termasuk kejang tonik-
klonik umum (kecuali pada pasien wanita dengan kemampuan reproduksi), karena obat ini
menangani spektrum yang luas dari jenis kejang, termasuk kejang mioklonik.13,14 Topiramate,
zonisamide, phenytoin, carbamazepine, dan oxcarbazepine merupakan alternatif yang bisa
dipakai. Pada tahun 2018 EMA menyelesaikan review valproate dan analognya
merekomendasikan bahwa obat-obatan ini dikontraindikasikan pada epilepsi selama
kehamilan karena risiko malformasi kongenital dan masalah perkembangan pada bayi.6,13
Satu ulasan Cochrane 2017 mendukung penggunaan lamotrigin dan levetiracetam sebagai
alternatif yang sesuai, terutama bagi mereka yang berpotensi melahirkan anak yang mungkin
tidak dapat menggunakan sodium valproate sebagai terapi yang karena teratogenisitas.13 Obat
epilepsi harus diminum secara teratur agar dapat mencegah serangan epilepsi secara efektif.
Walaupun serangan epilepsi sudah teratasi, penggunaan OAE harus tetap diteruskan kecuali
ditemukan tanda-tanda efek samping yang berat maupun tanda-tanda keracunan obat. Prinsip
pemberian obat dimulai dengan obat tunggal dan menggunakan dosis terendah yang dapat
mengatasi kejang.2,6,13

Tatalaksana Non-Farmakologis

1. Intervensi bedah
Hingga 30% dari pasien dengan epilepsi dapat memiliki epilepsi refrakter. Pasien-pasien
ini terus mengalami kejang meskipun terapi OAE yang sesuai. Reseksi bedah dari fokus
kejang pada pasien yang dipilih dengan tepat sering mengakibatkan penurunan frekuensi
atau eliminasi kejang dengan peningkatan kualitas hidup. Tingkat kebebasan kejang
dicapai hingga 76% dari pasien setelah reseksi.11,14
2. Stimulasi saraf vagus (VNS)
The US Food and Drug Administration (FDA) menyetujui stimulasi saraf vagus (VNS)
untuk pengobatan tambahan kejang parsial refrakter. Open-label registri VNS juga
menunjukkan bahwa beberapa pasien dengan kejang tonik-klonik umum merespon
dengan baik. Dalam lebih dari 20 tahun penggunaan klinis di Amerika Serikat, VNS
telah membantu mengurangi kejang pada banyak pasien dengan kejang umum primer.14

12
3. Diet ketogenik dapat dicoba untuk meningkatkan kontrol kejang pada pasien yang lebih
muda yang kondisinya sulit disembuhkan. Diet ketogenik dipopulerkan di Johns
Hopkins. Hal ini didasarkan pada pengamatan bahwa kejang mengalami perbaikan
selama periode kelaparan. Penelitian telah menunjukkan pengurangan besar dalam
frekuensi kejang pada 50% pasien yang menjalani diet. Mekanisme pasti bagaimana diet
ini bekerja tidak diketahui. Makanan biasanya mengandung rasio lemak terhadap
karbohidrat 4: 1. Diet ini menghasilkan keadaan ketotik tetapi memberikan kalori yang
cukup untuk nutrisi dari protein dan lemak. Efek yang merugikan terutama pada
pencernaan, termasuk kembung, sembelit, batu ginjal, dan penurunan berat badan.2,11,14

Pencegahan

Jika kejang terkait dengan kondisi medis lain, identifikasi dan perawatan kondisi medis
adalah kunci pencegahan. Jika obat antikonvulsan diresepkan, minum obat teratur dan sampai
habis. Beberapa orang dengan epilepsi cukup sensitif terhadap alkohol. Maka sebaiknya
hindari alkohol. Kurang tidur dan stres tentu saja dapat meningkatkan frekuensi kejang pada
beberapa orang dengan epilepsi.11

Prognosis

Prognosis baik untuk sebagian besar penderita epilepsi Setelah terjadi kejang tunggal tanpa
sebab, hanya sekitar sepertiga pasien yang mengalami kekambuhan dalam waktu 3 hingga 5
tahun (berkembang jadi epilepsi). Namun jika kejang kedua terjadi, tingkat kekambuhan
berikutnya mendekati 75%, maka terapi antikonvulsan sudah harus dimulai. 2,10,14

Penutup

Epilepsy didefinisikan sebagai kelainan otak yang ditandai oleh adanya kecenderungan untuk
menimbulkan bangkitan epilepsi secara terus menerus dengan konsekuensi neurobiologis,
kognitif, psikologis, dan sosial. Faktor resiko epilepsi antara lain asfiksia neonatorium,
riwayat demam tinggi, riwayat ibu yang memiliki faktor resiko tinggi (wanita dengan latar
belakang susah melahirkan atau pengguna obat-obatan, hipertensi), pasca trauma kelahiran,
riwayat ibu yang menggunakan obat anti konvulsan selama kehamilan, riwayat intoksikasi
obat-obatan maupun alkohol, adanya riwayat penyakit pada masa anak-anak (campak,
mumps), riwayat gangguan metabolisme nutrisi dan gizi, riwayat keturunan epilepsi. Epilepsi
dapat ditegakkan pada tiga kondisi, yaitu: terdapat dua kejadian kejang tanpa provokasi yang
terpisah lebih dari 24 jam, terdapat satu kejadian kejang tanpa provokasi, namun resiko

13
kejang selanjutnya sama dengan resiko rekurensi umum setelah dua kejang tanpa provokasi
dalam 10 tahun mendatang, serta, sindrom epilepsi (berdasarkan pemeriksaan EEG).
Manifestasi klinis pasien dengan epilepsi tonik-klonik adalah: ketidaksadaran biasanya
disertai dengan jatuh, otot-otot seluruh badan kaku dan diikuti oleh kejang klonik. Terapi
epilepsy dimulai dengan mengatasi serangan akut kemudian memberikan terapi sesuai
dengan jenis epilepsy.

Daftar Pustaka

1. Lukas A. Harsono. Astuti. Gangguan kognitif pada epilepsy. Berkala Ilmiah Kedokteran
Duta Wacana 2016;1(2):146
2. Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP. Clinical neurology. 9th ed. USA: McGraw
Hill;2012.p.343-60
3. Maguire M, Marson A, Ramaratnam S. Epilepsy (generalized and partial). Am Fam
Physician. 2011;83(4):461-463
4. Bickley LS, Szilagyi PG. Pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan bates: buku saku.
Edisi ke-5. Jakarta: EGC; 2008. p.1-9,15,64-70
5. Nowacki T, Jirsch J. Evaluation of the first seizure patient: Key points in the history and
physical examination. Seizure. 2017;49:54-63.
6. Kasper DL, Hauser SL, Jameson Jl, Fauci AS, Longo DL, Loscalzo J. 19th ed.
Harrison’s principles of internal medicine. USA: Mc-Graw Hill; 2015.p.2542-59
7. Smith S. EEG in the diagnosis, classification, and management of patients with epilepsy.
Journal of Neurology, Neurosurgery & Psychiatry. 2008;76:2.
8. Kristanto A. Epilepsi bangkitan umum tonik-klonik di UGD RSUP Sanglah Denpasar-
Bali. Intisari Sains Medis 2017;8(1):70-1
9. Oktaviani F, Khosama H. Epidemiologi epilepsy. Dalam: Kumastuti K, Gunadharma S,
Kustiowati E, penyunting. Pedoman tatalaksana epilepsy. Edisi ke-5. Surabaya: Pusat
Penerbitan dan Percetekan Airlangga (AUP); 2014. Hal. 1
10. Kumastusi K, Basuki M. Definisi, klasifikasi, dan etiologic epilepsy. Dalam: Kumastuti
K, Gunadharma S, Kustiowati E, penyunting. Pedoman tatalaksana epilepsy. Edisi ke-5.
Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetekan Airlangga (AUP); 2014. Hal. 17
11. Generalized Tonic-Clonic Seizures [Internet]. Emedicine.medscape.com. 2018 [cited 24
December 2018]. Available from:https://emedicine.medscape.com/article/
12. Mansjoer A, Kuspuji T, Savitri R. Kapita selekta kedokteran. Edisi 3. Jilid 2. Jakarta:
Media Aesculapius; 2008.
14
13. Generalized seizures in adults Treatment Approach - Epocrates [Internet].
Online.epocrates.com. 2018 [cited 24 December 2018]. Available
from:https://online.epocrates.com/diseases/54341/Generalized-seizures-in-adults/Treatment-
Approach
14. Liu G, Slater N, Perkins A. Epilepsy: Treatment Options. Am Fam
Physician. 2017 Jul 15;96(2):87-96

15

Anda mungkin juga menyukai