Anda di halaman 1dari 54

MINI CLINICAL EXAMINATION

“Pengelolaan Anestesi pada G2P1A0 Usia 31 Tahun Hamil 32


minggu Pro SCTP atas Indikasi Pneumonia dan Riwayat TB”

Kepaniteraan Klinik Anestesiologi dan Terapi Intensif


RSUD Prof. dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Oleh:
Anisa Faqih 1710221041

Pembimbing:
dr. Tendi Novara, Msi. Med. Sp. An-KAO

FAKULTAS KEDOKTERAN
PRODI KEDOKTERAN UMUM
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
JAKARTA
2018

1
LEMBAR PENGESAHAN
MINI CLINICAL EXAMINATION

“Pengelolaan Anestesi pada G2P1A0 Usia 31 Tahun Hamil 32


minggu Pro SCTP atas Indikasi Pneumonia dan Riwayat TB”

Disusun oleh:
Anisa Faqih 1710221041

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti ujian kepaniteraan klinik di bagian


Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUD Prof. dr. Margono Soekarjo Purwokerto.

Telah disetujui,
Pada tanggal, 4 September 2018

Mengetahui,
Dokter Pembimbing

dr. Tendi Novara, Msi. Med. Sp.An-KAO


NIP 19791110 201212 1 00

2
BAB I
LAPORAN KASUS

I.1. Identitas Pasien


1. Nama : Ny. UA
2. Umur : 31 tahun
3. Pendidikan : SMA
4. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
5. Alamat : Mrebet, Kabupaten Purbalingga
6. No. CM : 02064718
7. Tanggal masuk RSMS : 16 Agustus 2018
8. Tanggal Operasi : 16 Agustus 2018
9. Pro : SCTP
10. Diagnosis : G2P1A0 31 Tahun Hamil 32 minggu Pro
SCTP a.i Pneumonia dan Riwayat TB
I.2. Laporan Pre-operatif
Subjektif :
Anamnesis
a. Keluhan Utama:
Pasien merasa sesak napas sejak 1 hari SMRS
b. Keluhan Tambahan:
Pasien merupakan pasien rujukan dari RSIA Ummu Hani dengan
keluhan sesak napas, batuk berdahak dan berdarah sejak 1 hari SMRS
c. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien sebelumnya datang ke RSIA UMMU Hani dengan keluhan
sesak napas, batuk berdahak dan berdarah sehingga dirujuk ke RSMS
satu hari setelah dirawat di RSIA. Pasien pernah mengidap penyakit
TB saat usia 20 tahun dan sudah terapi TB selama 6 bulan tapi belum
di cek ulang karena sudah tidak pernah ada keluhan lagi sejak
pengobatan berhenti. Keluhan lain yang dirasakan pasien adalah
perutnya kenceng-kenceng dan mules 1 hari sebelum masuk RSMS.
Nyeri kepala, mual, dan muntah disangkal oleh pasien. Pasien juga

1
menyangkal adanya pengeluaran air, lendir, atau darah dari jalan lahir.
Pasien saat ini mengandung anak kedua dengan usia kehamilan 32+3
minggu. Hari pertama haid terakhir tanggal 1 Januari 2018 dan hari
perkiraan lahir tanggal 8 September 2018. Pasien rutin control ANC
di bidan. Kontrol ANC terakhir pasien adalah saat usia kehamilan 32
minggu.
d. Riwayat Penyakit Dahulu:
1) Penyakit Jantung : disangkal
2) Penyakit Paru : TB paru 21 tahun yang lalu
3) Penyakit Diabetes Mellitus : disangkal
4) Penyakit Ginjal : disangkal
5) Penyakit Hipertensi : disangkal
6) Riwayat Alergi : disangkal
7) Riwayat Penyakit Hati : disangkal
8) Riwayat Asma : disangkal
9) Riwayat Operasi : SC 7 tahun yang lalu
e. Riwayat Penyakit Keluarga:
1) Penyakit Jantung : disangkal
2) Penyakit Paru : disangkal
3) Penyakit Diabetes Mellitus : disangkal
4) Penyakit Ginjal : disangkal
5) Penyakit Hipertensi : disangkal
6) Riwayat Alergi : disangkal
7) Riwayat Penyakit Hati : disangkal
8) Riwayat Asma : disangkal
f. Riwayat Menstruasi:
1) Menarche : 16 Tahun
2) Lama Haid : + 7 hari
3) Siklus Haid : Teratur, 1x/bulan
4) Dismenore : Tidak ada
5) Jumlah Darah Haid : 2-3x/hari ganti pembalut
g. Riwayat ANC:

2
Pasien terakhir melakukan kontrol ANC di bidan pada usia
kehamilan 32 minggu.
h. Riwayat Menikah
Pasien menikah 1x saat berusia 23 tahun hingga saat ini.
i. Riwayat Obstetri
SC anak pertama, laki-laki, 7 tahun yang lalu atas indikasi
sungsang dengan BB 3,2kg.
j. Riwayat KB
Pasien menggunakan alat kontrasepsi berupa suntik hormonal 1
bulan sekali
k. Riwayat Ginekologi
Riwayat Operasi : Tidak ada
Riwayat Keputihan : Tidak ada
Riwayat Kuret : Tidak ada
Riwayat Perdarahan Pervaginam : Tidak ada
l. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga. Suaminya bekerja
sebagai pedagang dengan penghasilan Rp1.000.000-1.500.000,00.
Kesan sosial ekonomi keluarga pasien adalah golongan menengah
ke bawah. Pasien mengaku tidak merokok. Pasien jarang
berolahraga. Riwayat konsumsi obat-obatan disangkal oleh pasien.

Objektif
KU/Kesadaran : CM, E4V5M6
Tekanan Darah : 100/70 mmHg
Laju Nadi : 90 x/menit reguler, isi tekanan cukup
Laju Pernapasan : 32 x/menit, simetris
Suhu : 36 C
Berat Badan : 54 kg
Tinggi Badan : 155 cm
Indeks Massa Tubuh : 24 kg/m2(normoweight)

3
Airway:
Clear (+), snorling (-), gurgling (-), buka 3 jari, TMD 6 cm, mallampati (II),
gitang (-), karies (-), gisu (-), giyang (-), massa jalan napas (-), massa leher (-)

Status Generalis:
- Kepala : mesocephal (+)
- Mata : CA (-)/(-), SI (-)/(-), RC (+)/(+), bulat isokor 3mm/3mm
- Telinga : discharge (-)
- Hidung : discharge (-), nafas cuping hidung (-)
- Mulut : discharge (-), sianosis (-), terpasang NIV
- Leher : deviasi trakea (-)
- Thoraks : simetris, jejas (-), retraksi dinding dada saat bernapas (+)/(+),
fokal fremitus menurun, RBK (+)/(+) di apeks paru, RBH (-)/(-),
Whz (-)/(-), S1 > S2, M (-), G (-)
- Abdomen : cembung gravid, BU (+) N, defans muscular (-), NT (-), pekak
janin (+)
- Ekstremitas : AH (+)/(+)//(+)/(+), Edema (-)/(-)//(+)/(+)

Pemeriksaan Leopold:
- L1 : Bokong
- L2 : Punggung Kiri
- L3 : Kepala
- L4 : Konvergen
- DJJ : 156 x/menit
- His :-
- TFU : 29 cm

Pemeriksaan Laboratorium RSMS tanggal 16 Agustus 2018


Hematologi
Hemoglobin : 12.3
Leukosit : 30550 (H)
Hematokrit : 40

4
Eritrosit : 4.3 x 106
Trombosit : 266.000
PT : 9.6
APTT : 33.8
Kimia Klinik
Total protein : 5.47 (L)
Albumin : 2.32 (L)
Globulin : 3.15
SGOT : 50 (H)
SGPT : 58
LDH : 313 (H)
GDS : 105
Ureum : 49 (H)
Kreatinin : 0.52 (L)
Elektrolit
Natrium : 138
Kalium : 4.0
Klorida : 106
Kalsium : 8.5

Urine Lengkap
Fisis
Warna : kuning
Kejernihan : agak keruh
Bau : khas
Kimia
Urobilinogen : normal
Glukosa : +100
Bilirubin : +1
Keton : +15
Berat Jenis : 1.020
Eritrosit : negative

5
PH : 6.5
Protein : +30
Nitrit : negative
Leukosit : negative
Sedimen
Eritrosit : 0-1
Leukosit : 0-2
Epitel : 4-6
Silinder hialin : negatif
Silinder lilin : negatif
Silinder eritrosit : negatif
Silinder leukosit : negatif
Granuler halus : negatif
Granuler kasar : negatif
Kristal : negatif
Bakteri : > 30
Trikomonas : negatif
Jamur : negatif

Assesment
G2P1A0 31 Tahun Hamil 32 minggu Pro SCTP a.i Pneumonia dan Riwayat TB
Usulan ASA : ASA IIE
Rencana Operasi : SCTP Cito
Rencana Anestesi : RA SAB

Planning
Pro SCTP Cito tanggal 16 Agustus 2018

I.3 Laporan Durante Operasi beserta Pembahasan


Tanggal operasi : Sabtu, 14 Juli 2018
Jam mulai anestesi : 17.50 WIB
Jam selesai anestesi : 18.45 WIB

6
Kondisi prainduksi
- Kesadaran : compos mentis
- GCS : E4V5M6
- Tekanan darah : 120/80 mmHg
- HR : 124 x/menit, reguler, isi tekanan cukup
- RR : 28 x/menit, reguler, pola napas thorakoabdominal
- Suhu : 36.7 0C
Teknik Anestesi
- Anestesi : regional anestesi
Regional anestesi menjadi pilihan utama anestesi pada pasien SCTP,
kecuali bila pasien memiliki kontraindikasi untuk dilakukannya SCTP
seperti penyakit koagulasi. Selain itu, general anestesi dapat
mengakibatkan depresi jalan napas pada ibu dan janin.
- Premedikasi : ondansentron 4 mg
Obat ini menjadi premedikasi yang diberikan untuk menghindari mual dan
muntah akibat pemberian obat-obatan anestesi, misalnya pemberian
golongan opioid seperti bupivacaine.
- Regional Anestesi : SAB
SAB atau subarachnoid blok merupakan salah satu jenis dari anestesi
regional. SAB menjadi teknik anestesi regional yang paling sering
dilakukan dengan komplikasi paling minimal untuk ibu dan janin.
- Posisi Pasien : duduk
Penelitian terdahulu menemukan bahwa penyebaran obat jenis hiberbarik,
salah satunya adalah bupivacaine, dipengaruhi oleh posisi tubuh saat
dilakukan penyuntikan. Pada posisi terlentang, penyebaran obat bisa
mencapai level blok T4 dan pada posisi duduk hanya mencapai T8.
- Area Penyuntikan : L3-L4
Makin tinggi area penyuntikan, maka analgesia yang dihasilkan makin
tinggi. Penyuntikan pada L2-L3 lebih memudahkan penyebaran obat ke
kranial daripada penyuntikan pada L4-L5.
- Jarum : spinocaine nomor 27
- Obat Anestesi Lokal : bupivacaine 15 mg

7
Bupivacaine adalah obat anestesi lokal jenis amida yang memiliki masa
kerja panjang dan mula kerja yang pendek. Obat ini akan mencegah
pergerakan ion-ion natrium melalui membran sel untuk masuk ke dalam
sel. Pada saat awal penyebaran di ruang subarachnoid sangat dipengaruhi
oleh gravitasi. Indikasi penggunaan obat ini adalah pembedahan di daerah
perut selama 45-60 menit, seperti SCTP pada kasus ini.

Monitoring Durante Operasi


- Tekanan darah, SpO2, dan HR :
Waktu TD (mmHg) SpO2 HR (x/min)
17.50 120/80 80% 120
18.00 90/60 78% 118
18.15 120/70 79% 124
18.30 130/70 82% 122
18.45 140/80 79% 130

Hemodinamik pasien stabil selama operasi berlangsung.

- Obat yang masuk :


a. Ondansentron 4 mg
Ondansentron merupakan salah satu obat anti-emetik, yang
diberikan seiring dengan pemberian bupivacaine, golongan
opioid, yang dapat menimbulkan efek samping mual dan
muntah. Obat ini bekerja sebagai antagonis selektif dan bersifat
kompetitif pada reseptor 5HT3, dengan cara menghambat
aktivasi aferen-aferen vagal sehingga menekan terjadinya
refleks muntah.

b. Dexametason 5mg

c. Bupivacaine 20 mg
Bupivacaine adalah obat anestesi lokal jenis amida yang
memiliki masa kerja panjang dan mula kerja yang pendek. Obat
ini akan mencegah pergerakan ion-ion natrium melalui membran

8
sel untuk masuk ke dalam sel. Pada saat awal penyebaran di
ruang subarachnoid sangat dipengaruhi oleh gravitasi. Indikasi
penggunaan obat ini adalah pembedahan di daerah perut selama
45-60 menit, seperti SCTP pada kasus ini.
d. Oksitosin 20 iu
Oksitosin memiliki fungsi merupakan obat yang digunakan
untuk meningkatkan kontraksi uterus. Peningkatan kontraksi
uterus pada akhirnya akan mencegah dan mengontrol terjadinya
perdarahan postpartum. Oksitosin biasanya diberikan segera
setelah bayi lahir.
e. Ketorolac 30 mg
Ketorolac merupakan obat golongan NSAID. Indikasi obat ini
adalah untuk inflamasi akut dan dapat juga bersifat sebagai
analgesik yang biasa digunakan pada saat operasi ringan hingga
sedang.
f. Tramadol 100 mg
Tramadol merupakan obat analgesik yang bekerja secara sentral
dan bersifat agonis opioid. Obat ini akan membantu meredakan
nyeri derajat sedang hingga berat. Tramadol tidak harus
diberikan ketika pasien masih memberikan respon baik terhadap
ketorolac.

- Cairan yang masuk :


a. Ringer lactate 1000 cc
Ringer lactate merupakan salah satu contoh dari cairan
kristaloid. Larutan kristaloid terdiri dari molekul-molekul
kecil yang dapat menembus membran kapiler dengan mudah.
Mekanisme secara umum larutan kristaloid menembus
membrane kapiler dari kompartemen intrvaskuler ke
kompartemen interstisial, kemudian didistribusikan ke semua
kompartemen ekstravaskuler. Hanya 25% dari jumlah
pemberian awal akan tetap berada di intravaskuler, sehingga

9
penggunaannya membutuhkan volume 3-4 kali dari volume
plasma yang hilang.Ringer lactate memiliki komposisi Na, K,
Ca, dan Cl. Kontraindikasi pemberian cairan ini adalah pasien-
pasien dengan hipernatremia, kelainan ginjal, kerusakan sel
hati, dan asidosis laktat.
- Perdarahan : 200 cc
- Urine output : 70 cc
Terapi Cairan
Rumus:
Maintenance (M) : 2 x kgBB/jam
Pengganti Puasa (PP) : Puasa (jam) x M
Stress Operasi (SO) : 6cc/kgBB (operasi sedang)
Jam I : ½ PP + M + SO
Jam II : ¼ PP + M + SO
Jam III : Jam II
Jam IV : M + SO
30 Menit : 1/2 Jam I
EBV : 70 x BB
Perhitungan (BB= 54 Kg):
Maintenance (M) : 2 x 54 kg : 108 cc
Pengganti puasa (PP) : 6 x 108 cc : 648 cc
Stress operasi (SO) : 6 x 54 kg : 324 cc
EBV : 70 x BB = 70 x 54 : 3780 cc
Lama operasi (60 menit)
Kebutuhan cairan durante operasi
Jam I : ½ PP + M + SO
: ½ 648 + 108 + 324
: 756 cc

Output durante operasi


Jumlah perdarahan = 200 cc
Urin output = 70 cc

10
IWL = 15 x 54 / 24 = 33.75 cc
Total output durante operasi = 303.75 cc

Tabel Keseimbangan Cairan Durante Operasi


Output Cairan Input Cairan
Perdarahan + urin output + IWL Durante operasi = 1000 cc
= 200 + 70 + 33.75 cc
Output cairan D.O. = 303.75 cc Input cairan D.O. = 1000 cc

Kebutuhan durante operasi


60 menit : 756 cc

Total Cairan Output Total Cairan Input


756 + 303.75 1000 cc
= 1059.75 cc = 1000 cc
Balance Cairan: -59.75 cc

Laporan 2 Jam Post Partum


Jam Pukul TD N S TFU Kontraksi Urin Perdarahan
ke
1 19.00 130/80 119 36.5C 1 jari bawah pusat keras - 7 cc
19.30 140/90 115 36.8C 1 jari bawah pusat keras - -
20.00 130/90 116 36.7C 1 jari bawah pusat keras - 5 cc
2 20.30 130/80 118 36.5C 1 jari bawah pusat keras - -
21.00 120/80 120 36.6C 2 jari bawah pusat keras - 5 cc

I.4 Laporan Follow-Up Post-Operasi


Hari, Subjektif dan Objektif Assessment Planning
tanggal
Jumat, S : Pasien mengeluhkan G2P1A0 31 - ceftriaxone 2x1gr
17/08/18 sesak napas Tahun Hamil 32 IV
pukul O : minggu Pro - as.tranexamat
14.30 di TD : 130/90 mmHg SCTP a.i 3x500gr
ICU Nadi : 87 x/menit pneumonia dan - dexametason
RR : 28 x/menit riwayat TB 3x5mg

11
S: 36.5 C - metilpredisolon
SpO2 : 100% 2x125mg
Status Nifas - omeprazole 2x40gr
Lochia rubra: 5 cc IV
Kontraksi: keras - ventoin 2x1
TFU: 1 jari di bawah pusat
Status Vegetatif
BAK (+) DC 300 cc / 6
jam
BAB (-)
Flatus (+)
Sabtu, S: G2P1A0 31 - ceftriaxone 2x1gr
18/08/2018 Pasien mengatakan masih Tahun Hamil 32 IV
pkl 16.00 terasa sesak namun sudah minggu Pro - as.tranexamat
di ICU berkurang dari hari SCTP a.i 3x500gr
sebelumnya pneumonia dan - metilpredisolon
O: riwayat TB 2x125mg
TD : 130/80 mmHg - omeprazole 2x40gr
Nadi : 61 x/menit IV
RR : 14 x/menit
S: 36 C
SpO2: 100%
Status Nifas
Lochia rubra: 5 cc
Kontraksi: keras
TFU: 2 jari di bawah pusat
Status Vegetatif
BAK (+) DC 200 cc / 6
jam
BAB (-), Flatus (+).

12
Minggu, S: G2P1A0 31 - ceftriaxone 2x1gr
19/08/18 Pasien merasa sudah tidak Tahun Hamil 32 IV
pkl 14.30 sesak. minggu Pro - metilpredisolon
di ICU O: SCTP a.i 2x125mg
TD : 130/100 mmHg pneumonia dan - lansoprazol 1x40gr
Nadi : 88 x/menit riwayat TB IV
RR : 16 x/menit
S: 36.5 C
Status Nifas
Lochia rubra: 3 cc
Kontraksi: keras
TFU: 2 jari di bawah pusat
Status Vegetatif
BAK (+) DC 200 cc / 6
jam
BAB (-), Flatus (+)
Senin, S: G2P1A0 31 - ceftriaxone 2x1gr
20/08/18 Mobilisasi pasien sudah Tahun Hamil 32 IV
pkl 15.00 lebih baik di bangsal minggu Pro - metilpredisolon
di bangsal O: SCTP a.i 2x125mg
Flamboyan TD : 120/80 mmHg pneumonia dan - lansoprazol 1x40gr
Nadi : 82 x/menit riwayat TB IV
RR : 16 x/menit
S: 36.5 C
SpO2: 98%
Status Nifas
Lochia rubra: 2cc
Status Vegetatif
BAK (+), BAB (+), Flatus
(+)

13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pneumonia
2.1.1 Definisi
Pneumonia adalah peradangan akut pada parenkim paru, bronkiolus
respiratorius dan alveoli, menimbulkan konsolidasi jaringan paru sehingga dapat
mengganggu pertukaran oksigen dan karbon dioksida di paru-paru. Pada
perkembangannya, berdasarkan tempat terjadinya infeksi, dikenal dua bentuk
pneumonia, yaitu pneumonia-masyarakat (community-acquired pneumonia/CAP),
apabila infeksinya terjadi di masyarakat dan pneumonia-RS atau pneumonia
nosokomial (hospital-acquired pneumonia/HAP), bila infeksinya didapat di rumah
sakit.
Pneumonia-masyarakat (community-acquired pneumonia) adalah
pneumonia yang terjadi akibat infeksi diluar rumah sakit , sedangkan pneumonia
nosokomial adalah pneumonia yang terjadi >48 jam atau lebih setelah dirawat di
rumah sakit, baik di ruang rawat umum ataupun di ICU tetapi tidak sedang
menggunakan ventilator. Pneumonia berhubungan dengan penggunaan ventilator
(ventilator-acquired pneumonia/VAP) adalah pneumonia yang terjadi setelah 48
72 jam atau lebih setelah intubasi tracheal. Pneumonia yang didapat di pusat
perawatan kesehatan (healthcare-associated pneumonia) adalah pasien yang
dirawat oleh perawatan akut di rumah sakit selama 2 hari atau lebih dalam waktu
90 hari dari proses infeksi, tinggal dirumah perawatan (nursing home atau long
term care facility), mendapatkan antibiotik intravena, kemoterapi, atau perawatan
luka dalam waktu 30 hari proses infeksi ataupun datang ke klinik rumah sakit atau
klinik hemodialisa.

2.1.2 Etiologi
a. Bakteri
1. Typical organisme

14
- Streptococcus pneumonia : merupakan bakteri anaerob facultatif. Bakteri
patogen ini di temukan pneumonia komunitas rawat inap di luar ICU sebanyak
20-60%, sedangkan pada pneumonia komunitas rawat inap di ICU sebanyak 33%.
- Staphylococcus aureus : bakteri anaerob fakultatif. Pada pasien yang diberikan
obat secara intravena (intravena drug abusers) memungkan infeksi kuman ini
menyebar secara hematogen dari kontaminasi injeksi awal menuju ke paru-paru.
Kuman ini memiliki daya taman paling kuat, apabila suatu organ telah terinfeksi
kuman ini akan timbul tanda khas, yaitu peradangan, nekrosis dan pembentukan
abses. Methicillin-resistant S. Aureus (MRSA) memiliki dampak yang besar
dalam pemilihan antibiotik dimana kuman ini resisten terhadap beberapa
antibiotik.
- Enterococcus (E. faecalis, E faecium) : organisme streptococcus grup D yang
merupakan flora normal usus. Penyebab pneumonia berasal dari gram negatif
sering menyerang pada pasien defisiensi imun (immunocompromised) atau pasien
yang di rawat di rumah sakit, di rawat di rumah sakit dalam waktu yang lama dan
dilakukan pemasangan endotracheal tube. Contoh bakteri gram negatif dibawah
adalah :
- Pseudomonas aeruginosa : bakteri anaerob, bentuk batang dan memiliki bau
yang sangat khas.
- Klebsiella pneumonia : bakteri anaerob fakultatif, bentuk batang tidak berkapsul.
Pada pasien alkoholisme kronik, diabetes atau PPOK (Penyakit Paru Obstruktif
Kronik) dapat meningkatkan resiko terserang kuman ini.
- Haemophilus influenza : bakteri bentuk batang anaerob dengan berkapsul atau
tidak berkapsul. Jenis kuman ini yang memiliki virulensi tinggu yaitu
encapsulated type B (HiB)
b. Virus
Disebabkan oleh virus influenza yang menyebar melalui droplet, biasanya
menyerang pada pasien dengan imunodefisiensi. Diduga virus penyebabnya
adalah cytomegalivirus, herpes simplex virus, varicella zooster virus.
c. Fungi

15
Infeksi pneumonia akibat jamur biasanya disebabkan oleh jamur oportunistik,
dimana spora jamur masuk kedalam tubuh saat menghirup udara. Organisme yang
menyerang adalah Candida sp, Aspergillus sp, Cryptococcus neoformans.

2.1.3 Patofisiologi
Patogen yang sampai ke trakea berasal dari aspirasi bahan yang ada di
orofaring, kebocoran melalui mulut saluran endotrakeal, inhalasi dan sumber
patogen yang mengalami kolonisasi di pipa endotrakeal. Faktor risiko pada inang
dan terapi yaitu pemberian antibiotik, penyakit penyerta yang berat, dan tindakan
invansif pada saluran nafas. Faktor resiko kritis adalah ventilasi mekanik >48jam,
lama perawatan di ICU. Faktor predisposisi lain seperti pada pasien dengan
imunodefisien menyebabkan tidak adanya pertahanan terhadap kuman patogen
akibatnya terjadi kolonisasi di paru dan menyebabkan infeksi. Proses infeksi
dimana patogen tersebut masuk ke saluran nafas bagian bawah setelah dapat
melewati mekanisme pertahanan inang berupa daya tahan mekanik ( epitel,cilia,
dan mukosa), pertahanan humoral (antibodi dan komplemen) dan seluler
(leukosit, makrofag, limfosit dan sitokinin). Kemudian infeksi menyebabkan
peradangan membran paru (bagian dari sawar-udara alveoli) sehingga cairan
plasma dan sel darah merah dari kapiler masuk. Hal ini menyebabkan rasio
ventilasi perfusi menurun, saturasi oksigen menurun. Pada pemeriksaan dapat
diketahui bahwa paru-paru akan dipenuhi sel radang dan cairan , dimana
sebenarnya merupakan reaksi tubuh untuk membunuh patogen, akan tetapi dengan
adanya dahak dan fungsi paru menurun akan mengakibatkan kesulitan bernafas,
dapat terjadi sianosis, asidosis respiratorik dan kematian.

2.1.4 Manifestasi Klinik


Gejala khas adalah demam, menggigil, berkeringat, batuk (baik non
produktif atau produktif atau menghasilkan sputum berlendir, purulen, atau bercak
darah), sakit dada karena pleuritis dan sesak. Gejala umum lainnya adalah pasien
lebih suka berbaring pada sisi yang sakit dengan lutut tertekuk karena nyeri dada.
Pemeriksaan fisik didapatkan retraksi atau penarikan dinding dada bagian bawah
saat pernafas, takipneu, kenaikan atau penurunan taktil fremitus, perkusi redup

16
sampai pekak menggambarkan konsolidasi atau terdapat cairan pleura, ronki,
suara pernafasan bronkial, pleural friction rub.

2.1.5 Klasifikasi
Klasifikasi pneumonia berdasarkan letak terjadinya2 :
1) Community-Acquired Pneumonia15
Pneumonia komunitas merupakan salah satu penyakit infeksius ini sering
di sebabkan oleh bakteri yaitu Streptococcus pneumonia (Penicillin sensitive and
resistant strains ), Haemophilus influenza (ampicillin sensitive and resistant
strains) and Moraxella catarrhalis (all strains penicillin resistant). Ketiga bakteri
tersebut dijumpai hampir 85% kasus CAP. CAP biasanya menular karena masuk
melalui inhalasi atau aspirasi organisme patogen ke segmen paru atau lobus paru-
paru. Pada pemeriksaan fisik sputum yang purulen merupakan karakteristik
penyebab dari tipikal bakteri, jarang terjadi mengenai lobus atau segmen paru.
Tetapi apabila terjadi konsolidasi akan terjadi peningkatan taktil fremitus, nafas
bronkial. Komplikasi berupa efusi pleura yang dapat terjadi akibat infeksi H.
Influenza , emphyema terjadi akibat infeksi Klebsiella , Streptococcus grup A, S.
Pneumonia . Angka kesakitan dan kematian infeksi CAP tertinggi pada lanjut
usia dan pasien dengan imunokompromis. Resiko kematian akan meningkat pada
CAP apabila ditemukan faktor komorbid berupa peningkatan respiratory rate,
hipotensi, demam, multilobar involvement, anemia dan hipoksia.
2) Hospital-Acquired Pneumonia
Berdasarkan America Thoracic Society (ATS) , pneumonia nosokomial (
lebih dikenal sebagai Hospital-acquired pneumonia atau Health care-associated
pneumonia ) didefinisikan sebagai pneumonia yang muncul setelah lebih dari 48
jam di rawat di rumah sakit tanpa pemberian intubasi endotrakeal. Terjadinya
pneumonia nosokomial akibat tidak seimbangnya pertahanan inang dan
kemampuan kolonisasi bakteri sehingga menginvasi traktus respiratorius bagian
bawah. Bakteria yang berperan dalam pneumonia nosokomial adalah P.
Aeruginosa , Klebsiella sp, S. Aureus, S.pneumonia. Penyakit ini secara signifikan
akan mempengaruhi biaya rawat di rumah sakit dan lama rawat di rumah sakit.
ATS membagi pneumonia nosokomial menjadi early onset (biasanya muncul

17
selama 4 hari perawatan di rumah sakit) dan late onset (biasanya muncul setelah
lebih dari 5 hari perawatan di rumah sakit). Pada early onset pneumonia
nosokomial memili prognosis baik dibandingkan late onset pneumonia
nosocomial, hal ini dipengaruhi pada multidrug-resistant organism sehingga
mempengaruhi peningkatan mortalitas.
Pada banyak kasus, diagnosis pneumonia nosokomial dapat diketahui
secara klinis, serta dibantu dengan kultur bakteri; termasuk kultur semikuantitatif
dari sample bronchoalveolar lavange (BAL).
3) Ventilator-Acquired pneumonia
Pneumonia berhubungan dengan ventilator merupakan pneumonia yang
terjadi setelah 48-72 jam atau lebih setelah intubasi trakea. Ventilator adalah alat
yang dimasukan melalui mulut atau hidung, atau melalu lubang di depan leher.
Infeksi dapat muncul jika bakteri masuk melalui lubang intubasi dan masuk ke
paru-paru.

2.1.6 Komplikasi
a. Pneumonia ekstrapulmoner, pneumonia pneumokokus dengan bakteriemi.
b. Pneumonia ekstrapulmoner non infeksius gagal ginjal, gagal jantung, emboli
paru dan infark miokard akut.
c. ARDS ( Acute Respiratory Distress Syndrom)
d. Komplikasi lanjut berupa pneumonia nosokomial
e. Sepsis
f. Gagal pernafasan, syok, gagal multiorgan
g. Penjalaran infeksi (abses otak, endokarditis)
h. Abses paru
i. Efusi pleura

18
2.1.7 Terapi

2.2 Tuberkulosis paru


2.2.1 Definisi
Tuberkulosis paru (Tb paru) adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang
penyakit parenkim paru. Nama tuberkulosis berasal dari tuberkel yang berarti

19
tonjolan kecil dan keras yang terbentuk waktu sistem kekebalan membangun
tembok mengelilingi bakteri dalam paru. Tb paru ini bersifat menahun dan secara
khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan menimbulkan nekrosis jaringan.
Tb paru dapat menular melalui udara, waktu seseorang dengan Tb aktif pada paru
batuk, bersin atau bicara

2.2.2 Klasifikasi
Ada beberapa klasifikasi Tb paru yaitu menurut Depkes (2007) yaitu:
A. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:
1. Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru
tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
2. Tuberkulosis ekstra paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura,
selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian,
kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.

B. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis


1. Tuberkulosis paru BTA positif :
- Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
- 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan
gambaran tuberkulosis.
- 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman Tb positif.
- 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT.
2. Tuberkulosis paru BTA negatif
Kriteria diagnostik Tb paru BTA negatif harus meliputi:
- Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.
- Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
- Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
- Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

20
C. Klasifikasi berdasarkan tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya
1. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2. Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh tetapi kambuh lagi.
3. Kasus setelah putus berobat (default )
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan
BTA positif.
4. Kasus setelah gagal (failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5. Kasus lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, dalam kelompok ini
termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif
setelah selesai pengobatan ulangan

2.2.3 Etiologi
Penyakit Tb paru adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh
bakteri. Mycobakterium tuberkulosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat
tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Sumber
penularan adalah penderita tuberkulosis BTA positif pada waktu batuk atau
bersin. Penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan
dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu
kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup
ke dalam saluran pernafasan.Setelah kuman tuberkulosis masuk ke dalam tubuh
manusia melalui pernafasan, kuman tuberkulosis tersebut dapat menyebar dari
paru kebagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, saluran nafas, atau

21
penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari
seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari
parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular
penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman),
maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Seseorang terinfeksi tuberculosis
ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara
tersebut.

2.2.4 Diagnosis
Diagnosis tuberkulosis paru ditegakkan melalui pemeriksaan gejala klinis,
mikrobiologi, radiologi, dan patologi klinik. Pada program tuberkulosis nasional,
penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis
utama. Pemeriksaan lain seperti radiologi, biakan dan uji kepekaan dapat
digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.
Tidak dibenarkan mendiagnosis tuberkulosis hanya berdasarkan pemeriksaan foto
toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB
paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis

2.2.5 Gejala
a) Gejala sistemik/umum
- Penurunan nafsu makan dan berat badan.
- Perasaan tidak enak (malaise), lemah.
- Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam
hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza
dan bersifat hilang timbul.
b) Gejala khusus
Bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat
penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara
"mengi", suara nafas melemah yang disertai sesak. Jika ada cairan dirongga pleura
(pembungkus paru-paru), dapatdisertai dengan keluhan sakit dada.

22
2.2.6 Tanda
Tanda-tanda yang di temukan pada pemeriksaan fisik tergantung luas dan
kelainan struktural paru. Pada lesi minimal, pemeriksaan fisis dapat normal atau
dapat ditemukan tanda konsolidasi paru utamanya apeks paru. Tanda pemeriksaan
fisik paru tersebut dapat berupa: fokal fremitus meingkat, perkusi redup, bunyi
napas bronkovesikuler atau adanya ronkhi terutama di apeks paru. Pada lesi luas
dapat pula ditemukan tanda-tanda seperti : deviasi trakea ke sisi paru yang
terinfeksi, tanda konsolidasi, suara napas amporik pada cavitas atau tanda adanya
penebalan pleura.

2.2.7 Pemeriksaan dahak mikroskopis


Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak
untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak
yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan sewaktu-pagi
sewaktu (SPS).
1. S(sewaktu): Dahak dikumpulkan pada saat suspek tuberculosis datang
berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak
untuk mengumpulkan dahak pada pagi hari kedua
2. P(pagi): Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera
setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada
petugas.
3. S(sewaktu): Dahak dikumpulkan pada hari kedua, saat
menyerahkan dahak pagi hari.
Pemeriksaan mikroskopisnya dapat dibagi menjadi dua yaitu pemeriksaan
mikroskopis biasa di mana pewarnaannya dilakukan dengan Ziehl Nielsen dan
pemeriksaan mikroskopis fluoresens di mana pewarnaannya dilakukan dengan
auramin-rhodamin (khususnya untuk penapisan).

23
Intepretasi hasil pemeriksaan Tb paru

Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD (International


Union Against Tuberculosis and lung Tuberculosis) yang merupakan rekomendasi
dari WHO.

Interpretasi pemeriksaan mikroskopis Tb paru skala UATLD

2.2.8 Pemeriksaan Bactec


Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode
radiometrik. Mycobacterium tuberculosa memetabolisme asam lemak yang
kemudian menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin
ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara cepat
untuk membantu menegakkan diagnosis dan melakukan uji kepekaan.Bentuk lain
teknik ini adalah dengan memakai Mycobacteria Growth Indicator Tube (MGIT).

24
2.2.9 Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukan indikator yang spesifik
untuk Tb paru. Laju Endap Darah ( LED ) jam pertama dan jam kedua
dibutuhkan. Data ini dapat di pakai sebagai indikator tingkat kestabilan keadaan
nilai keseimbangan penderita, sehingga dapat digunakan untuk salah satu respon
terhadap pengobatan penderita serta kemungkinan sebagai predeteksi tingkat
penyembuhan penderita. Demikian pula kadar limfosit dapat menggambarkan
daya tahan tubuh penderita. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi LED
yang normal juga tidak menyingkirkan diagnosa TBC.

2.2.10 Pemeriksaan radiologis


Pemeriksaan standar adalah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi
ialah foto lateral, top lordotik, oblik, CT-Scan. Pada kasus dimana pada
pemeriksaan sputum SPS positif, foto toraks tidak diperlukan lagi. Pada beberapa
kasus dengan hapusan positif perlu dilakukan foto toraks bila:
o Curiga adanya komplikasi (misal : efusi pleura, pneumotoraks)
o Hemoptisis berulang atau berat
o Didapatkan hanya 1 spesimen BTA +
Pemeriksaan foto toraks memberi gambaran bermacam-macam bentuk.
Gambaran radiologi yang dicurigai lesi Tb paru aktif:
o Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas dan
segmen superior lobus bawah paru.
o Kaviti terutama lebih dari satu, dikelilingi bayangan opak berawan atau nodular.
o Bayangan bercak milier.
o Efusi Pleura
Gambaran radiologi yang dicrigai Tb paru inaktif:
o Fibrotik, terutama pada segmen apical dan atau posterior lobus atas dan atau
segmen superior lobus bawah.
o Kalsifikasi.
o Penebalan pleura.

25
Alur Diagnosis Tb Paru

2.2.11 Patogenesis
Sumber penularan Tb Paru adalah penderita Tb BTA+ ,Pada waktu batuk/bersin,
penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk dropler (percikan dahak).

2.2.12 Infeksi Primer


Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan
paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang primer
atau afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam
paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan
peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan
tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis
regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai
kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai
berikut:
a. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution adintegrum)

26
b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis
fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
c. Menyebar dengan cara perkontinuitatum menyebar kesekitarnya.
1) Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian
penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang
membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan,
dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus
yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada
lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.
2) Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun
ke paru sebelahnya atau tertelan.
3) Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan
dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan
dapat sembuh secara spontan, akan tetetapi bila tidak terdapat imuniti yang
adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti itu
berkulosismilier, meningitis tuberkulosis, typhobacillosis Landouzy. Penyebaran
ini juga dapat menimbulkan tuberculosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang,
ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini
mungkin berakhir dengan:
- Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan terbelakang pada
anak setelah mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma ).
- Meninggal. Semua kejadian diatas adalah perjalanan tuberkulosis primer.

27
Skema Patogenesis Infeksi Primer Tb paru

2.2.13 Infeksi Post Primer


Tuberkulosis postprimer akan muncul bertahun-tahun kemudian setelah
tuberkulosis primer, biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis
postprimer mempunyai nama yang bermacam-macam yaitu tuberkulosis bentuk
dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk
tuberkulosis inilah yang terutama menjadi masalah kesehatan masyarakat, karena
dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis postprimer dimulai dengan sarang
dini, yang umumnya terletak di segmen apikal lobus superior maupun lobus
inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumoni kecil. Sarang
pneumoni ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut:
1) Diresopsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat. Sarang tersebut akan
meluas dan segera terjadi proses penyembuhan dengan penyebukan jaringan
fibrosis. Selanjutnya akan terjadi pengapuran dan akan sembuh dalam bentuk
perkapuran. Sarang tersebut dapat menjadi aktif kembali dengan membentuk
jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.

28
2) Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti
akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya
berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik).
Kaviti tersebut akan menjadi:
- Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru. Sarang pneumoni ini
akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan di atas.
- Memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebut tuberkuloma.
Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi mungkin pula aktif
kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi.
- Bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti menyembuh
dengan membungkus diri dan akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai
kaviti yang terbungkus dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang (stellate
shaped).

2.2.14 Penatalaksanaan
Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. Mikobakteri merupakan kuman tahan
asam yang sifatnya berbeda dengan kuman lain karena tumbuhnya sangat lambat
dan cepat sekali timbul resistensi bila terpajan dengan satu obat. Umumnya
antibiotika bekerja lebih aktif terhadap kuman yang cepat membelah
dibandingkan dengan kuman yang lambat membelah. Sifat lambat membelah
yang dimiliki mikobakteri merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
perkembangan penemuan obat antimikobakteri baru jauh lebih sulit dan lambat
dibandingkan antibakteri lain:
Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah: INH, Rifampisin, Streptomisin,
Etambutol.
Jenis obat tambahan lainnya (lini 2): Kanamisin , Amikasin, Kuinolon.

29
Jenis dan Obat OAT

Pengobatan Tb paru pada orang dewasa di bagi dalam beberapa kategori yaitu:
1. Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3
Selama 2 bulan minum obat INH, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol setiap
hari (tahap intensif), dan 4 bulan selanjutnya minum obat INH dan rifampisin tiga
kali dalam seminggu (tahap lanjutan). Diberikan kepada:
a. Penderita baru TBC paru BTA positif.
b. Penderita TBC ekstra paru (TBC di luar paru-paru) berat.
2. Kategori 2 : HRZE/5H3R3E3
Diberikan kepada :
a. Penderita kambuh.
b. Penderita gagal terapi.
c. Penderita dengan pengobatan setelah lalai minum obat.
3. Kategori 3 : 2HRZ/4H3R3
Diberikan kepada penderita BTA (+) dan rontgen paru mendukung aktif.

2.2.15. Komplikasi
Tb paru apabila tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan komplikasi.
Komplikasi-komplikasi yang terjadi pada penderita Tb paru dibedakan menjadi
dua, yaitu :

30
1. Komplikasi dini: komplikasi dini : pleuritis, efusi pleura, empiema, laryngitis,
usus.
2. Komplikasi pada stadium lanjut:
Komplikasi-komplikasi yang sering terjadi pada penderita stadium lanjut adalah:
a. Hemoptisis masif (pendarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat
mengakibatkan kematian karena sumbatan jalan nafas atau syok hipovolemik
b. Kolaps lobus akibat sumbatan duktus
c. Bronkietaksis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan
ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru
d. Pnemotoraks spontan, yaitu kolaps spontan karena bula/blep yang pecah
e. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, sendi, ginjal, dan
sebagainya

2.3 TB PARU DALAM KEHAMILAN

2.3.1 Definisi

Tuberkolusis paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh


basil Mycobacterium tuberkolusis yang merupakan salah satu penyakit saluran
pernafasan bagian bawah karena sebagian besar basil tuberkolusis masuk ke
dalam jaringan paru melalui airbone infection dan selanjutnya mengalami proses
yang dikenal sebagai focus primer dari ghon, sedangkan batuk darah (hemoptisis)
adalah salah satu manifestasi yang diakibatkannya. Darah atau dahak berdarah
yang dibatukkan berasal dari saluran pernafasan bagian bawah yaitu mulai dari
glottis kearah distal, batuk darah akan berhenti sendiri jika asal robekan pembuluh
darah tidak luas,sehingga penutupan luka dengan cepat terjadi.

2.3.2 Epidemiologi

Data statistik mengenai insiden TB pada kehamilan belum banyak


diperoleh.Tetapi hal tersebut dapat dinilai dari prevalensi TB paru yang terjadi
pada wanita subur. Di Amerika Serikat insiden TB pada kehamilan antara tahun
1985-1990adalah sekitar 12 kasus dalam 100.000 kelahiran, sedangkan antara
tahun 1991-1992adalah 94.8 per 100,000 kelahiran.Terdapat perbedaan etnik
antara kulit hitam dan kulit putih terhadap insidenTB, dimana pada kulit hitam

31
adalah sekitar 29.6 per 100.000 populasi sedangkan pada kulit putih adalah sekitar
5.7 per 100.000 populasi. Meningkatnya jumlah wanita hamil yang mengidap
HIV juga berpengaruh besar terhadap terjadinya infeksi TB selama kehamilan.Di
Indonesia prevalensi TB paru masih sangat tinggi sehingga dapa tdiasumsikan
bahwa frekuensi TB pada wanita hamil juga tinggi. Diperkirakan 1 %wanita hamil
menderita TB paru. Di Negara miskin dan berkembang frekuensi TB paru pada
wanita hamil jauh lebih tinggi lagi.

2.3.3 Etiologi

Sebagaimana telah diketahui, TBC paru disebabkan oleh basil TB


(Mycobacterium tuberculosis humanis).· M. tuberculosis termasuk familie
Mycobacteriaceae yang mempunyai berbagaigenus, satu di antaranya adalah
Mycobacterium, yang salah satu speciesnya adalahM. tuberculosis.· M.
tuberculosis yang paling berbahaya bagi manusia adalah type humanis. Basil TB
mempunyai dinding sel lipoid sehingga tahan asam, sifat ini dimanfaatkanoleh
Robert Koch untuk mewarnai secara khusus. Oleh karena itu, kuman ini
disebut pula Basil Tahan Asam (BTA).· Karena sebetulnya Mycobacterium pada
umumnya tahan asam, secara teoritis BTA belum tentu identik dengan basil TB.
Tetapi karena dalam keadaan normal penyakit paru yang disebabkan oleh
Mycobacterium lain jarang sekaliditemukan, dalam praktek BTA dianggap identik
dengan basil TB. Di negara dengan prevalensi AIDS/infeksi HIV yang tinggi,
penyakit paru yang disebabkan M. atipic makin sering ditemukan, sehingga dalam
kondisi seperti ini, perlu sekali diwaspadai bahwa BTA belum tentu harus identik
dengan basil TB. BTA belum tentu harus identik dengan basil TB, mungkin saja
BTA yang ditemukan adalah M. atipic yang menjadi penyebab Mycobacteriosis.·
Bakteri-bakteri lain hanya diperlukan beberapa menit sampai 20 menit untuk
mitosis, basil TB memerlukan waktu 12 sampai 24 jam. Hal in imemungkinkan
pemberian obat secara intermiten (2 – 3 hari sekali).· Basil TB sangat rentan
terhadap sinar matahari, sehingga dalam beberapa menitsaja akan mati. Ternyata
kerentanan ini terutama terhadap gelombang cahaya ultraviolet. Basil TB juga
rentan terhadap panas-basah, sehingga dalam 2 menit saja basil TB yang berada
dalam lingkungan basah sudah akan mati bila terkena air bersuhu 1000 C. basil

32
TB juga akan terbunuh dalam beberapa menit bila terkena alkohol 70%, atau lisol
5%.

2.3.5 Patofisiologi

Mycobacterium tuberculosis dapat ditularkan melalui udara yang terjadi


>90% kasus yang pernah di laporkan. Droplet nuclei yang mengandung kuman
akanterbentuk ketika individu dengan TB aktif batuk, bersin, berbicara atau
menyanyi.Setelah terhisap basil TB akan turun ke cabang cabang bronchial dan
menetap di bronkiolus atau alveolus setelah sebelumnya berhasil melewati sistem
mukosilier. Basil TB selanjutnya akan mengadakan multiplikasi dan pada pasien
akan mengalami demam, batuk dan nyeri dada pleuritik. Selanjutnya basil TB
akan difagosit oleh makrofag. Di dalam makrofag basil TB kembali melakuka
nmultiplikasi. Kemudian basil TB akan meninggalkan fokus primer di paru paru
danmenuju ke limfonoduli regional. Dari sini selanjutnya kuman akan menyebar
keseluruh tubuh melalui penyebaran limfohematogen. Organ organ yang sering
terkena pada tahap ini adalah paru paru, lien, hati, meningens, tulang, dan sendi.
Plasenta danorgan organ genital juga dapat terinfeksi.Pada permulaan penyebaran
akan terjadi beberapa kemungkinan yang bisamuncul yaitu penyebaran
limfohematogen yang dapat menyebar melewati getah bening atau pembuluh
darah. Kejadian ini dapat meloloskan kuman dari kelenjar getah bening dan
menuju aliran darah dalam jumlah kecil yang dapat menyebabkan lesi pada organ
tubuh yang lain. Basil tuberkolusis yang bisa mencapai permukaan alveolus
biasanya di inhalasi sebagai suatu unit yang terdiri dari 1-3 basil. Dengan adanya
basil yang mencapai ruang alveolus, ini terjadi dibawah lobus atas paru atau
dibagian atas lobus bawah, maka hal ini bisa membangkitkan reaksi peradangan.
Berkembangnya leukosit pada hari hari pertama ini di gantikan oleh makrofag.
Pada alveoli yang terserang mengalami konsolidasi dan menimbulkan tanda dan
gejala pneumonia akut. Basil ini juga dapat menyebar melalui getah bening
menuju kelenjar getah bening regional, sehingga makrofag yang mengadakan
infiltrasi akanmenjadi lebih panjang dan yang sebagian bersatu membentuk sel
tuberkel epitelloid yang dikelilingi oleh limfosit, proses tersebut membutuhkan
waktu 10-20 hari. Bila terjadi lesi primer paru yang biasanya disebut focus ghon
dan bergabungnya serangan Kelenjar getah bening regional dan lesi primer

33
dinamakan kompleks ghon. Kompleks ghon yang mengalami pencampuran ini
juga dapat diketahui pada orang sehat yang kebetulan menjalani pemeriksaan
radiogram rutin. Beberapa respon lain yang terjadi pada daerah nekrosis adalah
pencairan, dimana bahan cair lepas kedalam bronkus dan menimbulkan kavitas.
Pada proses ini akan dapat terulang kembali dibagian selain paru-paru ataupun
basil dapat terbawa sampai ke laring, telinga tengah atau usus.Kavitas yang kecil
dapat menutup sekalipun tanpa adanya pengobatan dan dapat meninggalkan
jaringan parut fibrosa. Bila peradangan mereda lumen bronkus dapat menyempit
dan tertutup oleh jaringan parut yang terdapat dengan perbatasan rongga bronkus.
Bahan perkejuan dapat mengental sehingga tidak dapat mengalir melalui saluran
penghubung, sehingga kavitas penuh dengan bahan perkijauan danlesi mirip
dengan lesi berkapsul yang tidak lepas. Keadaan ini dapat tidak menimbulkan
gejala dalam waktu lama atau membentuk lagi hubungan dengan bronkus dan
menjadi tempat peradangan aktif. Batuk darah (hemptoe) adalah batuk darah yang
terjadi karena penyumbatantrakea dan saluran nafas sehingga timbul sufokal yang
sering fatal. Ini terjadi pada batuk darah masif yaitu 600-1000cc/24 jam. Batuk
darah pada penderita TB parudisebabkan oleh terjadinya ekskavasi dan ulserasi
dari pembuluh darah pada dinding kapitas. Setelah 1-2 bulan, tubuh penderita
akan membentuk cell mediated immunitydan hipersensitivitas terhadap basil TB
yang di tandai dengan test tuberculin positif.Setelah imunitas terbentuk, fokus
primer pada paru dan organ lainnya akanmengalami resolusi, fibrosis dan
kalsifikasi. Walaupun terjadi penyembuhan,sebagian basil TB akan tetap hidup
dalam beberapa tahun. Jika tubuh penderita mengalami penurunah sistem Unun
(misal infeksi HIV) basil ini dapat menjadi aktif kembali dan menyebabkan
terjadinya reaktivasi. Beberapa penyakit seperti diabetes dan penggunaan obat
obatan sepertikortikosteroid dan obat-obat lain yang dapat meoyebabkan
penurunan sistem imundapat mempercepat terjadinya proses reaktivasi tersebut.
Pada pasien dengan HIVdimana terjadi penurunan sistem imun yang parah gejala
TB dapat menjadi lebihhebat. Pada pasien tersebut sering berkembang manifestasi
TB ektrapulmonal yang berat.

2.3.5 Diagnosis

34
2.3.6 Gejala Klinis

Di sini juga tidak satu pun gejala yang patognomonis untuk TB.
Variabilitas gejala-gejala yang dapat ditemukan pada penyakit ini sangat besar.
Bahkan tidak jarang pada stadium permulaan belum dapat ditemukan hal-hal
yang patologis sementara gambaran radiologis dan pemeriksaan sputum sudah
menunjukkan adanya penyakit TB. Pada orang dewasa, biasanya penyakit ini
dimulai di daerah paru atas, kanan atau kiri, yang disebut ‘fruh infiltrat’. Pada
auskultasi, hanya akan ditemukan ronki basah halus sebagai satu-satunya kelainan

35
pemeriksaan jasmani. Bila proses infiltratif ini makin meluas dan menebal, juga
akan didapatkan fremitus yang menguat, dengan redup pada perkusi, suara nafas
bronkeal, serta bronkopi yangmenguat. Bila sudah terjadi kavitas, akan ditemukan
gejala-gejala kavitas, berupatimpani pada perkusi yang disertai suara napas
amforis. Sebaliknya bila terjadi atelektasis, misalnya pada ‘destroyed lung’, suara
napas setempat akan melemah sampai hilang sama sekali. Ronki basah pada
umumnya selalu akan didapatkan, mengingat bahwa selalu pula akan terbentuk
sekret dan jaringan nekrotik. Makin banyak secret berada,makin kasar ronki yang
didengar. Melihat ini semua, makin nyata bahwa kelainan-kelainan yang dapat
ditemukan pada TB sangat variabel, baik jenis, intensitas, jumlah, maupun
tempatditemukannya (pleiomorfi).Gejala TBC adalah dimulai dengan batuk-batuk
ringan, tetapi lama-lamatambah hebat hingga keluar darah sedikit-sedikit. Gejala-
gejala lainnya adalah: penderita tampak pucat, badan lemah semakin kurus, suhu
badan naik dan kalaumalam hari mengeluarkan keringat. Kadang-kadang ada juga
yang suaranya sampaihabis.

2.3.7 Pemeriksaan Laboratorium

Untuk dapat mendiagnosis tuberkulosis dalam kehamilan, para klinisi


harusmengenal dengan pasti gejala yang sarna antara TB dan gejala kehamilan
normal meliputi: takikardia, anemia, peningkatan LED, dan penurunan kadar
albumin serumatau gejala yang berbeda yaitu: peningkatan berat badan yang
terjadi pada kehamilandan penurunan berat badan yang terjadi pada infeksi TB,
hipertensi yang umumnya pada kehamilan dan hipotensi pada TB.

2.3.8 Pemeriksaan Sputum

Pemeriksaan sputum harus dilakukan sebagai bagian dari dasar


diagnosis pasti TB paru. Pemeriksaan menggunaan pewarnaan dengan metode
Ziehl-Neelsen. Hasil pemeriksaan dikatakan positif apabila sedikitnya dua dari
tiga specimen SPS BTA hasilnya positif. Jika 3 kali pemeriksaan sputum hasilnya
negatiftetapi gejalatetap ada setelah diberikan antibiotik selama 1-2 minggu maka
pemeriksaan harusdilanjutkan dengan pemeriksaan rotgen torak. Kelemahannya
adalah baru positif jika kuman5000/cc dahak.

36
2.3.9 Pemeriksaan Tuberculin

Sebetulnya tes ini bertujuan untuk memeriksa kemampuan reaksi hipersensitivitas


tipe lambat (tipe IV), yang dianggap dapat mencerminkan potensisistem imunitas
selular seseorang, khususnya terhadap basil TB. Pada seseorangyang belum
terinfeksi basil TB, tentunya sistem imunitas selulernya belum terangsang untuk
melawan basil TB. Dengan demikian tes tuberkulin akan negatif. Sebaliknya bila
seseorang pernah terinfeksi basil TB, dalam keadaan normal sistemini sudah akan
terangsang secara efektif 3-8 minggu setelah infeksi primer dan testuberkulin akan
positif (yaitu bila didapatkan diameter indurasi 10-14 mm pada hariketiga atau
keempat dengan dosis PPD 5 TU intrakutan). Kalau seseorang penderita sedang
menderita TB aktif, tes tuberkulinnya dapat kelewat positif (artinya diameter
indurasi yang ditimbulkannya dapat melebihi14 mm). Tetapi kalau proses TB-nya
hiperaktif, misalnya TB miliaris, seolah-olahseluruh kemampuan potensi imunitas
seluler sudah terkuras habis dan tes akan menjadi negatif. Selama TB masih
endemik di Indonesia, yakni infeksi pada umumnya sudahakan terjadi pada usia
yang masih muda sekali, tes tuberkulin sebagai tes diagnostik menjadi kurang
berarti. Vaksinasi BCG secara masal juga akan lebih menghilangkanarti tes
tuberkulin sebagai sarana diagnostik. Mengingat juga ada begitu banyak faktor
bukan TB yang dapat mempengaruhi hasil tes tuberkulin, khususnya dinegara-
negara seperti Indonesia, tes ini makin kehilangan arti sebagai tes
diagnostik.Faktor-faktor ini adalah penyimpanan bahan tes yang tak memenuhi
syarat; gizi yangrendah dengan semua etiologinya, seperti misalnya cacingan,
memang kekurangangizi, dan lain-lain; pemakaian kortikosteroid yang lama; baru
sembuh dari penyakitinfeksi berat, seperti morbili, dan sebagainya; AIDS; dan
lain-lain. Semuanya dapatmemberikan hasil negatif palsu.Tuberculin adalah
komponen protein kuman TB yang mempunyai sifatantigenik yang kuat.(l)
Tuberculin yang dianjurkan untuk pemeriksaan adalah purified protein derivative
(PPD) dengan kekuatan sedang yaitu 5 TU. Jika diberikansecara intrakutan pada
seseorang yang telah terinfeksi TB (telah ada kompleks primer dalam tubuhnya)
akan memberikan reaksi berupa indurasi dilokasi suntikan.Indurasi ini terjadi
karena vasodilatasi lokal, udem, endapan fibrin dan meningkatnyasel radang lain
didaerah suntikan. Okuran indurasi dan bentuk reaksi tuberculin tidak dapat

37
menentukan tingkat aktivitas dan beratnya suatu penyakit. Tuberculin
yangtersedia di indonesia saat ini adalah PPO RT-23 2TU (tuberculin unit) dan
PPDS 5TU.Uji tuberculin cara mantoux dilakukan dengan menyuntikan
intrakutan 0.1 mlPPO RT-23 TU atau PPD S5TU dibagian volar lengan bawah.
Pembacaan dilakukansetelah 48-72 jam setelah penyuntikan. Yang diukur adalah
indurasi yang terbentuk bukanlah hiperemi. Indurasi diperiksa dengan cara
palpasi untuk menentukan tepiindurasi, ditandai dengan bolpoint kemudian diukur
dengan alat ukur diameter transversal indurasi yang terjadi dan hasilnya
dinyatakan dalam milimeter. Jika tidak timbul indurasi sarna sekali maka hasil
pemeriksaan dilaporkan dalam 0 mm atau ujituberculin negatif. Jika uji tuberculin
positif maka hasilnya diinterpretasikan sesuaidengan faktor resiko; yaitu:

• Pada pasien dengan resiko sangat tinggi; yaitu individu dengan HIV
positif,gambaran radiologi abnormal, atau individu dengan riwayat kontak
dengan penderita TB aktif, maka diameter 5 mm sudah dianggap positif

• Individu dengan resiko tinggi (orang asing, pemakai obat obat


terlarangintravena, masyarakat dengan tinggkat ekonomi lemah, serta individu
dengan penyakit kronis); diameter 10 mm dianggap positif.

• Pada individu tanpa faktor resiko seperti diatas, diameter 15 mm barudianggap


positif.Jika hasil test tuberculin ternyata positif dan pada pasien terdapat gejala
gejalayang khas, maka pada pasien tersebut harus dilakukan fota rotgen thorak
dengan memberikan perlindungan terhadap abdomennya. Jika test tuberculin
positif tetapi gejala tidak ditemukan, pemeriksaan rotgen thorak sebaiknya ditunda
sampai umur kehamilan 12 minggu. Masih terjadi perbedaan pendapat mengenai
sensitivitas test tuberculin yangdilakukan terhadap wanita selama kehamilan,
tetapi laporan terakhir mengatakan bahwa sensitivitas tuberculin akan menurun
selama kehamilan. Beberapa penelitiantelah membuktikan perbedaan yang tidak
signifikan menyangkut sensitifitas tuberculin baik pada saat kehamilan maupun
pada individu pada umumnya. Sampai saat ini tuberculin test masih merupakan
pemeriksaan yang aman dancukup berguna untuk pemeriksaan penyaring terhadap
infeksi tuberculosis yangterjadi, baik pada wanita hamil maupun pada populasi
secara keseluruhan.Wanita hamil dengan penyakit diabetes atau dengan infeksi

38
HIV, para perawatatau dokter yang bekerja di rumah sakit, para lansia, tahanan
dan individu dengantingkat sosial ekonomi yang rendah juga merupakan individu
yang dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan tuberculin. Wanita dengan infeksi
HIV mungkin akan memberikan hasil pemeriksaan yang negativ atau
sensitivitasnya terhadap pemeriksaan ini berkurang. Dalam hal ini diameter
indurasi yang terjadi pada pemeriksaan tuberculin sudah dianggap positif jika
lebih dari 5 mm.

Di Indonesia, saat ini uji tuberculin tidak mempunyai arti dalam


mendiagnosis TB pada orang dewasa karena sebagian besar masyarakat sudah
terinfeksi dengan M. tuberculosis karena tingginya prevalensi TB. Suatu uji
tuberculin positif hanya menunjukkan bahwa yang bersangkutan pernah
terpapar dengan M. tuberculosis. Jadi, pasien dengan hasil uji tuberkulin positif
belum tentu menderita TB. Adapun jika hasil uji tuberkulinnya negatif, maka ada
tiga kemungkinan, yaitu tidak ada infeksi TB, pasien sedang mengalami masa
inkubasi infeksi TB, atau terjadi alergi. Di lain pihak, hasil uji dapat tuberculin
negatif walaupun orang tersebut menderita tuberculosis, misalnya pada penderita
HIV/AIDS, malnutrisi berat, TB milier dan morbili.

2.3.10 Pemeriksaan Serologik

Tes ini disebut TBPAP (uji Peroksidase-Anti Peroksidase untuk TB paru).


Berbeda dengan tes tuberkulin, yang dinilai adalah sistem imunitas humoral
(SIH), Khususnya kemampuan untuk memproduksi suatu antibodi dari kelas IgG
terhadap sebuah antigen dalam basil TB. Jika belum pernah terinfeksi basil TB,
SIH belum diaktifkan. Dengan demikian, tes ini akan negatif. Sebaliknya bila
sudah pernah terinfeksi, SIH sudah akan membentuk IgG tertentu sehingga hasil
tes akan menjadi positif.

2.3.11 Pemeriksaan Radiologis

TB mungkin akan lolos pada pemeriksaan jasmani, tetapi pada


pemeriksaan foto paru semua ‘fruh infiltrat’ pasti akan diketahui. Disinilah
letaknya kepentingan pemeriksaan foto paru untuk diagnosis dini TB.Dalam
rangka diagnosis diferensial, foto paru dapat memegang peranan yangsangat

39
penting, karena berdasarkan letak, bentuk, luas dan konsistensi kelainan,dapat
diduga adanya lesi TB. Juga hanya foto paru yang dapat menggambarkan secara
objektif kelainan anatomik paru dan luasnya kelainan. Pemeriksaan ini juga
meninggalkan dokumen otentik, yang sangat menentukan untuk
evaluasi penyembuhan. Pemeriksaan rotgen thorak untuk pemeriksaan rutin tidak
diindikasikan sebabdapat menyebabkan gangguan pada janin. Sehingga pada
pelaksanaannya harus memberikan perlindungan terhadap abdomen ibu harnil.
Pemeriksaan ini dapa tdilakukan pada pasien dengan conversi tuberculin positif,
dan pada pasien dengan riwayat kontak atau pemeriksaan fisik sugestif TB tetapi
uji kulitnya negatif. Pemeriksaan roentgen bisa mendeteksi pasien dengan BTA
negatif, kelemahannya sangat tergantung dari keahlian dan pengalaman petugas
yang membaca foto rontgen. Selain itu, adanya organ-organ lain dalam rongga
dada, sehingga 20-25% paru akan terlindung oleh organ lain dan tak akan tampak
pada foto PA biasa. Dibeberapa negara digunakan tes untuk mengetahui ada
tidaknya infeksi TB, yaitu melalui interferon gamma yang konon lebih baik dari
tuberkulintes. Diagnosis dengan interferon gamma bisa mengukursecara lebih
jelas bagaimana beratnya infeksi dan berapa besar kemungkinan jatuh sakit.
Sementara itu, diagnosis TB pada wanita hamil antara lain dilakukan melalui
pemeriksaan fisik (sesuai luas lesi), pemeriksaan laboratorium, serta uji
tuberkulin.

2.3.12 Efek Kehamilan Terhadap Progresifitas TB

Keyakinan bahwa peningkatan diafragma yang terjadi selama kehamilan


dapat membantu mempercepat pengeluaran kavitas masih dipercayai sampai
dengan abad 19. Selanjutnya abad ke dua puluh kemudian muncul suatu pendapat
yang mengusulkan untuk dilakukannya induced abortion pada wanita hamil
dengan infeksi tuberkulosis.Saat ini, tuberkulosis dipercaya dapat memburuk
dengan adanya kehamilan,hal ini mungkin berhubungan dengan gangguan status
nutrisi, defisiensi imun, atau beberapa penyakit penyerta. Hilangnya beberapa
jenis anti body selama menyusui juga dianggap sebagai faktor resiko terjadinya
infeksi TB pada masa post partum.Walaupun begitu beberapa hal di atas hanya
merupakan hipotesis yang masih banyak membutuhkan penelitian lanjut untuk
membuktikan kebenarannya.

40
2.3.13 Efek TB Terhadap Kehamilan

Efek infeksi TB terhadap kehamilan tergantung pada beberapa faktor


antaralain jenis, lokasi serta berat ringannya penyakit, umur kehamilan ketika
terapy diberikan, status nutrisi ibu, adanya penyakit penyerta, status imun dan
infeksi mv,fasilitas diagnosis dan terapi yang tersedia dan sebagainya. Sebelum
ditemukannyatherapi yang poten untuk TB, kehamilan diduga berefek buruk bagi
perjalanan TB.Tetapi beberapa tahun terakhir setelah berhasil ditemukannya anti
TB efek buruk tersebut telah jarang dilaporkan.Beberapa penelitian menemukan
adanya peningkatan insidensi persalinan prematur, BBLR, IUGR, serta
peningkatan enam kali lipat angka kematian perinatal pada ibu dengan infeksi TB.
Efek buruk yang terjadi kemungkinan besar adalah sebagai akibat keterlambatan
dalam melakukan diagnosis, terapi yang tidak adekuat,dan adanya lesi yang luas
pada paru paru.Komplikasi TB baik yang pulmoner ataupun yang nonpulmoner
pada wanitahamil tidak berbeda dengan wanita yang tidak hamil.Suatu penelitian
yang dilakukan pada 27 wanita hamil dengan kultur TB positif mempunyai
gambaran rotgen thorak yang abnormal pada semua pasien. Pengobatananti
tuberkulosis yang diberikan dengan segera pada wanita hamil dengan TB
akanmemberikan efek terapi yang sama dengan penderita TB pada umumnya,
tetapi jikadiagnosis dan penatalaksanaan terlambat maka akan berdampak pada
meningkatnyamorbiditas dan kelahiran prematur.Keadaan kurang gizi, hypo-
proteinemia, anemia dan kondisi-kondisi medislain yang berhubungan akan
meningkatkan morbiditas dan mortalitas janin. InfeksiHIV telah diketahui dapat
mempercepat progresifitas TB dan akan menyebabkanimmunosupresi sehingga
akan semakin memperbesar kemungkinan terjadinya efek yang kurang
menguntungkan tethadap ibu maupun janin.

2.3.14 Tuberkulosis Kongenital

Tuberkulosis kongenital merupakan kasus yang sangat jarang ditemukan


dan hanya terjadi pada kurang dari 300 kasus yang pemah dilaporkan dalam
literatur.Selama kehamilan TB dapat menginfeksi plasenta atau alat alat genital
wanita.Infeksi TB pada neonatus dapaf terjadi secara kongenital (pranatal),
selama proseskelahitan (natal) maupun transmisi pasca natal oleh ibu pengidap

41
TB aktif. Olehkarena itu transmisi pada neonatus ini disebut sebagai TB
perinata1. Pada TB kongenital transmisi terjadi karena penyebaran hematogen
melalui vena umbilicalis atau aspirasi cairan amnion yang telah terkontaminasi
basil TB. Pada TB natal transmisi dapat terjadi melalui proses persalinan
sedangkan TB pasca natal terjadiakibat penularan secara droplet. Penularan
kongenital sampai saat ini masih belumjelas. Selain itu, jarang terjadi dan tingkat
kematiannya tinggi (50 persen). M. tuberculosis tidak dapat melalui sawar
plasenta sehingga bakteri akan menempel pada plasenta dan membentuk tuberkel.
Apabila tuberkel pecah maka akan terjadi penyebaran hematogen menyebabkan
infeksi pada cairan amnion melalui vena umbilikalis. Pada saat penyebaran
hematogen M. Tuberculosis menyebabkan fokus primer di hati dan melibatkan
kelenjar getah bening periportalyang pada perkembangan selanjutnya akan
menyebar ke paru. Selain cara diatas penularan ke paru juga dapat terjadi melalui
inhalasi atau tertelannya cairan amnionyang mengandung M.
Tuberculosis.Inhalasi atau tertelannya cairan amnion yang terkontaminasi terjadi
jika lesikaseosa pada plasenta mengalami ruptur dan masuk kedalam cairan
amnion, padakasus seperti ini fokus multipel dapat terbentuk pada paru paru, usus,
dan telinga tengah. Sedangkan penularan pasca natal dapat terjadi melalui
beberapa cara antaralain melalui inhalasi droplet yang telah terinfeksi, tertelannya
droplet, melalui ASI yang telah terkontaminasi, atau melalui kontaminasi pada
kulit yang luka atau membran mukosa. Manifestasi klinis TB kongenital dapat
timbul segera setelah lahir tetapi paling sering minggu ke 2-3 kehidupan. Gejala
TB kongenital sulit dibedakandengan sepsis neonatal dan infeksi konginital lain
seperti sifilis, toxoplasmosis dancytomegalovirus sehingga sering terjadi
keterlambatan dalam mendiagnosis. Gejalayang sering timbul adalah distress
pernafasan, hepatosplenomegali, dan demam.Gejala lain yang sering ditemukan
adalah prematuritas, berat lahir rendah, sulitminum, letargi dan kejang. Bisa
didapatkan abortus dan IUFD, sekret dari telingadan lesi pada kulit. Pemeriksaan
penunjang yang diperlukan pada TB kongenital adalah pemeriksaan M.
tuberculosis melalui umbilikus dan plasenta. Pada plasentasebaiknya diperiksa
gambaran histopatologis dengan kemungkinan adanyagranuloma kaseosa dan
basil tahan asam. Bila perlu dilakukan kuretase endometriumuntuk mencari

42
endometritis TB.Untuk menentukan TB kongenital adalah dengan ditemukannya
basil tahan asamatau M. Tuberculosis pada cultur umbilikus maupun plasenta.
Beitzke memberi kankriteria untuk TB kongenital yaitu: ditemukannya m.
Tuberculosis dan memenuhisalah satu kriteria sebagai berikut:

1.Lesi pada minggu pertama

2.Kompleks primer hati atau granuloma hati kaseosa

3.Infeksi TB pada placenta atau traktus genitalia4.Kemungkinan adanya transmisi


pasca natal telah disingkirkan

Untuk diagnosis TB kongenital adalah riwayat TB pada ibu atau keluarga


tetapi sering kali penyakit TB pada ibu ditemukan setelah penyakit pada neonatus
dicurigai. Uji tuberculin pada neonatus mulanya akan memberikan hasil negatif
tetapi akan menjadi positif setelah 1-3 bulan. Pewarnaan tahan asamy ang positif
dari aspirat lambung yang diambil pada pagi hari akan memberikan hasilyang
positif. Sampel untuk pemeriksaan BTA juga dapat diperoleh dari cairan
yang berasal dari telinga tengah, sumsum tulang, aspirat trakea, atau biopsi
jaringan (hati). Kemungkinan terjadinya bentuk berat infeksi TB pada neonatus
sangat tinggi selain itu akibat diagnosis yang terlambat angka mortalitas terhadap
TB kongenital juga sangat tinggi sehingga dibutuhkan pemeriksaan yang
menyeluruh terutama pada ibu hamil maupun pada bayi yang baru dilahirkannya
dan mengganggap masalah inisebagai kegawat daruratan masyarakat.

2.3.15. Penatalaksanaan

Sebelum memutuskan untuk hamil, wanita pengidap TB mengobati TB-


nya terlebih dulu sampai tuntas. Namun, bagaimana jika sudah telanjur hamil,
tetap lanjutkan kehamilan dan tidak perlu melakukan aborsi. Jika kuman TB
hanya menyerang paru, maka akan ada sedikit risiko terhadap janin.Untuk
meminimalisasi risiko,biasanya diberikan obat-obatan TB yang aman bagi
kehamilan seperti Rifampisin, INH dan Etambutol. Kasusnya akan berbeda
jikaTB juga menginvasi organ lain di luar paru dan jaringan limfa, yang mana
wanitatersebut memerlukan perawatan di rumah sakit sebelum melahirkan.
Sebabkemungkinan bayinya akan mengalami masalah setelah lahir TB paru

43
yangtidak diobati bisa membuat penyakit makin memburuk, sertakomplikasi
kehamilandan persalinan. Risiko ini meningkat pada wanita dengananemia, gizi
kurang, kontraksi dini, perdarahan, setelah melahirkan dan sesak sehingga tidak
kuat mengedan. Sekitar satu juta wanita TB meninggal tiap tahun saatkehamilan
atau persalinan,Risiko juga meningkat pada janin, seperti abortus,
terhambatnya pertumbuhan janin, kelahiran premature dan terjadinya penularan
TB dari ibu ke janin melalui aspirasi cairan amnion (disebut TB congenital).

2.3.16 Pada Wanita Hamil

Pada dasarnya prinsip penatalaksanaan TB pada wanita hamil tidak


berbedadengan wanita yang tidak hamil. Terapi harus segera dilakukan tanpa
menunda lebih lama. Semua jenis OAT aman untuk wanita hamil, kecuali
streptomisin. Diperlukan penjelasan terhadap ibu bahwa keberhasilan
pengobatannya sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan
lancar dan bayi yang akandilahirkannya terhindar dari penularan TB.

Isoniazid (INH); Beberapa literature telah menuliskan bahwa INH aman


digunakan selama kehamilan. Walaupun INH mampu melalui barrier plasenta,
tetapi INH tidak akan memberikan efek teratogen selama diberikan pada trimester
pertama. Data terakhir menyatakan insiden abnormalitas bayi yang lahir dari ibu
hamil dengan terapi INH hanya sekitar 1 %.

Rifampisin; Kelainan kongenital yang terjadi pada bayi dengan ibu


yangmendapat terapi dengan rifampisin adalah sebesar 3.35%, meliputi
kemunduran fungsi organ, lesi pada SSP dan kelainan darah yang terjadi sebagai
akibat dari proses hambatan atau inhibisi enzim DNA dependent RNA
polymerase. Walaupun rifampisin mempunyai efek yang kurang menguntungkan
terhadap janin, tetapi insidensinya yang cukup rendah serta batas keamanan yang
luas menyebabkan rifampisin masih dianggap cukup aman untuk therapi TB pada
wanita hamil, tetapi penggunaannya harus dihindari pada trimester pertama.

Ethambutol ; Merupakan obat yang sering digunakan pada TB dengan kehamilan.


Efek samping berupa kelainan kongenital terjadi kira kira 2%. Selain itu

44
etambutol juga dapat menyebabkan kelainan opthalmologis tetapi efek ini tidak
akanterjadi jika etambutol diberikan pada dosis 15-25 mg/Kg BB/hari.

Pirazinamid ; Merupakan obat yang bersifat bakterisid yang digunakansebagai


first line drug TB (pengobatan lini pertama).Belum banyak penelitian yang
melaporkan keamanan obat ini dalam penggunaannya untuk wanita hamil, tetapi
beberapa organisasi internasional telah merekomendasikan penggunaannya, hal
ini mungkin di dasarkan pada sedikitnyalaporan yang melaporkan efek
teratogenik yang terjadi,

Streptomisin; Telah diketahui secara luas menyangkut efek


sampingteratogeniknya yang berupa malformasi congenital dan paralysis nervus
VIII yang berakibat gangguan pendengaran dari gangguan pendengaran ringan
sampai tuli bilateral karena dapat menembus sawar plasenta.

Beberapa aminoglikosida lain seperti halnya kanamisin, amikasin,


dancapreomisin juga telah diketahui dapat menyebabkan efek teratogenik,
sehingga dikontraindikasikan pada kehamilan. Pada kasus kasus seperti pada
multidrug resisten TB (MDR-TB), dan HIVyang terjadi bersama TB, wanita
hamil sewaktu waktu membutuhkan terapi dengan pengobatan lini kedua ( second
line drugs). Batas keamanan dan obat obat jenis ini belum banyak diketahui. Para
aminosalicylic acid (PAS) telah sering digunakan yangdikombinasikan dengan
INH sejak tahun 1950 dan 1960an dan telah terbukti tidak menyebabkan
malformasi pada janin tetapi dapat menyebabkan efek samping gastrointestinal
yang terkadang sulit ditoleransi oleh wanita hamil. Obat obat lini kedua lainnya
seperti cycloserin, ethionamide atauflourokuinolon batas keamanannya pada
wanita hamil juga belum banyak diketahuisecara luas. Belurn adanya standar
terapy bagi wanita hamil dengan MDR TB mengindikasikan dilakukannya abortus
elektif sebagai cara terapi bagi kasus kasus tersebut, ERH rnerupakan pengobatan
yang cukup arnan. Pyrazinamid sebaiknya dihindari dan streptomisin juga harus
dihentikan jika pasien hamil. Terapeutik abortion tidak diindikasikan kecuali pada
kasus kasus MDR TB.

Center for Disease Control (1993) menganjurkan bahwa regimen peroral


untuk wanita harnil harus mencakup:

45
1.Isoniazid (INH), 5 mg/kg, jangan rnelebihi 300 mg/hari, bersama
dengan piridoksin 50 mg/hari

2.Rifampisin 10 mg/KgBB/hari, jangan melebihi 600 mg/hari

3.Etambutol 5-25 mg/KgBB/hari, jangan melebihi 2,5 g/hari

2.4 Anestesi untuk Seksio Sesarea


2.4.1. Anestesi Spinal
Disebut juga spinal analgesia atau subarachnoid nerve block, terjadi
karena deposit obat anestesi lokal di dalam ruangan subarachnoid. Terjadi blok
saraf yang spinalis yang akan menyebabkan hilangnya aktivitas sensoris, motoris
dan otonom. Berbagai fungsi yang dibawa saraf-saraf medula spinalis misalnya
temperatur, sakit, aktivitas otonom, rabaan, tekanan, lokalisasi rabaan, fungsi
motoris dan proprioseptif. Secara umum fungsi-fungsi tersebut dibawa oleh
serabut saraf yang berbeda dalam ketahanannya terhadap obat anestesi lokal. Oleh
sebab itu ada obat anestesi lokal yang lebih mempengaruhi sensoris daripada
motoris. Blokade dari medulla spinalis dimulai kaudal dan kemudian naik ke arah
sephalad.Serabut saraf yang bermielin tebal (fungsi motoris dan propioseptif)
paling resisten dan kembalinya fungsi normal paling cepat, sehingga diperlukan
konsentrasi tinggi obat anestesi lokal untuk memblokade saraf tersebut.Level
blokade otonom 2 atau lebih dermatom ke arah sephalik daripada level analgesi
kulit, sedangkan blokade motoris 2 sampai 3 segmen ke arah kaudal dari level
analgesi.

2.4.1.1 Indikasi Spinal Anestesi


Beberapa indikasi dari pemberian anestesi spinal.
1. Operasi ekstrimitas bawah, baik operasi jaringan lunak, tulang atau pembuluh
darah.
2. Operasi di daerah perineal : Anal, rectum bagian bawah, vaginal, dan urologi.
3. Abdomen bagian bawah : Hernia, usus halus bagian distal, appendik,
rectosigmoid, kandung kencing, ureter distal, dan ginekologis

46
4. Abdomen bagian atas : Kolesistektomi, gaster, kolostomi transversum. Tetapi
spinal anestesi untuk abdomen bagian atas tidak dapat dilakukan pada semua
pasien sebab dapat menimbulkan perubahan fisiologis yang hebat.
5. Seksio Sesarea (Caesarean Section).
6. Prosedur diagnostik yang sakit, misalnya anoskopi, dan sistoskopi.

2.4.1.2 Kontra Indikasi Absolut


Beberapa kontraindikasi absolut dari pemberian anestesi spinal.
1. Gangguan pembekuan darah, karena bila ujung jarum spinal menusuk
pembuluh darah, terjadi perdarahan hebat dan darah akan menekan medulla
spinalis.
2. Sepsis, karena bisa terjadi meningitis.
3. Tekanan intrakranial yang meningkat, karena bisa terjadi pergeseran otak bila
terjadi kehilangan cairan serebrospinal.
4. Bila pasien menolak.
5. Adanya dermatitis kronis atau infeksi kulit di daerah yang akan ditusuk jarum
spinal.
6.Penyakit sistemis dengan sequele neurologis misalnya anemia pernisiosa,
neurosyphilys, dan porphiria.
7. Hipotensi.

2.4.1.3 Kontra Indikasi Relatif


Beberapa kontraindikasi relatif dalam pemberian anestesi spinal.
1. Pasien dengan perdarahan.
2. Problem di tulang belakang.
3. Anak-anak.
4. Pasien tidak kooperatif, psikosis.

2.4.1.4 Obat-obat yang dipakai


Obat anestesi lokal yang biasa dipakai untuk spinal anestesi adalah
lidokain, bupivakain, levobupivakain, prokain, dan tetrakain. Lidokain adalah
suatu obat anestesi lokal yang poten, yang dapat memblokade otonom, sensoris

47
dan motoris. Lidokain berupa larutan 5% dalam 7,5% dextrose, merupakan
larutan yang hiperbarik. Mula kerjanya 2 menit dan lama kerjanya 1,5 jam. Dosis
rata-rata 40-50mg untuk persalinan, 75- 100mg untuk operasi ekstrimitas bawah
dan abdomen bagian bawah, 100- 150mg untuk spinal analgesia tinggi. Lama
analgesi prokain < 1 jam, lidokain ± 1-1,5 jam, tetrakain 2 jam lebih.
Berdasarkan berat jenis obat anestesi lokal yang dibandingkan dengan
berat jenis likuor, maka dibedakan 3 jenis obat anestesi lokal, yaitu hiperbarik,
isobarik dan hipobarik. Berat jenis liquor cerebrospinal adalah 1,003-1,006.
Larutan hiperbarik : 1,023-1,035, sedangkan hipobarik 1,001- 1,002.

2.4.2. Anestesi Umum untuk Seksio Sesarea


Anestesi general biasanya digunakan pada pasien dengan kontraindikasi
untuk dilakukan anestesi regional seperti koagulopati, perdarahan dengan sistem
kardiovaskular yang masih labil, atau prolaps tali pusat dengan bradikardia janin
hebat.Obat pilihan untuk anestesi general pada seksio sesaria adalah thiopental
(4-5 mg/kgBB) atau propofol (2-2,8 mg/kgBB). Pada keadaan hemodinamik yang
tidak stabil penggunaan thiopental dihindari dan diganti dengan ketamin (1-1,5
mg/kgBB) atau etomidate (0,2 mg/kgBB). Obat-obat anestesi yang dapat melalui
plasenta antara lain agen induksi seperti thiopental dan propofol, agen anestesi
inhalasi seperti halothane dan isoflurane, serta opioid dan agen anestesi lokal.
Asidosis fetus dapat terjadi pada pemakaian anestesi lokal dan opioid.
Obat-obatyang dapat melalui plasenta juga dapat menimbulkan abnormalitas
plasenta dan janin sehingga penggunaannya butuh perhatian khusus. Komplikasi
dari anestesi general adalah aspirasi lambung yang merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas ibu, kegagalan intubasi, hipertensi berat akibat anestesi
yang kurang, dan relaksasi uterus sehingga meningkatkan
risiko perdarahan ibu. Risiko perdarahan yang meningkat menyebabkan angka
hematokrit paska operasi rendah dan kehilangan darah saat operasi sehingga
memiliki kecenderungan lebih untuk dilakukan transfusi.
Keuntungan anestesi umum adalah induksinya cepat, mudah dikendalikan,
dapat menghindari terjadinya hipotensi. Kerugiannya adalah kemungkinal adanya

48
aspirasi, masalah pengelolaan jalan nafas, bayi terkena obat-obat narkotik serta
ada kemungkinan awareness.
a. Maternal Aspirasi
Aspirasi pneumonia akibat aspirasi cairan lambung disebut sebagai Mendelson
syndrome, maka penting sekali menetralkan asam lambung. Tetapi pemberian
antacid jangan berbentuk partikel. Glycopyrrolate suatu antichlonergic dapat
menurunkan sekresi gaster, tetapi dapat menyebabkan relaksasi sphincter
gastrooesophageal, sehingga meningkatkan resiko regurgitasi dan aspirasi.
Cimetidin dan ranitidine suatu histamib (H2) reseptor antagonis dapat
menghambat sekresi asam lambung dan menurunkan volume gaster.
Metoclopramid dapat meningkatkan motilitas gaster dan karena itu tonus
sphincter oesephagus menigkat, sering diberikan sebelum anestesi umum pada
seksio sesarea. Metoclopramide juga berefek anti emetic sentral yang bekerja di
chemoreceptor trigger zone (CTZ).
b. Pengelolaan jalan nafas
Penurunan saturasi O2 pada parturien lebih cepat daripada pasien-pasien yang
tidak hamil. Hal ini dihubungkan dengan penigkatan konsumsi O2 dan penuruan
FRC. Preoksigenasi dengan oksigen 100% mutlak harus dilakukan sebelum mulai
induksi anestesi. Induksi yang cepat dengan tekanan cricoid (Selluck maneuver)
diikuti intubasi endotrakeal adalah metode yang sering dilakukan.
c. Depresi Neonatus
Penyebab depresi neonatus pada anestesi umum:
1. Penyebab fisiologis - hipoventilasi ibu - hiperventilasi ibu - penurunan perfusi
uteroplasenta disebabkan kompresi aortocaval
2.Penyebab Farmakologis - obat-obat induksi: pentotal (dosis 4mg/kgBB) -
pelemas otot: succynilcholine - rendahnya konsentrasi oksigen-N2O dosis tinggi
(>50%) dan obat anestesi inhalasi lainnya - efek memanjangnya interval
induction-delivery dan uterine incision-delivery
d. Awareness
Masalah utama anestesi umum untuk seksio sesarea adalah kejadian awarness
karena kita memakai dosis kecil dan kosentrasi rendah obat anestesi untuk
mengurangi efek pada foetus. Kejadian awareness sekitar 17-36%. Penggunaan

49
konsentrasi kecil volatile anesthetic dapat mencegah awareness dan recall tanpa
efek yang jelek pada neonates atau perdarahan uterus yang banyak.

50
BAB III
KESIMPULAN

Pada pasien ini didapatkan dua peyulit berupa pneumonia dan Tb paru.
Pneumonia adalah peradangan akut pada parenkim paru, bronkiolus respiratorius
dan alveoli, menimbulkan konsolidasi jaringan paru sehingga dapat mengganggu
pertukaran oksigen dan karbon dioksida di paru-paru. Gejala khas adalah demam,
menggigil, berkeringat, batuk (baik non produktif atau produktif atau
menghasilkan sputum berlendir, purulen, atau bercak darah), sakit dada karena
pleuritis dan sesak.
Tuberkulosis paru (Tb paru) adalah penyakit infeksius, yang terutama
menyerang penyakit parenkim paru yang disebabkan karena M. tuberculosis.
Gejalanye berupa penurunan nafsu makan dan berat badan, perasaan tidak enak
(malaise), lemah, demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya
dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam
seperti influenza dan bersifat hilang timbul.
Pertimbangan anestesi yang dilakukan pada pasien hamil dengan penyulit
seperti ini adalah anestesi regional. Anestesi regional yang dipakai adalah spinal
analgesia atau subarachnoid nerve block, yang bisa terjadi karena deposit obat
anestesi lokal di dalam ruangan subarachnoid.selain itu obat-obatan yang
digunakan pada regional anestesi aman untuk janin.

51
DAFTAR PUSTAKA

1. Aminah, N. 2013. Perbandingan frekuensi penggunaan anestesi regional


dan anestesi general pada pasien seksio sesaria di RSUP dr Kariadi
Semarang periode Januari 2011- Januari 2013. Jurnal Media Medika
Muda.
2. http://klikpdpi.com/konsensus/Xsip/tb.pdf
3. Depkes RI., 2008. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.
Jakarta : Gerdunas TB. Edisi 2 hal. 4-6
4. Bahar, A., 2000. Tuberkulosis Paru. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Editor Soeparman . jilid II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI hal. 715 - 727
5. Carlos, J., Anandi, M., and Francoise P., 2007. MODS Assay for The
Diagnosis of Tuberculosis. New England Journal of Medicine 356:188-
189
6. Dahlan Z. Pneumonia bakteri. Dalam : Dahlan Z, Amin Z. SurotoYA,
editor. Tata Laksana Respirologi Respirasi Kritis. Edisi ke-2. Jakarta :
PERPARI, 2013.p 53-87.
7. 2. Skrupty PL, Micek TS. Optimizing therapy for MRSA pneumonia.
Semin resp crit care med. 2007;615-623.
8. 3. Rubinstein E, Kollef HM, Nathwan D. Pneumonia caused by methicillin
– resistant staphylococcus aureus. Clin Infect Disease. 2008;46:1-5.

52

Anda mungkin juga menyukai