Anda di halaman 1dari 11

Pendahuluan

Sektor pertanian hingga kini masih memiliki peranan yang starategis dalam pembangunan
nasional, baik bagi pertumbuhan ekonomi maupun pemerataan pembangunan. Peran strategis
sektor pertanian bagi pertumbuhan ekonomi antara lain: Penyedia pangan bagi penduduk
Indonesia, penghasil devisa negara melalui ekspor, penyedia bahan baku industri,
peningkatan kesempatan kerja dan usaha, peningkatan PDB, pengentasan kemiskinan dan
perbaikan SDM pertanian melalui kegiatan Penyuluhan Pertanian (Deptan, 2008).

Indonesia mempunyai keunggulan komparatif (comparative advantage) sebagai negara


agraris dan maritim. Keunggulan tersebut merupakan fundamental perekonomian yang perlu
didayagunakan melalui pembangunan ekonomi sehingga menjadi keunggulan bersaing
(competitive advantage). Dengan begitu perekonomian yang dikembangkan di Indonesia
memiliki landasan yang kokoh pada sumber daya domestik, memiliki kemampuan bersaing
dan berdayaguna bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Selama ini, kegiatan ekonomi yang memanfaatkan keunggulan komparatif tersebut


berkembang di Indonesia salah satunya dalam bentuk pembangunan pertanian yang
merupakan sub sistem agribisnis. Pengalaman dimasa lalu membuktikan bahwa
pembangunan pertanian saja yang tidak disertai dengan industri hulu pertanian, industri hilir
pertanian serta jasa-jasa pendukung secara harmonis dan simultan, tidak mampu
mendayagunakan keunggulan komparatif menjadi keunggulan bersaing di pasar. Meskipun
Indonesia berhasil menjadi salah satu produsen terbesar pada beberapa komoditas pertanian
dunia, tetapi Indonesia belum memiliki kemampuan bersaing di pasar internasional. Selain
itu, nilai tambah yang kita raih dari pemanfaatan keunggulan komparatif tersebut masih
relatif kecil, sehingga tingkat pendapatan masyarakat tetap rendah.

Di masa lalu, dengan orientasi pada peningkatan produksi, maka yang menjadi motor
penggerak sektor pertanian adalah usaha tani dimana hasil usaha tani menentukan
perkembangan agribisnis hilir dan hulu. Hal ini memang sesuai pada masa itu, karena target
sektor pertanian masih diorientasikan untuk mencapai tingkat produksi semaksimal mungkin.

Saat ini orientasi sektor pertanian telah bergeser kepada orientasi pasar. Dengan
berlangsungnya preferensi konsumen yang makin menuntut atribut produk yang lebih rinci
dan lengkap serta adanya preferensi konsumen akan produk olahan, maka motor sektor
pertanian harus berubah dari usaha tani menjadi agroindustri. Dalam hal ini, untuk
mengembangkan sektor pertanian yang modern dan berdaya saing, agroindustri harus
menjadi lokomotif dan sekaligus penentu kegiatan sub-sektor usaha tani dan selanjutnya akan
menentukan sub-sektor agribisnis hulu.

1. B. Definisi dan Ruang Lingkup Ilmu Ekonomi Pertanian

Ekonomi pertanian merupakan gabungan dari ilmu ekonomi dengan ilmu pertanian yang
memberikan arti sebagai berikut. Suatu ilmu yang mempelajari dan membahas serta
menganalisis pertanian secara ekonomi, atau ilmu ekonomi yang diterapkan pada pertanian
(Daniel, 2002 dalam Kurniawati, 2009).

Dengan pengertian ekonomi pertanian yang demikian, ilmu pertanian bukan hanya
mempelajari tentang bercocok tanam tetapi suatu ilmu yang mempelajari segala sesuatu
tentang pertanian, baik mengenai subsektor tanaman pangan dan hortikultura, subsektor
perkebunan, subsektor peternakan, maupun subsektor perikanan.

1) Ekonomi: Makna Terminologis dan Teoritis

Makna terminologis ilmu ekonomi yang utama berkaitan dengan masalah pilihan. Konsumen
misalnya harus menetapkan pilihan atas beberapa jenis barang yang ingin dikonsumsinya.
Konsumen senantiasa berupaya memaksimalkan kepuasan dengan keterbatasan sumberdaya
finansial yang mereka miliki. Kita semua, terlepas dari siapa dan apa peran kita harus
mengambil keputusan mengalokasikan waktu yang kita miliki untuk bekerja atau tidak. Kita
juga harus mengambil keputusan apakah akan membelanjakan uang kita atau menabung saja.
Produsen di sisi lain juga harus mengambil keputusan dalam aktivitas produksinya
(Kurniawati, 2009).

Tujuan produsen adalah memaksimalkan profit dengan keterbatasan modal usaha yang
mereka punyai pada tingkat harga jual produk mereka di pasar. Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa baik konsumen maupun produsen selalu menggunakan analisis biaya dan
manfaat dalam proses pengambilan keputusan atas tindakan yang bermotif ekonomi. Ada dua
alasan yang melatarbelakangi perilaku ini yaitu:

1. a. Kelangkaan Sumberdaya

Konsep kelangkaan merujuk pada terbatasnya kuantitas ketersediaan sumberdaya


dibandingkan dengan kebutuhan relatif masyarakat. Sumberdaya yang langka dapat
dikategorikan ke dalam tiga kelompok yaitu:

 Sumberdaya alam dan biologis : lahan, deposit mineral dan minyak bumi adalah
beberapa contoh sumberdaya alam. Kualitas sumberdaya ini berbeda antar wilayah.
Di beberapa wilayah misalnya, lahan yang tersedia sangat subur, namun di wilayah
lain hampir tidak dapat ditanami apapun meski lahan tersebut mengandung deposit
mineral.
 Sumberdaya manusia: merujuk pada jasa yang disediakan oleh tenaga kerja termasuk
ketrampilan wirausaha dan manajemen. Sumberdaya manusia hingga batas tertentu
termasuk sumberdaya yang langka meskipun angka pengangguran di negara yang
bersangkutan tidak sama dengan nol. Suplai jasa tenaga kerja merupakan fungsi
tingkat upah dan penggunaan waktu luang (leisure). Sektor agrobisinis tidak akan
mampu mempekerjakan seluruh jasa tenaga kerja yang tersedia pada tingkat upah
yang dikehendaki. Bentuk formasi sumberdaya manusia lainnya adalah kemampuan
manajemen yang antara lain menyediakan jasa kewirausahaan, misalnya membentuk
perusahaan baru, renovasi dan atau ekspansi perusahaan yang telah ada, proses
pengambilan resiko, supervisi atas alokasi sumberdaya finansial perusahaan, dan
sebagainya.
 Sumberdaya olahan: kategori sumberdaya yang ketiga ini disebut juga sebagai
sumberdaya kapital (modal). Sumberdaya kapital meliputi mesin-mesin dan peralatan
produksi, yang tidak habis sekali pakai. Kelangkaan merupakan konsep yang relatif.
Negara yang memiliki pendapatan per kapita tinggi pun harus menghadapi masalah
kelangkaan sumberdaya sebagaimana halnya negara-negara miskin. Perbedaannya
terletak pada seberapa besar kelangkaan sumberdaya yang mereka hadapi dan
kemampuan untuk mengatasi problematika yang timbul akibat kelangkaan tersebut.
Penanganan yang tepat atas kelangkaan sumberdaya relatif ini kemudian melahirkan
konsep spesialisasi. Melalui pemilikan sumberdaya yang spesifik, dapat diproduksi
output unggulan yang relevan, yang selanjutnya dapat saling dipertukarkan dalam
perekonomian pasar.

1. b. Proses pengambilan keputusan atas beberapa alternatif pilihan.

Kelangkaan sumberdaya memaksa konsumen dan produsen untuk menetapkan pilihan.


Penetapan pilihan mengandung dimensi waktu. Pilihan konsumen yang ditetapkan hari ini
akan berdampak pada kehidupan mereka di masa mendatang. Demikian pula bagi pengusaha.
Keputusan yang mereka tetapkan saat ini akan sangat mempengaruhi profitabilitas
perusahaan di masa yang akan datang.

Selain itu proses pengambilan keputusan juga erat kaitannya dengan biaya peluang
(opportunity cost). Biaya peluang melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi
misalnya adalah sama dengan nilai pendapatan yang seharusnya diperoleh bila seseorang
memilih bekerja dan tidak melanjutkan pendidikannya. Biaya peluang seorang konsumen
yang membeli stereo set seharga satu juta rupiah sama dengan suku bunga yang ia terima dari
bank seandainya ia mendepositokan uang tersebut.

Di luar waktu, kelangkaan sumberdaya dan biaya peluang, adakalanya proses pengambilan
keputusan juga dibatasi oleh pertimbangan-pertimbangan non ekonomi misalnya aspek
politik, hukum dan moralitas serta etika.

Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa definisi ilmu ekonomi adalah ilmu sosial yang
mempelajari perilaku konsumen, produsen dan masyarakat pada umumnya dalam melakukan
pilihan atas sejumlah alternatif pemanfaatan sumberdaya dalam proses produksi,
perdagangan, serta konsumsi barang dan jasa.

Ilmu ekonomi pertanian menjadi satu ilmu tersendiri yang mempunyai manfaat yang besar
dan berarti dalam proses pembangunan dan memacu pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Ekonomi pertanian mencakup analisis ekonomi dari proses (teknis) produksi dan hubungan-
hubungan sosial dalam produksi pertanian, hubungan antar faktor produksi, serta hubungan
antara faktor produksi dan produksi itu sendiri. Dalam kebijakan pembangunan nasional,
pembangunan pertanian merupakan langkah awal dan mendasar bagi pertumbuhan industri.
Salah satu subsektor pertanian yang berkembang adalah subsektor perkebunan.

2) Ekonomi Pertanian: Antara Perspektif Mikro dan Makro Ekonomi serta


Ekonomi Positif dan Normatif

Hal lain yang perlu diketahui adalah pembagian ilmu ekonomi menjadi dua bidang utama
yaitu ilmu ekonomi makro dan mikro. Mikro ekonomi mempelajari perilaku ekonomi
individual atau kelompok pelaku ekonomi yang spesifik. Misalnya ekonomi mikro mengkaji
bagaimana perilaku produsen telur, konsumen beras, bagaimana harga telur di pasar
ditetapkan. Mikro ekonomi mengabaikan keterkaitan antar pasar dengan mengasumsikan
bahwa semua determinan di luar lingkup analisis tidak berubah (ceteris paribus). Makro
ekonomi di sisi lain memusatkan kajiannya pada perekonomian secara agregat, seperti
pertumbuhan produk domestik bruto, kesenjangan antara PDB potensial dan PDB aktual,
trade off antara pengangguran dan inflasi, dan sebagainya.
Meskipun ekonomi makro dan mikro mempelajari perilaku pelaku ekonomi dari sudut yang
berbeda, tak ada pertentangan di antara keduanya. Baik analisis makro ekonomi maupun
mikro ekonomi keduanya digunakan dalam ekonomi pertanian. Beberapa pokok bahasan
ekonomi pertanian yang dipelajari dari perspektif mikro ekonomi adalah teori perilaku
konsumen, teori produksi, perilaku pasar, teori biaya dan analisis distorsi harga. Sedangkan
aspek makro ekonomi yang dipelajari dalam ekonomi pertanian antara lain adalah pasar
barang dan output nasional,siklus bisnis, pasar uang dan kebijakan moneter, kebijakan fiskal
dan perimbangan APBN serta teori-teori tentang perdagangan internasional.

Karena bidang kajian ekonomi pertanian mencakup spektrum masalah yang cukup luas, di
mana aspek kebijakan, isu-isu lingkungan dan sosial juga dipelajari maka ilmu ekonomi
kemudian dibedakan menjadi ilmu ekonomi positif dan normatif. Ilmu ekonomi positif
mempelajari realitas ekonomi apa adanya atau dengan kata lain menjawab pertanyaan “what
is?”, sementara ilmu ekonomi normatif mencoba menjawab “what should be?” – apa yang
seharusnya dilakukan? Kedua proposisi ilmiah tersebut, baik positif maupun normatif sangat
diperlukan terutama dalam kaitannya dengan berbagai upaya formulasi kebijakan di sektor
agrobisnis.

Peran Ilmu Ekonomi Pertanian. Aplikasi ilmu ekonomi di sektor pertanian dalam
kompleksitas perekonomian pasar tentunya melibatkan beragam aktivitas baik di level mikro
maupun makro ekonomi. Pada level mikro pakar ekonomi produksi pertanian umumnya
memberikan kontribusi dengan meneliti permintaan input dan respon suplai. Bidang kajian
pakar pemasaran pertanian terfokus pada rantai pemasaran bahan pangan dan serat dan
penetapan harga pada masingmasing tahap. Pakar pembiayaan ekonomi pertanian
mempelajari isu-isu yang erat kaitannya dengan pembiayaan bisnis dan suplai modal pada
perusahaan agrobisnis. Sedangkan pakar ekonomi sumberdaya pertanian berperan pada
bidang kajian tentang pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya alam. Pakar ekonomi lainnya
mempelajari penyusunan program pemerintah atas suatu komoditi dan dampak penetapan
kebijakan pemerintah baik terhadap konsumen maupun produsen produk pertanian. Pada
level makro minat para pakar terarah pada bagaimana agribisnis dan sektor pertanian pada
umumnya mempengaruhi perekonomian domestik dan dunia. Selain itu juga dipelajari
bagaimana kejadian-kejadian khusus atau penetapan kebijakan tertentu di pasar uang dapat
mempengaruhi fluktuasi harga bahan pangan dan serat alam. Untuk kepentingan ini, biasanya
ekonom menggunakan pendekatan formulasi model berbasis analisis komputerisasi.

1. C. Definisi dan Ruang Lingkup Pertanian

Pertanian memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi. Pemanfaatan


sumberdaya yang efisien pada tahap-tahap awal proses pembangunan menciptakan surplus
ekonomi melalui sediaan tenagakerja dan formasi kapital yang selanjutnya dapat digunakan
untuk membangun sektor industri.

Pertanian atau usahatani hakekatnya merupakan proses produksi di mana input alamiah
berupa lahan dan unsur hara yang terkandung di dalamnya, sinar matahari serta faktor
klimatologis (suhu, kelembaban udara, curah hujan, topografi dsb) berinteraksi melalui
proses tumbuh kembang tanaman dan ternak untuk menghasilkan output primer yaitu bahan
pangan dan serat alam.

Ada beberapa jenis pertanian berdasarkan perkembangannya yaitu:


1. Pertanian ekstraktif, yaitu pertanian yang dilakukan dengan hanya mengambil atau
mengumpulkan hasil alam tanpa upaya reproduksi. Pertanian semacam ini meliputi
sektor perikanan dan ekstraksi hasil hutan.
2. Jenis pertanian kedua adalah pertanian generatif yaitu corak pertanian yang
memerlukan usaha pembibitan atau pembenihan, pengolahan, pemeliharaan dan
tindakan agronomis lainnya. Berdasarkan tahapan perkembangannya pertanian
generatif dibedakan menjadi dua kelompok yaitu:
3. Perladangan berpindah (shifting cultivation), merupakan salah satu corak usahatani
primitif di mana hutan ditebang-bakar kemudian ditanami tanpa melalui proses
pengolahan tanah. Corak usahatani ini umumnya muncul wilayah-wilayah yang
memiliki kawasan hutan cukup luas di daerah tropik. Sistem perladangan berpindah
dilakukan sebelum orang mengenal cara mengolah tanah.
4. Pertanian menetap (settled agricultured) yaitu corak usahatani yang pada awalnya
dilakukan di kawasan yang memiliki kesuburan tanah cukup tinggi sehingga dapat
ditanami terus menerus dengan bera_secara periodik.

Selanjutnya berdasarkan ciri ekonomis yang lekat pada masing-masing corak pertanian
dikenal dua kategori pertanian yakni pertanian subsisten dan pertanian komersial. Pertanian
subsisten ditandai oleh ketiadaan akses terhadap pasar. Dengan kata lain produk pertanian
yang dihasilkan hanya untuk memenuhi konsumsi keluarga, tidak dijual. Pertanian komersial
berada pada sisi dikotomis pertanian subsisten. Umumnya pertanian komersial menjadi
karakter perusahaan pertanian (farm) di mana pengelola usahatani bera adalah tindakan
agronomis terhadap lahan pertanian di mana lahan diistirahatkan selama satu musim tanam
dan hanya ditutup mulsa dengan tujuan mempertahankan kualitas dan kesuburan lahan telah
berorientasi pasar. Dengan demikian seluruh output pertanian yang dihasilkan seluruhnya
dijual dan tidak dikonsumsi sendiri. Selain karakteristik pertanian sebagaimana yang telah
dipaparkan di atas, berdasarkan ciri pengelolaannya dikenal adanya konsep pertanian dalam
arti luas dan sempit.

Pertanian dalam arti luas mencakup:

1. Pertanian dalam arti sempit yaitu pertanian rakyat dan

2. Perkebunan

3. Kehutanan

4. Peternakan

5. Perikanan

Pertanian dalam makna sempit atau pertanian rakyat adalah usahatani yang dikelola oleh
petani dan keluarganya. Umumnya mereka mengelola lahan milik sendiri atau lahan sewa
yang tidak terlalu luas dan menanam berbagai macam tanaman pangan, palawija dan atau
hortikultura. Usahatani tersebut dapat diusahakan di tanah sawah, ladang dan pekarangan.
Hasil yang mereka panen biasanya digunakan untuk konsumsi keluarga, jika hasil panen
mereka lebih banyak dari jumlah yang mereka konsumsi mereka akan menjualnya ke pasar
tradisional. Jadi pertanian dalam arti sempit dapat dicirikan oleh sifat subsistensi atau semi
komersial. Ciri lain pertanian rakyat adalah tidak adanya spesifikasi dan spesialisasi. Mereka
biasa menanam berbagai macam komoditi. Dalam satu tahun musim tanam petani dapat
memutuskan untuk menanam tanaman bahan pangan atau tanaman perdagangan.

Keputusan petani untuk menanam bahan pangan terutama didasarkan atas kebutuhan pangan
keluarga, sedangkan bila mereka memutuskan untuk menanam tanaman perdagangan faktor-
faktor determinan yang mempengaruhi pengambilan keputusan tersebut antara lain adalah
iklim, ada tidaknya modal, tujuan penggunaan hasil penjualan tanaman tersebut dan
ekspektasi harga. Jenis komoditi perdagangan rakyat meliputi tembakau, tebu rakyat, kopi,
lada, karet, kelapa, teh, cengkeh, vanili, buah-buahan, bunga-bungaan dan sayuran.

Di samping mengusahakan komoditi-komoditi di atas, pertanian rakyat juga mencakup


usahatani sampingan yaitu peternakan, perikanan dan pencarian hasil hutan. Bila pendapatan
seorang petani sebagian besar diperoleh dari sektor perikanan maka ia disebut nelayan.
Namun demikian ciri subsistensi atau semi komersial tetap lekat pada pertanian rakyat baik
usahatani tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan maupun kehutanan.

Adapun bila usahatani, perkebunanan, peternakan, perikanan dan kehutanan telah dilakukan
secara efisien dalam skala besar dengan menerapkan konsep spesialisasi komoditi maka
karakteristik pertanian bergeser ke arah komersialisasi dan dikenal dengan istilah perusahaan
pertanian atau farm. Perkebunan yang dikelola secara komersial dikenal sebagai plantation.

Dalam peternakan dikenal istilah ranch untuk peternakan sapi yang dikelola secara
profesional, demikian seterusnya. Dari latar belakang historis dan karakteristik ilmu ekonomi
pertanian di atas, maka ilmu ekonomi pertanian dapat didefinisikan sebagai salah satu cabang
ilmu sosial yang mempelajari perilaku petani tidak saja dalam kehidupan profesionalnya
namun juga mencakup persoalan ekonomi lainnya yang secara langsung maupun tidak
langsung berhubungan dengan produksi, pemasaran dan konsumsi petani atau kelompok-
kelompok tani.

1. D. Paradigma Penyuluhan Pertanian dalam Peningkatan Nilai Ekonomi


Masyarakat

Saat ini paradigma penyuluhan pertanian telah berubah yaitu lebih berorintasi pada
kebutuhan petani dan petani dijadikan subjek bukan objek lagi. Menurut Slamet (2001)
paradigma penyuluhan harus dirubah bukan untuk merubah prinsip-prinsip penyuluhan tetapi
untuk merespon tantangan-tantangan pertanian yang ada di petani dengan uraian berikut :

1. 1. Penyuluhan adalah Jasa Informasi

Informasi pertanian bagi petani adalah hal penting dalam mengelola usahataninya menjadi
lebih baik dari yang sebelumnya. Oleh karena itu, penyuluh seharusnya menyediakan
informasi yang benar, akurat dan sesuai dengan kebutuhan dan permasalahan petani. Dengan
memperoleh informasi yang relevan, kemampuan pengetahuan dan keterampilannya
meningkat dan bisa membuat keputusan-keputusan yang menguntungkan bagi usahataninya
yang berimbas pada peningkatan nilai ekonominya. Informasi-informasi tentang berbagai
komoditas pertanian, pengolahan, dan pemasarannya perlu dipersiapkan dan dikemas dalam
bentuk dan bahasa yang mudah dimengerti para petani. Yang pada intinya, penyuluhan
pertanian seharusnya dapat berfungsi melayani kebutuhan informasi petani.

1. 2. Lokalitas
Desentralisasi dan otonomi daerah yang diberlakukan di Indonesia menyebabkan penyuluh
pertanian lebih fokus pada wilayah bimbingannya masing-masing yang berbeda satu sama
lain dalam bidang topografi wilayah. Untuk itu, sangat dibutuhkan penyuluh yang
mengetahui betul akan keadaan wilayah bimbingannya dimulai dari topografi, keadaan alam,
lahan dan iklim dan cuacanya sehingga bisa memberikan informasi yang sesuai dengan
keadaan tersebut di atas. Balai pertanian setempat juga harus lebih diaktifkan dalam rangka
menghasilkan produk pertanian baru yang telah diuji coba di daerah tersebut dan penyuluhan
tidak sekedar memberikan informasi tetapi lebih dari membantu menyelesaikan permasalahan
petani setempat sehingga bisa meningkatkan nilai ekonomi petani yang bersangkutan.

1. 3. Berorientasi Agribisnis

Usahatani yang ideal yaitu yang berorientasi pada bisnis dan hampir semua petani melakukan
usahatani yang dapat memberikan keuntungan. Bukan hal yang tabu lagi jika kebutuhan
keluarga petani saat ini tidak berbeda jauh dengan kebutuhan keluarga PNS, bahkan bisa
lebih tinggi lagi. Oleh karenanya, diperlukan usahatani yang mampu menghasilkan
keuntungan yang besar yang bisa dijadikan modal usahatani selanjutnya dan bisa untuk
mencukupi kebutuhan dalam rumah tangga petani itu sendiri.

1. 4. Pendekatan Kelompok

Materi-materi penyuluhan pertanian seperti dibahas pada butir-butir di atas disajikan kepada
para petani tidak dengan pendekatan individual, tetapi melalui pendekatan kelompok, kecuali
untuk kasus-kasus tertentu yang memang memer-lukan pendekatan individual. Pendekatan
kelompok ini disarankan bukan hanya karena pendekatan ini lebih efisien, tetapi karena
pendekatan itu mempunyai konsekuensi dibentuknya kelompok-kelompok tani, dan
terjadinya interaksi antar petani dalam wadah kelompok-kelompok itu.

Pendekatan kelompok juga bisa mempengaruhi aktivitas ekonomi petani sehingga mampu
menumbuhkan kerjasama yang baik dan dapat meningkatkan nilai ekonomi keluarga petani
yang bersangkutan.

1. 5. Fokus pada Kepentingan Petani

Para penyuluh perlu lebih mendekatkan dirinya dengan petani dan lebih menghayati
kepentingan-kepentingannya, serta mengubah pola loyalitas kepada atasan dan instansi
tempatnya bekerja. Selain itu, penyuluh pertanian harus benar-benar mampu mengidentifikasi
kepentingan petani dan menuangkannya dalam program-program penyuluhan melalui
kerjasama sejati dengan para petani.

Kepentingan petani harus selalu menjadi titik pusat perhatian penyuluh-an pertanian.

Kepentingan petani itu sederhana saja yaitu mendapatkan imbalan yang wajar dan adil dari
jerih payah dan pengorbanan lainnya dalam berusaha tani, dan mendapatkan kesempatan
untuk memberdayakan dirinya sehingga mampu me-nyejajarkan dirinya dengan unsur
masyarakat lainnya.

1. 6. Pendekatan Humanistik-Egaliter
Para penyuluh pertanian perlu dibekali berbagai perangkat pengetahuan dan keterampilan
yang berkaitan dengan masalah komunikasi sosial, psikologi sosial, stratifikasi sosial, dan
lain-lain. Hal ini dimaksudkan agar tercipta kondisi saling menghargai antara petani dengan
penyuluh.

Agar berhasil baik penyuluhan pertanian harus disajikan kepada petani dengan menempatkan
petani dalam kedudukan yang sejajar dengan penyuluhnya, dan diperlakukan secara
humanistik dalam arti mereka dihadapi sebagai manusia yang memiliki kepentingan,
kebutuhan, pendapat, pengalaman, kemampuan, harga diri, dan martabat. Mereka harus
dihargai sebagaimana layaknya orang lain yang sejajar dengan diri penyuluh, atau bahkan
yang berkedudukan lebih tinggi dari penyuluh yang bersangkutan.

1. 7. Profesionalisme

Penyuluhan pertanian di masa depan harus dapat dilaksanakan secara profesional dalam arti
penyuluhan itu tepat dan benar secara teknis, sosial, budaya dan politik serta efektif karena
direncanakan, dilaksanakan dan didukung oleh tenaga-tenaga ahli dan terampil yang telah
disiapkan secara baik dalam suatu sistem penyuluhan pertanian yang baik pula. Penyuluhan
yang profesional itu juga didukung oleh faktor-faktor pendukung yang tepat dan memadai,
seperti peralatan dan fasilitas lainnya, informasi, data, dan tenaga-tenaga ahli yang relevan.

1. 8. Akuntabilitas

Akuntabilitas atau pertanggung-jawaban, maksudnya setiap hal yang dilakukan dalam rangka
penyuluhan pertanian harus difikirkan, direncanakan, dan dilaksanakan dengan sebaik-
baiknya, agar proses dan hasilnya dapat dipertang-gung-jawabkan. Sistem pertanggung-
jawaban itu harus ada dan mengandung konsekuensi-konsekuensi tertentu bagi penyuluh-
penyuluh yang bersangkutan, apakah itu berupa konsekuensi positif (penghargaan) ataupun
negatif (hukuman). Prinsip akuntabilitas ini diperlukan untuk menjadi penyeimbang prinsip
otonomi penyuluhan yang sudah disarankan sebelumnya. Akuntabilitas ini jaga merupakan
unsur yang tak terpisahkan dari profesionalisme, dan merupakan kelanjutan dari evaluasi.

1. 9. Memuaskan Petani

Apapun yang dilakukan dalam penyuluhan pertanian haruslah membuahkan rasa puas pada
para petani yang bersangkutan dan bukan sebaliknya kekecewaan. Petani akan merasa puas
bila penyuluhan itu memenuhi sebagian ataupun semua kebutuhan dan harapan petani. Ini
berarti kegiatan penyuluhan haruslah di-rencanakan untuk memenuhi salah satu atau
beberapa kebutuhan dan harapan petani.

Kepuasan petani dari penyuluhan tidak hanya kalau materi penyuluhan itu sesuai dengan apa
yang dibutuhkan, tetapi cara penyajian juga akan berpengaruh pada kepuasannya itu. Oleh
karena itu materi penyuluhan yang tepat haruslah disajikan dengan sikap kepelayanan
sepenuh hati. Mungkin usahataninya belum berhasil ditingkatkan oleh mereka, tetapi
penyuluhan yang diterima telah menimbulkan kepuasan tersendiri. Kalau usahataninya belum
berhasil maka penyuluh masih berkewajiban ”melayani” dengan memberi bantuan lebih
lanjut sampai usahataninya benar-benar berhasil.

1. E. Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Ekonomi Rumah Tangga Petani


Usaha pertanian merupakan sumber penghasilan utama pada keluarga tani disamping sumber
penghasilan non pertanian. Sumber penghasilan non petanian berasal dari memanfaatkan
kesempatan kerja pada sektor jasa, perdagangan, konstruksi dan industri. Bersamaan dengan
meningkatnya kesempatan kerja diikuti dengan kesempatan kerja yang lain yang berupa
kegiatan yang disebut sektor informal (Rochaeni dan Lokollo, 2005),

Dalam mencukupi kebutuhan rumah tangga biasanya petani menerapkan nafkah ganda, yaitu
tidak hanya mengharapkan dari satu pekerjaan melainkan dari beberapa macam
pekerjaan tergantung musim dan kesempatan. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
rumah tangga petani terutama kebutuhan pangan yang cendrung fluktuatif. Untuk
menstabilkan kondisi tersebut perlu campur tangan pemerintah dengan kebijakan-kebijakan
lintas sektoral (Ilham dan Siregar, 2007).

Menurut Lokollo (2001), asumsi lama dan klasik yang menyatakan bahwa penduduk di
pedesaan adalah kebanyakan petani subsisten (yang dapat memproduksi untuk konsumsi
sendiri) sudah tidak berlaku lagi. Walaupun demikian, sering kali dijumpai rumah tanga di
pedesaan menjual bahan makan berkualitas lebih baik yang diproduksinya, uang hasil
penjualan tersebut digunakan untuk membeli makanan berkualitas lebih rendah. Hal ini
menunjukan adanya memaksimumkan konsumsi dari segi kuantitas. Secara Nasional,
kebutuhan konsumsi akan terus menigkat pada tahun-tahuan yang akan datang sejalan dengan
pertumbuhan ekonomi makro.

Norma, adat istiadat dan tata pengaturan sosial lainnya memainkan peran penting dalam
proses produksi pertanian. Kelembagaan yang ada di masyarakat dimanifestasikan dalam
bentuk pranata dan interaksi sosial verbal (terucapkan) dan interaksi non verbal (tidak
terucapkan).

Hal lain yang mempengaruhi ekonomi rumah tangga petani adalah pengalokasian waktu
untuk berbagai kegiatan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor di dalam dan luar rumah
tangga. Faktor di dalam rumah tangga meliputi usia, pengalaman, jenis kelamin,
pengetahuan, keterampilan, jumlah tanggungan rumah tangga dan pendapatan kepala rumah
tangga. Faktor luar rumah tangga meliputi tingkat upah, harga barang di pasar, jenis
pekerjaan, tekhnologi dan struktur sosial.

Anggota rumah tangga petani lebih banyak mengalokasikan waktu kerja pada non usaha tani
karena menurut mereka bekerja pada non usaha tani lebih menarik, lebih baik, pendapatannya
bisa bisa dipastikan, lebih besar dari pada di usaha tani padi dan lebih bergengsi; pendapatan
dari non usaha tani jauh lebih besar dari pada pendapatan dari usaha tani padi. Pendapatan
dari non usaha tani lebih besar karena upah dari non usaha tani lebih besar dari pada nilai
hasil usaha tani, dan waktu yang dicurahkan untuk non usaha tani lebih besar dari pada usaha
tani padi.

Salah satu kelemahan dalam pemahaman pangan bahwa pendekatannya sering kali hanya
dikaitkan dengan ketersedian beras saja, padahal harus dilihat juga kontek ketersediaan
pangan dalam arti luas. Berhubungan dengan hal tersebut tidak bisa dilihat daya dukung
pertanian hanya dilihar dari produktivitas beras tetapi harus dilihat dari penyediaan pangan
dan aspek-aspeknya dalam arti luas (Suryana dan Kariyasa, 2008).

Suradisasastra (2008) dalam Perdana, AS (2009), mengemukakan bahwa Intruduksi lembaga


baru yang berorientasi ekonomi seperti lembaga pasar dan pemasaran, koperasi, lembaga
perkreditan dan lembaga lainnya mencari celah dan waktu yang tepat agar bisa diterima oleh
masyarakat. Lembaga-lembaga yang terbentuk dan diakui oleh masyarakat akan menjadi
alternatif sumber ekonomi keluarga. Apabila sumber ekonomi yang baru lebih menjanjikan
perbaikan ekonomi rumah tangga, secara perlahan frekwensi pada kegiatan ekonomi lama
akan berkurang.

1. F. Permasalahan Petani dalam Permodalan Ekonomi

Bagi petani di daerah pedesaan, pembentukan modal sering dilakukan dengan cara menabung
(menyisihkan sebagian dari pendapatannya untuk keperluan masa yang akan datang).
Pemerintah membantu dengan memberikan berbagai macam kredit produksi (KUT, KCK,
KMKP, IDT, dan lain-lain), namun belum semuanya dimanfaatkan dengan baik, baik dari
segi sasaran maupun pengelolaan.

Sehubungan dengan pemilikan modal, petani diklasifikasikan sebagai petani besar, kaya,
cukupan, dan komersial, serta petani kecil, miskin, tidak cukupan, dan tidak komersial.
Dalam pengembangan pertanian, ketersediaan modal dalam jumlah cukup dan tepat waktu
merupakan unsur penting dan strategis. Modal dalam bentuk uang tunai sangat diperlukan
bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tetapi lebih daripada itu untuk membeli
sarana produksi pertanian. Misalnya, bibit, pupuk, dan lain-lain yang memungkinkan petani
melakukan proses produksi, yang selanjutnya untuk mendapatkan uang dari hasil penjualan
produk usaha taninya. Sumber pembiayaan tersebut dapat berasal dari lembaga keuangan
perbankan dan nonperbankan. Sumber pembiayaan nonperbankan yang telah berkembang,
antara lain taskin agribisnis, modal ventura, laba BUMN, pegadaian, lembaga keuangan
mikro, pola kontrak investasi kolektif (KIK), dan lain-lain.

Adanya krisis ekonomi, Undang-Undang No. 23 Tahun 1999, dan LoI antara pemerintah
Indonesia dengan IMF mengakibatkan ketersediaan modal dengan suku bunga murah sangat
terbatas sehingga kredit untuk usaha agribisnis mengarah ke suku bunga komersial atau
bunga pasar. Sumber pembiayaan dari lembaga nonperbankan dapat menjadi sumber
pembiayaan alternatif untuk usaha agribisnis. Sumber pembiayaan tersebut menerapkan pola
kredit dengan suku bunga, bagi hasil, bergulir, dan lain-lain.

Dari beberapa informasi yang diperoleh, petani dan pelaku agribisnis memiliki usaha yang
feasible, bahkan ada yang mampu membayar harga modal 5-20 % per bulan, namun
seringkali petani dan pelaku agribisnis tidak bankable. Pada prinsipnya, petani dan pelaku
agribisnis lebih mengharapkan mekanisme pembiayaan yang mudah jika dibandingkan
dengan pembiayaan yang murah.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan petani dan pelaku agribisnis tidak bankable
menurut Anonim (2011), antara lain:

1) Tidak adanya kolateral (jaminan), terutama jika berhubungan dengan lembaga


keuangan formal. Jaminan yang umum dimiliki adalah tanah, sementara kenyataan
menyebutkan bahwa masih banyak permasalahan berkaitan dengan kepemilikan tanah.
Secara umum. tidak adanya pengakuan terhadap aset yang dimiliki petani karena tidak
adanya bukti hukum terhadap aset-aset tersebut.

2) Adanya trak record yang buruk terhadap lembaga pembiayaan yang pernah ada,
misalnya KUT (kredit usaha tani).
3) Sulitnya petani dan pelaku agribisnis lain secara langsung mengikuti formalitas yang
diharapkan pihak bank.

4) Lembaga keuangan formal kebanyakan tidak mampu bahkan mungkin juga tidak
mau atau tidak mengerti dan tidak memahami sifat nature dari kegiatan pertanian, misalnya
masalah gestate period, hubungannya dengan musim, dan lain-lain.

Berdasarkan beberapa faktor penyebab tidak bankable-nya petani dan pelaku


agribisnis tersebut maka kendala utama pembiayaan usaha agribisnis adalah sebagai
berikut :

1. Belum adanya bank yang khusus untuk membiayai pertanian (Bank Pertanian).
2. Kehati-hatian perbankan dalam menyalurkan kredit ke sektor agribisnis.
3. Terbatasnya lembaga penjaminan kredit untuk sektor pertanian.
4. Proses pembelajaran dari pola penghubung ke pola exekutif.
5. Adanya program pemerintah yang sifatnya bantuan menghambat penyaluran kredit
perbankan.
6. Kesan perbankan bahwa sektor agribisnis masih beresiko tinggi.

oleh: Yoenita JD

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2011. Peranan Modal dalam Pengembangan


Pertanian. http://artikelterbaru.com/ekonomi/perbankan/peranan-modal-dalam-
pengenbangan-pertanian-2011474.html. Diakses 17 Desember 2011.

Ilham, N dan Hermanto.S. 2007. Dampak Kebijakan Harga Pangan dan Kebijakan Moneter
Terhadap Stabilitas Eonomi Makro. Jurnal Agro Ekonomi. Vol 25 No.1 55-83. Pusat
Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.

Kurniawati, T. 2009. Ekonomi Pertanian. http://tatiek.lecture.ub.ac.id/files/2009/09/quick-


review-1_-ekonomi-pertanian.pdf. Diakses 17 Desember 2011.

Perdana, Adi S. 2009. Analisis Kinerja Program Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian Di
Bpp Sewon Kabupaten Bantul. Skripsi. UGM : Yogyakarta

Rochaeni, S, dan Lakollo, E.M. 2005. Faktor –faktor Yang Mempengaruhi Keputusan
Ekonomi Rumah Tangga Petani di Kelurahan Setugede Kota Bogor. Jurnal Agro Ekonomi.
23-2. Universitas Patimurra, Ambon.

Slamet, Margono. 2001. Paradigma Baru Penyuluhan Pertanian di Era Otonomi Daerah.
Makalah dalam Pelatihan Penyuluhan Pertanian di Universitas Andalas.

Suryana, A. dan Ketut. K. 2008. Ekonomi Padi Asia: Suatu Tinjauan Berbasis Kajian
Komparatif. Jurnal. Badan Litbang Pertanian, Balai Besar Pengembangan dan Pengkajian
Tekhnologi Pertanian, Bogor.

Anda mungkin juga menyukai