Anda di halaman 1dari 2

PENJELASAN SEPUTAR RIBA DALAM ISLAM*

Pengertian Riba
 Riba menurut bahasa artinya tambahan. Sedangkan menurut istilah, riba bermakna
tambahan secara khusus. (kamus Mu’jmul Wasith 1/326). Yang dimaksud tambahan
secara khusus adalah: tambahan yang diharamkan dalam syari’at Islam, baik diperoleh
dengan cara peminjaman, penukaran, atau penjualan (penjelasan Ulama fiqih, antara
lain Imam Ahmad dalam kitab Raddul Muhtar)

Dalil Pengharaman Riba


 QS. Al-Baqoroh/2: 275-280
 Hadits Nabi Muhammad SAW. Yang artinya: “Jauhilah tujuh dosa besar yang akan
menjerumuskan pelakunya dalam neraka.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa
saja dosa-dosa tersebut?” Beliau mengatakan, “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh
jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan alasan yang dibenarkan, memakan harta
anak yatim, memakan riba, melarikan diri dari medan peperangan, menuduh wanita yang
menjaga kehormatannya (dituduh berzina).” (HR. Bukhori)
Juga hadits Nabi Muhammad SAW. yang artinya: “Rasulullah SAW. sangat tidak
menyukai/melaknat pemakan riba (rentenir), yang terkena riba (nasabah), pencatat riba,
dan dua orang saksinya.” Beliau mengatakan, “Mereka semua itu sama (karena sama-
sama melakukan yang haram)” (HR. Muslim).

Macam-macam Riba
 Riba secara umum dibagi menjadi dua macam, yaitu: Riba Dain (riba dalam
peminjaman) dan Riba Bai’ (riba dalam jual beli). Berikut penjelasannya:
1. Riba Dain (riba dalam peminjaman)
Riba ini disebut juga dengan riba jahiliyah, sebab riba jenis inilah yang terjadi
pada zaman jahiliyah. Riba Dain sendiri adalah tambahan yang dipersyaratkan
dalam pinjaman, bisa berbentuk tambahan pengembalian dari sejumlah uang yang
dipinjam, atau bisa berbentuk tambahan karena penambahan tempo
2. Riba Bai’ (riba dalam jual beli)
Di dalam ajaran Islam, ada barang-barang yang jika diperjual belikan atau terjadi
tukar menukar di dalamnya, maka berpotensi terjadi riba, barang-barang tersebut
kemudian diistilahkan dengan barang-barang ribawi. Ada enam barang ribawi yang
disebutkan dalam hadits berikut (yang artinya): “Jika emas dijual dengan emas,
perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis
gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual
dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar
kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah
berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang
memberinya sama-sama berada dalam dosa” (HR. Muslim)
Ringkasnya keenam barang ribawi dalam jual beli atau tukar menukar adalah:
emas, perak, gandum halus, gandum kasar, kurma, garam.
Namun para Ulama 4 Madzhab dan yang lainnya, memperluas keenam barang
ribawi tersebut dengan metode qiyas, menjadi: alat tukar/uang diqiyaskan dengan
emas dan perak karena di zaman Nabi emas dan perak dijadikan alat tukar.
Sedangkan empat barang ribawi lainnya diperluas menjadi setiap makanan pokok
yang dapat ditakar atau ditimbang.

Didalam jual beli atau tukar menukar keenam barang ribawi diatas bisa terjadi
Riba Fadhl (riba selisih timbangan/takaran), karena diwajibkan dalam syari’at
Islam adanya kesamaan timbangan/takaran dalam hal tersebut. Ini bisa terjadi jika
jual beli/tukar menukar barang ribawi yang sejenis (emas dengan emas, perak dengan
perak, kurma dengan kurma, dsb.) namun dengan timbangan/takaran yang berbeda.
Adapun jika beda jenis maka tidak apa-apa adanya selisih timbangan/takaran
(emas dengan perak, kurma dengan gandum, dsb.)
Dan pada jual beli atau tukar menukar keenam barang ribawi diatas bisa juga
terjadi Riba Nasi`ah (riba karena adanya tempo/tidak langsung) karena diwajibkan
dalam syari’at Islam adanya serah terima secara langsung dalam hal tersbut. Ini bisa
terjadi pada jual beli/tukar menukar barang ribawi baik yang sejenis atau beda jenis
(emas dengan emas, perak dengan perak, kurma dengan kurma, dsb. Atau emas
dengan perak, kurma dengan gandum, dsb.) sama-sama tidak boleh adanya tempo
tetapi harus langsung
Catatan: para Ulama sepakat tentang keharaman riba nasi’ah, namun berbeda
pendapat tentang hukum riba fadhl. Namun yang paling kuat adalah pendapat yang
mengaharamkan riba fadhl, berdasarkan HR. Muslim diatas.
Yang membolehkan riba fadhl berdalil dengan hadits dari Usamah bin Zaid RA.
yang artinya: “Sesungguhnya riba itu hanya pada nasi`ah (tempo).” Namun
pendapat yang membolehkan ini dijawab oleh para Ulama yang mengharamkan
antara lain Imam Syafi’i dengan jawaban: makna hadits “Sesungguhnya riba itu
hanya pada nasi`ah (tempo).” adalah tidak ada riba yang lebih keras keharamannya
kecuali riba nasi`ah. Selain itu maksud dari hadits tersebut adalah: bila jenisnya
berbeda, maka diperbolehkan tafadhul (selisih timbangan) dan diharamkan adanya
nasi`ah. Jawaban inilah yang mengkompromikan antara hadits yang nampak
bertentangan yaitu hadits yang mengharamkan riba fadl, dan hadits yang menyebut
hanya riba nasi’ah yang haram. Wallahu A’lam.

*Oleh: HR. Rifhan Halili, S.H.I., M.Pd.I., Al-Hafidz,


Pimpinan Lembaga Majlis al-Qur’an dan Dakwah Islam (el-MAQDIS).

Anda mungkin juga menyukai