PEMBAHASAN
2
3
b. Macam-macam ‘Urf
1) Dari sisi objek
Al-‘urf al- lafzhiy adalah kebiasaan masyarakat dalam
mempergunakan lafadz atau ungkapan tertentu dalam mengungkapkan
sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam
pikiran masyarakat. Misalnya kata al-walad menurut bahasa sehari-hari
hanya khusus bagi anak laki-laki saja, sedangkan anak perempuan tidak
masuk dalam lafadz itu. contoh lain lafadz al-lahm (daging) dalam perkataan
sehari-hari khusus bagi daging sapi / kambing. Padahal kata daging
mencakup seluruh daging yang ada. Demikian juga kata dabbah, digunakan
untuk binatang berkaki empat. Rosidin, Dedeng, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung:
Ar Raafi, 2014), hlm. 148.
Contoh lain, seseorang datang dalam keadaan marah dan ditangannya
ada tongkat kecil, seraya berucap “Jika saya bertemu dia saya akan bunuh
dengan tongkat kecil ini.” Dari ini dipahami yang dia maksud dengan
membunuh tersebut adalah memukulnya dengan tongkat. Totok, dkk. Kamus
Ilmu Ushul Fikih (Jakarta: Amzah, 2005), hlm. 338.
Al-‘urf al-‘amaliy adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan
dengan perbuatan. Misalnya kebiasaan masyarakat tertentu dalam memakan
makanan tertentu / minuman tertentu, kebiasaan masyarakat dalam cara
berpakaian yang sopan, kebiasaan masyarakat dalam jual beli. Rosidin,
Dedeng, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung: Ar Raafi, 2014), hlm. 148.
Contoh lain adalah jual beli dalam masyarakat yang tanpa
mengucapkan shighat akad jual beli. Contoh lain adalah kebiasaan saling
mengambil rokok diantara sesama teman tanpa adanya ucapan meminta dan
memberi, hal ini tidak dinggap mencuri. Totok, dkk. Kamus Ilmu Ushul Fikih
(Jakarta: Amzah, 2005), hlm. 336.
‘Urf Qauli adalah ‘urf yang berupa perkataan atau kebiasaan yang
berlaku dalam penggunaan kata-kata atau ucapan. Contohnya perkataan
waladun menurut bahasa berarti anak, termasuk di dalamnya anak laki-laki
dan anak perempuan, tetap dalam percakapan sehari-hari biasa diartikan
4
dengan anak laki-laki saja. Contoh lain adalah perkataan lahmun menurut
bahasa bermakna daging, termasuk di dalamnya segala macam daging,
seperti daging binatang darat dan ikan. Akan tetapi dalam percakapan sehari-
hari, lahmun diartikan dengan daging binatang darat saja dan tidak termasuk
ikan. Totok, dkk. Kamus Ilmu Ushul Fikih (Jakarta: Amzah, 2005), hlm. 338-
339.
2) Dari sisi cakupannya
Al-‘urf al-‘aam yaitu kebiasaan tertentu yang berlaku yang berlaku
secara luas di seluruh masyarakat dan di seluruh daerah atau ‘urf yang
berlaku pada suatu tempat, masa dan keadaan. Misalnya: jual beli mobil,
membayar ongkos bis kota dengan tidak mengadakan ijab kabul terlebih
dahulu. Rosidin, Dedeng, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung: Ar Raafi, 2014), hlm.
148.
Contoh lain seperti memberi hadiah (tip) kepada orang yang telah
memberikan jasanya kepada kita, mengucapkan terima kasih kepada orang
yang telah membantu kita. Totok, dkk. Kamus Ilmu Ushul Fikih (Jakarta:
Amzah, 2005), hlm. 337.
Urf – al khash yaitu kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat
tertentu atau ‘urf yang hanya berlaku pada tempat, masa, dan keadaan
tertentu saja. Misalnya gono gini di Jawa. Penentuan masa garansi terhadap
barang tertentu. Urf khash ini tidak terhitung jumlahnya sesuai dengan
perkembangan masyarakat.
Contoh lain mengadakan halal bi halah yang biasa dilakukan oleh
bangsa Indonesia yang beragama Islam pada setiap selesai menunaikan
ibadah puasa bulan Ramadhan, sedangkan pada Negara-negara Islam lain
tidak dibiasakan. Contoh lain adalah dikalangan pedagang, apabila terdapat
cacat tertentu pada barang dagang yang dibeli dapat dikembalikan dan untuk
cacat lainnya dalam barang itu konsumen tidak dapat mengembalikan barang
itu.
c. Dari sisi keabsahannya dalam pandangan syara
Al-urf al-shahih adalah kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang
yang tidak bertentangan dengan dalil syara, tiada menghalalkan yang haram
5
dan mengharamkan yang halal, juga tidak membatalkan yang wajib. Atau
kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat yang tidak
bertentangan dengan nash (ayat al-qur’an atau hadis), tidak menghilangkan
kemashlatan mereka dan tidak pula membawa mudharat kepada mereka.
Misalnya kebiasaan dalam pembayaran makan secara kontan atau hutang,
kebiasaan seorang yang melamar wanita dengan memberikan sesuatu
sebagai hadiah, bukan sebagai mahar. Totok, dkk. Kamus Ilmu Ushul Fikih
(Jakarta: Amzah, 2005), hlm. 338-339.
Contoh lain mengadakan pertunangan sebelum melangsungkan akad
nikah, dipandang baik, telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat dan tidak
bertentangan dengan syara.
Al-‘urf al-fasid yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang
berlawanan dengan ketentuan syari’at, karena membawa kepada
menghalalkan yang haram / membatalkan yang wajib atau ‘urf yang tidak
baik dan tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan syara. Atau
kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara dan kaidah-kaidah
dasar yang ada dalam syara. Rosidin, Dedeng, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung:
Ar Raafi, 2014), hlm. 149.
Sebalik dari al-‘urf ash shahihah, maka adat kebiasaan yang salah
adalah yang menghalalkan hal-hal yang haram, atau mengharamkan yang
halal. Misalnya, kebiasaan berciuman antara laki-laki dan wanita yang bukan
mahram dalam acara pertemuan-pertemuan pesta. Demikian juga, adat
masyarakat yang mengharamkan perkawinan antara laki-laki dan wanita
yang bukan mahram, hanya karena keduanya berasal dari satu komunitas
adat yang sama. Para ulama sepakat, bahwa al-‘urf al-fasidah tidak dapat
menjadi landasan hukum dan kebiasaan tersebut batal demi hukum, karena
al-‘urf al-fasidah bertentangan dengan ajaran Islam, maka uraian selanjutnya
hanya berkaitan dengan ajaran Islam, maka uraian selanjutnya hanya
berkaitan dengan al-‘urf ash shahihah. Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh
(Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 211
Misalnya, kebiasaan dalam mencari dana dengan cara mengadakan
berbagai macam kupon berhadiah, menarik pajak dengan hasil perjudian.
6
Contoh lain kebiasaan mengadakan sesajian untuk sebuah patung atau suatu
tempat yang dipandang keramat. Hal ini tidak dapat diterima, karena
berlawanan dengan ajaran tauhid yang diajarkan Islam atau kebiasaan yang
terjadi di kalangan pedagang dalam menghalalkan riba, seperti pemiinjaman
uang antara sesama pedagang.
d. Syarat-syarat ‘Urf
a. Urf tidak bertentangan dengan nash yang qathi. Misalnya biasa makan
riba, biasa meminum minuman keras.
b. Urf harus umum berlaku pada semua peristiwa atau sudah umum berlaku.
c. Urf harus berlaku selamaya. Oleh karena itu, orang yang berwakaf harus
dibawakan kepada urf pada waktu mewakafkan, meskipun bertentangan
dengan urf yang datang kemudian.
d. Tidak ada dalil khusus untuk kasus tersebut dalam al-qur’an atau hadits.
e. Pemakaiannya tidak mengakibatkan dikesampingannya nash syari’ah
dan tidak mengakibatkan kemadharatan juga kesempitan. Rosidin,
Dedeng, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung: Ar Raafi, 2014), hlm. 149.
2. Macam-macam Istishab
a. Istishab Al-Bara’ah al-ashliyah (Kebebasan Dasar) yang oleh Ibnu
Qayyim diberi istilah: Bara’ah al-‘adam al-‘ashliyyah adalah terlepas
dari tanggungjawab/ terlepas dari suatu hukum sehingga ada dalil yang
menunjukkan. Istishab ini setelah datangnya agama Islam, pada
dasarnya seseorang boleh melakukan atau menggunakan segala sesuatu
yang bermanfaat, selama tidak ada dalil syara yang menegaskan hukum
tertentu terhadapnya. Perlu ditegaskan istishab ini hanya berlaku dalam
bidang muamalah tidak dalam bidang akidah dan ibadah. Contoh,
seorang anak kecil tidak memiliki kewajiban syara (taklif), kecuali jika
ia telah mencapai usia baligh (mukallaf). Orang yang buta hukum atau
berasal di daerah musuh, terbebas dari taklif sampai ia melek hukum
atau sampai berada di daerah Islam. Demikian juga, orang yang tidak
mengetahui ajaran Islam dan berada di wilayah orang kafir, tidak
memiliki kewajiban syara’ sampai ia mengetahuinya, atau ia tinggal di
wilayah Islam. Contoh lainnya, seorang laki-laki tidak memiliki
kewajiban dan hak apa-apa terhadap seorang perempuan yang bukan
mahramnya, kecuali jika keduanya telah diikat oleh akad perkawinan.
8