Anda di halaman 1dari 15

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian ‘Urf dan Istishab


2.1.1. ‘Urf
a. Pengertian ‘Urf
Secara etimologi ‘urf berarti sesuatu yang dipandang baik, yang dapat
diterima akal sehat. ‘Urf dinamakan juga ‘adat’ sebab perkara yang telah
dikenal itu berulang kali dilakukan manusia. Para ulama ushul fiqih
membedakan antara ‘adat’ dengan ‘urf dalam kedudukannya sebagai dalil
untuk menetapkan hukum syara. ‘urf adalah kebiasaan mayoritas kaum baik
dalam perkataan atau perbuatan, yang telah menjadi suatu kebiasaan dan di
terima oleh tabiat yang baik serta telah dilakukan oleh penduduk sekitar
Islam dengan ketentuan tidak bertentangan dengan nash syara. Menurut Al-
Ghazali ‘urf diartikan dengan: keadaan yang sudah tetap pada jiwa manusia,
dibenarkannya oleh akal dan diterima pula oleh tabiat yang sejahtera.
Rosidin, Dedeng, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung: Ar Raafi, 2014), hlm. 147.
Adapun Badran mengartikan ‘urf dengan: apa-apa yang dibiasakan dan
diakui oleh banyak orang, baik dalam bentuk ucapan atau perbuatan,
berulang-ulang dilakukan sehingga berbekas dalam jiwa mereka dan
diterima baik oleh akal mereka. Totok, dkk. Kamus ilmu ushul fikih (Jakarta:
Amzah, 2009), hlm. 334.
Para ulama yang menyatakan bahwa ‘urf merupakan salah satu
sumber dalam istinbath hukum, menetapkan bahwa ia bisa menjadi dalil
sekiranya tidak ditemukan nash dari kitab (Al-Qur’an dan Sunnah (Hadits).
Totok, dkk. Kamus ilmu ushul fikih (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 335.
Adat adalah sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya
hubungan rasional. Atau sesuatu yang dikehendaki manusia dan mereka
kembali terus-menerus. Zahrah, Muhammad Abu. Ushul Fiqh. (Pejaten
Barat: Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 418

2
3

b. Macam-macam ‘Urf
1) Dari sisi objek
Al-‘urf al- lafzhiy adalah kebiasaan masyarakat dalam
mempergunakan lafadz atau ungkapan tertentu dalam mengungkapkan
sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam
pikiran masyarakat. Misalnya kata al-walad menurut bahasa sehari-hari
hanya khusus bagi anak laki-laki saja, sedangkan anak perempuan tidak
masuk dalam lafadz itu. contoh lain lafadz al-lahm (daging) dalam perkataan
sehari-hari khusus bagi daging sapi / kambing. Padahal kata daging
mencakup seluruh daging yang ada. Demikian juga kata dabbah, digunakan
untuk binatang berkaki empat. Rosidin, Dedeng, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung:
Ar Raafi, 2014), hlm. 148.
Contoh lain, seseorang datang dalam keadaan marah dan ditangannya
ada tongkat kecil, seraya berucap “Jika saya bertemu dia saya akan bunuh
dengan tongkat kecil ini.” Dari ini dipahami yang dia maksud dengan
membunuh tersebut adalah memukulnya dengan tongkat. Totok, dkk. Kamus
Ilmu Ushul Fikih (Jakarta: Amzah, 2005), hlm. 338.
Al-‘urf al-‘amaliy adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan
dengan perbuatan. Misalnya kebiasaan masyarakat tertentu dalam memakan
makanan tertentu / minuman tertentu, kebiasaan masyarakat dalam cara
berpakaian yang sopan, kebiasaan masyarakat dalam jual beli. Rosidin,
Dedeng, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung: Ar Raafi, 2014), hlm. 148.
Contoh lain adalah jual beli dalam masyarakat yang tanpa
mengucapkan shighat akad jual beli. Contoh lain adalah kebiasaan saling
mengambil rokok diantara sesama teman tanpa adanya ucapan meminta dan
memberi, hal ini tidak dinggap mencuri. Totok, dkk. Kamus Ilmu Ushul Fikih
(Jakarta: Amzah, 2005), hlm. 336.
‘Urf Qauli adalah ‘urf yang berupa perkataan atau kebiasaan yang
berlaku dalam penggunaan kata-kata atau ucapan. Contohnya perkataan
waladun menurut bahasa berarti anak, termasuk di dalamnya anak laki-laki
dan anak perempuan, tetap dalam percakapan sehari-hari biasa diartikan
4

dengan anak laki-laki saja. Contoh lain adalah perkataan lahmun menurut
bahasa bermakna daging, termasuk di dalamnya segala macam daging,
seperti daging binatang darat dan ikan. Akan tetapi dalam percakapan sehari-
hari, lahmun diartikan dengan daging binatang darat saja dan tidak termasuk
ikan. Totok, dkk. Kamus Ilmu Ushul Fikih (Jakarta: Amzah, 2005), hlm. 338-
339.
2) Dari sisi cakupannya
Al-‘urf al-‘aam yaitu kebiasaan tertentu yang berlaku yang berlaku
secara luas di seluruh masyarakat dan di seluruh daerah atau ‘urf yang
berlaku pada suatu tempat, masa dan keadaan. Misalnya: jual beli mobil,
membayar ongkos bis kota dengan tidak mengadakan ijab kabul terlebih
dahulu. Rosidin, Dedeng, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung: Ar Raafi, 2014), hlm.
148.
Contoh lain seperti memberi hadiah (tip) kepada orang yang telah
memberikan jasanya kepada kita, mengucapkan terima kasih kepada orang
yang telah membantu kita. Totok, dkk. Kamus Ilmu Ushul Fikih (Jakarta:
Amzah, 2005), hlm. 337.
Urf – al khash yaitu kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat
tertentu atau ‘urf yang hanya berlaku pada tempat, masa, dan keadaan
tertentu saja. Misalnya gono gini di Jawa. Penentuan masa garansi terhadap
barang tertentu. Urf khash ini tidak terhitung jumlahnya sesuai dengan
perkembangan masyarakat.
Contoh lain mengadakan halal bi halah yang biasa dilakukan oleh
bangsa Indonesia yang beragama Islam pada setiap selesai menunaikan
ibadah puasa bulan Ramadhan, sedangkan pada Negara-negara Islam lain
tidak dibiasakan. Contoh lain adalah dikalangan pedagang, apabila terdapat
cacat tertentu pada barang dagang yang dibeli dapat dikembalikan dan untuk
cacat lainnya dalam barang itu konsumen tidak dapat mengembalikan barang
itu.
c. Dari sisi keabsahannya dalam pandangan syara
Al-urf al-shahih adalah kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang
yang tidak bertentangan dengan dalil syara, tiada menghalalkan yang haram
5

dan mengharamkan yang halal, juga tidak membatalkan yang wajib. Atau
kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat yang tidak
bertentangan dengan nash (ayat al-qur’an atau hadis), tidak menghilangkan
kemashlatan mereka dan tidak pula membawa mudharat kepada mereka.
Misalnya kebiasaan dalam pembayaran makan secara kontan atau hutang,
kebiasaan seorang yang melamar wanita dengan memberikan sesuatu
sebagai hadiah, bukan sebagai mahar. Totok, dkk. Kamus Ilmu Ushul Fikih
(Jakarta: Amzah, 2005), hlm. 338-339.
Contoh lain mengadakan pertunangan sebelum melangsungkan akad
nikah, dipandang baik, telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat dan tidak
bertentangan dengan syara.
Al-‘urf al-fasid yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang
berlawanan dengan ketentuan syari’at, karena membawa kepada
menghalalkan yang haram / membatalkan yang wajib atau ‘urf yang tidak
baik dan tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan syara. Atau
kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara dan kaidah-kaidah
dasar yang ada dalam syara. Rosidin, Dedeng, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung:
Ar Raafi, 2014), hlm. 149.
Sebalik dari al-‘urf ash shahihah, maka adat kebiasaan yang salah
adalah yang menghalalkan hal-hal yang haram, atau mengharamkan yang
halal. Misalnya, kebiasaan berciuman antara laki-laki dan wanita yang bukan
mahram dalam acara pertemuan-pertemuan pesta. Demikian juga, adat
masyarakat yang mengharamkan perkawinan antara laki-laki dan wanita
yang bukan mahram, hanya karena keduanya berasal dari satu komunitas
adat yang sama. Para ulama sepakat, bahwa al-‘urf al-fasidah tidak dapat
menjadi landasan hukum dan kebiasaan tersebut batal demi hukum, karena
al-‘urf al-fasidah bertentangan dengan ajaran Islam, maka uraian selanjutnya
hanya berkaitan dengan ajaran Islam, maka uraian selanjutnya hanya
berkaitan dengan al-‘urf ash shahihah. Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh
(Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 211
Misalnya, kebiasaan dalam mencari dana dengan cara mengadakan
berbagai macam kupon berhadiah, menarik pajak dengan hasil perjudian.
6

Contoh lain kebiasaan mengadakan sesajian untuk sebuah patung atau suatu
tempat yang dipandang keramat. Hal ini tidak dapat diterima, karena
berlawanan dengan ajaran tauhid yang diajarkan Islam atau kebiasaan yang
terjadi di kalangan pedagang dalam menghalalkan riba, seperti pemiinjaman
uang antara sesama pedagang.

d. Syarat-syarat ‘Urf
a. Urf tidak bertentangan dengan nash yang qathi. Misalnya biasa makan
riba, biasa meminum minuman keras.
b. Urf harus umum berlaku pada semua peristiwa atau sudah umum berlaku.
c. Urf harus berlaku selamaya. Oleh karena itu, orang yang berwakaf harus
dibawakan kepada urf pada waktu mewakafkan, meskipun bertentangan
dengan urf yang datang kemudian.
d. Tidak ada dalil khusus untuk kasus tersebut dalam al-qur’an atau hadits.
e. Pemakaiannya tidak mengakibatkan dikesampingannya nash syari’ah
dan tidak mengakibatkan kemadharatan juga kesempitan. Rosidin,
Dedeng, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung: Ar Raafi, 2014), hlm. 149.

2.1.2. Pengertian Istishab


1. Definis Istishab
Kata istishab berasal dari kata shubbah artinya menemani /
menyertai/ almushahabah. Menurut istilah istishab yaitu menetapkan hukum
yang telah ada pada sejak semula tetap berlaku sampai sekarang karena tidak
ada dalil yang merubahnya. Rosidin, Dedeng, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung: Ar
Raafi, 2014), hlm. 117.
Menurut asy-Syaukani bahwa tetap berlakunya suatu keadaan selama
belum ada yang mengubahnya. Menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah bahwa
mengukuhkan berlakunya suatu hukum yang telah ada, atau menegaskan
suatu hukum yang memang tidak ada, sampai terdapat dalil lain yang
mengubah keadaan tersebut. Menurut Ibnu Hazm bahwa tetap berlakunya
suatu hukum didasarkan atas nashsh, sampai ada dalil yang menyatakan
berubahnya hukum tersebut.
7

Dari ketiga definisi diatas yang dikemukakan ulama diatas, dapat


dipahami bahwa yang dimaksud dengan istishab memilih beberapa unsur
ketentuan sebagai berikut:
a. Setiap hukum yang telah ada pada masa lalu, baik dalam bentuk itsbat
(pengukuhan suatu hukum) maupun dalam bentuk nafy (penegasan
hukum), maka hukum tersebut dinyatakan tetap berlaku pada masa
sekarang.
b. Perubahan hukum yang ada hanya dapat terjadi, jika terdapat dalil yang
mengubahnya.
c. Berbeda dengan ulama lainnya, Ibnu Hazm menegaskan, pengakuan
terhadap berlakunya hukum di masa lalu itu harus berdasarkan dalil
nashsh. Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah, 2011), hlm.
217-218

2. Macam-macam Istishab
a. Istishab Al-Bara’ah al-ashliyah (Kebebasan Dasar) yang oleh Ibnu
Qayyim diberi istilah: Bara’ah al-‘adam al-‘ashliyyah adalah terlepas
dari tanggungjawab/ terlepas dari suatu hukum sehingga ada dalil yang
menunjukkan. Istishab ini setelah datangnya agama Islam, pada
dasarnya seseorang boleh melakukan atau menggunakan segala sesuatu
yang bermanfaat, selama tidak ada dalil syara yang menegaskan hukum
tertentu terhadapnya. Perlu ditegaskan istishab ini hanya berlaku dalam
bidang muamalah tidak dalam bidang akidah dan ibadah. Contoh,
seorang anak kecil tidak memiliki kewajiban syara (taklif), kecuali jika
ia telah mencapai usia baligh (mukallaf). Orang yang buta hukum atau
berasal di daerah musuh, terbebas dari taklif sampai ia melek hukum
atau sampai berada di daerah Islam. Demikian juga, orang yang tidak
mengetahui ajaran Islam dan berada di wilayah orang kafir, tidak
memiliki kewajiban syara’ sampai ia mengetahuinya, atau ia tinggal di
wilayah Islam. Contoh lainnya, seorang laki-laki tidak memiliki
kewajiban dan hak apa-apa terhadap seorang perempuan yang bukan
mahramnya, kecuali jika keduanya telah diikat oleh akad perkawinan.
8

b. Istishab yang ditunjukkan oleh al-syar’u / Al-Aqlu yaitu sifat yang


melekat pada suatu hukum sampai ditetapkan hukum yang berbeda
dengan hukum itu. Istishab diterima sebagai sumber hukum bisa dilihat
dari segi syara maupun akal. Dari segi syara, ternyata berdasarkan
istiqra (penelitian) terhadap hukum-hukum syara disimpulkan bahwa
hukum-hukum itu tetap berlaku sesuai dengan dalil yang ada sampai ada
dalil lain yang mengubahnya. Anggur yang memabukkan, berdasarkan
ketetapan dari syara adalah minuman haram kecuali apabila telah
berubah sifatnya, yakni sifat iskar (memabukkan), baik dengan
dicampur air atau berubah dengan sendirinya menjadi cuka. Contoh,
tetapnya wudhu setelah seseorang berwudhu, sampai terbukti bahwa
wudhunya telah batal, misalnya karena buang angin. Seseorang harus
tetap bertanggungjawab terhadap hutang sampai ada bukti bahwa dia
telah melunasinya. Contoh lainnya, tetapnya hukum halal hubungan
suami istri karena adanya akad nikah, sampai ada dalil yang
menunjukkan sebaliknya, misalnya karena talak. Semua contoh tersebut
menggambarkan bahwa berdasarkan istishab tetap berlakunya hukum
sesuatu, baik keberlakuannya ditinjau dari syara maupun menurut
logika, sampai ada alasan atau dalil lain yang mengubah keberlakuan
hukum tersebut. Abd. Rahman Dahlan, Ushul fiqh (Jakarta: Amzah,
2011), hlm. 221-222.
c. Istishab hukum yaitu sesuatu yang telah ditetapkan dengan hukum
mubah atau haram maka hukum itu terus berlangsung sampai ada dalil
yang mengharamkan yang asalnya mubah atau membolehkan yang
asalnya haram. Sebab hukum asal segala sesuatu adalah mubah selain
urusan harta dan kehormatan. Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqh.
(Pejaten Barat: Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 454.
d. Istishab Al-Washfi Ats-Tsabiti adalah kekal apa yang ada telah ada atas
hukum yang telah ada itu atau apa yang telah diyakini adanya pada suatu
masa, dihukumlah tetap adanya (selama belum ada dalil yang
mengubahnya). Dalam hal ini, ulama syafi’iyyah dan Hanabilah secara
mutlak menerimanya sebagai dalil syara’.
9

e. Istishab al-‘Umumi adalah suatu nash yang umum mencakup segala


yang dapat dicakup olehnya sehingga datang suatu nash yang
menghilangkan tenaga pencakupannya itu dengan jalan takhsish.
f. Istishab An-Nashshi adalah suatu dalil (nash) terus-menerus berlakunya
sehingga di nasakhkan oleh sesuatu nash yang lain. Totok, dkk. Kamus
ilmu ushul fikih (Jakarta: Amzah, 2005), hlm. 147.
g. Istishab hukum yang ditetapkan Ijma lalu terjadi perselisihan. Istishab
ini diperselisihkan ulama tentang kehujjahannya. Misalnya, para ulama
fiqih menetapkan berdasarkan ijma, bahwa tatkala tidak ada air,
seseorang boleh bertayamum untuk mengerjakan shalat. Ulama
Malikiyyah dan Syafi’iyyah menyatakan tidak boleh membatalkan
shalatnya, karena ada ijma yang menyatakan sholatnya sah bila
dilakukan sebelum melihat air. Tapi ulama Hanafiyah dan Hanbaliyah
menyatakan ia harus membatalkan sholatnya. Rosidin, Dedeng, Ilmu
Ushul Fiqh (Bandung: Ar Raafi, 2014), hlm. 120.

2.2. Kedudukan ‘Urf dan Istishab


2.2.1. Kedudukan al-‘Urf sebagai Dalil Syara’
Allah berfirman pada surat al-Maidah ayat 6:
‫علَ ْي ُك ْم لَ َعله ُك ْم‬ َ ُ‫علَ ْي ُك ْم ِم ْن َح َرجٍ َو َٰلَ ِك ْن ي ُِريدُ ِلي‬
َ ُ‫ط ِ ِّه َر ُك ْم َو ِليُتِ هم نِ ْع َمتَه‬ ‫َما ي ُِريدُ ه‬
َ ‫َّللاُ ِل َيجْ َع َل‬
َ‫ت َ ْش ُك ُرون‬
Artinya:
“Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan
kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur”.
Pada dasarnya, semua ulama menyepakati kedudukan al-‘urf ash-
shahihah sebagai salah satu dalil syara’. Akan tetapi, di antara mereka
terdapat perbedaan pendapat dari segi intensitas penggunaannya sebagai
dalil. Dalam hal ini, ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah adalah yang paling
banyak menggunakan al-‘urf sebagai dalil, dibandingkan dengan ulama
Syafi’iyyah dan Hanabilah. Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh (Jakarta:
Amzah, 2011), hlm. 212
10

Para ulama mazhab fiqh, pada dasarnya bersepakat untuk


menjadikan ‘urf secara global sebagai dalil hukum Islam (hujjah syar’iyyah).
Perbedaan di antara mereka terjadi mengenai limitasi dan lingkup aplikasi
dari ‘urf itu sendiri. Dalam kaitan ini, perlu dikemukakan hal-hal sebagai
berikut:
1. Perihal kebiasaan (custom) masyarakat Arab terdahulu yang kemudian
dikonfirmasi secara positif oleh syariat sehingga ia menjadi hukum
syara’. Mengenai hal ini, para ulama bersepakat bahwa kebiasaan
tersebut mengikat secara syar’i segenap kaum muslim. Kebiasaan
semacam ini tetap kukuh dan valid, tidak berubah sebagaimana
berubahnya waktu dan tempat.
2. Perihal kebiasaan (custom) masyarakat Arab terdahulu yang kemudian
ditegaskan secara eksplit oleh syariat sehingga ia menjadi haram
hukumnya. Mengenai hal ini, para ulama bersepakat bahwa kebiasaan
semacam ini harus dijauhkan oleh segenap kaum muslim. Inilah yang
disebut ‘urf fasid.

2.2.2. Kedudukan Istishab


Allah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 29 sebagai berikut :
‫س َم َو ٖۚت‬
َ ‫س أب َع‬ َّ ‫ى ِإلَى ٱل‬
َ َ‫س َما ٰٓ ِء ف‬
َ ‫س َّوى ُه َّن‬ ‫يعا ث ُ َّم أ‬
ٰٓ ‫ٱست ََو‬ ِ ‫هُُ َو ٱلَّذِي َخلَقَ لَ ُكم َّما فِي أٱۡل َ أر‬
ٗ ‫ض َج ِم‬
َ ٍ‫َو ُه َو ِب ُك ِل ش أَيء‬
٢٩ ‫يم‬ٞ ‫ع ِل‬
Artinya : Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk
kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-
Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
Pandangan para ulama mengenai kedudukan istishab ini terbelah
dua kelompok: kubu penerima (pro) dan kubu penolak (kontra). Kubu
penerima (pro) berpandangan bahwa istishab merupakan hujjah syar’iyyah
atau dalil bagi struktur hukum Islam. Sedangkan kubu penolak (kontra)
berpendapat bahwa istishab tidak bisa dijadikan hujjah syar’iyyah.
Kubu penerima (pro) mengajukan argumentasi sebagai berikut:
1. Telah nyata terjadi Ijma mengenai perihal ketidakbolehan shalat
seseorang yang sejak semula sudah ragu apakah ia sudah mempunyai
11

wudhu atau belum. Lalu, apabila seserang ragu apakah masih


mempunyai wudhu dan boleh shalat. Cara menetapkan hukum seperti
demikian merupakan manifestasi dari istishab.
2. Aturan-aturan hukum syara’ yang pernah ada pada masa Rasulullah,
juga berlaku bagi kita yang hidup sesudah masa beliau; jadi, kita juga
terkena taklif aturan-aturan tersebut. Hal demikian didasarkan atas
logika prinsip istishab, yakni yang sudah ada atau berlaku tetap diakui
ada atau berlaku sebagaimana adanya.
Kubu penolak (kontra) mengajukan argumentasi sebagai berikut:
1. Telah ada Ijma bahwa keterangan/bukti yang bersifat menetapkan harus
diprioritaskan daripada keterangan/bukti yang bersifat mengingkari/
menegaskan. Maksudnya, sekiranya yang menjadi kaidah pokok itu
adalah sifat lestarinya sesuatu maka keterangan/bukti yang bersifat
mengingkari/ menegaskan itu karena berlawanan dengan kaidah pokok
tersebut haruslah lebih layak untuk diprioritaskan.
2. Eksisnya hukum pada masa berikutnya itu tidak ditunjukkan oleh suatu
dalil dan penetapan hukum tanpa dalil sama sekali merupakan
kesiasiaan; oleh karena itu, istishab bukanlah hujjah syar’iyyah.
3. Dalam fiqh mazhab syafi’i, tindakan membayar kaffarah dengan cara
memerdekakan budak yang hilang, tidaklah sah secara syar’i; dan
sekiranya yang menjadi kaidah pokok itu adalah sifat lestarinya sesuatu,
tentu tindakan membayar kaffarah yang demikian itu sah hukumnya.

2.2.3. Implikasi dari Perbedaan Pandangan


1. Perbedaan pandangan para ulama tentang kehujjahan ‘Urf
Jual beli “Cepat” (Bai al-Muatah) adalah suatu transaksi jual beli, si pembeli
langsung menerima barang dan sekaligus membayar harga barang itu kepada
si penjual tanpa ada sigah eksplisit ijab-qabul. Kalangan ulama Hanafiyyah,
ulama Malikiyyah dan ulama Hanabilah berpendapat bahwa baial-mu’atah
itu hukumnya sah secara mutlak. Penjelasannya bahwa syariat telah
menghalalkan jual beli secara mutlak dan tidak ada penegasan syariat tentang
sigah ijab-qabul dan tata caranya sehingga hal itu harus dikembalikan kepada
12

‘urf. Kalangan ulama syafi’iyyah berpandangan bahwa bai’ al-mu’atah itu


hukumnya tidak sah secara mutlak. Mereka mengemukakan argumen bahwa
syariat mempersyaratkan adanya unsur kesukarelaan bagi kesahan jual beli
dan perihal kesukarelaan ini merupakan sesuatu yang tersembunyi, yang
hanya dapat diketahui melalui ijab-qabul. Argumen ini disokong oleh:
a. Perihal Jual Beli Istisna adalah transaksi jual beli, dimana si pembeli
meminta kepada si pengrajin/pembuat barang untuk membuat barang
dengan spesifikasi tertentu, dengan bahan baku disediakan oleh si
pembeli, dengan penyerahan uang di muka dan tanpa penentuan jangka
waktu. Kalangan ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa jual beli istisna
hukumnya sah. Dalam hal ini, mereka beragumen dengan dalil ‘urf.
Kalangan ulama Malikiyyah, ulama Syafi’iyyah dan ulama Hanabilah
berpandangan bahwa jual istisna hukumnya tidak sah alias batal demi
hukum. Mereka merujuk kepada kaidah hukum: “Tidak sah hukumnya
jual beli atas objek yang tidak ada.”
b. Jual Beli Buah-buahan Sebelum Ada Kejelasan Masaknya.
Kalangan ulama Malikiyyah, ulama Syafi’iyyah dan ulama Hanabilah
berpendapat bahwa akad jual beli demikian tidak sah. Mereka beragumen
dengan hadis:
Kalangan ulama Hanafiyyah berpandangan bahwa akad jual beli
demikian tidak sah dan mesti dihentikan ketika itu juga.

2. Implikasi dari Perbedaan Pandangan Tentang Istishab


Penolakan Sumpah oleh Tergugat
Menurut pandangan ulama Syafi’iyyah, pengambilan putusan oleh hakim
tidak boleh didasarkan kepada penolakan sumpah itu semata; tetapi sumpah
juga harus dibebankan kepada penggugat. Sebab, kaidah umum menyatakan
bahwa putusan yang diambil oleh hakim harus berdasarkan bukti yang
meyakinkan, bukan dugaan/sangkaan. Maka, kalau penggugat enggan
bersumpah, si tergugat harus diputuskan “menang”, sesuai dengan dalil
istishab bi al-bara’ah al-asliyyah. Golongan ulama Hanafiyyah mengatakan
bahwa putusan ‘menang’ untuk penggugat harus diambil hakim ketika si
13

tergugat menolak bersumpah. Mereka beragumen dengan hadis yang


diriwayatkan al-bukhari:
a. Hak Kewarisan Orang yang Hilang (Mafqud)
Kalangan ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa orang yang hilang
(mafqud) tersebut harus dihukumi sebagai orang hidup sehingga hartanya
tidak boleh diwarisi dan ia berhak atas harta pusaka dari orang yang
mewariskannya. Argumen yang mereka kemukakan jelas berupa dalil
istishab, yakni bahwa orang tersebut sebelum menghilang masih hidup
maka status hidupnya ini tetap terus diakui/diyakini hingga terdapat bukti
yang meyakinkan tentang kematiannya. Golongan ulama Hanafiyyah
berpandangan bahwa orang yang hilang (mafqud) tersebut tidak dapat
dihukumi, baik sebagai orang hidup ataupun orang mati, dan hartanya
tidak boleh diwarisi dan ia tidak berhak atas harta pusaka dari orang
mewariskannya. Mereka memandang istishab tidak layak menjadi
dalil/sandaran bagi perolehan hak harta kekayaan, termasuk hak
kewarisan. Golongan ulama Hanabilah membedakan dari segi kondisi
hilangnya. Apabila hilangnya itu akibat bencana dahsyat maka harus
nunggu selama 4 tahun, dan apabila tidak ada kabar tentang dirinya
hartanya boleh diwarisi. Apabila hilangnya itu akibat bencana kecil maka
hartanya tidak boleh diwarisi hingga ada bukti yang meyakinkan tentang
kematiannya, dan semua itu ditetapkan melalui putusan hakim. Menurut
kalangan ulama Malikiyyah, harta orang tersebut distatus quokan hingga
hakim menjatuhkan putusan tentang kematiannya sesudah terlewati
standar usia harapan hidup.
b. Perdamaian untuk Mengingkari Hak
Kalangan ulama syafi’iyyah berpendapat bahwa perdamaian yang
demikian hukumnya batal demi hukum. Sebab, itu termasuk perbuatan
memakan harta orang lain secara melawan hukum. Landasan utama
pendapat mereka itu adalah dalil istishab. Kalangan ulama Hanafiyyah,
ulama Malikiyyah dan ulama Hanabilah berpandangan bahwa perdamaian
yang demikian hukumnya sah. Mereka beragumen dengan
mengemukakan surah An- Nisa (4): 128.
14

Perihal Status Hukum Tayamum Orang yang Shalat Apabila


Terdapat Air
Kalangan ulama Syafi’iyyah dan ulama Malikiyyah berpendapat bahwa tidak
menjadi batal tayamum orang tersebut sehingga ia harus menyelesaikan
shalatnya dan shalatnya itu dinilai sah. Mereka beragumen dengan dalil
istishab, yakni bahwa orang itu telah memasuki rangkaian shalat dengan
tayamum yang dimilikinya dan shalatnya tersebut sah; oleh karenanya, status
kesahan ini terus-menerus ada hingga akhir shalatnya itu; dan penetapan
status keterus-menerusan inilah yang dinamakan istishab. Kalangan ulama
Hanafiyyah dan ulama Hanabilah berpandangan bahwa menjadi batal
tayamum serta shalatnya dan ia wajib bertaharah dengan air itu, untuk
kemudian mengulang kembali shalatnya. Mereka tidak mengaplikasikan
dalil istishab, tetapi merujuk kepada hadis:
Menurut mereka, dilalat al-mafhum dari hadis ini menunjukkan bahwa tanah
(debu) tidak bisa menjadi alat bersuci ketika terdapat air: dan dilalat al-
matuqnya menyatakan bahwa ketika telah terdapat air, wajib membasuh kulit
(anggota wudhu) dengan air.

2.3. Kehujjahan ‘Urf dan Istishab


2.3.1. Kehujjahan ‘Urf
Firman Allah pada surah al-A’raf ayat 199
َ‫ع ِن ْال َجا ِهلِين‬ ِ ‫ُخ ِذ ْالعَ ْف َو َوأْ ُم ْر بِ ْالعُ ْر‬
ْ ‫ف َوأَع ِْر‬
َ ‫ض‬
Artinya:
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang
ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang bodoh”.
Golongan Hanafiyyah dan malikiyah berpendapat bahwa urf adalah
hujjah untuk menetapkan hukum.
Nabi SAW bersabda: “sesuatu yang dipandang baik oleh orang-orang muslim
maka dalam Pendangan Allah hal itu baik.” (Ahmad bin Hanbal)
Golongan Syafi’iyyah dan Hanbaliyah, keduanya tidak menganggap urf
sebagai hujjah atau dalil hukum syar’i.
15

Rasulullah SAW bersabda: “siapa yang melakukan jual beli salam


pada kurma, maka Hendaklah ditentukan jumlahnya, takarannya dan tenggang
waktunya. (Bukhari)
2..3.2. Kehujjahan Istishab
Firman Allah dalam Al-Qu’an Al-A’raf Ayat 32 :
ً‫صة‬َ ‫ِي ِللَّذِينَ آ َمنُوا ِفي ْال َح َيا ِة ال ُّد ْن َيا خَا ِل‬
َ ‫ق ٖۚ قُ ْل ه‬ ِ ‫الر ْز‬
ِ َ‫ت ِمن‬ َّ ‫َّللا الَّ ِتي أ َ ْخ َر َج ِل ِع َبا ِد ِه َوال‬
ِ ‫ط ِي َبا‬ ِ َّ َ‫قُ ْل َم ْن َح َّر َم ِزينَة‬
ِ ‫ص ُل ْاْليَا‬
َ‫ت ِلقَ ْو ٍم يَ ْعلَ ُمون‬ ِ َ‫يَ ْو َم ْال ِقيَا َم ِة ۗ َكذَلِكَ نُف‬
Artinya :
Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah
dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang
mengharamkan) rezeki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu
(disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia,
khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat". Demikianlah Kami
menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.

Firman Allah dalam Al-Qu’an Al-Jasiyah Ayat 13 :


َ‫ت ِلقَ ْو ٍم َيتَفَ َّك ُرون‬ ِ ‫ت َو َما ِفي ْاۡل َ ْر‬
ٍ ‫ض َج ِمي ًعا ِم ْنهُ ٖۚ ِإ َّن ِفي ذَلِكَ َْل َيا‬ َّ ‫س َّخ َر لَ ُك ْم َما فِي ال‬
ِ ‫س َم َاوا‬ َ ‫َو‬
Artinya :
Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang
di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan
Allah) bagi kaum yang berfikir.

Mayoritas pengikut Maliki, Syafi’i, Ahmad dan sebagian ulama


Hanafi menyatakan bahwa istishab dapat jadi hujjah, selama tidak ada dalil
yang merubah. Sementara segolongan dari ulama mutakallimin, seperti Hasan
al-Basri menyatakan bahwa istishab tidak bisa jadi hujjah, karena untuk
menetapkan hukum yang lama dan sekarang harus berdasarkan dalil.
1. Kaidah Fiqhiyah dari ‘Urf dan Istishab
2. Kaidah Fiqhiyah dari ‘Urf
3. Adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum
16

4. Tidak diingkari perubahan hukum disebabkan perubahan zaman dan


tempat
5. Yang baik itu menjadi urf sebagaimana yang diisyaratkan itu menjadi
syarat
6. Yang ditetapkan dengan urf sama dengan yang ditetapkan dengan nash27
7. Kaidah-Kaidah Istishab
8. Apabila seseorang telah berwudhu, maka wudhu itu merupakan sifat yang
melekat pada dirinya, sampai terdapat sifat lain yang merupakan sifat
lawannya berdasarkan keyakinannya atau persangkaan kuatnya.
9. Apabila seorang suami menceraikan istrinya dan ragu-ragu apakah ia
melakukan talaq tiga atau cuma talaq satu, maka jumhur ulama
berpendapat bahwa talaq itu hanya jatuh satu kali.
10. Apabila salah seorang suami menceraikan salah satu dari dua istrinya dan
ia ragu istri yang mana yang diceraikan, maka jatuh talaq atas keduanya
menurut madzhab maliki. Sebab dalam kasus tersebut, perceraian benar
tadi jatuh dengan yakin atas salah satu dari istrinya dan ia mendapat
kesulitan memastikannya yang mana yang ia cerai, maka jatuh talaq atas
keduanya berdasarkan istishab terhadap hukum talaq yang benar-benar
berlangsung dengan yakin.

Anda mungkin juga menyukai