Latar
A. Belakang
1. Dasar Hukum
a. UU No. 4 / 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
b. UU No. 36 / 2009 tentang Kesehatan
c. PP No. 40 tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular
d. PP No. 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian
Negara/Lembaga (RKAKL)
e. Kepmenkes No. 1479 tahun 2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans
Epidemiologi Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular Terpadu
f. Kepmenkes No. 424 tahun 2007 tentang Pedoman Upaya Kesehatan Pelabuhan Dalam
Rangka Karantina Kesehatan
g. Permenkes Kesehatan No. 356 tahun 2008 Jo. 2348 tahun 2011 Tentang Organisasi dan
Tata Kerja KKP
h. International Health Regulation 2005
i. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 365/MENKES /SK/V/2006 tentang Pedoman
Pengendalian Demam Tifoid.
2. Gambaran Umum
Demam tifoid (selajutnya disebut tifoid) merupakan salah satu penyakit menular yang menjadi
masalah kesehatan masyarakat dengan jumlah kasus sebanyak 22 juta per tahun di dunia dan
menyebabkan 216.000–600.000 kematian. Di Indonesia, tifoid harus mendapat perhatian serius
dari berbagai pihak karena penyakit ini bersifat endemik dan mengancam kesehatan
masyarakat. Sumber penularannya terutama berasal dari makanan yang tercemari kuman
Salmonella Thypi.
Pada tahun 2008, angka kesakitan tifoid di Indonesia dilaporkan sebesar 81,7 per100.000
penduduk, dengan sebaran menurut kelompok umur 0,0/100.000 penduduk (0–1 tahun),
148,7/100.000 penduduk (2–4 tahun), 180,3/100.000 (5-15 tahun), dan 51,2/100.000 (≥16
tahun). Angka ini menunjukkan bahwa penderita terbanyak adalah pada kelompok usia 2-15
tahun
Tifoid merupakan salah satu penyakit endemis yang ada di Indonesia, mayoritas mengenai
anak usia sekolah dan kelompok usia produktif, penyakit ini menyebabkan angka absensi yang
tinggi, rata – rata perlu waktu 7 – 14 hari untuk perawatan apabila seseorang terkena Tifoid.
Apabila pengobatan yang dilakukan tidak tuntas maka dapat menyebabkan terjadinya karier
yang kemudian menjadi sumber penularan bagi orang lain. Dampak penyakit ini adalah,
tingginya angka absensi, penurunan produktifitas, timbulnya komplikasi baik di saluran
pencernaan maupun diluar saluran pencernaan, kerugian ekonomi untuk biaya pengobatan
dan perawatan, kematian.
Untuk memperkuat program pengendalian dan menurunkan angka kesakitan tifoid, maka perlu
dilakukan advokasi dan sosialisasi yang lebih intensif, kerja sama lintas program dan lintas
sektor khususnya dalam meningkatkan akses air bersih, peran agen perjalanan dalam
melakukan vaksinasi tifoid pada wisatawan, kajian efektivitas penggunaan vaksin tifoid dalam
program pengendalian sebagai bahan pertimbangan agar dapat dimasukkan ke dalam
program imunisasi nasional, pencegahan kasus-kasus karier atau relaps dan resistensi, serta
meningkatkan pembiayaan program pengedalian di provinsi dan kabupaten/ kota. Kantor
kesehatan pelabuhan kelas I Surabaya sebagai UPT Direktorat Jenderal Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI mendukung kegiatan pengendalian dan
pencegahan penyakit tifoid dengan melakukan kegiatan sosialisasi pencegahan dan
pengendalian di wilayah Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I Surabaya.
B. Penerima Manfaat :
1 Staf Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I Surabaya.
. Masyarakat pelabuhan / bandara, pengguna jasa pelabuhan / bandara, penumpang, anak buah
2 kapal / crew pesawat dan pekerja di pelabuhan/bandara
. Lintas sektor dan lintas program
Sosialisasi deteksi dini dan pencegahan penyakit kusta kepada masyarakat pelabuhan
dilakukan dengan cara swakelola dan kontraktual dari anggaran KKP Kelas I Surabaya
2. Tahapan Pelaksanaan
Untuk rencana kegiatan yang akan dilakukan pada tahun anggaran 2017, pelaksanaannya
diatur sebagai berikut:
a. Persiapan pertemuan
- Inventerisasi tenaga, sarana prasarana dan biaya
- Koordinasi dengan lintas sektor dan program terkait penyakit Kusta
- Pengiriman surat undangan
b. Pelaksanaan kegiatan
c. Rencana tindak lanjut
d. Pencatatan dan Pelaporan hasil kegiatan
BULAN KE-
NO KEGIATAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1 Sosialisasi P2 Penyakit Tifoid v