Lambung merupakan suatu organ yang terletak antara esophagus dengan duodenum, terletak pada region epigastrium dan merupakan organ intraperitonel.
Berbentuk menyerupai huruf J dan terdiri dari fundus, corpus dan pylorus. Memiliki 2 buah permukaan yaitu permukan anterior dan posterior serta memiliki 2 buah
kurvatura yaitu mayor dan minor.
Lambung memiliki dua buah orifisium yaitu orifisium kardia dan pilori.
Permukaan anterior lambung berhubungan dengan diafragma, lobus kiri dari hepar serta dinding anterior abdomen. Permukaan posterior berbatasan dengan aorta,
pancreas, limpa, ginjal kiri, kelenjar supra renal serta mesokolon transversum.
VASKULARISASI
Suplai pembuluh darah berasal dari beberapa arteri utama yaitu:
1. A.Gastrika kiri, cabang aksis coeliacus berjalan sepanjang kurvatura minor.
2. A.Gastrika kanan, cabang a.hepatica, beranastomose dengan a.gastrika kiri.
3. A.Gastroepiploika kanan, cabang a.gastroduodenal yang merupakan cabang a.hepatica, memperdarahi lambung yang berjalan pada kurvatura mayor.
4. A.Gastroepiploika kiri, cabang a.lienalis dan beranastomosis dengan a. gastroepploika kanan.
5. Pada fundus terdapat a. gastrika brevis, cabang dari arteri lienalis.
Aliran vena lambung mengikuti nama dari arteri arteri yang memperdarahi lambung dan aliran vena lambung akan menuju ke vena porta.
Aliran limfe lambung juga mengikuti daerah daerah yang diperdarahi arteri arteri lambung. Pada daerah yang diperdarahi cabang arteri lienalis maka aliran
limfe akan bermuara ke hilus lienalis, sedangkan pada sepanjang arteri gastrika kiri akan bermuara ke limfe sekitar aksis coeliakus.
Daerah kurvatura mayor akan bermuara ke limfe nodus subpilorik yang selanjutnya bermuara ke limfe nodus coeliacus.
INNERVASI
Lambung mendapatkan innervasi dari nervus vagus, baik nervus vagus anterior dan posterior masuk kedalam cavum abdominalis melalui hiatus esophagus.
Vagus anterior akan menginervasi bagian lambung di sepanjang kurvatura minor dan permukaan anterior lambung. Sedangkan vagus posterior akan menginervasi
permukaan posterior .
Fisiologi:
penerima, pemecah (antrum), pencernaan awal ( HCL dan Pepsin ) danpengosongan ke duodenum
motilitas, penyimpanan, penyampuran, pengosongan
kemampuan menyimpan makanan : 1500 cc
pengosongan makanan :
- berlemak 6-12 jam ,
- tak berlemak : 3 jam.
Cairan lambung :
- 500 – 1500 cc/hr
- td. : lendir, pepsinogen, f. Intrinsik, elektrolit (HCl)
FISIOLOGI
Lambung merupakan bagian dari saluran pencernaan yang berbentuk seperti kantung, dapat berdilatasi, dan berfungsi mencerna makanan dibantu oleh asam klorida
(HCl) dan enzim-enzim seperti pepsin, renin, dan lipase. Lambung memiliki dua fungsi utama, yaitu fungsi pencernaan dan fungsi motorik. Sebagai fungsi pencernaan dan
sekresi, yaitu pencernaan protein oleh pepsin dan HCl, sintesis dan pelepasan gastrin yang dipengaruhi oleh protein yang dimakan, sekresi mukus yang membentuk selubung
dan melindungi lambung serta sebagai pelumas sehingga makanan lebih mudah diangkut, sekresi bikarbonat bersama dengan sekresi gel mukus yang berperan sebagai barier
dari asam lumen dan pepsin.Fungsi motorik lambung terdiri atas penyimpanan makanan sampai makanan dapat diproses dalam duodenum, pencampuran makanan dengan
asam lambung, hingga membentuk suatu kimus, dan pengosongan makanan dari lambung ke dalam usus dengan kecepatan yang sesuai untuk pencernaan dan absorbsi dalam
usus halus (Prince, 2005).
Lambung akan mensekresikan asam klorida (HCl) atau asam lambung dan enzim untuk mencerna makanan. Lambung memiliki motilitas khusus untuk gerakan
pencampuran makanan yang dicerna dan cairan lambung, untuk membentuk cairan padat yang dinamakan kimus kemudian dikosongkan ke duodenum. Sel-sel lambung
setiap hari mensekresikan sekitar 2500 ml cairan lambung yang mengandung berbagai zat, diantaranya adalah HCl dan pepsinogen. HCl membunuh sebagian besar bakteri
yang masuk, membantu pencernaan protein, menghasilkan pH yang diperlukan pepsin untuk mencerna protein, serta merangsang empedu dan cairan pankreas. Asam
lambung cukup pekat untuk menyebabkan kerusakan jaringan, tetapi pada orang normal mukosa lambung tidak mengalami iritasi atau tercerna karena sebagian cairan
lambung mengandung mukus, yang merupakan faktor perlindungan lambung (Ganong, 2001).
Sekresi asam lambung dipengaruhi oleh kerja saraf dan hormon. Sistem saraf yang bekerja yatu saraf pusat dan saraf otonom, yakni saraf simpatis dan parasimpatis.
Adapun hormon yang bekerja antara lain adalah hormon gastrin, asetilkolin, dan histamin.
faktor-faktor agresif (asam klorida/asam lambung dan pepsin) dengan faktor pertahanan mukosa.
Asam lambung dan Pepsin
Sekresi asam lambung dan pepsin akan berpotensi merusak dinding mukosa. Asam lambung (HCl) disekresikan oleh sel-sel parietal yang mengandung resptor
histamin, gastrin dan asetilkolin
Sekresi lambung terjadi pada 3 fase yang serupa :
a. Sefalik
Fase pertama ini dimulai dengan rangsangan seperti pandangan, bau atau rasa makanan yang bekerja pada reseptor kortikal serebral yang pada gilirannya merangsang
saraf vagal. Intinya, makanan yang tidak menimbulkan nafsu makan menimbulkan sedikit efek pada sekresi lambung. Inilah yang menyebabkan makanan sering
secara konvensional diberikan pada pasien dengan ulkus peptikum. Saat ini banyak ahli gastroenterology menyetujui bahwa diet saring mempunyai efek signifikan
pada keasaman lambung atau penyembuhan ulkus. Namun, aktivitas vagal berlebihan selama malam hari saat lambung kosong adalah iritan yang signifikan.
b. Fase lambung
Pada fase ini asam lambung dilepaskan sebagai akibat dari rangsangan kimiawi dan mekanis terhadap reseptor dibanding lambung. Refleks vagal menyebabkan
sekresi asam sebagai respon terhadap distensi lambung oleh makanan.
c. Fase usus
Makanan dalam usus halus menyebabkan pelepasan hormon (dianggap menjadi gastrin) yang pada waktunya akan merangsang sekresi asam lambung. Pada manusia,
sekresi lambung adalah campuran mukokolisakarida dan mukoprotein yang disekresikan secara kontinyu melalui kelenjar mukosa. Mucus ini mengabsorpsi pepsin
dan melindungi mukosa terhadap asam. Asam hidroklorida disekresikan secara kontinyu, tetapi sekresi meningkat karena mekanisme neurogenik dan hormonal yang
dimulai dari rangsangan lambung dan usus. Bila asam hidroklorida tidak dibuffer dan tidak dinetralisasi dan bila lapisan luar mukosa tidak memberikan perlindungan
asam hidroklorida bersama dengan pepsin akan merusak lambung. Asam hidroklorida kontak hanya dengan sebagian kecil permukaan lambung. Kemudian menyebar
ke dalamnya dengan lambat. Mukosa yang tidak dapat dimasuki disebut barier mukosa lambung. Barier ini adalah pertahanan untama lambung terhadap pencernaan
yang dilakukan oleh sekresi lambung itu sendiri. Factor lain yang mempengaruhi pertahanan adalah suplai darah, keseimbangan asam basa, integritas sel mukosa, dan
regenerasi epitel.
Pepsinogen merupakan prekursor pepsin yang disekresikan oleh sel chief yang berada pada fundus lambung. Pepsin dapat diaktifkan oleh kondisi PH yang asam (PH
optimalnya 1,8-3,5). Inaktivasi reversibel terjadi pada PH 4 dan irreversibel pada PH 7. Pepsin memainkan peranana penting dalam aktivitas proteolitik yang mengakibatkan
terjadinya ulkus.
Pemeliharaan mukosa dimediasi oleh pembentukan prostaglandin, hal ini sering disebut dengan istilah sitoproteksi. Hiperemia lambung dan peningkatan sekresi
prostaglandin menunjukan adanya sitoproteksi adaptif, suatu bentuk adaptasi jangka pendek sel mukosa terhadap iritasi lokal yang terjadi.
HISTOLOGI
GASTER
Pewarnaan : Hematoxilin Eosin
Tunika Mukosa : Merupakan epitel kolumner simpleks, tidak terdapat vili dan sel goblet. Di bawahnya terdapat lamina propria sebagian besar berisi glandula gastrika yang
meluas sampai muskularis mukosa. Kelenjar ini terutama terdiri dari sel chief (prinsipal) dan sel parietal serta terdapat pula sel lain (sel argentaffin dan
sel neck). Muskularis mukosa membentuk bagian paling dalam tunika mukosa.
Chief cell. Di dalam protoplasmanya terdapat butiran-butiran biru zymogen. Sel ini menghasilkan enzym pepsin.
Parietal cell. Di dalam protoplasmanya terdapat granula asidofilik. Sel ini menghasilkan asam klorida (HCl).
Argentaffin cell. Menghasilkan intrinsic factor castle yang diperlukan untuk pembentukan darah.
Neck cell. Menghasilkan sekret mukous asam yang kaya glikosaminoglikans.
Tunika submukosa : Merupakan jaringan ikat longgar. Disini terlihat pembuluh darah kecil dan kadang ditemui pleksus meissner
Tunika muskularis : Terdiri dari 2 lapisan otot polos, bagian dalam serat otot sirkuler dan bagian luar serat otot longitudinal
Tunika serosa : membungkus permukaan luar gaster, yang merupakan peritonium visceral dengan epitel skuamus simpleks
2. Mengapa pasien mengkami keluhan mual, muntah setelah makan, perut terasa sebah, dan sering bersendawa?
MEKANISME MUAL
di dalam tubuh kita terjadi peradangan lambung akibat kita makan-makanan yang mengandung alcohol, aspirin,
steroid, dan kafein sehingga menyebabkan terjadi iritasi pada lambung dan menyebabkan peradangan di lambung
yang diakibatkan oleh tingginya asam lambung
setelah terjadi peradangan lambung maka tubuh akan merangsang pengeluaran zat yang disebut vas aktif yang menyebabkan permeabilitas
kapiler pembuluh darah naik
sehingga menyebabkan lambung menjadi bengkak dan merangsang reseptor tegangan dan merangsang hypothalamus untuk mual
MEKANISME MUNTAH
lambung memberikan sinyal ke zona kemoreseptor oleh sistem saraf afferen dan saraf simpatis sehingga menyebabkan
kontraksi antiperistaltik dan menyebabkan makanan kembali ke duodenum dan lambung setelah masuk ke usus
sehingga banyak terkumpul makanan di lambung dan mengganggu kerja lambung dan duodenum sehingga duodenum
teregang
akibat duodenum teregang mengakibatkan kontraksi kuat diafragma dan otot dinding abdominal sehingga
menyebabkan tekanan di lambung tinggi
setelah itu kita menjadi bernafas dalam dan naiknya tulang lidah dan laring untuk menarik sfingter esophagus bagian
atas supaya terbuka
sfingter bagian bawah berelaksasi dan pengeluaran isi lambung isi lambung melalui esophagus dan keluar
MUNTAH
SENDAWA
Proses Terjadinya Sendawa
Sendawa membutuhkan koordinasi dari beberapa aktifitas berikut ini: Turunnya otot diafragma, sehingga meningkatkan tekanan abdominal dan menurunkan
tekanan di dada.
Perubahan tekanan ini membuat udara mengalir dari abdomen ke kerongkongan .
Terbukanya katup esofagus bagian bawah, sehingga udara dapat lewat dari perut menuju ke kerongkongan.
Menutupnya laring, sehingga cairan atau makanan yang mungkin kembali bersama dengan udara dari perut tidak akan masuk ke paru-paru.
Menutupnya laring juga akan melemaskan katup esofagus bagian atas sehingga udara bisa lewat lebih mudah dari kerongkongan ke dalam tenggorokan.
Nyeri ulu hati terjadi karena kandungan asam lambung dan duodenum meningkat menimbulkan erosi dan merangsang ujung saraf yang terpajan. Nyeri dengan ulkus
mengeluh nyeri tumpul, seperti tertusuk atau sensasi terbakar di epigastrium tengah atau di punggung. Teori lain menunjukkan adanya kontak antara lesi (ulkus) dan
asam merangsang mekanisme lokal yang memulai kontraksi otot halus disekitarnya. Nyeri bisa hilang setelah makan, karena makanan menetralisir asam atau dengan
menggunakan alkali, namun bila lambung kosong, nyeri kembali timbul. Aktivitas makan merupakan salah satu cara menentukan letak ulkus (di lambung atau di
duodenum). Apabila setelah makan, nyeri menghilang mungkin letak ulkus di lambung, jika tidak hilang, dimungkinkan letaknya di duodenum (tapi cara ini tidak bisa
digunakan sebagai patokan).
Pirosis (nyeri ulu hati), merupakan sensasi luka bakar pada oesophagus dan lambung yang naik ke mulut, kadang disertai eruksitasi (sendawa) asam. Eruksitasi bisa
terjadi saat lambung kosong.
Buku Ilmu Penyakit Dalam Jilid I
Dalam keadaan normal, sfingter esophagus bagian bawah akan mempertahankan cukup tekanan di sekitar ujung distal esophagus untuk menutup bagian tersebut dan
mencegah refluks. Secara khas sfingter tersebut mengadakan relaksasi sesudah setiap gerakan menelan untuk memungkinkan makanan masuk ke dalam lambung. Pada
penyakit refluks gastroesofagus, sfingter ini tidak bisa menutup (biasanya karena tekanan sfingter esophagus bagian bawah kurang atau tekanan dalam lambung melebihi
tekanan sfingter esophagus bagian bawah) dan tekanan di dalam lambung dakan mendorong isi lambung ke dalam esophagus. Asiditas yang tinggi pada isi lambung
menimbulkan rasa nyeri dan iritasi ketika isi lambung tersebut memasuki esophagus.
Pemakaian obat penghilang nyeri secara terus menerus. Obat analgesik anti inflamasi nonsteroid (AINS) seperti antalgin, asam mefenamat, aspirin,
ibuprofen dan naproxen dapat menyebabkan peradangan pada lambung dengan cara mengurangi prostaglandin yang bertugas melindungi dinding lambung.
Golongan obat ini menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakidonat menjadi PGE2 terganggu, dimana di mukosa lambung PGE2 merupakan
sitoprotektif dari lambung.
Efek samping obat antinyeri terhadap kerusakan saluran cerna disebabkan karena mekanisme dari obat ini dalam menghambat enzin COX (siklooksigenase)
di lambung. Secara sederhana, enzim COX ini adalah enzim yang bertanggung jawab terhadap rangsangan nyeri
Tapi ternyata, selain bertanggungjawab terhadap mekanisme nyeri, enzim COX juga bertanggungjawab dalam pertahanan lapisan kulit dalam lambung. Pasalnya,
penghambatan enzim COX di lambung dari obat antinyeri akan menyebabkan pengikisan dinding lambung.
Akibatnya, lambung jadi rentan teriritasi oleh asam lambung apabila terpapar terus menerus. Sehingga, perdarahan lambung dapat terjadi. Jika kondisi ini terus
dibiarkan, lambung akan berlubang. Dalam kondisi medis, kondisi ini disebut sebagai perforasi lambung.
Perforasi lambung dapat menyebabkan isi lambung bocor ke rongga perut dan menimbulkan infeksi. Nah, jika rongga perut sudah terinfeksi, hal tersebut akan
menyebabkan peritonitis, yaitu infeksi pada jaringan yang melapisi bagian dalam perut.
Permukaan lumen dan sambungan interseluler yang ketat dari sel epitel gaster memberikan barier mukosa lambung yang hampir secara keseluruhan impermeable
terhadap difusi baik ion-ion hidrogen dari lumen pada keadaan normalnya. Barier ini tampaknya menjadi komponen penting dari resistensi mukosa terhadap jejas
asam peptic. Barier ini dapat terputus oleh asam empedu, salisilat, etanol, zat kimia dan asam-asam lemah organik, sehingga memungkinkan terjadinya difusi balik
ion-ion hidrogen dari lumen ke dalam jaringan gaster. Hal ini dapat menyebabkan jejas sel, pelepasan histamin dari sel mast, rangsangan sekresi asam yang lebih
lanjut, kerusakan pembuluh darah kecil, perdarahan mukosa, dan erosi atau ulserasi. Penurunan aliran darah mukosa lambung, yang disertai oleh difusi balik ion
hidrogen dari lumen, penting dalam menimbulkan kerusakan lambung.
Prostaglandin terdapat dalam jumlah besar di dalam mukosa lambung. Prostaglandin dibentuk dari asam arakhidonat yang berasal dari fosfolipid membran.
Bermacam-macam prostaglandin terlihat menghambat jejas mukosa lambung yang disebabkan oleh berbagai macam agen. Prostaglandin endogen merupakan
elemen penting yang membangun pertahanan mukosa. Prostaglandin ini merangsang sekresi mukus lambung dan bikarbonat mukosa lambung. Prostaglandin
berperan dalam mempertahankan aliran darah mukosa lambung dan dalam integritas barier mukosa lambung serta mempermudah pembaruan sel epitel dalam
responnya terhadap jejas mukosa.
GERD merupakan penyakit multifactorial, dimana esophagitis dapat terjadi sebagai akibat dari refluks kandungan lambung kedalam esophagus, apabila:
1. Terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama antara bahan refluksat dengan mukosa esophagus
2. Terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esophagus, walaupun waktu kontak antara bahan refluksat dengan esophagus tidak cukup lama
3. Terjadi gangguan sensitivitas terhadap rangsangan isi lambung, yang disebabkan oleh adanya modula persepsi neural esophageal baik sentral maupun perifer
GERD-Q merupakan sebuah kuesioner yang terdiri dari 6 pertanyaan mengenai gejala klasik GERD, pengaruh GERD pada kualitas hidup penderita serta
efek penggunaan obat-obatan terhadap gejala dalam 7 hari terakhir. Berdasarkan penilaian GERD-Q, jika skor >8 maka pasien tersebut memiliki
kecenderungan yang tinggi menderita GERD, sehingga perlu dievaluasi lebih lanjut. Selain untuk menegakkan diagnosis, GERD-Q juga dapat digunakan untuk
memantau respons terapi.
Upaya diagnostik berdasarkan gejala klasik GERD ini juga didukung oleh Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks Gastroesofageal di Indonesia
(Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia, 2013). Dalam konsensus ini disebutkan bahwa penderita terduga GERD adalah penderita dengan gejala klasik GERD yaitu
heartburn, regurgitasi, atau keduanya yang terjadi sesaat setelah makan (terutama makan makanan berlemak dan porsi besar).
Pemeriksaan tambahan untuk diagnosis GERD adalah uji terapi PPI. Uji terapi PPI merupakan suatu terapi empirik dengan memberikan PPI dosis ganda selama 1-2
minggu tanpa pemeriksaan endoskopi sebelumnya. Indikasi uji terapi PPI adalah penderita dengan gejala klasik GERD tanpa tanda-tanda alarm. Tanda-tanda alarm
meliputi usia >55 tahun, disfagia, odinofasia, anemia defisiensi besi, BB turun, dan adanya perdarahan (melena/ hematemesis). Apabila gejala membaik selama
penggunaan dan memburuk kembali setelah pengobatan dihentikan, maka diagnosis GERD dapat ditegakkan
Diagnosis dan Tatalaksana Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) di Pusat Pelayanan Kesehatan Primer CDK-252/ vol. 44 no. 5 th. 2017
Komplikasi GERD yakni Barrett’s Esophagus dide nisikan sebagai adanya epitel kolumnar yang dicurigai pada pemeriksaan endoskopi dan terbukti dengan
histologi yangmembutuhkan adanya metaplasia intestinal. Konsensus Asia Pasi k untuk GERD menekankan pentingnya kon rmasi histologis yang menunjukkan
epitel kolumnar dengan metaplasia intestinal dan tidak hanya berdasarkan diagnosis endoskopi, juga digarisbawahi bahwa biopsi yang secara akurat mere eksikan
perubahan Barrett harus dilakukan setelah GERD diterapi secara adekuat. Untuk kondisi-kondisi di mana ada kecurigaan metaplasia esofagus dari pemeriksaan
1
endoskopi, namun masih menungggu kon rmasi histopatologi, maka dapat digunakan istilah kecurigaan endoskopi ada perubahan epitel toraks.
12. Bagaimana pathogenesis dan patofisiologi dari kasus diskenario?
Pathway GERD
GERD
ResikoAs
Perubahan Informasi Waktu & Kerusakan Mukosa Esofagus
Regurgitasi pirasi
status keluarga kurang Frekkontak
kesehatanan mukosa dgn
ak asam meningkat
Respon Refluk ke Air way
Rangsang Medola Oblongata peradangan lokal
Ansietas Kurang Metaplasia
Pengetahuan epitel
Inflamasi saluran Peradangan
Hipersaliva nafas Pita Suara
Disfagia, Nyeri Peradangan
Barret Desease Odinofagia Epigastrik Esofageal
Ditemukannya kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi yang dipastikan dengan pemeriksaan histopatologi (biopsi), dapat mengkonfirmasikan
bahwa gejala heartburn atau regurgitasi tersebut disebabkan oleh GERD.
Pemeriksaan histopatologi juga dapat memastikan adanya Barrett’s esophagus, displasia atau keganasan. Tidak ada bukti yang mendukung perlunya
pemeriksaan histopatologi/biopsi pada NERD.
3. Pemantauan pH 24 jam.
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal esofagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan
mikroelektroda pH pada bagian distal esofagus. Pengukuran pH pada esofagus bagian distal dapat memastikan ada tidaknya refluks gastroesofageal. pH
dibawah 4 dan pada jarak 5cm diatas LES dianggap diagnostik untuk refluks intestinal.
4. Tes Bernstein
Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal dan melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HCl 0,1 M dalam waktu
kurang dari satu jam. Tes ini bersifat pelengkap terhadap monitoring pH 24 jam pada pasien-pasien dengan gejala yang tidak khas. Bila larutan ini menimbulkan
rasa nyeri dada seperti yang biasanya dialami pasien, sedangkan larutan NaCl tidak menimbulkan rasa nyeri, maka test dianggap positif. Tes Bernstein yang
negatif tidak menyingkirkan adanya nyeri yang berasal dari esofagus.
5. Manometri Esofagus.
Tes manometri akan memberi manfaat yang berarti jika pada pasien-pasien dengan gejala nyeri epigastrium dan regurgitasi yang nyata didapatkan
esofagografi barium dan endoskopi yang normal.
6. Sintigrafi gastroesofageal.
Pemeriksaan ini menggunakan cairan atau campuran makanan air dan padat yang dilabel dengan radioisotop yang tidak diabsorpsi, biasanya technetium.
Selanjutnya sebuah penghitung gamma (gamma counter) eksternal akan memonitor transit dari cairan/makanan yang dilabel tersebut. Sensitivitas dan
spesifisitas test ini masih diragukan.
Dadang Makmun. Management of gastroesophageal reflux disease. Gastroenterology, Hepatology and Digestive Endoscopy 2011;2(1):21-27
faktor risiko GERD menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esophagus dan faktor ofensif dari bahan refluksat. Yang termasuk faktor defensif esophagus,
adalah pemisah antirefluks (lini pertama), bersihan asam dari lumen esophagus (lini kedua), dan ketahanan epithelial esophagus (lini ketiga). Sedangkan yang termasuk faktor
ofensif adalah sekresi gastrik dan daya pilorik.4
a. Pemisah antirefluks
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES. Menurunnya tonus LES dapat menyebabkan timbulnya refluks retrograde pada saat terjadinya
peningkatan tekanan intraabdomen.
Sebagian besar pasien GERD ternyata mempunyai tonus LES yang normal. Faktor-faktor yang dapat menurunkan tonus LES adalah adanya hiatus
hernia, panjang LES (makin pendek LES, makin rendah tonusnya), obat-obatan (misal antikolinergik, beta adrenergik, teofilin, opiate, dll), dan faktor hormonal.
Selama kehamilan, peningkatan kadar progesteron dapat menurunkan tonus LES.
Namun dengan perkembangan teknik pemeriksaan manometri, tampak bahwa pada kasus-kasus GERD dengan tonus LES yang normal yang berperan dalam
terjadinya proses refluks ini adalah transient LES relaxation (TLESR), yaitu relaksasi LES yang bersifat spontan dan berlangsung lebih kurang 5 detik tanpa
didahului proses menelan. Belum diketahui bagaimana terjadinya TLESR ini, tetapi pada beberapa individu diketahui ada hubungannya dengan pengosongan
lambung yang lambat (delayed gastric emptying) dan dilatasi lambung.
Peranan hiatus hernia pada patogenesis terjadinya GERD masih kontroversial. Banyak pasien GERD yang pada pemeriksaan endoskopi ditemukan hiatus
hernia, namun hanya sedikit yang memperlihatkan gejala GERD yang signifikan. Hiatus hernia dapat memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk bersihan asam
dari esophagus serta menurunkan tonus LES.
b. Bersihan asam dari lumen esophagus
Faktor-faktor yang berperan dalam bersihan asam dari esophagus adalah gravitasi, peristaltik, ekskresi air liur, dan bikarbonat.
Setelah terjadi refluks, sebagian besar bahan refluksat akan kembali ke lambung dengan dorongan peristaltic yang dirangsang oleh proses menelan. Sisanya
akan dinetralisir oleh bikarbonat yang disekresi oleh kelenjar saliva dan kelenjar esophagus.
Mekanisme bersihan ini sangat penting, karena makin lama kontak antara bahan refluksat dengan esophagus (waktu transit esophagus) makin besar
kemungkinan terjadinya esofagitis. Pada sebagian besar pasien GERD ternyata memiliki waktu transit esophagus yang normal sehingga kelainan yang timbul
disebabkan karena peristaltic esophagus yang minimal.
Refluks malam hari (nocturnal reflux) lebih besar berpotensi menimbulkan kerusakan esophagus karena selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan
esophagus tidak aktif.
c. ketahanan epithelial esophagus
Berbeda dengan lambung dan duodenum, esophagus tidak memiliki lapisan mukus yang melindungi mukosa esophagus.
Mekanisme ketahanan epithelial esophagus terdiri dari :
- membran sel
- batas intraselular (intracellular junction) yang membatasi difusi H+ ke jaringan esophagus
- aliran darah esophagus yang mensuplai nutrien, oksigen, dan bikarbonat, serta mengeluarkan ion H+ dan CO2
- sel-sel esophagus memiliki kemampuan untuk mentransport ion H+ dan Cl- intraseluler dengan Na+ dan bikarbonat ekstraseluler.
Nikotin dapat menghambat transport ion Na+ melalui epitel esophagus, sedangkan alcohol dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel terhadap ion H.
Yang dimaksud dengan faktor ofensif adalah potensi daya rusak refluksat. Kandungan lambung yang menambah potensi daya rusak refluksat terdiri dari HCl,
pepsin, garam empedu, dan enzim pancreas.
Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung dari bahan yang dikandungnya. Derajat kerusakan mukosa esophagus makin meningkat pada pH < 2, atau adanya
pepsin atau garam empedu. Namun dari kesemuanya itu yang memiliki potensi daya rusak paling tinggi adalah asam. 4
Faktor-faktor lain yang berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah kelainan di lambung yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain dilatasi
lambung, atau obstruksi gastric outlet dan delayed gastric emptying. 1-4
Peranan infeksi helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil dan kurang didukung oleh data yang ada. Namun demikian ada hubungan terbalik antara
infeksi H. pylori dengan strain yang virulens (Cag A positif) dengan kejadian esofagitis, Barrett’s esophagus dan adenokarsinoma esophagus. Pengaruh dari infeksi H. pylori
terhadap GERD merupakan konsekuensi logis dari gastritis serta pengaruhnya terhadap sekresi asam lambung. Pengaruh eradikasi infeksi H. pylori sangat tergantung kepada
distribusi dan lokasi gastritis. Pada pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala refluks pra-infeksi H. pylori dengan predominant antral gastritis, pengaruh eradikasi H. pylori
dapat menekan munculnya gejala GERD. Sementara itu pada pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala refluks pra-infeksi H. pylori dengan corpus predominant gastritis,
pengaruh eradikasi H. pylori dapat meningkatkan sekresi asam lambung serta memunculkan gejala GERD. Pada pasien-pasien dengan gejala GERD pra-infeksi H. pylori
dengan antral predominant gastritis, eradikasi H. pylori dapat memperbaiki keluhan GERD serta menekan sekresi asam lambung. Sementara itu pada pasien-pasien dengan
gejala GERD pra-infeksi H. pylori dengan corpus predominant gastritis, eradikasi H. pylori dapat memperburuk keluhan GERD serta meningkatkan sekresi asam lambung.
Pengobatan PPI jangka panjang pada pasien-pasien dengan infeksi H. pylori dapat mempercepat terjadinya gastritis atrofi. Oleh sebab itu, pemeriksaan serta eradikasi H.
pylori dianjurkan pada pasien GERD sebelum pengobatan PPI jangka panjang. 5
Walaupun belum jelas benar, akhir-akhir ini telah diketahui bahwa non-acid reflux turut berperan dalam patogenesis timbulnya gejala GERD. Yang dimaksud dengan
non-acid reflux adalah berupa bahan refluksat yang tidak bersifat asam atau refluks gas. Dalam keadaan ini, timbulnya gejala GERD diduga karena hipersensitivitas visceral.5
Step down pengobatan dimulai dengan PPI dan setelah berhasil dapat dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan dengan menggunakan dosis yang lebih rendah atau
antagonis reseptor H2
Monica Djaja Saputera,1 Widi Budianto2 1Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara, Jakarta Barat 2Departemen Ilmu Penyakit Dalam Rumah
Sakit Bhayangkara, Semarang, Indonesia. Halaman 331-332.
Tujuan pengobatan GERD adalah untuk mengatasi gejala, memperbaiki kerusakan mukosa, mencegah kekambuhan, dan mencegah komplikasi. Berdasarkan
Guidelines for the Diagnosis and Management of Gastroesophageal Reflux Disease tahun 1995 dan revisi tahun 2013, terapi GERD dapat dilakukan dengan:
Secara garis besar, prinsip terapi GERD di pusat pelayanan kesehatan primer berdasarkan Guidelines for the Diagnosis and Management of Gastroesophageal
Reflux Disease adalah dengan melakukan modifikasi gaya hidup dan terapi medikamentosa GERD. Modifikasi gaya hidup, merupakan pengaturan pola hidup yang
dapat dilakukan dengan:
1. Menurunkan berat badan bila penderita obesitas atau menjaga berat badan sesuai dengan IMT ideal
2. Meninggikan kepala ± 15-20 cm/ menjaga kepala agar tetap elevasi saat posisi berbaring
3. Makan malam paling lambat 2 – 3 jam sebelum tidur
4. Menghindari makanan yang dapat merangsang GERD seperti cokelat, minuman mengandung kafein, alkohol, dan makanan berlemak - asam - pedas
Terapi medikamentosa merupakan terapi menggunakan obat-obatan. PPI merupakan salah satu obat untuk terapi GERD yang memiliki keefektifan serupa dengan
terapi pembedahan. Jika dibandingkan dengan obat lain, PPI terbukti paling efektif mengatasi gejala serta menyembuhkan lesi esophagitis. Yang termasuk obat-obat
golongan PPI adalah omeprazole 20 mg, pantoprazole 40 mg, lansoprazole 30 mg, esomeprazole 40 mg, dan rabeprazole 20 mg. PPI dosis tunggal umumnya
diberikan pada pagi hari sebelum makan pagi. Sedangkan dosis ganda diberikan pagi hari sebelum makan pagi dan malam hari sebelum makan malam.
Menurut Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks Gastroesofageal di Indonesia tahun 2013, terapi GERD dilakukan pada pasien terduga GERD yang
mendapat skor GERD-Q > 8 dan tanpa tanda alarm.1 Penggunaan PPI sebagai terapi inisial GERD menurut Guidelines for the Diagnosis and Management of
Gastroesophageal Reflux Disease dan Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks Gastroesofageal di Indonesia adalah dosis tunggal selama 8 minggu.
Apabila gejala tidak membaik setelah terapi inisial selama 8 minggu atau gejala terasa mengganggu di malam hari, terapi dapat dilanjutkan dengan dosis ganda
selama 4 – 8 minggu. Bila penderita mengalami kekambuhan, terapi inisial dapat dimulai kembali dan dilanjutkan dengan terapi maintenance. Terapi maintenance
merupakan terapi dosis tunggal selama 5 – 14 hari untuk penderita yang memiliki gejala sisa GERD.
Selain PPI, obat lain dalam pengobatan GERD adalah antagonis reseptor H2, antasida, dan prokinetik (antagonis dopamin dan antagonis reseptor serotonin).
Antagonis reseptor H2 dan antasida digunakan untuk mengatasi gejala refluks yang ringan dan untuk terapi maintenance dikombinasi dengan PPI. Yang termasuk ke
dalam antagonis reseptor H2 adalah simetidin (1 x 800 mg atau 2 x 400 mg), ranitidin (2 x 150 mg), farmotidin (2 x 20 mg), dan nizatidin (2 x 150 mg). Prokinetik
merupakan golongan obat yang berfungsi mempercepat proses pengosongan perut, sehingga mengurangi kesempatan asam lambung untuk naik ke esofagus. Obat
golongan prokinetik termasuk domperidon (3 x 10 mg) dan metoklopramid (3 x 10 mg).
Diagnosis dan Tatalaksana Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) di Pusat Pelayanan Kesehatan Primer CDK-252/ vol. 44