1
Attard D.J (1987) The Exclusive Economic Zone in International Law, Oxford: Clarendon Press, p.1
2
Aturan Zona Ekonomi Ekslusif
3
Konskiennemi M. (1990) “The Politics of International Law” in European Journal of International Relations, Vol
4 (1), pp. 4-32, p.1
4
McDougal M.& Burke W. (1987) The Public Order of the Oceans A Contemporary International Law of the Sea,
Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers
menggunakan otoritas terhadap suatu wilayah atau melakukan aktivitas tertentu oleh
negara pengklaim, pada keadaan tertentu, dapat dilakukan secara bersama”5.
Klaim pertama membawa kita kepada pandangan bahwa kekuasaan hukum terhadap laut
ataupun wilayah perairan lainnya hanya dapat dilakukan oleh negara yang memiliki otoritas,
tanpa melibatkan negara lain, dikenal dengan mare clausum6. Sementara klaim kedua yang
mengacu kepada pandangan Grotian terhadap laut, dikenal dengan mare liberum,
menyatakan bahwa “laut adalah kepemilikan bersama, dikarenakan sifatnya yang tidak
terbatas dan tidak bisa diklaim sebagai kepemilikan siapa pun, dan seharusnya dapat
dimanfaatkan oleh semua pihak, baik dalam hal navigasi ataupun penangkapan ikan”7.
Perdebatan mengenai dua klaim ini dibahas dalam teori yang dikembangkan oleh Garret
Hardin (1968) The Tragedy of Common, yang menyatakan bahwa setiap individu (mengacu
kepada negara) bersikap independen dan mengutamakan kepentingan pribadi, terlepas dari
segala bentuk kepentingan bersama sebagai kesatuan, dengan mengeksploitasi sumber daya
milik bersama. Perbedaan pandangan inilah yang menjadi cikal-bakal terbentuknya hukum
laut internasional modern8. Terlepas dari keadaan di mana pada masa itu pemanfaatan laut
secara bersama, mare liberum, selama berabad-abad diterapkan sebagai doktrin paling
dominan hukum laut.
5
Ibid.
6
Istilah ini pertama kali diciptakan oleh John Selden yang hasil karyanya pada 1635 merupakan respons
substantif terhadap pemikiran Grotius, untuk menegaskan kekuasaan Inggris atas lautan sebagai negara yang
paling lama menguasai lautan secara umum.
7
Grotius H. (1633 rep 1911), The Freedom of the Seas or the Right which Belongs to the Dutch to Take Part in
the East Indian Trade, New York: Oxford University Press, p.27-28 pada Rothwell D.& Stephens T. (2010) The
International Law of the Sea, Oxford and Portland, Oregon: Hart Publishing, p. 4 Rothwell D.& Stephens T. (2010)
The International Law of the Sea, Oxford and Portland, Oregon: Hart Publishing, p. 4
8
Fulton Th. W (1911 rep 1976), The Sovereignty of the Sea, Edinburgh: Blackwood found in Rothwell D.&
Stephens T. (2010), p. 2
9
Rothwell D.& Stephens T. (2010); 4
10
Douglas Guilfoyle Presentasi Video: Law of the Sea Introduction and Overview UCL Laws Centre for Law and
Environment
1.3. UNCLOS I dan UNCLOS II
Setelah terjadinya Perang Dunia II, kesadaran terhadap pentingnya sumber daya di
wilayah laut semakin bertumbuh dan mendorong meningkatkannya jumlah negara yang
mengajukan klaim untuk memperluas otoritas mereka terkait sejumlah objek di wilayah laut
dari garis pantai masing-masing11. Aksi awal yang dampaknya paling signifikan terhadap
hukum laut adalah oleh Amerika Serikat. Walaupun sebelumnya Amerika Serikat merupakan
pendukung aturan hukum otoritas 3 mil laut dari garis pantai, negara ini menjadi pendukung
adanya perluasan klaim maritim. Presiden Truman pada tahun 1945 pada Proklamasi 2667
menyatakan, “terkait dengan Sumber Daya Alam Lapisan Tanah serta Dasar Laut dari
Landasan Kontinen”, dipicu oleh peningkatan masif dalam teknik pengekploitasian dasar laut
dan penangkapan ikan. Berdasarkan proklamasi ini, “Amerika Serikat, selain untuk sumber
daya alam yang berada di lapisan tanah dan dasar laut dari landasan kontinen di wilayah laut
lepas, khusus untuk wilayah lepas pantai yang berdekatan dengan Amerika Serikat, diajukan
untuk dijajakan aturan hukum serta kontrol terkait.”12
Langkah tersebut merupakan salah satu bentuk awal perkembangan munculnya kodifikasi
terhadap hukum laut sebagai suatu kebutuhan yang dianggap penting, sehingga Komisi
Hukum Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UN International Law Commission
(ILC) mulai membentuk rancangan terkait hukum laut yang dalam waktu mendatang dapat
ditetapkan sebagai aturan baku. ILC bekerja mulai dari 1949 hingga 1956 dan menyampaikan
‘Artikel terkait Hukum Laut’ pada sesi kedelapan dari Majelis Umum Perserikatan Bangsa-
Bangsa atau the United Nations General Assembly13. Topik terkait menjadi dasar dari
negosiasi yang berlangsung di Jenewa pada 1958 di mana Konferensi Hukum Laut
Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Conference on the Law of the Sea pertama
(UNCLOS I) dilaksanakan. Konferensi ini menghasilkan empat simpulan kesepakatan:
a. terkait Laut Teritorial dan Jalur Tambahan (Contiguous Zone)
b. terkait Landasan Kontinen.
c. terkait Laut Lepas (high seas).
d. terkait penangkapan ikan dan konservasi sumber daya makhluk hidup di lepas pantai.
11
Attard D. J (1987) The Exclusive Economic Zone in International Law, Oxford: Clarendon Press, p. 1
12
United States Presidetial Proclamation No. 2667 (28.9.1945) “Policy of the United States With Respect to the
Natural Resources of the Subsoil and Sea Bed of the Continental Shelf”
http://www.presidency.ucsb.edu/ws/?pid=12332
13
Douglas Guilfoyle Presentasi Video: Law of the Sea Introduction and Overview UCL Laws Centre for Law and
Environment
14
Rothwell& Stephens (2010), p. 6-7
yang menyarankan sistem 6 mil laut teritorial dan 6 mil jalur tambahan (6+6) gagal mencapai
dua pertiga dukungan dengan memperoleh hanya 19 suara15.
15
Guilfoyle (2011)
16
Rothwell&Stephens (2010); 10
17
McDougal&Burke (1987); xxvii
18
Rothwell&Stephens (2010); 10
19
Rothwell&Stephens (2010); 11
20
Douglas Guilfoyle
laut dengan aturan kedaulatan hukum negara yang jelas”. Selanjutnya, “hal ini
merupakan satu-satunya alternatif yang diharapkan dapat menghindari meningkatnya
perselisihan yang tidak terhindari apabila situasi seperti saat ini terus berlanjut”21. Duta
besar Malta menuntut adanya hukum laut baru yang bersifat komprehensif. Hal ini
diartikan sebagai suatu konvensi tanpa negara mana pun dapat mengajukan
keberatan, kecuali secara mutlak menerima atau menolak. Aturan ini disertai
konsensus pembuatan keputusan dengan menyeimbangkan nilai-nilai kepentingan
dari setiap pihak. Hal inilah yang pada akhirnya menjadi dasar dari terbentuknya
UNCLOS III yang berlangsung selama hampir satu dekade (1973-1982). Peraturan ini
oleh Duta Besar Tommy Koh sebagai ‘Konstitusi Laut’. Dalam UNCLOS III, terdapat
320 artikel, 9 perpanjangan, serta 2 kesepakatan terapan yang mengatur detail
mengenai laut.
Adanya UNCLOS III selaku ketentuan hukum internasional yang mengatur tentang
kedaulatan negara atas wilayah laut menjadi pokok utama dari konvensi ini. Selain ketentuan
zona di atas, UNCLOS III juga menetapkan aturan mengenai zona maritim yang termasuk ke
dalam kedaulatan penuh, seperti perairan pedalaman (internal waters), perairan kepulauan
(archipelagic waters) bagi negara kepulauan, dll. UNCLOS III juga mengatur tentang negara
pantai dan negara kepulauan dengan kedaulatan atas perairan pedalaman, perairan
kepulauan, laut teritorial, laut yang merupakan selat, ruang udara di atasnya, dan juga dasar
laut di bawahnya beserta isinya. Kedaulatan ini juga disertai dengan adanya kewajiban, di
antaranya adalah kewajiban untuk menghormati hak lintas damai serta hak lintas alur laut
kepulauan melalui laut teritorial dan perairan kepulauan yang dimiliki oleh kapal-kapal asing.
21
PBB (1998) “The United Nations Convention on the Law of the Sea (A historical perspective)”
http://www.un.org/Depts/los/convention_agreements/convention_historical_perspective.htm#Third%20Conf
erence
22
Gurel A., Mullen F.&Tzimitras (2013) The Cyprus Hydrocarbons Issue: Context Positions and Future Scenarios,
PRIO Cyprus Center Report
23
UNCLOS III Art.5 “Except where otherwise provided in this Convention, the normal baseline for measuring
the breadth of the territorial sea is the low-water line along the coast as marked on large-scale charts officially
recognized by the coastal State”.
Gambar 1 Pembagian Zona Maritim berdasarkan UNCLOS
Untuk pembagian jenisnya, perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut teritorial
tergolong ke dalam zona maritim di bawah kedaulatan penuh. Zona maritim yang berada di
bawah wewenang dan hak khusus negara pantai adalah jalur tambahan, zona ekonomi
ekslusif, dan landasan kontinen. Terdapat pula zona maritim yang berada di luar yurisdiksi
nasional, yaitu laut lepas (high seas) dan kawasan dasar laut internasional (international
seabed area)24.
24
Prof. Dikdik Mohamad Sidik, S.H., M.H., Ph.D. 2014. Hukum Laut Internasional. Refika Aditama.
a. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia;
b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1973 tentang landas kontinen
Indonesia;
c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1984 yang mengatur
tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati di ZEE Indonesia;
d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1985 yang mengatur tentang
Pengelolaan Sumber Daya Ikan dalam Wilayah Perikanan Republik Indonesia;
e. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal Asing
dalam Melaksanakan Lintas Damai Melalui Perairan Indonesia;
f. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan
Pesawat Udara Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Kepulauan yang
Ditetapkan;
g. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2008 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-
Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia;
h. dsb.
Lebih lanjut, terkait pentingnya penetapan hukum laut nasional di Indonesia, dibentuklah
Dewan Kelautan Indonesia sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden RI Nomor 21
Tahun 2007 dengan pertimbangan berikut:
Adapun Dewan Kelautan Indonesia adalah forum konsultasi bagi penetapan kebijakan
umum dalam bidang kelautan. Tugas utama dari dewan ini adalah memberikan pertimbangan
kepada Presiden dalam kapasitasnya selaku Ketua Dewan Kelautan Indonesia dalam rangka
menetapkan kebijakan yang bersifat umum dalam bidang kelautan 25. Dewan Kelautan
Indonesia bekerja hingga tahun 2016 sebelum kemudian dibubarkan sebagaimana tercantum
dalam Peraturan Presiden Nomor 116 Tahun 2016 oleh Presiden Joko Widodo.
25
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 (21.09.2007) “Dewan Kelautan Indonesia”
Daftar Pustaka
Attard, D.J., A. (1987). The Exclusive Economic Zone in International Law. Oxford: Clarendon Press.
Karakasis, V. P. (2014). Sailing over the History of the International Law of the Sea. Cyprus: Bridging
Europe.
McDougal, M, Burke, W. (1987). The Public Order of the Oceans A Contemporary International Law
of the Sea. Dordrecht: Nijhoff Publishers.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 (21.09.2007) “Dewan Kelautan
Indonesia”