Anda di halaman 1dari 25

Anatomi Duodenum

Duodenum memiliki empat bagian:

 Pars superior
 Pars descendens
 Pars horizontalis
 Pars ascendens

Pars superior adalah satu-satunya bagian intraperitoneal dan lumen proksimalnya yang
lebih lebar disebut Ampulla (Bulbus) duodeni. Ductus excretorius pada Pancreas (Ductus
pancreaticus, saluran WIRSUNG) sering masuk Pars descendens duodeni bersama-sama
Ductus choledochus pada Papilla duodeni major (Papilla VATERI) yang ditemukan 8-10 cm
di sebelah distal Pylorus. Sering, 2 cm proksimalnya, ditemukan Papilla duodeni minor yang
lebih kecil tempat Ductus pancreaticus accessorius (saluran SANTORINI) mengeluarkan
sekresinya. Pars horizontalis menyilang Columna vertebralis dan berlanjut sebagaiPars
ascendens.
Untuk menambah permukaan absorptif, relief dalam Duodenum memperlihatkan lipatan
mukosa sirkular (Plicae circulares, lipatan KERCKRING) sama seperti bagian lain pada usus
halus. Pars descendens berisi Papilla duodeni major (Papilla VATERI) di tempat masuknya
Ductus pancreaticus (saluran WIRSUNG) dan Ductus choledochus, keduanya bersatu
membentuk Ampulla hepatopancreatica. Pars ascendens melekat pada Aorta dekat pangkal A.
mesenterica superior melalui serat otot polos (M. suspensorius duodeni, otot TREITZ) dan
jaringan ikat padat (Lig. suspensorium duodeni), tepat sebelum transisi Duodenum menjadi
Jejunum intraperitoneal pada Flexura duodenojejunalis. Glandulae duodenales yang
menghasilkan mukus (kelenjar BRUNNER) terletak di Tela submucosa dan memungkinkan
identifikasi Duodenum pada potongan histologis.

Vaskularisasi

Suplai darah Duodenum diberikan oleh arkus arterial ganda, ventral dan dorsal. Arkus
tersebut di kranial dibentuk oleh Aa. pancreatico duodenales superiores anterior dan posterior
yang berasal dari Truncus coeliacus. Di kaudal, arkus dibentuk oleh A. pancreaticoduodenalis
inferior (R. anterior dan R. posterior) cabang dari A. mesenterica superior.

Nama dan perjalanan vena-vena usus sama seperti arterinya. Vena-vena usus memasuki
salah satu dari tiga vena utama yang bermuara ke V. portae hepatis: V. mesenterica superior
bersatu dengan V. splenica di belakang Caput pancreatis untuk membentuk V. portae hepatis.
V. mesenterica inferior bermuara ke dalam V. splenica (70% kasus) atau ke dalam V.
mesenterica superior (30%).

Cabang-cabang V. mesenterica superior:

 V. gastroomentalis dextra dengan Vv. Pancreaticoduodenales


 Vv. Pancreaticae
 Vv. jejunales dan ileales
 V. ileocolica
 V. colica dextra
 V. colica media

Sumber: Sobotta ed 23

Fisiologi menelan

Pintu masuk ke saluran cerna adalah melalui mulut atau rongga oral. Lubang masuk
dibentuk oleh bibir yang mengandung otot dan membantu mengambil, menuntun, dan
menampung makanan di mulut. Langit-langit (palatum) yang membentuk atap lengkung
rongga mulut, memisahkail mulut dari saluran hidung. Keberadaan struktur ini
memungkinkan bernapas dan mengunyah atau menghisap berlangsung secara bersamaan. Di
belakang tenggarok menggantung pada palatum suatu tonjolan, uvula, yang berperan penting
dalam menutup saluran hidung sewaktu menelan. Lidah, yang membentuk dasar rongga
mulut, terdiri dari otot rangka yang dikontrol secara volunter. Gerakan lidah penting dalam
menuntun makanan di dalam mulut sewaktu mengunyah dan menelan serta berperan penting
dalam Uerbicara. Selain itu, kuntum kecap (taste buds) terletak di lidah.

Mengunyah

Langkah pertama dalam proses pencernaan adalah mastikasi atau mengunyah, yaitu
motilitas mulut yang melibatkan pengirisan, pernbekall, penggilingan, dan pencampuran
makanan oleh gigi. Gigi tertanam kuat di dan menonjol dari tulang rahang. Bagian gigi yang
terlihat dilapisi oleh email, struktur paling keras di tubuh. Fungsi mengunyah adalah (1)
untuk menggiling dan memecahkan makanan menjadi potongan-patongan yang lebih kecil
sehingga makanan mudah ditelan dan untuk meningkatkan luas permukaan makanan yang
akan terkena enzim, (2) untuk mencanlpur makanan dengan liur, dan (3) untuk merangsang
kuntum kecap. Fungsi yang terakhir tidak saja menghasilkan rasa nikmat kecap yang
subjektif tetapi juga, melalui mekanisme umpan maju, secara refleks nleningkatkan sekresi
liur, lambung, pankreas, dan empedu untuk persiapan menvambut kedatangan makanan.

Liur (saliva), sekresi yang berkaitan dengan mulut, terutama dihasilkan oleh tiga
pasang kelenjar liur utama yang terletak di luar rongga mulut dan mengeluarkan liur melalui
duktus pendek ke dalam mulut. Liur mengandrrng 99,5% H2O dan 0,5% elektrolit dan
protein. Konsentrasi NaCI (garam) dalam liur hariya sepertujuh konsentrasinya di plasma,
yang penting dalam mempersepsikan rasa asin. Protein liur yang terpenting adalah amrlase,
mukus, dan lisozim. Pratein-protein ini berperan dalarn fungsi saliva sebagai berikut:

1. Liur memulai pencernaan karbohidrat di mulut melalui kerja amilase liur. Produk-
produk digesti mencakup maltosa, yaitu suatu disakarida yang terdiri dari dua molekul
glukosa dan a-limit dekstrin, yaitu poEisakarida rantai cabang sebagai hasil dari
pencernaan amilopektin
2. Liur mempermudah proses menelan dengan membasahi partikel makanan sehingga
partikel-partikel tersebut menyatu, serta menghasilkan pelumasan oleh adanya
mukus, yang kental dan Iicin.
3. Liur memiliki silat antibakteri melalui efek empat kali lipat—pertama, dengan
lisozim, suatu enzim yang melisiskan, atau menghancurkan, bakteri tertentu dengan
merusak dinding sel; kedua, dengan glikoprotein pengikat yang mengikat erat besi
yang di perlukan untuk multiplikasi baktari; dan keempat, dengan membilas bahan
yang mungkin berfungsi sebagai sumber makanan untuk bakteri.
4. Liur berfungsi sebagai bahan pelarut molekul yang merangsang kuntum kecap. Hanya
molekul dalam larutan yang dapat bereaksi dengan reseptor kuntum kecap. Anda
dapat membuktikannya send-iri: Keringkan lidah Anda dan kemudian teteskan gula di
atasanya-Anda tidak merasakan gula tersebut hingga gula terbasahi. Aliran saliva juga
membilas partikel-partikel makanan di kuntum kecap sehingga Anda dapat mengecap
gigitan makanan selanjutnya.
5. Liur membantu berbicara dengan mempermudah gerakan bibir dan lidah. Kita sulit
berbicara jika mulut kita kering.
6. Liur berperan penting dalam higiene mulut dengan membantu mulut dan gigi bersih.
Aliran liur yang konstan membantu membilas residu makanan, partikel asing, dan sel
epitel tua yang terlepas dari mukosa mulut. Kontribusi liur dalam hal ini dapat
dirasakan oleh setiap orang yang pernah mengalami bau mulut ketika salivasi tertekan
sementara, misalnya ketika demam atau mengalami kecemasar berkepanjangan.
7. Liur kaya akan dapar bikarbonat, yang menetralkan asam dalam makanan serta asam
yang dihasilkan oleh bakteri di mulut sehingga karies dentis dapat dicegah.

Menelan

Faring adalah rongga di belakang tenggorok. Bagian ini berfungsi sebagai saluran
bersama untuk sistem pencernaan (dengan berfungsi sebagai penghubung antara mulut dan
esofagus, untuk makanan) dan sistem pernapasan (dengan memberi akses antara saluran
hidung dan trakea, untuk udara). Di dinding samping faring terdapat tonsil, yaitu jaringan
limfoid yang merupakan bagian dari sistem pertahanan tubuh.

Motilitas yang berkaitan dengan faring dan esofagus adalah menelan. Sebagian besar
dari kita berpikir bahwa menelan adalah tindakan terbatas memindahkan makanan keluar
mulut menuju esofagus. Namun, menelan sebenarnya adalah keseluruhan proses
memindahkan makanan dari mulut melalui esofagus hingga ke
lambung.

Esofagus adalah saluran berotot yang relatif lurus yang terbentang antara faring dan
lambung. Esofagus dijaga di kedua ujungnya oleh sfingter. Sfingter adalah struktur otot
berbentuk cincin yang, ketika tertutup, mencegah lewatnya sesuatu melalui saluran yang
dijaganya. Sfingter esofagus atas adalah sfingter faringoesofagus, dan sfingter esofagus
bawah adalah sfingter gastroesofirgus. Karena esofagus terpajan ke tekanan intrapleura
subatmosfer akibat aktivitas pernapasan terbentuk gradien tekanan antara atmosfer dan
esofagus. Kecuali sewaktu menelan, sfingter faringoesofagus menjaga pintu masuk ke
esofagus selalu tertutup sebagai hasil dari kontraksi otot rangka sirkular sfingter yang
dipengaruhi oleh saraf. Kontraksi tonik sfingter esofageal atas mencegah masuknya udara
dalarn jumlah besar ke dalam esofagus dan lambung sewaktu bernapas. Udara hanya
diarahkan ke dalam saluran napas. Jika tidak, saluran cerna akan menerima banyak gas,
yang dapat menimbulkan eructation (sendawa) berlebihan.

Pusat menelan memicu gelombang peristaltik primer yang menyapu dari pangkal ke
ujung esofagus, mendorong bolus di depannya menelusuri esofagus untuk masuk ke
lambung. Kata peristalsis merujuk kepada kontraksi otot polos sirkular berbentuk cincin
yang bergerak prugresif maju, mendorong bolus ke bagian di depannya yang masih melemas.
Jika bolus berukuran besar atau lengket yang tertelan, misalnya potongan roti lapis selai
kacang, tidak dapat didorong peristaltic mencapai lambung oleh gelombang peristalsis
primer, bolus yang tertahan tersebut akan meregangkan esofagus, merangsang reseptor
tekanan di dindingnya. Akibatnya, pleksus saraf intrinsik di tempat distensi memulai
gelombang peristaltik tambahan untuk mendorong
bolus yang tertahan tersebut. Gelombang peristaltik kedua ini tidak melibatkan pusat
menelan, dan yang bersangkutan tidak menyadari kejadiannya.
Kecuali sewaktu menelan, sfingter gastroesofagus, yang merupakan otot polos yang
berbeda dengan sfingter gastroesofagus atas, tetap berkontraksi dengan cara aktivitas
miogenik. Kontraksi juga meningkat selama inspirasi sehingga menurunkan kemungkinan
refluks isi lambung yang asam ke dalam esofagus pada
saat ketika tekanan intrapleura yang subatmosferik akan mendorong pergerakan kembali isi
lambung. Sekresi esofagus seluruhnya terdiri dari mukus, yang melumasi lewatnya makanan
sehingga mengurangi kemungkinan cedera esofagus akibat setiap sisi makanan yang tajam.
ukus juga membantu melindungi esafagus dari cedera oleli asam dan enzim dalam getah
lambung jika terjadi retluks.
Sumber : Sherwood edisi 8

Parotitis

Parotitis adalah suatu penyakit virus dengan tanda membesarnya kelenjar ludah dan terasa
nyeri. Penyakit ini merupakan penyakit menular yang akut. Pada saluran kelenjar ludah,
terjadi kelainan berupa pembengkakan sel epitel, pelebaran dan penyumbatan saluran.
Parotitis yang juga dikenal sebagai penyakit gondong ini adalah penyakit yang biasanya
menyerang anak-anak berusia 2-12 tahun.

Etiologi

Parotitis merupakan penyakit infeksi yang pada 30-40 % kasusnya merupakan infeksi
asimptomatik. Infeksi ini disebabkan oleh virus RNA untai tunggal negative sense berukuran
100-600 nm, dengan panjang 15000 nukleotida termasuk dalam genus Rubulavirus subfamily
Paramyxsovirinae dan family Paramyxoviridae. Penyebaran virus terjadi dengan kontak
langsung, percikan ludah, bahan mentah mungkin dengan urin. Sekarang penyakit ini sering
terjadi pada orang dewasa muda sehingga menimbulkan epidemi secara umum. Agen
infeksius pada parotitis adalah paramyxovirus dengan cara melalui kontak langsung dan
droplet. Beberapa faktor dapat berpengaruh pada munculnya wabah gondok: intense
exposures, overwhelming the pro-tection offered by the vaccine, combined with non-optimal
vaccinecoverage, low immunogenicity and waning immunity.

Patofisiologi

Pada umumnya penyebaran paramyxovirus sebagai agent penyebab parotitis


(terinfeksinya kelenjar parotis) antara lain akibat Percikan ludah, kontak langsung dengan
penderita parotitis lain, muntahan, dan urine. Virus tersebut masuk tubuh bisa melalui
hidung atau mulut. Biasanya kelenjar yang terkena adalah kelenjar parotis, infeksi akut
oleh virus mumps pada kelenjar parotis terkadang dikaitkan dengan komplikasi seperti
meningitis, pankreatitis atau orchitis. Untuk mengetahui infeksi mumps dibuktikan
dengan adanya kenaikan titer IgM dan IgG secara bermakna dari serum akut dan serum
konvalesens, dikatakan negatif jika <0.100, positif jika> 0.200 atau samar-samar jika
0.100 ≥ A ≤0.200. Semakin banyak penumpukan virus di dalam tubuh sehingga terjadi
proliferasi di parotis/epitel traktus respiratorius kemudian terjadi viremia (masuknya virus
ke dalam aliran darah) dan selanjutnya virus berdiam di jaringan kelenjar/saraf yang
kemudian akan menginfeksi glandula parotid. Keadaan ini disebut parotitis.

Akibat terinfeksinya kelenjar parotis maka dalam 1-2 hari akan terjadi demam,
anoreksia, sakit kepala dan nyeri otot. Kemudian dalam 3 hari terjadilah pembengkakan
kelenjar parotis yang mula-mula unilateral kemudian bilateral, disertai nyeri rahang
spontan dan sulit menelan. Pada manusia selama fase akut, virus mumps dapat diisoler
dari saliva, darah, air seni dan liquor. Pada pankreas kadang-kadang terdapat degenerasi
dan nekrosis jaringan.

Ada dua macam klasifikasi dari parotitis, yaitu sebagai berikut :

a. Parotitis kambuhan
Maksud kambuhan di sini adalah, apabila pasien yang sebelumnya telah terinfeksi,
kemudian kambuh kembali. Anak-anak yang biasanya terkena parotitis tipe ini
adalah ketika sampai pada usia antara 1 bulan hingga akhir usia kanak-kanak
(sampai 12 tahun).
b. Parotitis akut
Tanda yang nampak dari parotitis akut ini adalah rasa sakit yang tiba-tiba,
kemerahan dan pembengkakan pada daerah parotis. Tanda-tanda parotitis akut ini
dapat timbul sebagai akibat pasca-bedah yang dilakukan pada penderita terbelakang
mental dan penderita usia lanjut. Hal menegnai pasca-bedah ini khususnya apabila
penggunaan anastesi umum lama dan ada gangguan hidrasi.
Manifestasi Klinis

Sekitar 30-40% penderita yang terinfeksi oleh virus Paramyxovirus tidak menunjukkan
tanda-tanda sakit. Namun, ada penderita lainnya yang mengalami keluhan. Masa tunas
(masa inkubasi) penyakit Gondong sekitar 12-24 hari dengan rata-rata 17-18 hari.
Adapun tanda dan gejala yang timbul setelah terinfeksi dan berkembangnya masa tunas
dapat digambarkan sebagai berikut :

Pada tahap awal (1-2 hari) penderita Gondong mengalami gejala: demam (suhu badan
38,5 – 40 derajat celcius), sakit kepala, nyeri otot, kehilangan nafsu makan, nyeri rahang
bagian belakang saat mengunyah dan adakalanya disertai kaku rahang (sulit membuka
mulut). Selanjutnya terjadi pembengkakan kelenjar di bawah telinga (parotis) yang
diawali dengan pembengkakan salah satu sisi kelenjar kemudian kedua kelenjar
mengalami pembengkakan. Pembengkakan biasanya berlangsung sekitar 3 hari kemudian
berangsur mengempis. Kadang terjadi pembengkakan pada kelenjar di bawah rahang
(submandibula) dan kelenjar di bawah lidah (sublingual). Pada pria dewasa dengan
parotitis yang berkelanjutan mengalami nyeri kelenjar parotid dan demam persisten
(38,3°C-40°C). Pemeriksaan menunjukkan pansitopenia berat, disfungsi hati,
hyperferritinemia, fibrinopenia, ditinggikan lactalase dehydrase, peradangan paru
bilateral dan efusi pleura, abdominal lymphadenopathy, dan splenomegali. Pasien itu
sesuai diduga memiliki hemophagocytic syndrome (HPS) terkait gondok. Pada pria
dewasa juga bisa terjadi pembengkakan buah zakar (testis) karena penyebaran melalui
aliran darah.

Pemeriksaan Diagnostik

a. Darah rutin

Tidak spesifik, gambarannya seperti infeksi virus lain, biasanya leukopenia ringan
yakni kadar leukosit dalam satu liter darah menurun. Normalnya leukosit dalam darah
adalah 4 x 109 /L darah .dengan limfositosis relatif, namun komplikasi sering
menimbulkan leukositosis polimorfonuklear tingkat sedang.

b. Amilase serum

Biasanya ada kenaikan amilase serum, kenaikan cenderung dengan pembengkakan


parotis dan kemudian kembali normal dalam kurang lebih 2 minggu. Kadar amylase
normal dalam darah adalah 0-137 U/L darah.
c. Pemeriksaan serologis

Ada tiga pemeriksaan serologis yang dapat dilakukan untuk menunjukan adanya
infeksi virus (Nelson, 2000), yaitu:

1. Hemaglutination inhibition (HI) test

Uji ini menerlukan dua spesimen serum, satu serum dengan onset cepat dan serum
yang satunya di ambil pada hari ketiga. Jika perbedaan titer spesimen 4 kali
selama infeksi akut, maka kemungkinannya parotitis.

2. Neutralization (NT) test

Dengan cara mencampur serum penderita dengan medium untuk biakan fibroblas
embrio anak ayam dan kemudian diuji apakah terjadi hemadsorpsi. Pengenceran
serum yang mencegah terjadinya hemadsorpsi dinyatakan oleh titer antibodi
parotitis epidemika. Uji netralisasi asam serum adalah metode yang paling dapat
dipercaya untuk menemukan imunitas tetapi tidak praktis dan tidak mahal.

3. Complement – Fixation (CF) test

Tes fiksasi komplement dapat digunakan untuk menentukan jumlah respon antibodi
terhadap komponen antigen S dan V bagi diagnosa infeksi parotitis epidemika akut.
Antibodi terhadap antigen V mencapai titer puncak dalam 1 bulan dan menetap
selama 6 bulan berikutnya dan kemudian menurun secara lambat 2 tahun sampai
suatu jumlah yang rendah dan tetap ada. Peningkatan 4 kali lipat dalam titer dengan
analisis standar apapun menunjukan infeksi yang baru terjadi. Antibodi terhadap
antigen S timbul cepat, sering mencapai maksimum dalam satu minggu setelah
timbul gejala, hilang dalam 6 sampai 12 minggu.

d. Pemeriksaan Virologi
Isolasi virus jarang sekali digunakan untuk diagnosis. Isolasi virus dilakukan dengan
biakan virus yang terdapat dalam saliva, urin, likuor serebrospinal atau darah. Biakan
dinyatakan positif jika terdapat hemardsorpsi dalam biakan yang diberi cairan fosfat-
NaCl dan tidak ada pada biakan yang diberi serum hiperimun.
Penatalaksanaan
Parotitis merupakan penyakit yang bersifat self-limited (sembuh/hilang sendiri) yang
berlangsung kurang lebih dalam satu minggu. Tidak ada terapi spesifik bagi infeksi virus
“Mumps” oleh karena itu pengobatan parotitis seluruhnya simptomatis dan suportif.
Pasien dengan parotitis harus ditangani dengan kompres hangat, sialagog (perangsang
keluarnya ludah/saliva) seperti tetesan lemon, dan pijatan parotis eksterna. Cairan
intravena mungkin diperlukan untuk mencegah dehidrasi karena terbatasnya asupan oral.
Jika respons suboptimal atau pasien sakit dan mengalami dehidrasi, maka antibiotik
intravena mungkin lebih sesuai.
1. Umum:
a) Isolasi untuk mencegah penularan
b) Diet bergizi tinggi (tinggi kalori dan protein)
c) Bila demam tinggi kompres dengan air hangat
d) Peralatan makanan dan minuman harus dipisah untuk mencegah penularan
e) Memberikan informasi selengkapnya kepada pasien/orangtua dan keluarga
mengenai penyakit parotitis
f) Menjaga kebersihan gigi dan mulut sangat efektif untuk mencegah parotitis yang
disebabkan oleh bakteri dan virus
2. Farmakologis
a) Tatalaksana simptomatis sesuai gejala yang dirasakan. Biasanya antipiretik
(parasetamol atau ibuprofen)
b) Antibiotic: antibiotic spectrum luas dapat diberikan pada kasus parotitis bakteri
akut yang disebabkan oleh bakteri
c) Analgetik-antipiretik bila perlu
- metampiron : anak > 6 bulan 250 – 500 mg/hari maksimum 2 g/hari
- parasetamol : 7,5 – 10 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis
- hindari pemberian aspirin pada anak karena pemberian aspirin berisiko
menimbulkan Sindrom Reye yaitu sebuah penyakit langka namun mematikan.
Obat-obatan anak yang terdapat di apotik belum tentu bebas dari aspirin. Aspirin
seringkali disebut juga sebagai “salicylate“ atau “acetylsalicylic acid“.
d) IVFD D5 ½ NS
Pada pasien dengan kesulitan makan, terapi cairan yang digunakan adalah cairan
yang mengandung glukosa 5%, sehingga pada pasien ini diberikan D5 ½ NS. Maka
pemberian cairannya adalah:
100 cc x 10 kg : 1000 cc
50 cc x 4 kg : 200
1200 ml (24 jam)
50 ml (jam)  12 tpm (makro)
e) Parasetamol sirup 3 x 1 ½ cth (jika demam)
Obat ini mempunyai nama generic acetaminophen. Paracetamol adalah drivat
aminofenol yang mempunyai sifat antipiretik / analgesic. Paracetamol utamanya
digunakan untuk menurunkan panas badan yang disebabkan oleh karena infeksi
atau sebab lainnya. Disamping itu, paracetamol juga dapat digunakan untuk
meringankan gejala nyeri dengan intensitas ringan sampai sedang.
Dosis: 10-15 mg/kgBB/kali
10 mg x 14 kg = 140 mg
15 mg x 14 kg = 210 mg
140-210 mg/kali
Sediaan: 125 mg/5ml x 187,5 ml jadi dapat diberikan 1 ½ cth
f) Diazepam 5 mg (pulv) 3 x 1 pada saat demam > 38o C.
Indikasi
Diazepam digunakan untuk memperpendek mengatasi gejala yang timbul seperti
gelisah berlebihan.
Kontraindikasi
1) Hipersensitifitas
2) Sensitivitas silang dengan benzodiazepine lain
3) Pasien koma
4) Depresi SSP yang sudah ada sebelumnya
5) Nyeri berat tak terkendali
6) Glaucoma sudut sempit
7) Kehamilan atau laktasi
8) Diketahui intoleran terhadap alcohol atau golongan propilena (hanya injeksi)
Efek samping
Efek samping yang sering terjadi : pusing, mengantuk
Dosis
0,3 – 0,5 mg/kgBB/kali
0,3 x 14 : 4,2 mg
0,5 x 14 : 7
Sediaan tab 5 mg  diberikan 1 tab (pulv)

Lesi korosif Esofagus / Esofagitis Korosif


Esofagitis korosif adalah peradangan pada esofagus yang disebabkan oleh luka bakar
karena zat kimia yang bersifat korosif, misalnya asam kuat, basa kuat dan zat organik.
Zat kimia yang tertelan dapat bersifat toksik atau korosif. Zat kimia yang bersifat
korosif akan menimbulkan kerusakan pada saluran yang dilaluinya, sedangkan zat kimia yang
bersifat toksik hanya menimbulkan gejala keracunan bila telah diserap oleh darah.
Epidemiologi
Angka kejadian esofagitis korosif tertelan asam kuat, basa kuat, cairan pemutih
diperkirakan sekitar 3-5 % dari kasus kecelakaan dan bunuh diri atau sekitar 5.000-10.000
kasus pertahun di Amerika Serikat. Berdasarkan penelitian, 95% kejadian tertelan korosif
terjadi di rumah, biasanya di dapur atau kamar mandi. Hampir 73% terjadi saat produk lagi
digunakan dan 24% terjadi saat produk dalam penyimpanan.
Etiologi
Zat yang paling merusak adalah natrium hidroksida, atau lye, yang menyebabkan
lisisnya jaringan serta seringkali menembus dinding esofagus. Cairan pembersih saluran
dapat merusak esofagus atau menimbulkan lesi gastrik yang serupa. Diperkirakan, 70% dari
kasus esofagitis korosif adalah disebabkan oleh basa dengan natrium hidroksida merupakan
kasus yang paling sering ditemukan. Terdapat juga kasus melibatkan kalium hidroksida dan
ammonium hidroksida. Pembersih saluran, pembersih oven, detergen baju dan detergen
piring semuanya mengandung basa. Konsentrasi basa berbeda berdasarkan agen; cairan (10-
15%), industri (30-35% dan granuler (50-95%). Basa tidak mempunyai rasa yang
menyebabkan anak-anak mengkonsumsi dengan banyak.
Kira-kira 20% kasus esofagitis korosif lainnya adalah disebabkan oleh asam seperti
hidroklorida, sulfurik, oksalik dan nitrit. Pembersih toilet, pembersih selokan, dan penghapus
karatan merupakan beberapa produk yang mengandungi asam di antara 8-65%. Asam
biasanya mempunyai rasa pahit yang menyebabkan anak-anak tidak mengkonsumsi dengan
banyak.
Patofisiologi
 Basa kuat menyebabkan terjadinya nekrosis mencair (liquifactum necrosis). Secara
histologik dinding esofagus sampai lapisan otot seolah-olah mencair. Basa yang dalam
bentuk kristal biasanya menyebabkan luka bakar linear sedangkan basa dalam bentuk
cairan menyebabkan luka bakar sirkular.
 Asam kuat yang tertelan akan menyebabkan nekrosis menggumpal (coagulation
necrosis). Secara histologik dinding esofagus sampai lapisan otot seolah-olah
menggumpal.
 Zat organik misalnya lisol dan karbol biasanya tidak menyebabkan kelainan yang
hebat, hanya terjadi edema di mukosa atau submukosa.
 Asam kuat menyebabkan kerusakan pada lambung lebih berat dibandingkan dengan
kerusakan esofagus, sedangkan basa kuat menimbulkan kerusakan di esofagus lebih
berat dari pada lambung.

Manifestasi Klinis
Keluhan dan gejala yang timbul akibat tertelan zat korosif tergantung pada jenis zat
korosif, konsentrasi zat korosif, jumlah, lamanya kontak dengan dinding esofagus, sengaja
diminum atau tidak dan dimuntahkan atau tidak.
Gejala klinik esofagitis kronik dibagi menjadi 5 bentuk klinis berdasarkan beratnya
luka bakar yang ditemukan yaitu:
1. Esofagitis korosif tanpa ulserasi
Pasien mengalami gangguan menelan yang ringan. Pada esofagoskopi tampak mukosa
yang hiperemis tanpa disertai ulserasi.
2. Esofagitis korosif dengan ulserasi ringan
Pasien mengeluh disfagia ringan. Pada esofagoskopi tampak ulkus yang tidak dalam
yang mengenai mukosa esofagus saja.
3. Esofagitis korosif dengan ulserasi sedang
Ulkus sudah mengenai lapisan otot. Biasanya ditemukan satu ulkus atau lebih
(multipel).
4. Esofagitis korosif dengan ulserasi berat tanpa komplikasi
Terdapat pengelupasan mukosa serta nekrosis yang letaknya dalam, dan telah
mengenai seluruh lapisan esofagus. Keadaan ini jika dibiarkan akan menimbulkan
striktur esofagus.
5. Esofagitis korosif ulseratif berat dengan komplikasi
Terdapat perforasi esofagus yang dapat menimbulkan mediastinitis dan peritonitis.
Kadang-kadang ditemukan tanda-tanda obstruksi jalan nafas atas dan gangguan
keseimbangan asam dan basa.

Berdasarkan gejala klinis dan perjalanan penyakitnya esofagitis korosif dibagi dalam 3 fase,
yaitu fase akut, fase laten (intermediate), dan fase kronik (obstruktif).
Fase Akut
Keadaan ini berlansung 1-3 hari. Pada pemeriksaan fisik ditemukan luka bakar di
daerah mulut, bibir, faring dan kadang-kadang disertai perdarahan. Gejala yang ditemukan
pada pasien ialah disfagia hebat, odinofagia, serta suhu badan yang meningkat.
Gejala klinis akibat tertelan zat organik dapat berupa perasaan terbakar di saluran cerna
bagian atas, mual, muntah, erosi pada mukosa, kejang otot, kegagalan sirkulasi, dan
pernafasan.

Fase Laten
Berlansung selama 2-6 minggu. Pada fase ini keluhan pasien berkurang, suhu badan
menurun. Pasien merasa ia telah sembuh, sudah dapat menelan dengan baik akan tetapi
prosesnya sebetulnya masih berjalan terus dengan pembentukan jaringan parut (sikatriks).

Fase Kronis
Setelah 1-3 tahun akan terjadi disfagia lagi oleh karena telah terbentuk jaringan parut,
sehingga terjadi striktur esofagus. Tempat tersering terbakar adalah tingkat krikofaringeus
dan kardia. Terbakarnya pada bagian bawah esofagus disertai refluks.

Diagnosis
Anamnesis
Berdasarkan anamnesis ditegakkan dengan adanya riwayat tertelan zat korosif atau
zat organik, serta ditunjukkan dengan keluhan utama pasien rasa terbakar pada daerah
kerongkongan, rasa nyeri yang hebat didalam mulut dan regio substernal, serta bisa juga
mengeluhkan susah menelan dan hipersaliva. Sedangkan demam dan perdarahan dapat
terjadi serta sering diiringi dengan muntah

Pemeriksaan Fisik
Selain penegakan diagnosis dari autoanamnesis atau alloanamnesis yang cermat
serta diperlukan bukti-buki yang diperoleh ditempat kejadian. Masuknya zat korosif
melalui mulut dapat diketahui dengan bau mulut ataupun muntahan. Adanya luka bakar
keputihan pada mukosa mulut atau keabuan pada bibir dan dagu menunjukkan akibat
bahan kaustik atau korosif baik yang bersifat asam kuat maupun basa kuat. Perbedaaan
pada dampak luka bakarnya yaitu nekrosis koagulatif akibat paparan asam kuat sedangkan
basa kuat mengakibatkan nekrosis likuitaktif. Kerusakan korosif hebat akibat basa (basa)
kuat pada esofagus lebih berat dibandingkan akibat asam kuat, kerusakan terbesar bila PH
> 12, akan tetapi tergantung juga konsentrasi bahan tersebut.

Pemeriksaan penunjang
Untuk menegakkan diagnosis, selain berdasarkan hasil anamnesis serta gambaran
keluhan dan gejala seperti yang diuraikan di atas juga diperlukan pemeriksaan penunjang,
seperti pemeriksaan laboratorium, radiologik, esofagoskopi.

Pemeriksaan laboratorium
Peranan pemeriksaan laboratorium sangat sedikit, kecuali bila terdapat tanda-tanda
gangguan elektrolit, diperlukan pemeriksaan elektrolit darah.

Pemeriksaan radiologik
Foto Rontgen toraks postero-anterior dan lateral perlu dilakukan mendeteksi adanya
mediastinitis atau aspirasi pneumonia.
Pemeriksaan Rontgen esofagus dengan kontras barium (esofagogram) tidak banyak
menunjukkan kelainan pada stadium akut. Esofagus mungkin terlihat normal. Jika ada
kecurigaan akan adanya perforasi akut esofagus atau lambung serta rupture esofagus
akibat trauma tindakan, esofagogram perlu dibuat. Esofagogram perlu dibuat setelah
minggu kedua untuk melihat ada tidaknya striktur esofagus dan dapat diulang setelah 2
bulan dievaluasi.
Pada kasus esofagitis korosif zat asam, penelitian telah dilakukan oleh Muhletaler
dan didapatkan hasil 6-50% penderita memperlihatkan adanya striktur, sebagian lain
memperlihatkan edema dan ulserasi mukosa esophagus dengan atau tanpa pendarahan
esophagus pada rontgen esofagogram.
Pemeriksaan esofagoskopi
Esofagoskopi diperlukan untuk melihat adanya luka bakar di esofagus. Pada
esogoskopi akan tampak mukosa yang hiperemis, edema dan kadang-kadang ditemukan
ulkus. Esofagoskopi sendiri akan membuat dokter lebih pasti dalam menegakkan diagnosis
dan membuat perencanaan pengobatan sesuai dengan patolohi yang ada.
Esofagoskopi yang dilakukan segera memiliki 2 keuntungan, yaitu: pasien tanpa
eosophageal burns, pada lebih dari 50% kasus, dapat terhindar dari perawatan yang lama
dirumah sakit; esofagoskopi sendiri memperlihatkan besar dan keparahan dari kerusakan
esophagus. Esofagoskopi biasanya dilakukan pada hari ke tiga setelah kejadian atau bila
luka bakar di bibir, mulut dan faring sudah tenang. Berikut derajat esofagitis korosif yang
dilihat dari esofagoskopi :

Tabel 1. Derajat esofagitis korosif yang dilihat dengan esofagoskopi


Derajat Klinis
I Hiperemia mukosa dan udema
II Perdarahan terbatas, eksudat, ulserasi dan pseudomembran
III Pengelupasan mukosa, ulkus dalam dan perdarahan masif, obstruksi lumen
Penatalaksanaan
Tujuan pemberian terapi pada esofagitis korosif adalah untuk mencegah
pembentukan striktur.
Terapi esofagitis korosif dibedakan antara tertelan zat korosif dan zat organik.
Terapi esofagitis korosif akibat tertelan zat korosif dibagi dalam fase akut dan fase kronis.
Pada fase akut dilakukan perawatan umum dan terapi khusus berupa terapi medik dan
esofagoskopi.

Perawatan umum
Perawatan umum dilakukan dengan cara memperbaiki keadaan umum pasien,
menjaga keseimbangan elektrolit, serta menjaga jalan nafas. Jika terdapat gangguan
keseimbangan elektrolit diberikan infuse aminofusin 600 2 botol, glukosa 10% 2 botol,
NaCl 0,9 % + KCl 5 meq/liter 1 botol.
Untuk melindungi selaput lendir esofagus bila muntah dapat diberikan susu atau
putih telur. Jika zat korosif yang tertelan diketahui jenisnya dan terjadi sebelum 6 jam,
dapat dilakukan netralisasi (bila zat korosif basa kuat diberi susu atau air, dan bila asam
kuat diberi antasida).

Terapi medik
Protokol pengobatan secara medis pada fase awal kasus ini masih terbatas pada
penggunaan steroid, antibiotik serta penggunaan zat penetral (antidotum) dari agen
penyebab.
Antibiotika diberikan selama 2-3 minggu atau 5 hari bebas demam jika diberikan
dengan steroid. Antibiotik dapat dilanjutkan selama 4-8 minggu dengan harapan telah
terjadinya reepitalisasi, sesuai dengan derajat luka esofagus jika diberikan tanpa steroid.
Antibiotik tidak akan mencegah pembentukan striktur, tetapi akan membantu
mengoptimalkan proses penyembuhan. Biasanya diberikan penisilin dosis tinggi 1-1,2
juta unit/hari.
Kortikosteroid diberikan untuk mencegah pembentukan striktur. Pemberian steroid
pada grade 2 dan grade 3 telah terbukti akan mengurangi kemungkinan terbentuknya
striktur esofagus. Kortikosteroid harus diberikan sejak hari pertama dengan dosis 200-300
mg sampai hari ketiga. Setelah itu dosis diturunkan perlahan-lahan tiap 2 hari (tappering
off). Dosis yang dipertahankan (maintenance dose) ialah 2x50 mg perhari. Steroid,
idealnya dilanjutkan sampai seluruh reaksi inflamasi menghilang dan telah terjadi
reepitalisasi sempurna selama kurang lebih 1-3 bulan, tergantung pada derajat luka. Pasien
dengan terapi steroid ini harus di follow up secara berkala terutama pada 2 bulan pertama
karena hampir 80% kasus akan mengalami gejala klinis striktur esofagus.
Analgesik diberikan untuk mengurangi rasa nyeri. Morfin dapat diberikan, jika
pasien sangat kesakitan.
Esofagoskopi
Biasanya dilakukan esofagoskopi pada hari ke tiga setelah kejadian atau bila luka
bakar di bibir, mulut, dan faring sudah tenang.
Jika pada waktu melakukan esofagoskopi ditemukan ulkus, esofagoskop tidak boleh
dipaksa melalui ulkus tersebut karena ditakutkan terjadinya perforasi. Pada keadaan
demikian sebaiknya dipasang pipa hidung lambung (pipa nasogaster) dengan hati-hati dan
terus menerus (dauer) selama 6 minggu. Setelah 6 minggu esofagoskopi diulang kembali.
Pada fase kronik biasanya sudah terdapat striktur esofagus. Untuk ini dilakukan
dilatasi dengan bantuan esofagoskop. Dilatasi dilakukan sekali seminggu, bila keadaan
pasien lebih baik dilakukan sekali 2 minggu, setelah sebulan, sekali 3 bulan, dan demikian
seterusnya sampai pasien dapat menelan makanan biasa. Jika selama 3 kali dilatasi
hasilnya kurang memuaskan sebaiknya dilakukan reseksi esofagus dan dibuat anastomosis
ujung ke ujung (end to end).

Diet
Pasien disarankan untuk mengkonsumsi makanan lembut atau cair hingga keluhan
menelan hilang. Sebaiknya dihindari makanan pedas yang bisa mengiritasi esofagus. Pasien
dinasehatkan tidak mengkonsumsi alkohol.

Inflammatory Bowel Disease

Inflammatory Bowel Disease (IBD) merupakan istilah umum yang digunakan untuk
menggambarkan kelainan idiopatik yang berhubungan dengan peradangan pada gastrointestinal.
IBD terdiri dari dua penyakit yaitu penyakit Crohn (PC) dan kolitis ulseratif (KU). Istilah PC digunakan
pertama kali oleh Dr. Crohn yang menemukan kelainan berupa peradangan pada saluran cerna mulai
dari mulut sampai dengan rektum. Istilah KU digunakan untuk membedakan dengan PC. Kelainan
pada KU hanya terbatas pada kolon, dimana terjadi peradangan dan terdapat ulkus hanya pada
permukaan usus.

IBD dapat ditemukan di seluruh dunia. Penyakit ini terjadi pada semua umur, tapi sangat
jarang terjadi pada anak di bawah umur 1 tahun. Insiden IBD paling sering terjadi pada anak umur di
atas 10 tahun. Insiden IBD di Indonesia sangat rendah dibandingkan dengan negara barat. Hal ini
diduga selain disebabkan faktor imunologi, lingkungan dan genetik, juga mungkin karena sulitnya
menegakkan diagnosis IBD yang memerlukan pemeriksaan penunjang radiologi, endoskopi, dan
histologi yang di Indonesia masih jarang. Untuk itu, Tinjauan Pustaka ini bertujuan untuk menelaah
IBD secara keseluruhan mulai dari batasan, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinik, pemeriksaan
penunjang, diagnosis banding, dan terapi untuk memudahkan dalam menegakkan diagnosis dan
penanganan IBD.

Patogenesis IBD

IBD diduga akibat adanya aktivasi yang berlebihan dari sistem imun mukosa usus yang
menyebabkan inflamasi pada usus tanpa adanya penyebab yang jelas. Beberapa faktor lainnya
diduga berpengaruh, yaitu faktor genetik dan lingkungan. Sistem imun pada penderita IBD bekerja
secara abnormal dan berlangsung kronis yang menyebabkan inflamasi dan ulserasi saluran cerna.

Faktor Imunologis

Pada PC terjadi peningkatan IL-12 pada mukosa usus. Peningkatan ini merangsang
peningkatan respon Th1 dan IFN-γ. IFN-γ, selanjutnya menyebabkan inflamasi yang tidak terkontrol.
Hilangnya pengaturan terhadap kelebihan Th1 dan makrofag yang teraktivasi juga memicu aktivasi
matrix metalloproteinase, melalui jalan IFN-γ (gamma interferon) dan TNF (Tumor Necrosis Factor)-
α, yang menyebabkan kerusakan jaringan. Mekanisme lain untuk inflamasi yang tidak terkontrol ini
adalah sel T pada PC resisten terhadap apoptosis normal.

Pada KU terjadi peningkatan ekspresi IL-5 yang merupakan sitokin Th2, tetapi tidak terjadi
peningkatan IL-4 yang merupakan sitokin Th2 lainnya. Peranan Th2 mungkin membantu respon
antibodi, sebab pada KU ada peningkatan IgG sel plasma yang diduga dimediasi oleh sel T.

Sitokin seperti IL-1, IL-6, dan IL-8 menimbulkan inflamasi dengan peningkatan vascular
adhesion molecules yang menarik sel inflamasi, peningkatan produksi eikosanoid, menginduksi
sintesis nitrat oksida, dan menginduksi produksi kolagen. Hal di atas memicu destruksi jaringan yang
menimbulkan jaringan fibrosis. Sekresi elektrolit distimulasi oleh mediator-mediator ini, yang
selanjutnya menyebabkan diare.

Autoantibodi yang ditemukan pada IBD menimbulkan dugaan bahwa IBD merupakan
penyakit autoimun. Anti-saccharomices cerevisiae antibody (ASCA) dideteksi pada 50%-60%
penderita dengan PC. Perinuclear anti neutrophil cytoplasmic antibody (pANCA) ditemukan pada
sekitar 70% individu dengan KU sedangkan pada PC sekitar 6% dan dipercaya sebagai tanda
disregulasi imunoregulator genetik.

Faktor Genetik

Hugot dkk. pada tahun 2001 berhasil mengidentifikasi lokus pada kromosom 16 yang
dihubungkan dengan IBD pada tahun 1996. Dengan mengunakan cara yang berbeda mereka berhasil
mengisolasi mutasi CARD15 (caspase-activation recruitment domain) pada gen NOD2 yang
mempunyai hubungan bermakna dengan PC.

Lingkungan

Faktor lingkungan yang diduga berpengaruh terhadap IBD adalah asap rokok, infeksi,
appendiktomi, obatobatan, diet, dan stress.

Asap Rokok

Asap rokok adalah satu faktor lingkungan yang berpengaruh berbeda terhadap kedua jenis
IBD. Asap rokok mengurangi kejadian KU, tetapi meningkatkan kejadian PC.

Appendiktomi

Appendiktomi mengurangi risiko terjadinya KU.

Infeksi

M. paratuberculosis, Pseudomonas sp., dan Listeria sp. diduga sebagai penyebab terjadinya
PC. Bacillus sp., E. coli adhesif, dan Fusobacterium varium diduga berperan terhadap terjadinya KU.

Obat-obatan

Penggunaan obat antinflamasi nonsteroid berisiko tinggi terhadap kejadian IBD dan
kekambuhan penderita IBD dalam remisi klinis.
Diet dan Stres

Diet susu dan rendah serat serta stress diduga berpengaruh terhadap terjadinya IBD,
walaupun mekanismenya belum diketahui dengan pasti.

Gejala Klinis

Gejala klinis IBD bervariasi, tergantung jenis IBD dan berat ringannya penyakit, meliputi
gejala gastrointestinal dan gejala ekstraintestinal. Gejala utama PC adalah nyeri abdomen.
Sedangkan gejala utama pada KU adalah diare dan perdarahan rektal. Gejala lainnya adalah defekasi
pada malam hari, abses perianal, dan gambaran klinis mirip apendisitis. Gejala ekstraintestinal IBD
dapat mengenai organ seperti mata, kulit, sendi, ginjal, dan hati. Hal ini bisa menjadi sumber
morbiditas yang dominan pada beberapa penderita. Manifestasi ekstraintestinal pada IBD
diperkirakan terjadi pada sekitar 25-35% penderita. Gejala ekstraintestinal IBD pada anak adalah
sebagai berikut:

1. Kegagalan pertumbuhan. Kegagalan pertumbuhan terjadi pada sekitar 30% anak dengan PC dan
pada 5-10% anak dengan KU.

2. Manifestasi pada sendi. Atralgia sering dikeluhkan lebih dari 25% anak dengan IBD.

3.Manifestasi pada tulang. Penderita IBD, terutama PC, mempunyai risiko tinggi menderita
osteoporosis, yang dapat menyebabkan fraktur tulang, deformitas tulang, dan nyeri.

4. Lesi pada kulit. Manifestasi IBD pada kulit meliputi eritema nodosum, pioderma gangrenosum,
dan Sweet’s syndrome.

5. Lesi pada mata. Lesi pada mata yang tersering adalah episkleritis dan uveitis.

6. Penyakit hati. Kelainan hati yang dapat ditemukan pada penderita IBD meliputi hepatitis,
perlemakan hati, kolelitiasis, amiloidosis dan kolangitis sklerosing primer. Abses hati sangat jarang
terjadi.

7. Abnormalitas hematologi. Kelainan hematologi pada penderita IBD adalah anemia, trombositosis,
leukositosis dan leukopenia.

8. Vaskuler. Risiko terjadi trombosis vena pada penderita IBD sebesar tiga kali dibandingkan orang
normal.

9. Pankreatitis. Pankreatitis pada penderita IBD berhubungan dengan pengobatan seperti 5-


aminosalisilat atau 6-mercaptopurin.

10. Ginjal. Penderita IBD dengan kelainan ileum yang luas atau setelah reseksi ileum berisiko
menderita batu kalsium oksalat dan asam urat.

11. Paru. Manifestasi pada paru meliputi bronkitis, bronkiektasis, obstruksi trakea, penyakit paru
granulomatosa, pneumonitis interstitial atau hipersensitivitas, dan bronkiolitis obliteran.

12. Lain-lain. Kelainan saraf tepi, miopati, multipel sklerosis, neuritis optik, dan epilepsi dapat terjadi
pada penderita IBD. Kadang-kadang terjadi mioperikarditis dan pleuroperikarditis.
Klasifikasi dan Diagnosis

Dasar diagnosis IBD adalah berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan


laboratorium, histopatologi, dan pemeriksaan penunjang lainnya seperti endoskopi, kolonoskopi,
dan CT scan. Klasifikasi PC dapat dibagi berdasarkan beratnya penyakit yang dinilai dengan Crohn’s
Disease Activity Index (CDAI). Sistem penilaian PC berdasarkan CDAI di atas adalah sebagai berikut:

1. PC ringan, jika nilai CDAI antara 150 sampai 220.

2. PC sedang, jika nilai CDAI antara 221 sampai 400.

3. PC berat, jika nilai CDAI lebih atau sama dengan 400.

4. PC remisi, jika nilai CDAI kurang atau sama dengan 150.

KU dibedakan menurut lokasi dan perluasan inflamasi serta beratnya penyakit.

1. Proktitis ulseratif adalah inflamasi yang terbatas pada rektum.

2. Proktosigmoiditis adalah inflamasi pada rektum dan kolon sigmoid.

3. Kolitis sisi kiri adalah inflamasi yang dimulai dari rektum dan meluas ke atas mengenai kolon
sigmoid dan kolon desendens.

4. Pankolitis adalah inflamasi yang mengenai seluruh kolon.

5. Kolitis fulminan adalah bentuk berat pankolitis. Jenis ini jarang terjadi.

Berdasarkan gambaran klinis, KU dapat dikelompokkan berdasarkan ringan beratnya penyakit, yaitu:

1. KU ringan; diare kurang dari 4 kali sehari, tidak ada atau sedikit perdarahan rektal, dan tidak
terdapat gejala sistemik seperti demam, takikardi, peningkatan LED, dan anemia.

2. KU sedang; diare 4-6 kali sehari, perdarahan rektal sedang, terdapat beberapa gejala sistemik,
atau penyakit derajat ringan yang tidak berespon terhadap pengobatan.

3. KU berat; diare lebih dari 6 kali sehari (sering pada malam hari), perdarahan rektal berat, gejala
sistemik, malnutrisi dengan hipoalbuminemia, dan penurunan berat badan lebih dari 10%
dibandingkan sebelum sakit.

Dasar Diagnosis

Diagnosis IBD ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan


laboratorium, histopatologi, dan pemeriksaan penunjang lainnya seperti endoskopi, kolonoskopi,
dan CT scan. Kecurigaan IBD pada anak adalah bila ditemukan adanya gejala yang menetap (≥4
minggu) atau berulang (≥2 episode dalam 6 bulan) berupa nyeri abdomen, diare, hematochezia, dan
penurunan berat badan. Gejala lain yang mendukung adalah adanya letargi dan anoreksia.
Pemeriksaan fisik seringkali menguatkan kecurigaan terhadap IBD setelah dilakukan anamnesis yang
lengkap. Penampilan umum penderita tampak pucat karena anemia, keterlambatan pubertas dan
pertumbuhan tampak lebih muda dibandingkan umur sebenarnya. Demam dapat terjadi pada IBD.
Takikardia dapat menjadi petunjuk adanya anemia, demam, hipoproteinemia atau dehidrasi.
Inspeksi perianal dan pemeriksaan colok dubur merupakan pemeriksaan penting pada
penderita yang dicurigai IBD. Massa inflamasi yang nyeri dapat menunjukkan adanya inflamasi aktif
atau abses. Skin tags yang besar (≥ 0,5 cm) pada tempat selain jam 12 dicurigai sebagai PC. Fisura
anal yang dalam yang dicurigai sebagai fistula perianal merupakan tanda patognomonis PC. Pada
pemeriksaan rektal dapat dijumpai adanya darah pada tinja dan stenosis anal. Selama pemeriksaan
rektal, palpasi adanya massa yang nyeri dan mengumpul di pelvis bisa membedakan IBD dengan
apendik yang ruptur. Hemoroid jarang terjadi pada anak, hanya terjadi saat mengedan.

Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis yaitu adalah


pemeriksaan darah (hemoglobin, trombosit, laju endap darah, C-Reactive Protein, tes fungsi hati,
dan tes serologi) dan tinja. Pemeriksaan histopatologi pada penderita IBD dapat digunakan untuk
membedakan antara PC dan KU. Pemeriksaan Endoskopi Pemeriksaan endoskopi sangat berperan
dalam membantu menegakkan diagnosis IBD. Endoskopi dapat membedakan kedua bentuk IBD.
Pencitraan Meliputi pemeriksaan radiologi (foto polos dan pemeriksaan dengan kontras), USG, CT,
MRI, dan modalitas radiologi lain (white blood cell scan, PET). Diagnosis Banding IBD pada anak
harus dibedakan dengan penyakit lainnya seperti: infeksi usus karena bakteri atau parasit, alergi
makanan, penyakit imunodefisiensi primer atau didapat, kelainan vaskulitis, massa abdomen, dan
tuberkulosis usus.

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan penderita IBD berupa medikamentosa atau pembedahan, atau kombinasi


keduanya.

a. Medikamentosa
 5-Aminosalisilat. Dosis: 50-100 mg/kgBB/ hari.
 Antibiotika. PC: Metronidazol.Dosis: 10-20 mg/kg/ hari. KU: Antibiotika digunakan sangat
terbatas karena meningkatnya risiko kejadian kolitis pseudomembran yang berhubungan
dengan antibiotika.
 Kortikosteroid. PC: Metilprednisolon dengan dosis 2 mg/kgBB setiap 12 jam atau
Hidrokortison 100 mg setiap 8 jam.29 PC: Prednison dengan dosis 40-60 mg/hari peroral dan
diturunkan secara bertahap (5 mg per minggu) setelah gejala terkontrol.
 Immune modifiers yang dipakai adalah 6-MP dan Azathioprine. Dosis 6-MP atau
Azathioprin adalah 1-2 mg/kg/hari.
 Anti-TNF-alpha monoclonal antibody yang diberikan adalah Infliximab yang diberikan
melalui infus dengan dosis 5 mg/kg/kali, diberikan tiga kali yakni pada awal pengobatan,
minggu ke-2, dan minggu ke-6. Dosis pemeliharaan diberikan setiap 8 minggu.
 Obat-obatan simptomatik yang diberikan adalah antagonis histamine 2 reseptor, anti
diare, dan antispasmodik.
 Obat-obat dalam tahap percobaan. PC: Metotreksat dengan dosis 12,5-25 mg/minggu
peroral atau intramuskuler, Thalidomid dengan dosis 50-300 mg/hari peroral, dan
interleukin 11 dengan dosis 1 mg/minggu secara subkutan. KU: Siklosporin dengan dosis 2-4
mg/kg/hari secara intravena (untuk dosis oral diberikan 2-3 kali dosis intravena), nicotine
patch dengan dosis 14-21 mg/hari melalui topical patch, enema butirat dengan dosis 100 ml
per rektum dua kali sehari, dan heparin dengan dosis 10.000 μ secara subkutan dua kali
sehari.
 Terapi nutrisi. Intervensi nutrisi harus dimulai sebelum pubertas, baik pada penyakit aktif
atau saat remisi untuk mengoreksi defisit energi dan memaksimalkan pertumbuhan.
 Terapi probiotik. Pemberian probiotik biasanya dikombinasikan dengan obat lain yang
berguna untuk meningkatkan stabilisasi dan regenerasi mukosa usus akibat inflamasi.
b. Pembedahan.
PC: Pembedahan dilakukan untuk mengatasi beberapa komplikasi pada PC misalnya
striktura, fistula, dan perdarahan.
KU: Indikasi pembedahan adalah inflamasi yang sulit dikontrol, perubahan dini ke arah
keganasan, striktura, dan adanya efek samping penggunaan obat-obatan.

Prognosis

IBD biasanya ditandai oleh adanya periode eksaserbasi dan remisi. Hanya 1% penderita PC
yang tidak mengalami kekambuhan setelah diagnosis dan pengobatan awal. Terdapat risiko
berkembangnya kanker pada penyakit usus kronis yang risikonya sama antara PC dan KU.

Sumber :

Salwan H, dan Yosy S. D.2014.Inflammatory Bowel Disease Pada Anak.MKS Vol 46 (2) L : 158-163

Anda mungkin juga menyukai