Anda di halaman 1dari 18

Epilepsy Umum Tonik Klonik dengan Penatalaksanaannya

Hardianti
102016134
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6, Kebon Jeruk, Jakarta Barat
Alamat Korespondensi : antidianti1103@gmail.com

Abstrak
Kejang adalah masalah neurologik yang sering dijumpai, kejang yang rekuren, spontan,
dan tidak disebabkan adanya kelainan metabolisme yang terjadi bertahun-tahun disebut epilepsi.
Epilepsi ialah manifestasi gangguan otak dengan berbagai etilologi namun dengan gejala tunggal
yang khas, yaitu serangan berkala yang disebabkan oleh lepas muatan neuron kortikal secara
berlebihan. Epilepsi dibagi menjadi beberapa jenis, salah satu yang paling sering adalah epilepsi
tonik-klonik. Epilepsi tonik-klonik dikenal juga dengan nama epilepsi grand mal adalah kejang
epilepsi yang klasik, kejang tonik-klonik diawali penurunan kesadaran yang cepat. Penatalaksaan
yang penting adalah pemberian obat anti kejang sepert fenitoin, karbamazepin, atau fenobarbital
untuk mencegah dan mengurangi frekuensi kejang agar kualitas hidup pasien membaik.
Kata Kunci : Kejang, epilepsi, tonik klonik, gran mal

Abstract
Seizures are a common neurological problem, recurrent, spontaneous seizures, and do
not involve more and more abnormalities called epilepsy. Epilepsy is a manifestation of brain
disorders with various ethylologies but with a unique single symptom, namely a periodic attack
caused by excessive release of cortical neuronal load. Epilepsy is divided into several types, one
of the most common being tonic-clonic epilepsy. Tonic-clonic epilepsy also known as grand mal
epilepsy is a classic epileptic seizure, tonic-clonic seizures are initiated by rapid awareness.
Important management is anti-seizure drugs such as phenytoin, carbamazepine, or
phenobarbital to prevent and reduce the frequency of seizures so that the patient's quality of life
improves.
Keywords: Seizures, epilepsy, clonic tonics, gran mal

1
PENDAHULUAN

Kejang adalah masalah neurologik yang sering dijumpai, kejang yang rekuren, spontan, dan
tidak disebabkan adanya kelainan metabolisme yang terjadi bertahun-tahun disebut epilepsi.
Epilepsi ialah manifestasi gangguan otak dengan berbagai etilologi namun dengan gejala tunggal
yang khas, yaitu serangan berkala yang disebabkan oleh lepas muatan neuron kortikal secara
berlebihan. Definsi fisologi dari epilepsy masih belum berubah dari definisi yang diberikan oleh
Hughlings Jackson pada abad ke 19 :1

“epilespsi adalah istilah untuk cetusan listrik local pada substansia grisea otak yang terjadi
sewaktu-waktu, mendadak dan sangat cepat’.1

Secara klinis epilepsy merupakan gangguan paroksisal di mana cetusan neuron korteks serebri
mengakibatkan serangan penurunan kesadaran, perubahan fungsi motoric atau sensorik, perilaku
atau emosional yang intermiten dan stereotipik. Harus dibedakan antara kejang yang terjadi
sendiri dan tendensi kejang berulang yang berupa epilepsy.1

DIAGNOSIS AWAL.

Langkah awal adalah menentukan untuk membedakan apakah ini serangan kejang atau bukan ,
dalam hal ini memastikannya biasanya dengan melakukan wawancara baik dengan pasien,
orangtua atau orang yang merawat dan saksi mata yang mengetahui alamat Korespondensi.
Beberapa pertanyaan yang perlu diajukan adalah untuk menggambarkan kejadian sebelum ,
selama dan sesudah serangan kejang itu berlangsung.2

Adapun beberapa pertanyaan adalah sebagai berikut:2

1. Kapan pasien mengalami serangan kejang yang pertama kali selama ini? Usia serangan
dapat memberi gambaran klasifikasi dan penyebab kejang. Serangan kejang yang dimulai
pada neonatus biasanya penyebab sekunder gangguan pada masa perinatal, kelainan
metabolik dan malformasi kongenital. Serangan kejang umum cenderung muncul pada
usia anak-anak dan remaja. Pada usia sekitar 70 tahunan muncul serangan kejang
biasanya ada kemungkinan mempunyai kelainan patologis di otak seperti stroke atau
tumor otak dsb.
2. Apakah pasien mengalami semacam peringatan atau perasaan tidak enak pada waktu
serangan atau sebelum serangan kejang terjadi? Gejala peringatan yang dirasakan pasien
menjelang serangan kejang muncul disebut dengan “aura” dimana suatu “aura” itu bila
muncul sebelum serangan kejang parsial sederhana berarti ada fokus di otak. Sebagian “
aura” dapat membantu dimana letak lokasi serangan kejang di otak. Pasien dengan
epilepsi lobus temporalis dilaporkan adanya “déjà vu” dan atau ada sensasi yang tidak
enak di lambung, gringgingen yang mungkin merupakan epilepsi lobus parietalis. Dan
gangguan penglihatan sementara mungkin dialami oleh pasien dengan epilepsi lobus
oksipitalis. Pada serangan kejang umum bisa tidak didahului dengan “aura” hal ini

2
disebabkan terdapat gangguan pada kedua hemisfer , tetapi jika “aura” dilaporkan oleh
pasien sebelum serangan kejang umum, sebaiknya dicari sumber fokus yang patologis.
3. Apa yang terjadi selama serangan kejang berlangsung? Bila pasien bukan dengan
serangan kejang sederhana yang kesadaran masih baik tentu pasien tidak dapat menjawab
pertanyaan ini, oleh karena itu wawancara dilakukan dengan saksi mata yang mengetahui
serangan kejang berlangsung. Apakah ada deviasi mata dan kepala kesatu sisi? Apakah
pada awal serangan kejang terdapat gejala aktivitas motorik yang dimulai dari satu sisi
tubuh? Apakah pasien dapat berbicara selama serangan kejang berlangsung? Apakah
mata berkedip berlebihan pada serangan kejang terjadi? Apakah ada gerakan
“automatism” pada satu sisi ? Apakah ada sikap tertentu pada anggota gerak tubuh?
Apakah lidah tergigit? Apakah pasien mengompol ? Serangan kejang yang berasal dari
lobus frontalis mungkin dapat menyebabkan kepala dan mata deviasi kearah kontralateral
lesi. Serangan kejang yang berasal dari lobus temporalis sering tampak gerakan
mengecapkan bibir dan atau gerakan mengunyah. Pada serangan kejang dari lobus
oksipitalis dapat menimbulkan gerakan mata berkedip yang berlebihan dan gangguan
penglihatan. Lidah tergigit dan inkontinens urin kebanyakan dijumpai dengan serangan
kejang umum meskipun dapat dijumpai pada serangan kejang parsial kompleks.
4. Apakah yang terjadi segera sesudah serangan kejang berlangsung? Periode sesudah
serangan kejang berlangsung adalah dikenal dengan istilah “post ictal period ” Sesudah
mengalami serangan kejang umum tonik klonik pasien lalu tertidur. Periode disorientasi
dan kesadaran yang menurun terhadap sekelilingnya biasanya sesudah mengalami
serangan kejang parsial kompleks. Hemiparese atau hemiplegi sesudah serangan kejang
disebut “Todd’s Paralysis“ yang menggambarkan adanya fokus patologis di otak. Afasia
dengan tidak disertai gangguan kesadaran menggambarkan gangguan berbahasa di
hemisfer dominan. Pada “Absens“ khas tidak ada gangguan disorientasi setelah serangan
kejang.
5. Kapan kejang berlangsung selama siklus 24 jam sehari? Serangan kejang tonik klonik
dan mioklonik banyak dijumpai biasanya pada waktu terjaga dan pagi hari. Serangan
kejang lobus temporalis dapat terjadi setiap waktu, sedangkan serangan kejang lobus
frontalis biasanya muncul pada waktu malam hari.
6. Apakah ada faktor pencetus ? Serangan kejang dapat dicetuskan oleh karena kurang tidur,
cahaya yang berkedip,menstruasi, faktor makan dan minum yang tidak teratur, konsumsi
alkohol, ketidakpatuhan minum obat, stress emosional, panas, kelelahan fisik dan mental,
suara suara tertentu, “drug abuse”, “ reading & eating epilepsy”. Dengan mengetahui
faktor pencetus ini dalam konseling dengan pasien maupun keluarganya dapat membantu
dalam mencegah serangan kejang.
7. Bagaimana frekwensi serangan kejang ? Informasi ini dapat membantu untuk
mengetahui bagaimana respon pengobatan bila sudah mendapat obat obat anti kejang .
8. Apakah ada periode bebas kejang sejak awal serangan kejang ? Pertanyaan ini mencoba
untuk mencari apakah sebelumnya pasien sudah mendapat obat anti kejang atau belum
dan dapat menentukan apakah obat tersebut yang sedang digunakan spesifik bermanfaat ?
9. Apakah ada jenis serangan kejang lebih dari satu macam? Dengan menanyakan tentang
berbagai jenis serangan kejang dan menggambarkan setiap jenis serangan kejang secara
lengkap.
10. Apakah pasien mengalami luka ditubuh sehubungan dengan serangan kejang?
Pertanyaan ini penting mengingat pasien yang mengalami luka ditubuh akibat serangan

3
kejang ada yang diawali dengan “aura“ tetapi tidak ada cukup waktu untuk mencegah
supaya tidak menimbulkan luka ditubuh akibat serangan kejang atau mungkin ada
“aura“ , sehingga dalam hal ini informasi tersebut dapat dipersiapkan upaya upaya untuk
mengurangi bahaya terjadinya luka.
11. Apakah sebelumnya pasien pernah datang ke unit gawat darurat? Dengan mengetahui
gambaran pasien yang pernah datang ke unit gawat darurat dapat mengidentifikasi derajat
beratnya serangan kejang itu terjadi yang mungkin disebabkan oleh karena kurangnya
perawatan pasien, ketidakpatuhan minum obat, ada perubahan minum obat dan penyakit
lain yang menyertai.

Riwayat medik dahulu.

Dengan mengetahui riwayat medik yang dahulu dapat memberikan informasi yang berguna
dalam menentukan etiologinya. Lokasi yang berkaitan dengan serangan kejang dan pengetahuan
tentang lesi yang mendasari dapat membantu untuk pengobatan selanjutnya (Ahmed, Spencer
2004).2

1. Apakah pasien lahir normal dengan kehamilan genap bulan maupun proses
persalinannya?
2. Apakah pasien setelah lahir mengalami asfiksia atau “respiratory distress”?
3. Apakah tumbuh kembangnya normal sesuai usia?
4. Apakah ada riwayat kejang demam? Risiko terjadinya epilepsi sesudah serangan kejang
demam sederhana sekitar 2 % dan serangan kejang demam kompleks 13 %.
5. Apakah ada riwayat infeksi susunan saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis? atau
penyakit infeksi lainnya seperti sepsis, pneumonia yang disertai serangan kejang.
Dibeberapa negara ada yang diketahui didapat adanya cysticercosis.
6. Apakah ada riwayat trauma kepala seperti fraktur depresi kepala, perdarahan intra
serebral, kesadaran menurun dan amnesia yang lama?
7. Apakah ada riwayat tumor otak?
8. Apakah ada riwayat stroke?

Riwayat sosial.

Ada beberapa aspek sosial yang langsung dapat mempengaruhi pasien epilepsi dan ini penting
sebagai bagian dari riwayat penyakit dahulu dan sekaligus untuk bahan evaluasi (Ahmed,
Spencer 2004).2

1. Apa latar belakang pendidikan pasien? Tingkat pendidikan pasien epilepsi mungkin dapat
menggambarkan bagaimana sebaiknya pasien tersebut dikelola dengan baik. Dan juga
dapat membantu mengetahui tingkat dukungan masyarakat terhadap pasien dan
bagaimana potensi pendidikan kepada pasien tentang cara menghadapi penyakit yang
dialaminya itu.
2. Apakah pasien bekerja? Dan apa jenis pekerjaannya? Pasien epilepsi yang seragan
kejangnya terkendali dengan baik dapat hidup secara normal dan produktif. Kebanyakan
pasien dapat bekerja paruh waktu atau penuh waktu. Tetapi bila serangan kejangnya tidak

4
terkendali dengan baik untuk memperoleh dan menjalankan pekerjaan adalah merupakan
suatu tantangan tersendiri. Pasien sebaiknya dianjurkan memilih bekerja dikantoran,
sebagai kasir atau tugas - tugas yang tidak begitu berisiko, tetapi bagi pasien yang bekerja
di bagian konstruksi, mekanik dan pekerjaan yang mengandung risiko tinggi diperlukan
penyuluhan yang jelas untuk memodifikasikan pekerjaan itu agar supaya tidak
membahayakan dirinya.
3. Apakah pasien mengemudikan kendaraan bermotor? Pasien dengan epilepsi yang
serangan kejangnya tidak terkontrol serta ada gangguan kesadaran sebaiknya tidak
mengemudikan kendaraan bermotor. Hal ini bisa membahayakan dirinya maupun
masyarakat lainnya. Dibeberapa negara mempunyai peraturan sendiri tentang pasien
epilepsi yang mengemudikan kendaraan bermotor.
4. Apakah pasien menggunakan kontrasepsi oral? Apakah pasien merencanakan kehamilan
pada waktu yang akan datang? Pasien epilepsi wanita sebaiknya diberi penyuluhan
terlebih dahulu tentang efek teratogenik obat-obat anti epilepsi, demikian juga beberapa
obat anti epilepsi dapat menurun efeknya bila pasien juga menggunakan kontrasepsi oral
seperti fenitoin, karbamasepin dan fenobarbital. Dan bagi pasien yang sedang hamil
diperlukan obat tambahan seperti asam folat untuk mengurangi risiko terjadinya “ neural
tube defects“ pada bayinya.
5. Apakah pasien peminum alkohol? Alkohol merupakan faktor risiko terjadinya serangan
kejang umum, sebaiknya tidak dianjurkan minum-minuman alkohol. Selain berinteraksi
dengan obat-obat anti epilepsi tetapi dapat juga menimbulkan ekstraserbasi serangan
kejang khususnya sesudah minum alkohol .

Riwayat keluarga.

Mengetahui riwayat keluarga adalah penting untuk menentukan apakah ada sindrom epilepsi
yang spesifik atau kelainan neurologi yang ada kaitannya dengan faktor genetik dimana
manifestasinya adalah serangan kejang. Sebagai contoh “Juvenile myoclonic epilepsy (JME)“,“
familial neonatal convulsion“,“ benign rolandic epilepsy“ dan sindrom serangan kejang umum
tonik klonik disertai kejang demam plus (Ahmed, Spencer 2004).2

Riwayat allergi.

Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan seperti antiepilepsi, perlu dibedakan apakah
ini suatu efek samping dari gastrointestinal atau efek reaksi hipersensitif. Bila terdapat semacam
”rash“ perlu dibedakan apakah ini terbatas karena efek fotosensitif yang disebabkan eksposur
dari sinar matahari atau karena efek hipersensitif yang sifatnya lebih luas? (Ahmed, Spencer
2004).2

Riwayat pengobatan.

Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan antiepilepsi, perlu ditanyakan bagaimana
kemanjuran obat tersebut, berapa kali diminum sehari dan berapa lama sudah diminum selama
ini, berapa dosisnya, ada atau tidak efek sampingnya. (Ahmed, Spencer 2004)

5
Riwayat Pemeriksaan penunjang lain.

Perlu ditanyakan juga kemungkinan apa pasien sudah dilakukan pemeriksaan penunjang seperti
elektroensefalografi atau CT Scan kepala atau MRI. (Ahmed, Spencer 2004).2

PEMERIKSAAN FISIK DAN NEUROLOGI.

Pemeriksaan fisik harus menapis sebab sebab terjadinya serangan kejang dengan
menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada pasien yang berusia lebih tua
sebaiknya dilakukan auskultasi didaerah leher untuk mendeteksi adanya penyakit vaskular.
pemeriksaan kardiovaskular sebaiknya dilakukan pada pertama kali serangan kejang itu muncul
oleh karena banyak kejadian yang mirip dengan serangan kejang tetapi penyebabnya
kardiovaskular seperti sinkop kardiovaskular. Pemeriksaan kulit juga untuk mendeteksi apakah
ada sindrom neurokutaneus seperti “ café au lait spots “ dan “ iris hamartoma” pada
neurofibromatosis, “ Ash leaf spots” , “shahgreen patches” , “ subungual fibromas” , “ adenoma
sebaceum” pada tuberosclerosis, “ port - wine stain “ ( capilarry hemangioma) pada sturge-
weber syndrome. Juga perlu dilihat apakah ada bekas gigitan dilidah yang bisa terjadi pada
waktu serangan kejang berlangsung atau apakah ada bekas luka lecet yang disebabkan pasien
jatuh akibat serangan kejang, kemudian apakah ada hiperplasi ginggiva yang dapat terlihat oleh
karena pemberian obat fenitoin dan apakah ada “dupytrens contractures” yang dapat terlihat oleh
karena pemberian fenobarbital jangka lama. (Ahmed, Spencer 2004, Harsono 2001, Oguni
2004).2

Pemeriksaan neurologi meliputi status mental, “gait“ , koordinasi, saraf kranialis, fungsi
motorik dan sensorik, serta refleks tendon. Adanya defisit neurologi seperti hemiparese ,distonia,
disfasia, gangguan lapangan pandang, papiledema mungkin dapat menunjukkan adanya
lateralisasi atau lesi struktur di area otak yang terbatas. Adanya nystagmus , diplopia atau ataksia
mungkin oleh karena efek toksis dari obat anti epilepsi seperti karbamasepin,fenitoin, lamotrigin.
Dilatasi pupil mungkin terjadi pada waktu serangan kejang terjadi.” Dysmorphism “ dan
gangguan belajar mungkin ada kelainan kromosom dan gambaran progresif seperti demensia,
mioklonus yang makin memberat dapat diperkirakan adanya kelainan neurodegeneratif.
Unilateral automatism bisa menunjukkan adanya kelainan fokus di lobus temporalis ipsilateral
sedangkan adanya distonia bisa menggambarkan kelainan fokus kontralateral dilobus
temporalis.(Ahmed, Spencer 2004, Harsono 2001, Oguni 2004, Sisodiya, Duncan 2000).2

Pemeriksaan laboratorium

Hiponatremia, hipoglikemia, hipomagnesia, uremia dan hepatik ensefalopati dapat


mencetuskan timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan serum elektrolit bersama dengan glukose,
kalsium, magnesium, “ Blood Urea Nitrogen” , kreatinin dan test fungsi hepar mungkin dapat

6
memberikan petunjuk yang sangat berguna. Pemeriksaan toksikologi serum dan urin juga
sebaiknya dilakukan bila dicurigai adanya “ drug abuse” (Ahmed, Spencer 2004, Oguni 2004).2

Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG)

Pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan


elektroensefalografi (EEG). Pemeriksaan EEG rutin sebaiknya dilakukan perekaman pada wktu
sadar dalam keadaan istirahat, pada waktu tidur, dengan stimulasi fotik dan hiperventilasi.
Pemeriksaam EEG ini adalah pemeriksaan laboratorium yang penting untuk membantu diagnosis
epilepsi dengan beberapa alasan sebagai berikut (Duncan, Kirkpatrick, Harsono 2001, Oguni
2004).2

1. Pemeriksaan ini merupakan alat diagnostik utama untuk mengevaluasi pasien dengan
serangan kejang yang jelas atau yang meragukan. Hasil pemeriksaan EEG akan
membantu dalam membuat diagnosis, mebgklarifikasikan jenis serangan kejang yang
benar dan mengenali sindrom epilepsi.
2. Dikombinasikan dengan hasil pemeriksaan fisik dan neurologi, pola epileptiform pada
EEG (spikes and sharp waves) sangat mendukung diagnosis epilepsi. Adanya gambaran
EEG yang spesifik seperti “3-Hz spike-wave complexes“ adalah karakteristik kearah
sindrom epilepsi yang spesifik.
3. Lokalisasi dan lateralisasi fokus epileptogenik pada rekaman EEG dapat menjelaskan
manifestasi klinis daripada“aura“ maupun jenis serangan kejang. Pada pasien yang akan
dilakukan operasi, pemeriksaan EEG ini selalu dilakukan dengan cermat.

Sebaliknya harus diketahui pula bahwa terdapat beberapa alasan keterbatasan dalam menilai
hasil pemeriksaan EEG ini yaitu :2

1. Pada pemeriksaan EEG tunggal pada pertama kali pasien dengan kemungkinan epilepsi
didapat sekitar 29-50 % adanya gelombang epileptiform, apabila dilakukan pemeriksaan
ulang maka persentasinya meningkat menjadi 59-92 %. Sejumlah kecil pasien epilepsi
tetap memperlihatkan hasil EEG yang normal, sehingga dalam hal ini hasil wawancara
dan pemeriksaan klinis adalah penting sekali.
2. Gambaran EEG yang abnormal interiktal bisa saja tidak menunjukkan adanya epilepsi
sebab hal demikian dapat terjadi pada sebagian kecil orang-orang normal oleh karena itu
hasil pemeriksaan EEG saja tidak dapat digunakan untuk menetapkan atau meniadakan
diagnosis epilepsi.
3. Suatu fokus epileptogenik yang terlokalisasi pada pemeriksaan EEG mungkin saja dapat
berubah menjadi multifokus atau menyebar secara difus pada pasien epilepsi anak.
4. Pada EEG ada dua jenis kelainan utama yaitu aktivitas yang lambat dan epileptiform, bila
pada pemeriksaan EEG dijumpai baik gambaran epileptiform difus maupun yang fokus
kadang-kadang dapat membingungkan untuk menentukan klasisfikasi serangan kejang
kedalam serangan kejang parsial atau serangan kejang umum.

Pemeriksaan vidio EEG

7
Pemeriksaan ini dilakukan bila ada keraguan untuk memastikan diagnosis epilepsi atau
serangan kejang yang bukan oleh karena epilepsi atau bila pada pemeriksaan rutin EEG hasilnya
negatif tetapi serangan kejang masih saja terjadi, atau juga perlu dikerjakan bila pasien epilepsi
dipertimbangkan akan dilakukan terapi pembedahan. Biasanya pemeriksaan video-EEG ini
berhasil membedakan apakah serangan kejang oleh karena epilepsi atau bukan dan biasanya
selama perekaman dilakukan secara terus-menerus dalam waktu 72 jam, sekitar 50-70% dari
hasil rekaman dapat menunjukkan gambaran serangan kejang epilepsi (Kirpatrick, Sisodiya,
Duncan 2000, Stefan, 2003).2

Pemeriksaan radiologi

Ct Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) kepala
adalah untuk melihat apakah ada atau tidaknya kelainan struktural diotak (Harsono 2003, Oguni
2004).2

Indikasi CT Scan kepala adalah: (Kustiowati dkk 2003)

- Semua kasus serangan kejang yang pertama kali dengan dugaan ada kelainan struktural di
otak.
- Perubahan serangan kejang.
- Ada defisit neurologis fokal.
- Serangan kejang parsial.
- Serangan kejang yang pertama diatas usia 25 tahun.
- Untuk persiapan operasi epilepsi.
CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra indikasi namun demikian pemeriksaan
MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraan otak pilihan untuk epilepsi dengan sensitivitas
tinggi dan lebih spesifik dibanding dengan CT Scan. Oleh karena dapat mendeteksi lesi kecil
diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa, maupun
epilepsi refrakter yang sangat mungkin dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan MRI kepala
ini biasanya meliputi:T1 dan T2 weighted“ dengan minimal dua irisan yaitu irisan axial, irisan
coronal dan irisan saggital (Duncan, Kirkpatrick, Kustiowati dkk 2003).2

Pemeriksaan neuropsikologi

Pemeriksaan ini mungkin dilakukan terhadap pasien epilepsi dengan pertimbangan akan
dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan ini khususnya memperhatikan apakah ada tidaknya
penurunan fungsi kognitif, demikian juga dengan pertimbangan bila ternyata diagnosisnya ada
dugaan serangan kejang yang bukan epilepsi (Oguni 2004, Sisodiya 2000).2

KLASIFIKASI DAN DIFERENTIAL DIAGNOSIS

Bangkitan parsial (epilepsy petitmal)

8
Bangkitan parsial (atau lebih dikenal dengan nama epilepsy petitmal yang timbul pada derah
otak yang terbatas akan menimbulkan keluhan dan gejala local. Bangkitan epilepsy ini
diklasifikasi berdasarkan akibatnya pada kesadaran pasien dan apakah bangkitan tersebut
menyebar melalui lintasan motoric hingga terjadi bangkitan yang menyeluruh.3 Kejang
parsial/fokal dimulai di suatu daerah di otak, biasanya korteks serebrum:1,7
-
Kejang parsial sederhana, tidak ada gangguan kesadaran, kejang parsial sederhana
dibagi lagi menjadi beberapa kategori berdasarkan tanda dan gejala yang dihasilkan
oleh kejang.
-
Kejang parsial kompleks, disertai gangguan kesadaran kesadaran. Lepas muatan
kejang ini sering berasal dari lobus temporalis medial atau inferior dan melibatkan
gangguan pada fungsi serebrum yang lebih tinggi serta proses-proses pikiran, serta
proses perilaku yang kompleks. Kejang inidapat dipicu musik, cahaya berkedip-kedip,
atau rasngsang lain, dan dan sering disertai aktifitas motorik repetitif involuntar yang
terkordinasi yang dikenal sebagai perilaku otomatis. Contoh perulaku ini adalah,
menarik-narik baju, meraba-raba benda, menegecap bibir atau mengunyah berulang-
ulang.
-
Kejang parsial yang berkembang menjadi kejang umum, kejang ini didahului kejang
parsial sederhana maupun kompleks yang menjadi kejang umum biasanya tonik-
klonik.
Bangkitan menyeluruh (epilepsy grandma)

Sebagaimana ditunjuk oleh namanya , bangkitan epilepsy yang menyeluruh (atau lebih dikenal
dengan sebutan epilepsy grandmal) menimbbulkan abnormalitas elektrik yang menyeluruh
diotak. Bangkitan ini bisa berupa serangan kejang atau serangan tanpa kejang dan mencakup
beberapa tipe epilepsy:3

- Absence seizures paling sering ditemukan pada anak-anak meskipun dapat pula mengenai
dewasa, bangkitan ini dimulai dengan perubahan tingkat kesadaran selama sesaat yang
ditunjukan oleh gerakan mengedipkan mata atau bola mata yang berputar, pandangan
yang kosong dan sedikit gerakan mulut. Pasien tetap mempertahankan postur tubuhnya
dan melanjutkan aktivitas pra-bangkitan tanpa kesulitan. Secara khas, setiap serangan
absence seizure berlangsung selama 1-10 detik. Jika tidak ditangani dengan baik,
bangkitan, bangkitan epilepsy ini dapat muncul kembali sampai 100 kali per hari.
absence seizure bukan bangkitan epilepsy dengan serangan kejang. Tetapi tipe ini dapat
berlanjut menjadi tipe bangkitan yang menyeluruh dengan kejang tonik klonik.3

9
- Bangkitan mioklonik (mioklonus epileptic bilateral yang masif) merupakan gerakan
menyentak yang singkat pada otot involunter tubuh atau pada otot ekstremitas yang bisa
berirama. Kesadaran biasanya tidak dipengaruhi.3
- Bangkita tonik klonik yang menyeluruh secara khas dimulai dengan tangisan keras, yang
ditimbulkan oleh udara yang dihembuskan keluar dari dalam paru-paru melalui pita
suara. Kemudian pasien tidak sadarkan diri dan jatuh ke tanah. Tubuhnya mengejang
(fase tonik) dan kemudian terjadi spasme serta relaksasi otot secara bergantian ( fase
klonik). Lidah yang tergigit, inkotinensia, pernapasan yang berat, apnea, dan selanjutnya
sianosis dapat terjadi. Bangkitan epilepsy ini berhenti dalam waktu dua hingga lima
menit ketika hantaran implus elektrik yang abnormal terhenti. Ketika pasien sadar
kembali, ia akan tampak bingung dan mungkin sulit berkata-kata. Jika tidak berkata,
pasien mungkin mengeluhkan rasa mengantuk, lelah, sakit kepala, rasa pegal pada otot
dan kelemahan pada lengan atau tungkai. Mungkin pasien akan tertidur nyenyak setelah
mengalami bangkitann epilepsy tersebut.3
- Bangkitan atonik ditandai oleh kehilangan tonus postural yang menyeluruh dan
kehilangan kesadaran temporer. Bangkitan ini dapat terjadi pada anak kecil dan kadang-
kadang disebut “serangan roboh” karena membuat anak itu terjatuh.3

Serangan non-epileptik psikogenik

Gejala yang dapat membedakannya dari epilepsi adalah durasi yang lama, tidak pernah terjadi
waktu tidur, perjalanan penyakit yang berfluktuasi, gerakan asinkron, gerakan pelvis, gerakan
kepala ke kiri dan kanan, menutup mata saat serangan, menangis saat serangan, ingat dan
mengetahui apa yang terjadi saat serangan, dan tidak adanya gejala bingung pasca serangan.
Serangan hampir selalu terjadi bila ada orang lain di sekitarnya.Serangan non-Epileptic
psikogenik sering disertai berbagai gangguan psikiatrik.6

Epilepsi simtomatik

Penyebab diketahui dan dapat terjadi bila fungsi otak terganggu oleh berbagai kelainan
intrakranial misalnya anomali kongenital, trauma otak, neoplasma otak, lesi iskemia, enselopati,
abses otak dan jaringan parut atau kelainan ekstrakranial dimana penyebab bermula ekstra-
kranial kemudian mengganggu fungsi otak juga misalnya gagal jantung, gangguan pernafasan,
gangguan metabolisme (hipoglikemia, hiperglikemia, uremia), gangguan keseimbangan
elektrolit, intoksikasi obat dan gangguan keseimbangan cairan.7

WORKING DIAGNOSIS

Epilepsy umum tonik klonik

Bangkitan tonik klonik yang menyeluruh secara khas dimulai dengan tangisan keras,
yang ditimbulkan oleh udara yang dihembuskan keluar dari dalam paru-paru melalui pita suara.
Kemudian pasien tidak sadarkan diri dan jatuh ke tanah. Tubuhnya mengejang (fase tonik) dan

10
kemudian terjadi spasme serta relaksasi otot secara bergantian ( fase klonik). Lidah yang
tergigit, inkotinensia, pernapasan yang berat, apnea, dan selanjutnya sianosis dapat terjadi.
Bangkitan epilepsy ini berhenti dalam waktu dua hingga lima menit ketika hantaran implus
elektrik yang abnormal terhenti. Ketika pasien sadar kembali, ia akan tampak bingung dan
mungkin sulit berkata-kata. Jika tidak berkata, pasien mungkin mengeluhkan rasa mengantuk,
lelah, sakit kepala, rasa pegal pada otot dan kelemahan pada lengan atau tungkai. Mungkin
pasien akan tertidur nyenyak setelah mengalami bangkitann epilepsy tersebut.

Epidemiologi

Hingga 1% dari populasi umum menderita epilepsy aktif, dengan 20-50 pasien baru yang
terdiagnosis per 100.000 per tahunnya. Perkiraan angka kematian pertahun akibat epilepsy
adalah 2 per 100.000. kematian dapat berhubungan langsung dengan kejang, misalnya ketika
terjadi serangkaian kejang yang tidak terkontrol, dan diantara serangan pasien tidak sadar. Atau
jika terjadi akibat cedera akibat kecelakaan atau trauma. Fenomena kemaatian mendadak yang
terjadi pada penderita epilepsy (suden unexplained death in epilepsy, SUDEP) diasumsikan
berhubungan dengan aktivitas kejang dan kemungkinan besar karena disfungsi kardioresepirasi.1

Etiologi

Sekitar separuh dari semua kasus epilepsy bersifat idiopatik. Kemungkinana keadaan lain yang
menjadi penyebab bangkitan epilepsy meliputi :3

 Trauma lahir (pasokan oksigen yang tidak mencukupi ke dalam otak, inkompatibilitas
darah, atau perdarahan)
 Infeksi perinatal
 Anoksia
 Penyakit infeksi (meningitis, ensefalitis, atau abses serebri)
 Tumor otak
 Gangguan bawaan atau penyakit degenerative, seperti fenilketonuria atau sclerosis
tuberosa
 Cedera atau trauma kepala
 Gangguan metabolic, seperti hipoglikemia dan hiperparatiroidisme
 Stroke (perdarahan, thrombosis, atau emboli).3

Patofisiologi

Dalam keadaan fisiologik neuron melepaskan muatan listriknya oleh karena potensial
membrannya direndahkan oleh potensial postsinaptik yang tiba pada dendrit. Potensial aksi itu
disalurkan melalui akson yang bersinaps dengan dendrit neuron lain. Pada keadaan patologik,
gaya yang bersifat mekanik atau toksik dapat menurunkan potensial membran neuron, sehingga

11
neuron melepaskan muatan listriknya. Manifestasi klinisnya berupa kejang atau terasanya suatu
modalitas perasaan. Diduga neurotransmitter acetylcholine merupakan zat yang merendahkan
potensial membran postsinaptik. Apabila sudah cukup acetylcholine tertimbun di permukaan
otak, maka pelepasan muatan listrik neuron-neuron kortikal dipermudah. Penimbunan
acetylcholine setempat harus mencapai suatu konsentrasi tertentu untuk dapat merendahkan
potensial membran sehingga lepas muatan listrik dapat terjadi. Oleh karena itu, fenomena lepas
muatan listrik epileptik terjadi secara berkala.4
Ditinjau dari bidang biokimia, didapatkan juga faktor etiologik yang dapat menjelaskan
mekanisme epilepsi yang hingga saat ini dianggap sebagai idiopatik. Misalnya zat yang dikenal
sebagai gama-aminobutyric-acid (GABA). Substansi serbral itu dapat dianggap sebagai zat anti-
konvulsi alamiah. Pada orang tertentu zat itu kurang cukup, sehingga neuron-neuron kortikalnya
mudah sekali terganggu dan bereaksi dengan melepaskan muatan listriknya secara menyeluruh.4
Pada kejang grand mal yang secara primer melepaskan muatan listriknya adalah nuklei
intralaminares talami atau inti centrecephalic. Inti tersebut merupakan terminal dari lintasan
asendens aspesifik atau lintasan asendens ektralemniskal. “Input” korteks serebri melalui lintasan
aferen aspesifik itu menentukan derajat kesadaran. Bila sama sekali tidak ada “input”, maka
timbullah koma. Pada grand mal, terjadi lepas muatan listrik dari inti-inti intralaminar talamik
secara berlebihan. Perangsangan talamokortikal yang berlebihan ini menghasilkan kejang otot
seluruh tubuh (konvulsi umum) dan sekaligus menghalangi neuron-neuron pembina kesdaran
menerima impuls aferen dari dunia luar sehingga kesadaran hilang. Selain mekanisme di atas,
terdapat bagian dari substansia retikularis di bagian rostral dari mesensefalon yang dapat
melakukan blokade sejenak terhadap inti-inti intralaminar talamik, sehingga kesadaran hilang
sejenak tanpa disertai kejang-kejang pada otot skeletal. Hal ini terjadi pada kejang petit mal.
Demam merupakan keadaan dimana nuklei intralaminares talami menjadi lebih peka untuk
diaktifkan atau merupakan keadaan dimana ambang lepas muatan listrik neuron-neuron kortikal
direndahkan, sehingga kejang umum mudah terjadi.4

Gejala klinis
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, gambaran klinis pasien dengan epilepsi tonik-klonik
adalah: ketidaksadaran biasanya disertai dengan jatuh, otot-otot seluruh badan kaku dan diikuti
oleh kejang klonik. Bila pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut menjadi berbusa
karena hembusan nafas. Pasien juga dapat mengalami inkontinensia urin dan atau alvi. Setelah

12
kejang berhenti, pasien tertidur beberapa lama atau terbangun dengan kesadaran yang masih
rendah, dapat pula langsung sadar dengan keluhan bada pegal, lelah, dan nyeri kepala.5

Komplikasi

Komplikasi dari trauma medulla spinalis meliputi :3

 Disfreleksia otonom
 Syok spinal
 Syok neurogenic

Penatalaksanaan

Setelah bangkitan yang pertama, keputusan untuk memulai pengobatan bergantung pada
risiko adanya bangkitan dikemudian hari serta apakah bangkitan dimulai dengan suatu status
epileptikus. Risiko ini tergantung dari kondisi bangkitan dan hasil pemeriksaan. Risiko
berulangnya kejang dalam 10 tahun terjadi pada 19% setelah kejang simptomatik akut akibat
trauma kepala, stroke, infeksi SSP, tetapi risiko berulang tiga kali lipat pada bangkitan tanpa
provokasi. Selain itu seberapa besar kemungkinan terjadinya konsekuensi psikososial, masalah
pekerjaan, atau keadaan fisik akibat bangkitan selanjutnya dan pertimbangan untung rugi antara
pengobatan dan efek samping yang ditimbulkan. Ketepatan diagnosis merupakan dasar terapi.

Tujuan medikasi

Tujuan utama terapi epilepsi adalah mengupayakan penyandang epilepsi dapat hidup normal
dan tercapa kualitas hidup optimal. Harapannya adalah ‘bebas bangkitan, tanpa efek samping’,
walaupun hal ini sulit terjadi pada medikasi inisial.8

Prinsip penatalaksanaan

 Pertolongan pertama

Keluarga harus diedukasi mengenai pertolongan pertama apa yang harus dilakukan bila
serangan timbul sebelum dibawa ke unit gawatdarurat. Pertama, dipastikan pasien aman dari
sekitarnya dengan menjauhkan pasien dari benda-benda yang dapat melukai pasien. Kemudian

13
penolong jangan menahan gerakan kejang pasien dan jangan memasukan benda apapun ke mulut
pasien karena akan menambah cedera. Direkomendasikan untuk memiringkan posisi pasien
supaya mencegah obstruksi jalan napas dan aspirasi. Jangan memberikan makanan atau
minuman sampai kesadaran pasien pulih.

Terapi farmakologis

 Prinsip Pemberian OAE


- Diagnosis epilepsi sudah dipastikan
- Terdapat minimum dua bangkitan dalam setahun
- Penyandang atau keluarganya sudah menerima penjelasan tentang tujuan pengobatan dan
efek sampingnya
- Bangkitan terjadi berulang walaupun faktor pencetus sudah dihindari

Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai dengan jenis
bangkitan dan jenis sindrom epilepsi. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan ditingkatkan
bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping.8

Penyesuaian dosis diperlukan ketika timbulnya efek samping atau terjadi bangkitan yang
tidak dapat dibedakan karena dosis yang kurang tepat atau adanya faktor presipitasi seperti
penggunaan etanol berlebih. Jika efek samping ringan, maka penyesuaian ringan dosis mungkin
bermanfaat. Bila masalahnya adalah timbulnya bangkitan, maka diperlukan titrasi OAE ke dosis
yang lebih besar, atau sampai ke dosis maksimal yang dapat ditoleransi.

Bila dengan penggunaan OAE pertama dosis maksimum tidak dapat mengontrol bangkitan,
maka diganti dengan OAE kedua. OAE kedua harus memiliki mekansisme kerja yang berbeda
dengan OAE pertama. Caranya, bila OAE telah mencapai kadar terapi maka OAE pertama
diturunkan bertahap. Bila terjadi bangkitan saat penurunan OAE pertama, maka kedua OAE
tetap diberikan. Bila respon yang terjadi buruk, kedua OAE harus digantikan dengan OAE yang
lain. Penambahan OAE ketiga baru dilakukan bila terdapat respsons dengan OAE kedua, tetapi
respons tetap suboptimal walaupun penggunaan kedua OAE pertama sudah maksimal.

Pemilihan, Jenis Obat, dan Mekanisme Kerjanya

14
Pemilihan OAE didasarkan atas jenis bangkitan epilepsi, dosis OAE, efek samping OAE, profil
farmakologi, dan interaksi antar obat.8

Tabel 5. Pemilihan Obat Anti Epilepsi8

Tabel 6. Dosis OAE untuk dewasa8

15
Tabel 7. Efek samping OAE8

Tabel 8. Profil farmakologi OAE

Tabel 9. Interaksi farmakokinetik antar OAE

16
Penghentian OAE

Pada suatu studi meta analisis, kekambuhan kejang terjadi 25% setelah penghentian OAE
selama 1 tahun dan 29% setelah penghentian selama 2 tahun. Namun, angka kejadian
kekambuhan setiap tahunnya hanya sekitar 8% pada penghentian OAE selama 2 tahun.

Inisiasi penghentian OAE dilakukan setelah 2 tahun bebas kejang. Syarat lain penghentian
OAE adalah disetujui oleh penyandang dan keluarga, dilakukan secara bertahap dalam jangka
waktu 3-6 bulan, serta bila terapi dengan lebih dari satu OAE maka penghentian dimulai dari
satu OAE yang bukan utama.8

Kekambuhan setelah penghentian OAE akan lebih besar kemungkinannya pada keadaan
sebagai berikut:

- Semakin tua usia


- Epilepsi simptomatik
- Gambaran EEG abnormal
- Bangkitan yang sulit terkontrol dengan OAE
- Pengunaan lebih dari satu OAE
- Telah mendapat terapi selama 10 tahun atau lebih

Bila bangkitan timbul kembali maka gunakan dosis efektif terakhir (sebelum pengurangan dosis
OAE), kemudian dievaluasi kembali.8

Terapi bedah

Akhir-akhir ini terapi bedah saraf semakin dipertimbangkan untuk pasien dengan epilepsy yang
terus-menerus, refrakter terhadap dosis maksimal antikonvulsan terutama pada pasien dengan
lokasi onset kejang yang jelas. Sekarang ini dengan pencitraan MR telah dapat diidentifikasi lesi
kecil lobus temporal, sclerosis atau kelainan perkembangan (hamartoma) yang sebelumnya tidak
dapat dideteksi oleh CT scan, seperti ditujukan gambar 10.2. Pada pasien lain dimana tidak ada
lesi pada pencitraan, maka focus epileptogenic dapat dideteksi dari elektrofisiologi. Pasien ini
dapat menjalani operasi pembedahan untuk menghilangkan jaringan epileptogenic. Pada kasus
simtomatik lain yang kurang spesifik, prosedur bedah dapat diindikasikan, termasuk
hemisferektomi dan prosedur-prosedur pemutusan hubungan, seperti pemotongan korpus
kalosum. Pada semua kasus, terapi bedah hanya dilakukann pada pasien-pasien terpilih, dinilai

17
oleh pusat studi saraf (neuroscience), termasuk penentuan fungsi jaringan yang akan
dihilangkan.1

KESIMPULAN

Epilepsi adalah manifestasi gangguan otak dengan berbagai etiologi namun dengan gejala
tunggal yang khas yaitu serangan berkala yang disebabkan lepas muatan listrik neuron kortikal
secara berlebih. Salah satu jenis epilepsi yang paling umum ditemui adalah epilepsi tonik-klonik
umum dimana penderitanya akan mengalami kejang tonik lalu klonik selama beberapa menit.
Penatalaksaan yang penting adalah pemberian obat anti kejang sepert fenitoin, karbamazepin,
atau fenobarbital untuk mencegah dan mengurangi frekuensi kejang agar kualitas hidup pasien
membaik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ginsberg L. Lecture notes neurologi .2007. Penerbit Erlangga. Ed 8


2. Sunaryo U. Diagnosis epilepsy. 2007. Jurnal Ilmiah Kedokteraan Wijaya Kusuma. 1(1).
3. Kowalak, Welsh, Mayer. Buku ajar patofisiologi. 2014. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
4. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi dasar klinis. Jakarta: Dian Rakyat; 2012.
5. Mansjoer A, Kuspuji T, Savitri R. Kapita selekta kedokteran. Edisi 4. Jilid 2. Jakarta:
Media Aesculapius; 2013.
6. Pusponegoro. Keadaan mirip epilepsy. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan VI
7. Haryanti R, Dimyati Y, Saing J.H. Faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi kognitif
pada epilepsy. Medan: Majalah Kedokteran Nusantara.50(4): 2017
8. Budikayanti A, Islamiyah WR, Lestari ND. Diagnosis dan Diagnosis Banding. In:
Kusumastuti K, Gunadharma S, Kustiowati E, editors. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. 4th
ed. Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair; 2014.

18

Anda mungkin juga menyukai