Pembimbing :
drg. Tommy Frahdian
DAFTAR ISI i
DAFTAR GAMBAR ii
ABSTRAK iii
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB IV SIMPULAN 22
DAFTAR PUSTAKA 23
i
DAFTAR GAMBAR
15
ii
ABSTRAK
Diabetes mellitus adalah penyakit kronis yang lazim terjadi di seluruh dunia
dengan peningkatan frekuensi kejadian. Diabetes memiliki gejala yang beragam di
tubuh manusia. Dapat dikatakan bahwa keadaan mulut merupakan cerminan
kesehatan sistemik. Efek dari diabetes sering tampak pada rongga mulut.
Gingivitis dan periodontitis merupakan yang paling sering terkait dengan diabetes.
Periodontitis dilaporkan sebagai komplikasi keenam dari diabetes dan memiliki
hubungan dua arah.
Artikel ini mengulas tentang lesi oral yang terjadi pada penderita diabetes dan
patogenesisnya. Artikel ini juga menjelaskan hubungan antara diabetes dan
kesehatan mulut dengan menitikberatkan pada kebutuhan penilaian dan perawatan
kesehatan mulut sebagai bagian dari terapi pencegahan untuk diabetes.
iii
BAB I
PENDAHULUAN
merupakan cerminan dari kesehatan sistemik. Efek diabetes juga dapat dilihat
pada ronga mulut. Masalah oral pada diabetes melingkupi gingivitis, periodontitis,
infeksi jamur, karies gigi, hipoplasia enamel, gigi sensitif, retakan mukosa mulut,
maupun berkembang. Pada tahun 2000, diperkirakan 175 juta manusia memliki
diabetes di seluruh dunia dan pada tahun 2030 diperhitungkan diabetes mencapai
354 juta. Prevalensi Diabetes di India diduga meningkat dari 31,7 juta pada tahun
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes
banyak kasus yang dihasilkan dari faktor imunologi. Latent Autoimmune Diabetes
sampai perluasan defek sekresi dengan resistensi insulin. Sering dikaitkan dengan
5
6
dari fungsi sel β (misalnya jenis MODY). Kelainan genetik dari aksi insulin.
Sindrom genetik lainnya yang dapat dikaitkan dengan diabetes. Infeksi dan bentuk
glukosa plasma puasa ≥ 126mg / dl (≥ 7,0 mmol / l) atau 2-h tes toleransi glukosa
oral (oGTT) nilai dalam plasma vena ≥ 200mg / dl (≥ 11.1mmol / l). HbA1c ≥
glukosa plasma 2 jam nilai dalam oGTT dalam kisaran dari 140-199 mg / dl (7,8-
11,0 mmol / l) dengan kadar glukosa puasa <126mg / dl (<7.0mmol / l). IFG dan
7
IGT juga hadir di banyak orang dengan gangguan fungsi glukosa (Petersmann A
et al. 2018).
gangguan sekresi insulin ataupun gangguan kerja insulin (resistensi insulin) pada
organ target terutama hati dan otot. Awalnya resistensi insulin belum
dari tubuh berupa keadaan hiperinsulinemia, glukosa darah masih normal atau
baru sedikit meningkat akibat sekresi insulin oleh sel beta pankreas tersebut.
Insulin dihasilkan oleh sel beta pankreas dan akan disekresikan dalam
bersama glukagon yang diproduksi oleh sel alfa pankreas. Insulin disintesis dalam
bentuk preproinsulin (prekursor insulin) pada retikulum endoplasma sel beta, yang
akan dipecah menjadi proinsulin oleh bantuan enzim peptidase dan akan dikemas
dalam secretory vesicle dalam sel tersebut. Selanjutnya proinsulin akan diurai
menjadi insulin dan peptida-C oleh enzim peptidase, dan siap untuk disekresikan
Pelepasan insulin dari simpanan granula sel beta pankreas dipicu oleh
peningkatan kadar glukosa darah yang berasal dari makanan dan minuman.
Insulin ini berfungsi mengalami glukosa agar selalu dalam batas-batas fisiologis.
membran sel beta melalui Glucosa transporter 2 (GLUT 2) yang terdapat dalam
membran sel beta pankreas. Selanjutnya glukosa di dalam sel akan mengalami
glikolisis dan fosforilasi yang kemudian akan membebaskan molekul ATP, dan
akan memicu sekresi insulin ke dalam sirkulasi (Longo DL., et al., 2012).
Pada jaringan perifer seperti jaringan otot dan lemak, insulin berikatan
dengan reseptor pada membran sel tersebut. Ikatan ini akan menghasilkan sinyal
yang akan meregulasi glukosa dalam sel dengan cara peningkatan GLUT-4 dan
secara pasti belum banyak diketahui. DM tipe 2 ditandai dengan dua defek
metabolik, yaitu gangguan sekresi insulin pada sel beta serta ketidakmampuan
Namun diperkirakan hal ini berkaitan dengan pengendapan amiloid pada sel islet.
amiloid. Komponen yang mengendap ini, amilin juga secara fisiologis diproduksi
dan dilepaskan bersama insulin oleh sel beta pankreas sebagai respon terhadap
juga peningkatan produksi amilin, yang kemudian akan mengendap di sel islet
sebagai amiloid. Amiloid ini akan menyebabkan refrakter pada sel beta dalam
menerima sinyal dari glukosa. Selain itu amiloid bersifat toksik pada sel beta,
9
sehingga dari keadaan inilah hal yang mendasari kerusakan sel beta yang
menyebabkan gangguan sekresi insulin pada pasien DM tipe 2 (Longo DL., et al.,
2012).
Pada dasarnya resistensi insulin dapat terjadi baik pada reseptor insulin
maupun pada salah satu tahap proses transduksi sinyal yang diinduksi oleh ikatan
insulin dan reseptornya. Resistensi insulin berkaitan erat dengan obesitas karena
dengan otot dan hati melalui mediator yang dihasilkan sel lemak. Sel lemak dapat
menghasilkan TNF, asam lemak, leptin, dan resistin (Salzler Michael J C., et al.,
2007).
yang memicu resistensi insulin. Kadar leptin yang menurun dan peningkatan
kompleks karena banyak faktor yang berperan penting dalam hal terjadinya
diabetes melitus, antara lain faktor genetik, faktor lingkungan (seperti infeksi,
trauma, stres, nutrisi dan lain-lain) dan faktor endrokin lainnya (seperti epinefrin,
Penyakit ini memberikan komplikasi dalam bentuk akut atau kronis yang
menyerang berbagai organ tubuh seperti mata, kulit, ginjal, pembuluh darah
termasuk juga struktur dalam rongga mulut. Hubungan antara diabetes melitus
kepustakaan. Gambaran yang khas penyakit ini dalam rongga mulut dikemukakan
pertama kali pada tahun 1928 oleh William, yang menyebutnya sebagai
tanggalnya gigi geligi dan hipertrofi gingiva. Diabetes melitus juga dapat
rongga mulut ini menyebabkan seorang dokter gigi dapat turut berperan serta
menunjukkan bahwa penyakit diabetes melitus dengan terapi yang adekuat tidak
nondiabetes melitus dengan iritasi lokal yang sama. Secara umum diketahui
terjadinya komplikasi diabetes melitus pada rongga mulut antara lain karena
bakteri dan pembentukan plak gigi. Pemeriksaan kadar glukosa dalam cairan
gingival pada penderita diabetes melitus ternyata lebih tinggi bila dibandingkan
penderita nondiabetes melitus dengan skor indeks plak dan indeks gingivaI yang
sama.
sisa makanan serta berkurangnya oral self cleansing. Disamping itu, kadar siklik
diabetes melitus.
komplikasi, baik pada gigi, jaringan penyangga gigi, mukosa rongga mulut
maupun pada lidah. Pada gigi geligi terlihat adanya peningkatan frekuensi karies
dentis dan pulpitis pada gigi yang tidak berlubang akibat adanya arteritis diabetika
terjadinya hipoplasi gigi pada masa perkembangan gigi geligi dan perubahan pola
erupsi gigi.
terlihat adanya hipertrofi gingiva yang berwarna merah tua, mudah berdarah, sakit
dan sering terjadi abses gingival yang multipel. Pada jaringan penyangga terlihat
sudah bisa terjadi pada usia muda. Selain itu, dapat terlihat pula adanya saku
periodontal yang dalam, abses periodontal, resorpsi tulang alveolar yang cepat dan
banyak, sehingga menyebabkan gigi goyang dan akhirnya tanggalnya gigi geligi.
selaput lendir rongga mulut lainnya akibat berkurangnya aliran saliva. Selaput
14
lendir mengalami ulserasi dan sering terlihat adanya kandidiasis dalam rongga
mulut. Pembentukan karang gigi yang cepat penderita mengeluh lidahnya kering
dan perasaan terbakar pada lidah akibat adanya neuropati perifer. Di samping itu,
pada lidah tampak adanya pembesaran dan hiperemi papila fusiformis. Otot lidah
menjadi flabby sehinga memberikan gambaran tapak gigi pada permukaan lidah
bagian lateral. Di samping itu, dapat terjadi pembesaran kelenjar parotis bilateral
mengikuti pola yang konsisten tetapi tergantung dari beberapa faktor misalnya
apakah penyakitnya terkontrol atau tidak, berat serta lamanya menderita penyakit
melitus yang tidak terkontrol akan memberikan komplikasi pada rongga mulut
yang prosesnya berjalan lebih cepat disertai kerusakan jaringan periodontal yang
lebih hebat.
komplikasi pada rongga mulut yang sifatnya kronis dan hal ini tampaknya
sampai usia 30 tahun. Tetapi di atas usia 30 tahun, kerusakan jaringan periodontal
pada penderita 13-18 tahun dan meningkat menjadi 39 % pada usia lebih dari l9
dan gigi Insisif dibandingkan gigi lainnya. Kerusakan ini menjadi lebih
menyeluruh pada usia yang lebih lanjut (L. Tumisar, Debora, 2014).
BAB III
PEMBAHASAN
ikatan glukosa dengan protein, lipid dan asam nukleat sehingga menyebabkan
peningkatan insidensi infeksi dan infeksi candida. (Greenberg and Glick, 2008).
Perubahan mukosa lainnya misalnya seperti fissure tongue, fibroma iritasi, ulser
traumatik dan lichen planus (Obradors, et al., 2017). Berikut ini merupakan
di mulut yang meningkatkan risiko perkembangan karies yang baru maupun yang
sudah terjadi. Diabetes tipe dua sering dihubungkan dengan obesitas dan asupan
16
17
aliran saliva yang berkurang merupakan faktor risiko karies gigi (Thayumanavan
et al., 2015).
Pasien dengan diabetes lebih mungkin memiliki mulut kering atau xerostomia
dan mengalami disfungsi kelenjar saliva. Aliran saliva mungkin terpengaruh oleh
peningkatan usia, dan terpengaruh oleh derajat neuropati dan perasaan subjektif
mengenai keringnya mulut yang disertai rasa haus (Greenberg and Glick, 2008;
glycosylation end products (AGEs) dan persarafan autonomik yang buruk. Laju
aliran saliva pada pasien diabetes berkurang secara signifikan. Saliva mengandung
peptida dan protein antimikrobial dan kurangnya laju aliran saliva menyebabkan
18
infeksi bakteri akibat buruknya aksi pembersihan oleh saliva (Tripathi, et al.,
2015).
stomatitis aftosa rekuren. Glossitis dengan perubahan papila filiformis dan fissure
pada lidah juga dapat dilihat. Hal ini kemungkinan besar karena imunosupresan
kronis yang merupakan kelanjutan dari penyakit diabetes tipe 1, sedangkan pada
menyebabkan perfusi yang buruk pada jaringan dan menyebabkan hipoksia dan
terganggunya penyembuhan luka. Pasien diabetes dengan ulser yang sulit sembuh
diberikan epidermal growth factor yaitu protein kecil (53 asam amino) yang
Peningkatan angka kejadian oral lichen planus telah diobservasi pada diabetes
tipe satu dan dua. Kejadian oral lichen planus menurut penelitian adalah 37%.
dan lichen planus memiliki prevalensi terbanyak pada diabetes dengan perawatan
insulin yang memiliki kebiasaan merokok dan memiliki durasi penyakit kurang
mukormikosis dan aspergilosis. Infeksi fungal pada permukaan mukosa oral dan
20
protesa lepasan sangat umum ditemukan pada orang dewasa dengan diabetes yang
tidak terkontrol dengan baik dan hipofungsi saliva (Greenberg and Glick, 2008;
Kontrol metabolisme yang buruk, konsentrasi glukosa tinggi dalam darah dan
kering. Faktor risiko lain penyebab kandidiasis oral pada pasien diabetes yaitu
terpengaruh buruk oleh diabetes. Menurut penelitian oleh Stolbova, et al. lebih
2015).
mulut terbakar, dan glossodynia telah dilaporkan pada kasus diabetes. Parastesia
temporer di lingual dan labial mungkin mengikuti ekstraksi gigi molar ketiga
21
mandibula. Pada pasien dengan diabetes yang dirawat dengan insulin, parastesia
sekitar oral umum terjadi dan merupakan tanda penting hipoglikemia yang akan
respon dari plak bakteri. Diabetes tidak hanya meningkatkan prevalensi dan
2015).
2015).
22
hiperglikemik kronis atau diabetes, bersama dengan adanya infeksi dan respon
jaringan ikat dan tulang yang tidak termineralisasi pada diabetes sehingga
memiliki risiko yang lebih besar untuk kontrol glikemik yang memburuk
2015).
23
menurunkan gula darah pada diabetes dengan periodontitis. Pemeriksaan oral dan
sebagai faktor risiko perkembangan lesi oral premalignant dan squamous cell
et al., 2015).
premalignant yang disebabkan oleh diabetes sudah dibuktikan pada model hewan.
24
Laporan kasus oleh Girtan, et al. pada 2009 membahas pasien wanita dengan
diabetes tipe 1 yang sudah diderita selama 11 tahun dan memiliki klasifikasi
terdapat mutasi gen p53 pada sel epitel oral. Berdasarkan penelitian pada tikus
normal dan diabetes, terlihat bahwa patogenesis melibatkan gen tumor p53
SIMPULAN
umum harus ditingkatkan pada pasien diabetes. Hubungan erat antara kesehatan
kebutuhan untuk peningkatan interaksi antara dokter dan dokter gigi yang
bertugas pada manajemen pasien. Penilaian dan perawatan kesehatan oral menjadi
umum seperti evaluasi mata, kaki, dan ginjal yang dilakukan rutin sebagai terapi
25
DAFTAR PUSTAKA
26