Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH ILMU PERNYAKIT MULUT

DIABETES DAN KESEHATAN MULUT


TINJAUAN KASUS KLINIS
JOURNAL READING

Ajeng Saraswati R 160112170078


Khodijah Syukriyah 160112170064

Pembimbing :
drg. Tommy Frahdian

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2019
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI i

DAFTAR GAMBAR ii

ABSTRAK iii

BAB I PENDAHULUAN 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2

BAB III PEMBAHASAN 13

BAB IV SIMPULAN 22

DAFTAR PUSTAKA 23

i
DAFTAR GAMBAR

GAMBAR 3.1 KARIES GIGI 14

GAMBAR 3.2 MULUT KERING AKIBAT KURANGNYA LAJU SALIVA

15

GAMBAR 3.3 ULSER PADA PASIEN DIABETES 16

GAMBAR 3.4 PERIODONTITIS 19

GAMBAR 3.5 LESI PREMALIGNANT 20

ii
ABSTRAK

Diabetes mellitus adalah penyakit kronis yang lazim terjadi di seluruh dunia
dengan peningkatan frekuensi kejadian. Diabetes memiliki gejala yang beragam di
tubuh manusia. Dapat dikatakan bahwa keadaan mulut merupakan cerminan
kesehatan sistemik. Efek dari diabetes sering tampak pada rongga mulut.
Gingivitis dan periodontitis merupakan yang paling sering terkait dengan diabetes.
Periodontitis dilaporkan sebagai komplikasi keenam dari diabetes dan memiliki
hubungan dua arah.
Artikel ini mengulas tentang lesi oral yang terjadi pada penderita diabetes dan
patogenesisnya. Artikel ini juga menjelaskan hubungan antara diabetes dan
kesehatan mulut dengan menitikberatkan pada kebutuhan penilaian dan perawatan
kesehatan mulut sebagai bagian dari terapi pencegahan untuk diabetes.

Kata kunci: Diabetes, kesehatan mulut, gingivitis, periodontitis, disfungsi


pengecap

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Manifestasi oral pada penderita diabetes. Dapat dikatakan bahwa mulut

merupakan cerminan dari kesehatan sistemik. Efek diabetes juga dapat dilihat

pada ronga mulut. Masalah oral pada diabetes melingkupi gingivitis, periodontitis,

infeksi jamur, karies gigi, hipoplasia enamel, gigi sensitif, retakan mukosa mulut,

angular chelitis, xerostomia, disfungsi indra pengecapan, disfungsi saliva, lichen

planus, sindrom mulut terbakar, lesi premalignant dan malignant.

Diabetes melitus adalah penyakit kronis metabolisme karbohidrat, lemak dan

protein. Kerusakan atau kekurangan respon sekresi insulin yang menerjemahkan

menjadi penggunaan karbohidrat yang terganggu merupakan karakteristik

diabetes melitus, sebagai hasil hiperglikemia. Kelainan metabolisme

menyebabkan menurunnya ketahanan jaringan terhadap infeksi.

Prevalensi diabetes. Diabetes adalah penyakit pandemik di negara maju

maupun berkembang. Pada tahun 2000, diperkirakan 175 juta manusia memliki

diabetes di seluruh dunia dan pada tahun 2030 diperhitungkan diabetes mencapai

354 juta. Prevalensi Diabetes di India diduga meningkat dari 31,7 juta pada tahun

2000 menjadi 79,4 juta pada tahun 2030.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes

2.1.1 Definisi Diabetes Melitus

Diabetes melitus adalah istilah umum yang digunakan untuk gangguan

metabolisme dengan ciri utama hiperglikemia kronis. Hasil dari terganggunya

sekresi insulin atau terganggunya keberhasilan fungsi insulin, paling sering

keduanya (Petersmann A et al. 2018).

2.1.2 Klasifikasi Diabetes Melitus

2.1.2.1 Diabetes Tipe 1

Kerusakan sel β yang mengarah pada defisiensi insulin absolut dalam

banyak kasus yang dihasilkan dari faktor imunologi. Latent Autoimmune Diabetes

in Adults (diabetes autoimun laten pada orang dewasa).

2.1.2.2 Diabetes Tipe 2

Resistansi insulin yang predominan dengan defisiensi insulin relatif

sampai perluasan defek sekresi dengan resistensi insulin. Sering dikaitkan dengan

gangguan lain (misalnya sindrom metabolik).

5
6

2.1.2.3 Jenis diabetes spesifik dengan penyebab yang diketahui

Penyakit yang melibatkan defisiensi eksokrin pankreas (misal

pankreatitis, cystic fibrosis, hemochromatosis). Endokrinopati (misalnya sindrom

Cushing, akromegali, pheochromocytoma). Obat atau kimia yang diinduksi

(misalnya glukokortikoid, neuroleptik, interferon alfa, pentamidin). Defek genetik

dari fungsi sel β (misalnya jenis MODY). Kelainan genetik dari aksi insulin.

Sindrom genetik lainnya yang dapat dikaitkan dengan diabetes. Infeksi dan bentuk

langka diabetes dimediasi autoimun.

2.1.2.4 Gestational diabetes

Gestational diabetes adalah gangguan fungsi glukosa yang terjadi dan

didiagnosa selama kehamilan untuk pertama kalinya (Petersmann A et al. 2018).

2.1.3 Kriteria diagnostik untuk Diabetes Melitus

Nilai glukosa plasma acak ≥ 200mg / dl (≥ 11.1mmol / l) atau nilai

glukosa plasma puasa ≥ 126mg / dl (≥ 7,0 mmol / l) atau 2-h tes toleransi glukosa

oral (oGTT) nilai dalam plasma vena ≥ 200mg / dl (≥ 11.1mmol / l). HbA1c ≥

6,5% (≥ 48mmol / mol Hb).

Impaired Fasting Glucose (gangguan glukosa puasa) untuk rentang

glukosa puasa dari 100–125mg / dl (5.6-6.9mmol / l) dalam plasma vena.

Toleransi glukosa terganggu (Impaired Glucose Tolerance), berhubungan dengan

glukosa plasma 2 jam nilai dalam oGTT dalam kisaran dari 140-199 mg / dl (7,8-

11,0 mmol / l) dengan kadar glukosa puasa <126mg / dl (<7.0mmol / l). IFG dan
7

IGT juga hadir di banyak orang dengan gangguan fungsi glukosa (Petersmann A

et al. 2018).

2.1.4 Perjalanan Diabetes Melitus

Pada DM tipe 2, faktor yang menjadi penyebab DM disebabkan adanya

gangguan sekresi insulin ataupun gangguan kerja insulin (resistensi insulin) pada

organ target terutama hati dan otot. Awalnya resistensi insulin belum

menyebabkan diabetes secara klinis, namun sering dengan kegagalan kompensasi

dari tubuh berupa keadaan hiperinsulinemia, glukosa darah masih normal atau

baru sedikit meningkat akibat sekresi insulin oleh sel beta pankreas tersebut.

Timbulah gejala klinis DM yang ditandai dengan terjadinya peningkatan kadar

glukosa darah yang memenuhi kriteria DM (Purnamasari, Dyah. 2009).

Insulin dihasilkan oleh sel beta pankreas dan akan disekresikan dalam

darah sesuai kebutuhan. Secara fisiologis, insulin mengatur glukosa darah

bersama glukagon yang diproduksi oleh sel alfa pankreas. Insulin disintesis dalam

bentuk preproinsulin (prekursor insulin) pada retikulum endoplasma sel beta, yang

akan dipecah menjadi proinsulin oleh bantuan enzim peptidase dan akan dikemas

dalam secretory vesicle dalam sel tersebut. Selanjutnya proinsulin akan diurai

menjadi insulin dan peptida-C oleh enzim peptidase, dan siap untuk disekresikan

bersama melalui mebran sel.

Pelepasan insulin dari simpanan granula sel beta pankreas dipicu oleh

peningkatan kadar glukosa darah yang berasal dari makanan dan minuman.

Insulin ini berfungsi mengalami glukosa agar selalu dalam batas-batas fisiologis.

Proses sekresi insulin dimulai dengan proses masuknya glukosa melewati


8

membran sel beta melalui Glucosa transporter 2 (GLUT 2) yang terdapat dalam

membran sel beta pankreas. Selanjutnya glukosa di dalam sel akan mengalami

glikolisis dan fosforilasi yang kemudian akan membebaskan molekul ATP, dan

akan memicu sekresi insulin ke dalam sirkulasi (Longo DL., et al., 2012).

Pada jaringan perifer seperti jaringan otot dan lemak, insulin berikatan

dengan reseptor pada membran sel tersebut. Ikatan ini akan menghasilkan sinyal

yang akan meregulasi glukosa dalam sel dengan cara peningkatan GLUT-4 dan

mendorong penempatannya pada membran sel. Glukosa dimasukan ke dalam sel

dan selanjutnya akan mengalami proses metabolisme melalui GLUT-4 (Longo

DL., et al., 2012).

Meskipun kasus DM tipe 2 sering ditemukan, namun patogenesisnya

secara pasti belum banyak diketahui. DM tipe 2 ditandai dengan dua defek

metabolik, yaitu gangguan sekresi insulin pada sel beta serta ketidakmampuan

jaringan perifer dalam merespon insulin (Longo DL., et al., 2012).

Mekanisme defisiensi insulin pada DM tipe 2 belum sepenuhnya jelas.

Namun diperkirakan hal ini berkaitan dengan pengendapan amiloid pada sel islet.

Pada otopsi, sebanyak 90% pasien DM tipe 2 dilaporkan terdapat endapan

amiloid. Komponen yang mengendap ini, amilin juga secara fisiologis diproduksi

dan dilepaskan bersama insulin oleh sel beta pankreas sebagai respon terhadap

glukosa. Awal DM tipe 2 terjadi hiperinsulinemia karena resistensi insulin, terjadi

juga peningkatan produksi amilin, yang kemudian akan mengendap di sel islet

sebagai amiloid. Amiloid ini akan menyebabkan refrakter pada sel beta dalam

menerima sinyal dari glukosa. Selain itu amiloid bersifat toksik pada sel beta,
9

sehingga dari keadaan inilah hal yang mendasari kerusakan sel beta yang

menyebabkan gangguan sekresi insulin pada pasien DM tipe 2 (Longo DL., et al.,

2012).

Pada dasarnya resistensi insulin dapat terjadi baik pada reseptor insulin

maupun pada salah satu tahap proses transduksi sinyal yang diinduksi oleh ikatan

insulin dan reseptornya. Resistensi insulin berkaitan erat dengan obesitas karena

jaringan lemak juga merupakan jaringan “endokrin” yang dapat berkomunikasi

dengan otot dan hati melalui mediator yang dihasilkan sel lemak. Sel lemak dapat

menghasilkan TNF, asam lemak, leptin, dan resistin (Salzler Michael J C., et al.,

2007).

Pada orang dengan obesitas, terjadi ekspresi berlebihan dari faktor-faktor

tersebut, sehingga TNF dapat mempengaruhi transduksi sinyal pasca reseptor

yang memicu resistensi insulin. Kadar leptin yang menurun dan peningkatan

resistin pada berbagai hewan percobaan obesitas juga berkontribusi terhadap

terjadinya resistensi insulin. Namun mekanisme peningkatan asam lemak pada

obesitas memicu resistensi insulin belum sepenuhnya diketahui (Salzler Michael

J C., et al., 2007).

Jadi dapat disimpulkan bahwa kondisi hiperglikemia pada DM tipe 2 tidak

hanya disebabkan oleh terganggunya sekresi insulin, namun juga dibarengi

dengan resistensi insulin pada jaringan-jaringan tubuh. Progresivitas penyakit ini

sangat dipengaruhi oleh lingkungan seperti gaya hidup dikarenakan dapat

berlanjut pada gangguan metabolisme lemak, protein, serta menyebabkan

kerusakan berbagai organ dalam tubuh (Longo DL., et al., 2012).


10

2.2 Manifestasi Oral

Diabetes melitus merupakan penyakit yang kompleks yang berhubungan

erat dengan komponen metabolik dan komponen vaskuler. Komponen metabolik

mencakup peningkatan kadar glukosa darah yang berkaitan dengan perubahan

metabolisme lemak dan metabolisme protein akibat berkurangnya insulin secara

relatif ataupun absolut. Sedangkan komponen vaskuler berhubungan dengan

proses terjadinya aterosklerosis dan mikroangiopati. Penyebab penyakit ini sangat

kompleks karena banyak faktor yang berperan penting dalam hal terjadinya

diabetes melitus, antara lain faktor genetik, faktor lingkungan (seperti infeksi,

trauma, stres, nutrisi dan lain-lain) dan faktor endrokin lainnya (seperti epinefrin,

glukagon, hormon pertumbuhan).

Penyakit ini memberikan komplikasi dalam bentuk akut atau kronis yang

menyerang berbagai organ tubuh seperti mata, kulit, ginjal, pembuluh darah

termasuk juga struktur dalam rongga mulut. Hubungan antara diabetes melitus

dan perubahan patologis dalam rongga mulut banyak dibicarakan dalam

kepustakaan. Gambaran yang khas penyakit ini dalam rongga mulut dikemukakan

pertama kali pada tahun 1928 oleh William, yang menyebutnya sebagai

periodontoklasia diabetika dan stomatitis diabetika dengan ciri-ciri khas berupa

tanggalnya gigi geligi dan hipertrofi gingiva. Diabetes melitus juga dapat

menyebabkan peningkatan insidens karies dentis dan memperberat gingivitis

maupun penyakit periodontal lainnya. Adanya komplikasi diabetes melitus dalam

rongga mulut ini menyebabkan seorang dokter gigi dapat turut berperan serta

dalam membantu mendiagnosis penyakit ini.


11

Pada rongga mulut peranan diabetes melitus dalam patogenesis penyakit

periodontal belum dapat diungkapkan secara lengkap, walaupun diabetes melitus

erat kaitannya dengan terjadinya penyakit periodontal. Beberapa data

menunjukkan bahwa penyakit diabetes melitus dengan terapi yang adekuat tidak

menunjukkan perbedaan yang bermakna dalam hal terjadinya penyakit

periodontal dibandingkan penderita nondiabetes melitus. Sebaliknya beberapa

data lain menunjukkan bahwa penderita diabetes melitus yang terkontrol

memberikan gambaran gingivitis yang lebih parah dibandingkan penderita

nondiabetes melitus dengan iritasi lokal yang sama. Secara umum diketahui

bahwa penyakit periodontal selalu dimulai dengan adanya plak gigi.

Pada diabetes melitus terjadi perubahan respon jaringan periodontal

terhadap iritasi lokal yang mempercepat hilangnya tulang alveolar. Penyebab

terjadinya komplikasi diabetes melitus pada rongga mulut antara lain karena

adanya mikroangiopati pada sistem vaskuler jaringan periodontal. Pada

mikroangiopati ini akan dijumpai penebalan membran basalis pembuluh kapiler

jaringan periodontal. Hal ini menyebabkan terjadinya gangguan penyebaran

oksigen, nutrisi maupun pembuangan sisa metabolisme yang mengakibatkan

penurunan resistensi jaringan sehingga memudahkan terjadinya infeksi. Penderita

diabetes melitus juga memperlihatkan adanya kerusakan fungsi leukosit

polimorfonuklear yang menyebabkan bertambah cepatnya kerusakan jaringan

periodontal. Gangguan metabolism karbohidrat sendiri menyebabkan aktivitas

vitamin C berkurang dan kebutuhan akan vitamin B kompleks meningkat

sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan periodontal.


12

Penelitian juga menemukan adanya perubahan komposisi dan kuantitas

saliva penderita diabetes melitus. Meningkatnya kadar glukosa dalam darah

maupun saliva penderita diabetes mellitus menyebabkan peningkatan substrat

bakteri dan pembentukan plak gigi. Pemeriksaan kadar glukosa dalam cairan

gingival pada penderita diabetes melitus ternyata lebih tinggi bila dibandingkan

penderita nondiabetes melitus dengan skor indeks plak dan indeks gingivaI yang

sama.

Hal ini yang menyebabkan perubahan kualitatif mikroflora yang

berakibat buruk terhadap jaringan periodontal. Perubahan kualitas mikrof1ora

subgingival ini dibuktikan dengan penelitian yang menemukan flora subgingival

pada periodontitis penderita diabetes melitus mengandung terutama

Capnocytophaga, "anaerobic vibrios" dan Actinomyces. Peneliti lain menemukan

S.saprophyticus yang jumlahnya mencolok pada periodontitis penderita

nondiabetes melitus sedangkan pada periodontitis penderita diabetes melitus lebih

banyak dijumpai S.epidermidis. Sedangkan mikroflora yang lazim dijumpai pada

periodontitis penderita non diabetes seperti Bacteroides gingivalis, Bacteroides

intermedius dan Actinobacillus actinomycetemcomitans ternyata hanya sedikit

jumlahnya pada periodontitis penderita diabetes melitus. Studi mikrobiologi

lainnya menemukan species Bacteroides terutama B.gingivalis, B.intermedius dan

Wolinellarecta ternyata sangat menonjol jumlahnya pada periodontitis yang parah

penderita diabetes melitus non insulin dependent. Dilaporkan pula adanya

peningkatan kadar kalsium dalam saliva penderita diabetes melitus yang

menyebabkan peningkatan pembentukan karang gigi. Berkurangnya kuantitas


13

saliva penderita diabetes melitus mempermudah terjadinya akumulasi dan retensi

sisa makanan serta berkurangnya oral self cleansing. Disamping itu, kadar siklik

adenosine monofosfat (cAMP) dalam cairan gingival penderita diabetes melitus

berkurang yang mengakibatkan bertambah parahnya gingivitis pada penderita

diabetes melitus.

Komplikasi diabetes melitus pada rongga mulut memberikan sejumlah

komplikasi, baik pada gigi, jaringan penyangga gigi, mukosa rongga mulut

maupun pada lidah. Pada gigi geligi terlihat adanya peningkatan frekuensi karies

dentis dan pulpitis pada gigi yang tidak berlubang akibat adanya arteritis diabetika

sehingga gigi menjadi nekrosis. Diabetes melitus pada anak-anak menyebabkan

terjadinya hipoplasi gigi pada masa perkembangan gigi geligi dan perubahan pola

erupsi gigi.

Pada jaringan gingiva tampak adanya gingivitis marginalis dimana

terlihat adanya hipertrofi gingiva yang berwarna merah tua, mudah berdarah, sakit

dan sering terjadi abses gingival yang multipel. Pada jaringan penyangga terlihat

adanya periodontitis diabetika yang merupakan suatu periodontitis kronis yang

sudah bisa terjadi pada usia muda. Selain itu, dapat terlihat pula adanya saku

periodontal yang dalam, abses periodontal, resorpsi tulang alveolar yang cepat dan

banyak, sehingga menyebabkan gigi goyang dan akhirnya tanggalnya gigi geligi.

Kadang-kadang terdapat hiperestesi atau hipoestesi pada gingiva maupun jaringan

rongga mulut lainnya.

Selain itu, sering terjadi cheilosis ataupun kecenderungan mengeringnya

selaput lendir rongga mulut lainnya akibat berkurangnya aliran saliva. Selaput
14

lendir mengalami ulserasi dan sering terlihat adanya kandidiasis dalam rongga

mulut. Pembentukan karang gigi yang cepat penderita mengeluh lidahnya kering

dan perasaan terbakar pada lidah akibat adanya neuropati perifer. Di samping itu,

pada lidah tampak adanya pembesaran dan hiperemi papila fusiformis. Otot lidah

menjadi flabby sehinga memberikan gambaran tapak gigi pada permukaan lidah

bagian lateral. Di samping itu, dapat terjadi pembesaran kelenjar parotis bilateral

yang tidak sakit dan sering terjadi sialoadenitis.

Derajat keparahan komplikasi diabetes melitus pada rongga mulut tidak

mengikuti pola yang konsisten tetapi tergantung dari beberapa faktor misalnya

apakah penyakitnya terkontrol atau tidak, berat serta lamanya menderita penyakit

ini banyaknya iritasi lokal, kebiasaan penderita untuk membersihkan rongga

mulut, umur penderita dan perawatan dental sebelumnya, 75 % penderita diabetes

melitus yang tidak terkontrol akan memberikan komplikasi pada rongga mulut

yang prosesnya berjalan lebih cepat disertai kerusakan jaringan periodontal yang

lebih hebat.

Pada penderita diabetes melitus yang terkontrol akan memberikan

komplikasi pada rongga mulut yang sifatnya kronis dan hal ini tampaknya

berhubungan dengan lamanya menderita diabetes melitus. Penderita diabetes

melitus yang disertai komplikasi berupa retinopati dan nefropati menunjukkan

kerusakan jaringan periodontal yang lebih parah dibandingkan dengan penderita

diabetes melitus tanpa disertai komplikasi. Demikian pula penderita diabetes

melitus dengan insulin dependent menunjukkan peningkatan insidens terjadinya

gingivitis maupun kerusakan jaringan periodontal lainnya. Penderita diabetes


15

melitus lebih dari l0 tahun menunjukkan kerusakan jaringan periodontal lebih

besar dibandingkan penderita diabetes melitus kurang dari 10 tahun.

Penelitian lain melaporkan bahwa tingkat kerusakan jaringan periodontal

pada penderita diabetes melitus sama dibandingkan penderita nondiabetes melitus

sampai usia 30 tahun. Tetapi di atas usia 30 tahun, kerusakan jaringan periodontal

lebih besar pada penderita diabetes melitus dibandingkan penderita nondiabetes

melitus. Kerusakan jaringan periodontal pada penderita diabetes melitus dengan

insulin dependent timbul sesudah usia l5 tahun.

Prevalensi kerusakan jaringan periodontal ini dilaporkan sebanyak 9.8 %

pada penderita 13-18 tahun dan meningkat menjadi 39 % pada usia lebih dari l9

tahun. Anak-anak yang menderita diabetes melitus dengan insulin dependent

cenderung menunjukkan kerusakan jaringan periodontal pada gigi Molar pertama

dan gigi Insisif dibandingkan gigi lainnya. Kerusakan ini menjadi lebih

menyeluruh pada usia yang lebih lanjut (L. Tumisar, Debora, 2014).
BAB III

PEMBAHASAN

Pasien diabetes melitus memiliki pervalensi tinggi penyakit mukosa yang

berasosiasi dengan imunosupresan kronis, penyembuhan yang lambat, dan

hipofungsi saliva. Dua mekanisme yang berhubungan dengan komplikasi diabetes

yaitu, pertama polyol pathway mengubah glukosa menjadi enzim sorbitol

byaldose reductase yang menyebabkan kerusakan jaringan dan komplikasi lain,

kedua formasi glycosylation end products (AGE) yang pembentukannya oleh

ikatan glukosa dengan protein, lipid dan asam nukleat sehingga menyebabkan

perubahan struktur dan fungsi (Obradors, et al., 2017).

Xerostomia dan pembesaran kelenjar saliva bilateral dapat terjadi

sehubungan dengan buruknya kontrol glikemik. Kondisi mukosa seperti

dysesthesia, termasuk di dalamnya mulut terbakar, penyembuhan luka yang lama,

peningkatan insidensi infeksi dan infeksi candida. (Greenberg and Glick, 2008).

Perubahan mukosa lainnya misalnya seperti fissure tongue, fibroma iritasi, ulser

traumatik dan lichen planus (Obradors, et al., 2017). Berikut ini merupakan

pembahasan mengenai manifestasi oral yang terjadi pada pasien diabetes.

3.1 Karies Gigi

Pasien dengan diabetes rentan terhadap penyakit sensoris, periodontal saliva

di mulut yang meningkatkan risiko perkembangan karies yang baru maupun yang

sudah terjadi. Diabetes tipe dua sering dihubungkan dengan obesitas dan asupan

16
17

makanan berkolesterol dan berkarbohidrat tinggi sangat kariogenik. Selain itu,

aliran saliva yang berkurang merupakan faktor risiko karies gigi (Thayumanavan

et al., 2015).

Gambar 3. 1 Karies Gigi (Thayumanavan et al., 2015)

3.2 Disfungsi saliva

Pasien dengan diabetes lebih mungkin memiliki mulut kering atau xerostomia

dan mengalami disfungsi kelenjar saliva. Aliran saliva mungkin terpengaruh oleh

bermacam-macam kondisi, termasuk penggunaan medikasi yang diresepkan dan

peningkatan usia, dan terpengaruh oleh derajat neuropati dan perasaan subjektif

mengenai keringnya mulut yang disertai rasa haus (Greenberg and Glick, 2008;

Thayumanavan et al., 2015).

Kelenjar saliva pada pasien diabetes menjadi hipofungsi akibat akumulasi

glycosylation end products (AGEs) dan persarafan autonomik yang buruk. Laju

aliran saliva pada pasien diabetes berkurang secara signifikan. Saliva mengandung

peptida dan protein antimikrobial dan kurangnya laju aliran saliva menyebabkan
18

infeksi bakteri akibat buruknya aksi pembersihan oleh saliva (Tripathi, et al.,

2015).

Gambar 3. 2 Mulut Kering Akibat Kurangnya Laju Saliva (Thayumanavan et al.,


2015)

3.3 Penyakit oral diabetes

Diabetes dapat mengembangkan lesi mukosa oral seperti lichen planus,

stomatitis aftosa rekuren. Glossitis dengan perubahan papila filiformis dan fissure

pada lidah juga dapat dilihat. Hal ini kemungkinan besar karena imunosupresan

kronis yang merupakan kelanjutan dari penyakit diabetes tipe 1, sedangkan pada

diabetes tipe 2, hiperglikemia akut menyebabkan perubahan respon imun.

Sindrom Grinspan (diabetes, lichen planus dan hipertensi) berhubungan dengan

penyakit umum yang kemungkinan berhubungan dengan penggunaan obat.

Perubahan lichenoid mukosa oral mungkin dihasilkan dari penggunaan agen

antidiabetik (Thayumanavan et al., 2015).

Ulser aftosa sangat umum terjadi, faktor modifikasinya adalah penyakit

sistemik misalnya diabetes. Diabetes merupakan faktor umum penyebab ulser


19

yang sulit sembuh. Diabetes berhubungan dengan sklerosis vaskuler yang

menyebabkan perfusi yang buruk pada jaringan dan menyebabkan hipoksia dan

terganggunya penyembuhan luka. Pasien diabetes dengan ulser yang sulit sembuh

diberikan epidermal growth factor yaitu protein kecil (53 asam amino) yang

ditemukan dapat membantu pertumbuhan epidermal dan keratinisasi. EGF

menstimulasi proliferasi sel epidermal sehingga membantu penyembuhan luka

lebih cepat (Tripathi, et al., 2015).

Gambar 3. 3 Ulser pada Pasien Diabetes (Thayumanavan et al., 2015)

Peningkatan angka kejadian oral lichen planus telah diobservasi pada diabetes

tipe satu dan dua. Kejadian oral lichen planus menurut penelitian adalah 37%.

Leukoplakia juga dilaporkan meningkat pada pasien diabetes. Oral leukoplakia

dan lichen planus memiliki prevalensi terbanyak pada diabetes dengan perawatan

insulin yang memiliki kebiasaan merokok dan memiliki durasi penyakit kurang

lebih dua tahun (Pedersen, 2004).

3.4 Infeksi oral

Diabetes rentan terhadap infeksi oportunis seperti kandidiasis oral,

mukormikosis dan aspergilosis. Infeksi fungal pada permukaan mukosa oral dan
20

protesa lepasan sangat umum ditemukan pada orang dewasa dengan diabetes yang

tidak terkontrol dengan baik dan hipofungsi saliva (Greenberg and Glick, 2008;

Thayumanavan et al., 2015).

Kontrol metabolisme yang buruk, konsentrasi glukosa tinggi dalam darah dan

saliva, durasi diabetes yang panjang dan komplikasi berhubungan dengan

meningkatnya kandidiasis. Konsentrasi glukosa tinggi pada darah dan saliva

membantu pertumbuhan dan perlekatan ragi pada permukaan epitel. Menurunnya

fungsi leukosit phormonuclear yang diikuti menurunnya fagositosis berkontribusi

pada meningkatnya kolonisasi kandida. Kandidiasis oral mungkin muncul

bersamaan dengan sensasi mulut terbakar, gangguan pengecapan dan mulut

kering. Faktor risiko lain penyebab kandidiasis oral pada pasien diabetes yaitu

kebersihan mulut, kebiasaan merokok dan gigi tiruan (Pedersen, 2004).

3.5 Gangguan Pengecapan

Pengecapan adalah komponen penting dalam kesehatan mulut dan

terpengaruh buruk oleh diabetes. Menurut penelitian oleh Stolbova, et al. lebih

dari sepertiga orang dewasa dengan diabetes memiliki hipogeusia atau

menghilangnya rasa diikuti dengan hipofagia dan obesitas (Thayumanavan et al.,

2015).

3.6 Penyakit Neurosensorik

Penyakit neurosensorik pada jaringan oral dan perioral termasuk sindrom

mulut terbakar, dan glossodynia telah dilaporkan pada kasus diabetes. Parastesia

temporer di lingual dan labial mungkin mengikuti ekstraksi gigi molar ketiga
21

mandibula. Pada pasien dengan diabetes yang dirawat dengan insulin, parastesia

sekitar oral umum terjadi dan merupakan tanda penting hipoglikemia yang akan

datang (Thayumanavan et al., 2015).

3.7 Gingivitis dan Periodontitis

Diabetes berhubungan dengan meningkatnya inflamasi gingiva sebagai

respon dari plak bakteri. Diabetes tidak hanya meningkatkan prevalensi dan

keparahan periodontitis, namun juga progres kehilangan tulang dan perlekatan.

Periodontitis dilaporkan sebagai komplikasi keenam dari diabetes bersama dengan

retinopati, nefropati, neuropati, penyakit mikroaskular dan makrovaskular.

Diabetes meningkatkan risiko hilangnya tulang alveolar dan perlekatan

(Thayumanavan et al., 2015).

Diabetes dan periodontitis menunjukkan hubungan dua arah. Kontrol

infeksi periodontal menyebabkan peningkatan dalam kontrol glikemi dengan

menurunkan hemoglobin level A1c dan kebutuhan insulin (Thayumanavan et al.,

2015).

Faktor yang menyebabkan periodontitis pada diabetes adalah

mikroangiopati, sel yang berubah memperantarai respon imun, meningkatnya

pembentukan plak, peningkatan kerusakan kolagen, mikrobiota subgingiva, level

glukosa di GCF, respon inang, vaskulatur periodontal (Thayumanavan et al.,

2015).
22

Gambar 3. 4 Periodontitis (Thayumanavan et al., 2015)

3.7.1 Usia dan efek pada periodontal

Akumulasi dari produk akhir glikan (AGEs) sebagai hasil dari

hiperglikemik kronis atau diabetes, bersama dengan adanya infeksi dan respon

inang yang berlebihan menyebabkan periodontitis parah pada diabetes

(Thayumanavan et al., 2015).

Jaringan gingiva diperkaya dengan AGE menyebabkan aktivasi

permeabilitas, adhesi molekul, sitokin, MMPS dan kolagenase menyebabkan

respon berlebihan terhadap patogen periodontal yang menyebabkan destruksi pada

jaringan ikat dan tulang yang tidak termineralisasi pada diabetes sehingga

menyebabkan periodontitis parah (Thayumanavan et al., 2015).

Siklus Diabetes dan Periodontitis

3.7.2 Pengaruh Infeksi Periodontal pada Diabetes

Penyakit periodontal bersifat inflamasi dan mungkin mengubah kontrol

glikemik. Penelitian menunjukkan pasien diabetes dengan infeksi periodontal

memiliki risiko yang lebih besar untuk kontrol glikemik yang memburuk

dibandingkan dengan subjek diabetes tanpa periodontitis (Thayumanavan et al.,

2015).
23

Periodontitis kronis menyebabkan inflamasi kronis sistemik meningkatkan

mediator inflamasi pada sirkulasi seperti c-reaktif protein, interleukin-6,

fibrinogen. Hal ini mengurangi sensitifitas insulin yang menyebabkan level

glikemik yang menyebabkan diabetes (Thayumanavan et al., 2015).

Perawatan penyakit periodontal dapat meningkatkan kontrol glikemik.

Merawat periodontitis berarti merawat diabetes. Skeling dan root planning

menurunkan gula darah pada diabetes dengan periodontitis. Pemeriksaan oral dan

perawatan periodontitis harus menjadi protokol standar pada pasien diabetes

(Thayumanavan et al., 2015).

3.8 Lesi Oral Premalignant dan Squamous Cell Carcinoma

Penelitian epidemiologi terbaru telah menunjukkan keterlibatan diabetes

sebagai faktor risiko perkembangan lesi oral premalignant dan squamous cell

carcinoma. Diabetes mendukung aktivasi jalur transduksi sinyal Ras/Raf/MAPK

yang menyebabkan peningkatan proliferasi sel dan onkogenesis (Thayumanavan

et al., 2015).

Gambar 3. 5 Lesi Premalignant (Thayumanavan et al., 2015)

Lesi hiperplastik dengan perkembangan menuju lesi prekanker atau

premalignant yang disebabkan oleh diabetes sudah dibuktikan pada model hewan.
24

Laporan kasus oleh Girtan, et al. pada 2009 membahas pasien wanita dengan

diabetes tipe 1 yang sudah diderita selama 11 tahun dan memiliki klasifikasi

kennedy kelas 1 yang menunjukkan penampakan lesi hiperplastik pada vestibula

inferior yang meluas ke mukosa di sebelah kanan. Setelah dilakukan pemeriksaan,

terdapat mutasi gen p53 pada sel epitel oral. Berdasarkan penelitian pada tikus

normal dan diabetes, terlihat bahwa patogenesis melibatkan gen tumor p53

(Girtan, et al., 2009).


BAB IV

SIMPULAN

Kesadaran terhadap potensi asosiasi diabetes, kesehatan oral dan kesehatan

umum harus ditingkatkan pada pasien diabetes. Hubungan erat antara kesehatan

mulut dan kesehatan sistemik pada individu dengan diabetes menjadikan

kebutuhan untuk peningkatan interaksi antara dokter dan dokter gigi yang

bertugas pada manajemen pasien. Penilaian dan perawatan kesehatan oral menjadi

umum seperti evaluasi mata, kaki, dan ginjal yang dilakukan rutin sebagai terapi

pencegahan. Pemeriksaan dental harus dilakukan enam bulan sekali.

25
DAFTAR PUSTAKA

Girtan, M.; S. Zurac; F. Staniceanu. 2009. Oral epithelial hyperplasia in diabetes


mellitus. Romanian Journal of Internal Medicine; 47(2): 201-203.
Greenberg, M.S. and M, Glick. 2008. Burket’s Oral Medicine Diagnosis and
Treatment. 11th ed. United States: BC Decker Inc.
Longo DL, Kasper DL, Jameson JL., et al. 2012. Diabetes Mellitus Dalam
Harrison’s Principles of Internal Medicine. 18th ed. USA: Mc Graw Hill
Company, Chapter 334.
L Tumisar, Debora. 2014. Komplikasi Diabetes Melitus pada Rongga Mulut. FK
UKRIDA: Meditek.
Obradors, E. S.; A. E. Devesa; E. J. Salas. 2017. Oral manifestations of diabetes
mellitus: A systemic review. Medicina Oral Patologia Oral Cirugia Bucal;
22(5): 586-894.
Pedersen, A.M.L. 2004. Diabetes mellitus and related oral manifestations. Oral
Bioscience and Medicine; 1: 229-248.
Purnamasari Dyah. 2009. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Mellitus dalam
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi V. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI. Hal. 1882.
Salzler Michael J C, Crowford James M, Kumar V. 2007. Pankreas dalam
Robbins Buku Ajar Patologi. Vol 2. Edisi 7. Jakarta: EGC. Hal. 718.
Thayumanavan, B.; T. Jeyanthikumari; A. Dakir; N.V. Vani. 2015. Diabetes and
oral health – An overview of clinical cases. International Journal Medical
and Dental Science; 4(2): 901-905.
Tripathi, R. and Tripathi, K. 2015. Management of non healing oral ulcer in
diabetic patient using tropical application of epidermal growth factor: A case
report. Scholar Academic Journal of Biosciences; 3(8): 640-643.
Petersmann A et al. 2018. Definition, Classification and Diagnostics of Diabetes
Mellitus. Exp Clin Endocrinol Diabetes 2018; 126: 406–410

26

Anda mungkin juga menyukai