PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tahap pasca operatif dimulai dengan memindahkan pasien dari kamar
bedah ke unit pasca operasi dan berakhir dengan pulangnya pasien. Fokus
intervensi kperawatan pada tahap pasca operatif adalah memulihkan fungsi
pasien seoptimal dan secepat mungkin.
Sekitar tahun 1940-an, banyak rumah sakit membuka PACU {Post
Anesthesia Care Unit). Dengan adanya unit ini yang memiliki staf
keperawatam yang mempunyai pengetahuan dan ketrampilan dalam memberi
perawatan pasca operasi yang efeisien dan efektif, angka kematian dan
morbiditas menurun serta perawatan pasien di rumah sakit menjadi lebih
pendek. Selain itu, diketahui bahwa mortalitas dalam 24 jam pertama
pemberian anestetik biasanya disebabkan oleh obstruksi pernapasan,
laringospasme, perdarahan, henti jantung, dan kesalahan yang terkait dengan
pemberian obat (medication error). Hal ini mendorong rumah sakit membuka
PACU.
Sebaiknya PACU diletakkan disamping atau di dekat kamar bedah. PACU
adalah suatu ruang yang jumlah tempat tidurnya disesuaikan dengan jumlah
pasien yang dibedah. Setiap tempat tidur dilengkapi dengan monitor jantung,
monitor tekanan darah, oksimetri nadi, alat-alat untuk penatalaksanaan jalan
napas, pengisap, dan oksigen. Obat dan alat darurat diletakkan di tempat yang
strategis. Pada umumnya, lama rawat pasien dipacu kurang dari 24 jam.
Personel PACU adalah orang yang diberi pendidikan khusus dan
mempunyai pengetahuan mendalam tentang obat anestesia dan respon pasien
terhadap obat tersebut, teknik menanggulangi nyeri, prosedur bedah, dan
perawatan dalam menangani komplikasi potensial. Perawat PACU
menunjukkan kompetensi dalam melakukan pengkajian dan menangani
situasi darurat. Kolaborasi yang baik dengan dokter bedah dan dokter ahli
anestesi sangat.penting.
1
American Society of Post Anesthesia Nurses (ASPAN) mengidentifikasi
tiga fase asuhan keperawatan pasca operatif, yaitu fase pasca-anestesia, fase
pra-anestesia I, dan fase pasca-anestesia II. Fokus dari fase pra-anestesia
adalah kesiapan pasien secara fisik dan emosional sebelum pembedahan; fase
pasca-anestesia I adalah perawatan pasien yang mulai sadar dari anestesia
sampai keadaan fisiologis pasien sudah stabil dan tidak lagi memerlukan
“one-to-one care”. Pada tahap ini, perawat PACU melakukan perawat PACU
melakukan pengkajian pernapasan {auskultasi paru dan gerakan otot napas),
tekanan darah, irama jantung, tingkat kesadaran, dan kekuatan otot-otot; fase
pasca-anestesi II dimulai ketika kesadaran pasien pulih kembali, seperti nilai
dasar (kesadaran sebelum ia diberi anestesi), jalan napas sudah paten, nyeri
dapat dikendalikan, fungsi jantung, paru, dan ginjal sudah stabil. Pada tahap
pasca-anestesi II ini, pasien dipindahkan ke kamarnya di unit perawatan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaiman monitoring fisiologi tubuh pasien post operasi
(pernafasan,sirkkulasi dan perdarahan)
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui aspek fisiologi apa saja yang dipantau pada pasien post
operasi
2. Tujuan Khusus
Memonitor pernapasan,sirkulasi,dan perdarahan pada pasie post operasi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Monitoring
2
Menurut Conor (1974) menjelaskan bahwa keberhasilan dalam mencapai
tujuan, separuhnya ditentukan oleh rencana yang telah ditetapkan dan
setengahnya lagi fungsi oleh pengawasan atau monitoring. Monitoring
dimaksudkan untuk mengetahui kecocokan dan ketepatan kegiatan yang
dilaksanakan dengan perencanaan yang telah disusun.
Monitoring digunakan pula untuk memperbaiki kegiatan yang
menyimpang dari rencana, mengoreksi penyalahgunaan aturan dan sumber-
sumber, serta untuk mengupayakan agar tujuan dicapai seefektif dan seefisien
mungkin.
3
pernapasan yang adekuat harus dipastikan. Komplikasi yang bisa segera
muncul adalah obstruksi jalan napas, hipoksemia, hipoventilasi, aspirasi,
dan laringospasme.
Komplikasi pernapasan adalah penyebab utama dari morbiditas dan
mortalitas segera setelah pembedahan. Faktor resiko yang diketahui bisa
menimbulkan komplikasi pernapasan adalah usia diatas 60 tahun, obesitas,
jenis kelamin (pria), pembedahan darurat, lamanya pembedahan (lebih dari
4 jam), pembedahan toraks dan abdomen, pilihan obat anestesia, dan
teknik pemberian anestesia.
1. Obstruksi jalan napas. Penelitian menunjukkan bahwa
obstruksi jalan napas bisa disebebkan oleh perubahan pada tonus otot
faring dan laring yang dicetuskan oleh obat anestesia. Sekresi yang
tertimbun pada faring, percabangan bronkus, atau trakea bisa
menyebabkan obstruksi jalan napas. Obstruksi jalan napas bisa juga
timbul setelah intubasi (pemasangan slang endotrakea) karena adanya
edema pada laring dan subglotis. Obstruksi semacam ini sering
ditemukan pada anak-anak daripada orang dewasa. Manifestasi
klinisnya adalah bunyi “gurgling”, mengi, stridor, retraksi sternum dan
interkostal, hipoksemia, dan hiperkapnia. Tindakan utama untuk
mengatasinya adalah pemberian oksigen 100%, manuver manual guna
membuka jalan napas (manuver jaw-thrust), pengisapan sekresi, dan
pemasangan jalan napas oral. Apabila intervensi tidak berhasil, slang
endotrakea dipasang atau trakeostomi dilaksanakan.
2. Hipoksemia. Yaitu suatu komplikasi yang sering timbul dan
ditemukan pada sekitar 40% pasien yang dibedah. Hipoksemia adalah
akibat dari hipoventilasi yang menyebabkan pertukaran oksigen di
antara alveoli dan lingkungan luar menjadi kurang. Hipoksia jaringan
terjadi akibat suplai oksigen yang kurang pada jaringan. Faktor
dibawah ini bisa membuat pasien beresiko mengalami gangguan
fungsi pernapasan :
Obat narkotik (depresi pusat pernapasan).
Peningkatan perlawanan jaringan, seperti dada emfisema,
infeksi, dan seterusmya.
4
Komplains paru dan dinding dada berkurang seperti pad
pneumonia, penyakit paru obstruksi menahun, dan seterusnya.
Obesitas, distensi abdomen, distensi gaster.
Luka bedah yang dekat dengan diafragma.
Nyeri pasca operasi
3. Aspirasi. Biasanya aspirasi disebabkan oleh regurgitasi isi
lambung, tetapi aspirasi darah bisa juga terjadi karena trauma atau
pembedahan seperti tonsilektomi. Aspirsi isi lambung (HCl) bisa
menyebabkan iritasi, pneumonitis, dan kerusakan mukosa
trakeobronkial. Faktor resiko untuk aspirasi adalah tingkat kesadaran
menurun, pemgosongan isi lambung lambat, hernia hiatal, dan
intubasi darurat pada pasien yang lambungnya penuh.
4. Laringospasme. Yaitu kejang otot laring yang bisa mengakibatkan
obstruksi saluran napas parsial atau toral. Laringospasme yang tidak
segera ditangani dapat mengakibatkan hipoksia, kerusakan serebral,
dan kematian. Pasien yang beresiko mengalami laringospasme adalah
pasien yang mengalami iritasi pada jalan napas karena obat anestesia,
iritasi akibat laringoskop, slang endotrakea, dan bronkoskop.
Pengisapan yang berulang dapat juga mengakibatkan laringospasme.
Tanda yang sering timbul karena laringospasme adalah dispnea,
“crowing sound”. Hipoksemia, dan hiperkapnia.
5
distritmia, dan gagal jantung kognitif. Termasuk tanda-tanda
hipostensi dan hipovolemia adalah kecepatan denyut jantung
meningkat, haluaran urine menurun, kulit pada bagian ekstremitas
pucat, gelisah dan bingung.
2. Hipertensi. Pada pasien yang mengalami hipertensi pasca operasi,
sekita 50% pernah mengalami hipertensi sebelum pembedahan.
Pengobatan hipertensi ditentukan berdasarkan etiologinya. Hipertensi
yang tidak diobati secara teratur bisa mengakibatkan distritmia
jantung, iskemia miokardial, dan stroke.
3. Distritmia jantung. Distritmia yng lazim timbul segera setelah
pembedahan adalah sinus takikardia, dan distritmia supraventrikular.
Penyebab distritmia perlu ditentukan sebelum pengobatan
dilaksanakan. Termasuk penyebabnya adalah adanya penyakit jantung
sebelum pembedahan, hipoksia, hiperkapnia, asidosis respiratorik,
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, hipotermia, dan nyeri.
Penanggulangan utama distritmia adalah pengkajian mengenai
kepatenan jalan napas, ventilasi yang cukup, oksigen, dan obat-obatan
yang diprogramkan dokter.
6
Bagi pasien yang sudah mengalami penyakit arteri koroner, menggigil
bisa mengakibatkan dekompensasi kordis. Eliminasi obat untuk
relaksasi otot bisa menjadi lebih lama apabila pasien mengalami
hipotermia. Hipotermia juga mempengaruhi koagulasi darah.
Fibrinolisis meningkat dan kegiatan trombosit menurun. Keadaan ini
bisa mengakibatkan perdarahan. Vasokonstriksi bisa juga terjadi
dengan hipotermia, yang kemudian diiukuti dengan vasodilatasi ketika
tubuh mulai mengahangat kembali. Pasien ini memerlukan lebih
banyak cairan ketika tubuh mulai menjadi hangat kembali untuk
menghindri hipovolemia.
2. Hipertermia. Yaitu keadaan ketika suhu inti tubuh lebih dari 39
℃ . Pada tahap awal pasca operatif, hipertermia bisa diakibatkan
oleh proses infeksi, sepsis, atau hipotermia malignan. Sekalipun
hipertermia malignan dikaitkan dengan tahap intra operatif, perlu
diingat bahwa hipertermia malignan bisa timbul kembali dalam 24-72
jam pasca operasi
7
Pasien yang diberikan cairan infus harus dipantau adanya tanda edema
paru (dispnea dan batuk produktif), atau tanda intoksikasi air (perubahan
tingkah laku, bingung, kulit basah dan hangat, defisit natrium).
Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit harus dipantau. Ekstra kalium
perlu diberikan untuk mengganti kalium yang hilang lewat sekresi slang
nasogastrik.
1. Apabila hidrasinya adekuat, pasien bisa berkemih dalam 6-8 jam
setelah pembedahan. Biasanya, dalam 24-48 jam pasca operasi,
asupan cairan melebihi pengeluarannya. Sekalipun pasien diberikan
cairan intravena sebanyak 2000-3000 ml pada hari pembedahannya,
jumlah urine pertama pasca operasi bisa kurang dari 1500 ml.
Keseimbangan cairan dan elektrolit akan kembali normal dalam 48
jam.
8
karena terganggunya suplai darah. Suplai darah bisa terganggu karena ada
penekanan, spasme otot, atau edema. Trauma pada serabut kulit
mengakibatkan nyeri yang tajam dan terlokalisasi. Diseksi yang luas dan
retraksi yang lama pada otot dan fasia mengakibatkan nyer yang dalam
dan berlangsung lama.
b) SistemPernafasan
Pemeliharaan kepatenan jalan nafas. Sekresi yang banyak dalam
saluran nafas dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas parsial atau
total. Apabila sekresi mengumpul pada saluran nafas bawah karena
imobilitas atau pernapasan dangkal, inoeksi pulmonal bisa timbul.
Untuk mencegah penyumbatan dan infeksi saluran nafas bawah,
sekresi harus dikeluarkan melalui latihan seperti batuk yang efektif,
9
bernapas dalam, dan mobilisasi. Apabila inteervensi ini tidak berhasil,
sekresi harus dikeluarkan melalui pengisapan. Biasanya pasien diantar
ke PACU dengan jalan napas oral atau selang endotrakea. Jalan napas
oral atau slang endotrakea tidak dilepas sampai pasien bisa bernapas
sendiri secara spontan dan dapat mempertahankan jalan napasnya
sendiri.
Pemeliharaan pertukaran gas. Pertukaran gas dapat
dipertahankan dengan pemberian oksigen napas dalam batuk yang
efektif, menguap, posisi tubuh yag membantu, pemberian obat yang
berefek membalk efek anetesi. Oksigen diperlukan pasca operasi
karena anastesia bisa mengurangi ekspansi paru sehingga ada
kemugkinan timbul atelektasis di beberapa bagian paru. Pasien bisa
juga mengalami hipoksemia karena paru tidak mengembang
maksimal. Oleh karena itu, pasien juga perlu diberi oksigenpada tahap
pasca-anastesia, melaksanakan latihan napas dalam, batuk efektif,
mobilisasi di tempat tidur. Terapi oksigen dihentikan jika pasien sudah
bisa bernapas dalam dan batuk yang efektif pasien dengan
pembedahan toraks atau pembedahan abdomen atas bisa diberikan
terapi oksigen sampai 24 jan setelah pembedahan
Pemosisian pasien untuk ventilasi. Sebelum pasien pulih sadar,
atau belum bisa batuk, posisi yang paling aman adalah berbaring
miring dengan kepala dalam keadaan hiperekstensi dan lengan yang
diatas disokong dengan bantal. Aspurasi bisa terjad apabila seluruh
badan termasuk kepala tidak dimiringkan. Pemosisian dengan
memiringkan kepala saja tanpa seluruh badan adalah tindakan yang
salah. Agar kedua paru bisa berekspansi maksimal, posisi pasien perlu
diubah tiap 2 jam.
Pemberian medikasi. Obat penyekat neuromuskular biasanya
diberikan kepada pasien sebelum pembedahan untuk relaksasi otot dan
memperlancar pemasangan selng endotrakea. Obat untuk relaksai otot
seperti obat barbiturat, narkotik, dan anastetik inhalasi yang dapat
menimbulkan depresi pusat pernapasan.
10
Peningkatan batuk. Batuk yang efektif bsa mengeluarkan sekresi.
Batuk tidak dianjurkan untuk pembedahan otak, spinal, dan mata
karena bisa menambah tekanan intrakranial dan tekanan intraokuler.
c) Pemeiliharaan Sirkulasi
Sirkulasi darah yang adekuat sangat perlu untuk pasien pasca
operasi agar semua jaringan, terutama yang mengalami trauma
memperoleh oksigen yang cukup untuk penyembuhan. Kulit dan
selaput lendir yang pucat bisa menunjukkan oksigenasi yang tidak
adekuat. Pemeriksaan pengisian kapiler juga perlu dilaksanakan untuk
mengkaji pengisian darah kapiler dengan tepat.
Perubahan yang berarti dari nilai dasar pengukuran nadi, tekanan
darah, atau adanya perdarahan harus segera dilakukan. Nadi yang
cepat dan lemah disertai dengan penurunan tekanan darah, gelisah,
kulit pucat, dingin, dan basah menunjukkan perdarah atau kegagalan
sirkulasi dan dokter harus segera diberitahu. Secepat mungkin oksigen
diberikan untuk meningkatkan saturasi oksigen dalam darah yang
beredar. Tanda syok harus segera ditangani
Pemeliharaan aliran balik vena. Pemakaian stoking anti embolik
atau kompreasi pneumatik eksternal itermiten sangat dianjurkan pada
tahap intraoperatif dan atahp apssca operatif sampa pasien bisa jalan.
Pemakaian alat-alat ini dapat mempearlancar pemngembaliian darah
vena dari ektremitas bawah ke jantung kanan.
Tromboflebitis pascaoprasi dapat dicegah dengan intervensi
keerawatan. Misalnya, dengan tidak member tekanan pada daerah
popliteal. Apabila perlu menyokong kakii dengan bantal, perhatikan
agar tekanan mearta pada selrauh kaki. Kaki tidka boleh
dimasasse,karena bahaya terlepasnya darah beku dari dinding vena
dan menjadi embolis. Keluarga perlu juga diberi tahu untuk tidak
memasase kaki.
d) Sistem Panca Indera
Setelah dilakukan pembedahan, pasien memiliki tingkat kesadaran
yang berbeda. Oleh karenaitu, seorang harus memonitor tingkat
respon pasien dengan berbagaicara. Misalnya dengan memonitor
11
fungsi pendengaran atau penglihatan. Apakah pasien dapat berespon
dengan baik ketika diberi stimulus atau tidak sama sekali. Ataupun
juga dapat memonitor tingkat kesadaran dengan menentukan Skala
Koma Glasgow / Glasgow Coma Scale (GCS). GCS ini memberikan 3
bidang fungsi neurologik: memberikan gambaran pada tingkat
responsive pasien dan dapat digunakan dalam mengevaluasi motorik
pasien, verbal, dan respon membuka mata. Masing-masing respon
diberikan angka dan penjumlahan dari gambar anini memberikan
indikasi beratnya keadaan koma dan sebuah prediksi kemungkinan
yang terjadi dari hasil yang ada. Elemen-elemen GCS ini dibagi
menjadi tingkatan-tingkatan yang berbeda seperti dibawah ini:
Membuka mata
Spontan :4
Dengan perintah :3
Dengan nyeri :2
Tidak berespon :1
Respon motorik terbaik
Dengan perintah :6
Melokalisasi nyeri :5
Menarik area yang nyeri :4
Fleksi Abnormal :3
Ekstensi Abnormal :2
Tidak berespon :1
Respon verbal
Beorientasi :5
Bicara membingungkan :4
Kata-kata tidak tepat :3
Suara tidak dapat dimengerti: 2
Tidak ada respon :1
12
Kebanyakan pasien pasca operasi menerima cairan intracena untuk
mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit. Jumlah dan jenis
cairan yang diberikan ditentukan oleh tipe pembedahan,usia
pasien,berat badan,keadaanya praoperasi dan intraoperasi,serta respon
pasien terhadap stres akibat pembedahan. Larutan yang sering dipakai
dalaah dekstrosa 5% natrium klorida 0,9% dan Ringer laktat untyk
memberi elektrolit yang diperlukan. Dalam 24 jam pascaoperasi,
kalium ditambah dalam cairan intravena untuk mencegah
hipokalemia. Pemantauan yang ketat terhadap asupan dan keluaran
sangat penting untuk mencegah kelebihan beban cairan. Kecepatan
tetersan infus harus dikontrol paling sedkit tiap jam.Cairan per oral
bisa dimulai apabila sudah ada gerakan peristalsis (ada flatus) dan
refleks muntah serat batuk.
f) Pemeliharaan Termoregulasi
Suhu tubuh dipantau terus-menerus. Termometer per aksila,oral,
dan rektal hanya bisa mengukur suhu kulit dan hasilnya tidak
seakuratsuhu inti tubuh, yang diukur menggunakan termometer
timpanik (dalam telinga) atau temperatur esofagus.
g) Peningkatan kenyamanan
Penelitian menunjukan bahwa orang berkult putug mempunyai
toleransi yang paling tinggi terhadap nyeri, diikuti dengan orang kulit
hitam, kemudian orang Asia. Dilihat dari pihak pasien,distres akibat
nyeri pascaoperasi merupakn masalah pascaoperasi yang sangat
berarti. Oleh karena itu, penanggulangan yang adekuat dan cepar
terhadap nyeri adalah intervensi keperawatan yang kritis. Penanganan
nyeri yang efektif dimulai dengan hubungan saling percaya antara
perawat-pasien. Sangat membantu apabila pasien diberdayakan dalam
menangani nyerinya. Misalnya, sebelum pembedahan dilaksanakan
(sebelum nyeri timbul) pasien sudah disertakan dalam program
penanganan nyeri. Pasien diberi penjelasan menganai sifat nyeri dan
pengertian cara mengevaluasi serta mengkomunikasikan nyeri yang
13
dialaminya kepada perawatnya. Pasien juga diberi kesempatan untuk
mengungkapkan persepsinya tentang nyeri.
Pada tahap awal pasca-anastesia,karena pasien beum pulih penuh
dari anastesia, dosis pertama narkotik yang diberikan separuh dosis
yang biasa untuk mencegah depresi pada pusat pernapasan,sirkulasi,
an sistem saraf. Pada umumnya, pasien memerlukan narkotik dalam
12-24 jam pertama setelah pemebedahan besar (mayor). Jika nyeri
sangat diantisipasi, analgesik dapat diberikan dalam jarak yang teratur
sepanjang hari (around the clock) untuk mempertahankan kadar obat
yang efektif dalam darah. Around the clock berarti analgesik diberikan
pada waktu yang telah ditentukan sekalipun pasien tidak mengeluh
nyeri atau ia tidur.
Analgesik menjadi lebih efektif apabila diberikan sebelum nyeri itu
memuncak atau menjadi hebat. Satu cara untuk menentukan hebatnya
nyeri yang dirasakan pasien adlaah melalui skala peringkat nyeri
karena pasien sendiri menentukan tingkat nyerinya melalui skala 0-10.
Analgesik bisa diberikan memalui berbagai rute. Misalnya, melalui
intramuskular jka fungsi sirkulasi stabil. Rute intramuskular tidak
dianjurkan untuk apsien yang sedang mengalami hipotermia atau syok
karena obat ini akan ada dalam jaringa dan saat volume darah pulih,
obat akan segera diedarkan ke seluruh tubu sehingga pasien bisa
mengalami overdosis. Pada kondisi tersebut, sebaiknya obat diberikan
melalui intravena.
Cara intravena yang banyak dipakai sekarang adalah patient-
controlled analgesia (PCA) atau analgesia yang dikontrol pasien. Infus
dilengkapi dengan alat yang bisa mengendalikan jumlah analgesik
yang diberikan. Apsien sendiri bisa mengaktifkan alat ini apabila ia
merasa memerlukan analgesik. Tidak ada kemungkinan untuk
overdosis karena alat sudah diprogram. PCA dikatakan efektif dengan
asumsi bahwa pasien mengetahui cara mengevaluasi nyerinya. Nyeri
adalah suatu pengalaman yang sangat subyektif. PCA memperdayakan
pasien untuk mengani nyeri yang dialaminya. Mengkaji dan
14
mendokumentasikan respon pasien terhadap PCA adalah tanggung
jawab perawat.
Cara lain dalam memberikan analgesik adalah langsung ke dalam
celah epidural atau subaraknoid. Ahli anastesi biasanya yang
memasukan kateter epidural. Analgesik menghambat transmisi nyeri
pada tingkat medula spinalis. Penelitian menunjukan bahwa analgesia
epidural (PCA epidural) adalah pengobatan pilihan untuk
mengendalikan berbagai macam nyeri termasuk nyeri pascaoperasi.
Selain itu, dikeatahui bahwa narkotik epidurak bisa mengahasilkan
aalgesia selama 15-16 jam tanpa gangguan pernapasan,motorik, dan
sensorik yang berarti. Pada umumnya, 48-72 jam setelah
pembedahan,nyeri yang dialami pasien sudah banyak bekurang dan
obat analgesia per oral biasanya diberikan kalau perlu.
Narkotik yang lazim diberikan pada awal tahap pascaoperatif
adalah morfin dan meperidin. Alternatif untuk narkotik analgesik
adalah NSAID. NSAID mempunyai kelebihan atas narkotik karena
tidak menekan pusat batuk juga tidak mempengaruhi kecepatan serat
kedalaman pernapasan. Akan tetapi,NSAID bisa mnegakibatkan
iritasi,ulkus dan perdarahan pada gastrointertinal.
15
pasien mendengar air mengalir. Apabila tindakan-tindakan ini tidak
efektif \, kateter Foley dapat dipasang sesai dengan program dokter.
16
komplikasi. Teknik aseptik yang ketat harus diperhatikan apabila perlu
mengganti balutan. Tujuan utama dari drain adalah mencegah
terkumpulnya cairan dalam celah tubuh. Akumulasi cairan ini dapat
mengakibatkan infeksi. Cairan ini bisa dikeluarkan melalui drain yang
telah dipsang. Drainase bisa menggunakan gravitasu atau sistem
pengisapan. Kepatenan sistem drainase harus dipantau. Jumalg
drainase, warna, dan baunya didokumentasikan. Biasanya dokter
memberi antibiotik sebagai profilaksis. Perawat harus memberi
antibiotik ini sesuai dengan jadwal untuk mempertahankan kadar
antibiotik dalam darah.
Perdarahan bisa mengganggu proses penyembuhan luak. Apabila
perdarahan nampak pada balutan, perkembangan perdarahan harus
dipantau tiap 10-15 menit dan dokter diberi tahu. Apabila perdarahan
bertambah, ada kemungkinan pasien dibawa ke kamar operasi untuk
menghentikan perdarahan.
Apabila terjadi dehisens dan eviserasi, dokter harus segera
diberitahu. Pasien diberi posisi Fowler yang rendah, diminta untuk
tidak batuk, dan diberi dukungan emosi, organ yang menonjol ditutup
dengan perban abdominal yang steril yang dibasahi dengan salin
normal steril. Tanda-tanda vital dipantau tiap 15 menit. Syok harus
segera ditangani apabila terjadi.
BAB III
PENUTUP
A. Evaluasi
Untuk mengevalusi berhasilnya intervensi keperawtan, perlu dibandingkan
anatar perilaku pasien dan hasil yang diharapkan. Intervensi keperawtan
dikatakan berhasil apabila pasien dapat :
17
1. Mempertahankan jalan napas paten, dan auskultasi paru tidak
menunjukan rales
2. Mempertahankan niali gas darah dalam batas normal dan saturasi
oksigen pada kadar 96% atau lebih
3. Bisa batuk secara efektif
4. Mempertahankan frekuensi nadi dan tekanan darah pada tahap
praoperatif
5. Orientasi baik terhadap waktu,tempat, orang dan bisa menggerakan
semua ekstremitas
6. Memiliki haluaran urin lebih dari 30 ml per jam ; tidak ada edema
7. Suhu tubuh pada batas normal
8. Mengungkapkan bahwa nyeri dapat ditoleransi ; ekspresi wajah
relaks, tidak ada nyeri
9. Berkemih secara spontan 8-10 jam setelah pembedahan
10.Memiliki kulit utuh, tanpa lecet, kemerahan
11.Tidak ada mual dan muntah ; dapat minum sedikit-sedikit tanpa
muntah
12.Menunjukan tanda penyembuhan luka tanpa infeksi atau dehisensi
Banyak rumah sakit yang telah melakukan survei melalui angket
mengenai kepuasan pasien tehadap perawtan pascaoperasi termasuk
penyuluhan kesehatan yang mereka peroleh sebelum mereka
dipulangkan.
B. Kesimpulan
Kegiatan monitoring dimaksudkan untuk mengetahui kecocokan dan
ketepatan kegiatan yang dilaksanakan dengan rencana yang telah disusun.
Monitoring digunakan untuk memperbaiki kegiatan yang menyimpang dari
rencana, mengoreksi penyalahgunaan aturan dan sumber-sumber, serta untuk
mengupayakan agar tujuan dicapai seefektif dan seefisien mungkin.
Post operasi adalah masa yang dimulai ketika masuknya pasien keruang
pemulihan dan berakhir dengan evaluasi tindak lanjut pada tatanan klinik atau
dirumah. Setelah pembedahan, keadaan pasien dapat menjadi kompleks
akibat perubahan fisiologis yang mungkin terjadi. Untuk memonitor kondisi
pasca atau post operasi ini, informasi preoperative adalah sangat berguna
terutama prosedur pembedahan dan hal-hal yang terjadi selama pembedahan
18
berlangsung. Informasi ini membantu mendeteksi adanya perubahan semasa
memonitor pasien post operasi.
DAFTAR PUSTAKA
Baradero, Mary et al. 2009. Prinsip & Praktik Keperawatan Perioperatif.
Jakarta :Buku Kedokteran EGC.
19