Anda di halaman 1dari 10

Kapankah Waktu Puasa Arafah?

(Oleh: Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat)

Oleh: Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat

Dari Abu Qatadah Al-Anshariy (ia berkata),” Sesungguhnya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah di
tanya tentang (keutamaan) puasa pada hari Arafah?” Maka beliau menjawab, ” Menghapuskan (kesalahan)
tahun yang lalu dan yang sesudahnya.” (HR. Muslim no.1162 dalam hadits yang panjang)

Fiqih Hadits:
Didalam hadits yang mulia ini terdapat dalil dan hujjah yang sangat kuat tentang waktu puasa
Arafah, yaitu pada hari Arafah ketika manusia wuquf di Arafah. Karena puasa Arafah ini terkait dengan waktu
dan tempat. Bukan dengan waktu saja seperti umumnya puasa-puasa yang lain. Oleh karena puasa Arafah
itu terkait dengan tempat, sedangkan Arafah hanya ada di satu tempat yaitu di Saudi Arabia di dekat kota
Makkah bukan di Indonesia atau di negeri-negeri yang lainnya, maka waktu puasa Arafah adalah ketika
kaum muslimin wuquf di Arafah. Seperti tahun ini 1425 H/2004 M [seperti tertulis di dalam buku, admin]
wuquf jatuh pada hari Rabu, maka kaum muslimin di Indonesia dan di seluruh negeri puasa Arafahnya pada
hari Rabu dan ‘Iedul Adha-nya pada hari Kamis. Bukan sesudahnya, yakni puasanya pada hari kamis dan
‘iednya pada hari Jum’at, dengan alasan? mengikuti ru’yah di negeri masing-masing seperti halnya bulan
Ramadhan dan ‘Iedul Fithri.
Pendapat ini batil kalau tidak mau dikatakan sangatlah batil, karena telah menyalahi ketegasan
hadits di atas, di mana Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam di tanya tentang puasa pada hari Arafah, yakni
pada hari ketika manusia wuquf di Arafah. Adapun hari sesudahnya bukan hari Arafah lagi tetapi hari ‘Ied, dan
lusanya bukan hari ‘Ied lagi tetapi hari Tasyrik. Ini yang pertama!
Yang kedua, hujjah di atas lebih lemah dari sarang laba-laba, karena telah mempergunakan qiyas
ketika nash telah ada. Kaidah fiqqiyyah mengatakan, “Apabila nash telah datang, maka batallah segala
pendapat”.
Yang ketiga, qiyas yang mereka gunakan merupakan qiyas yang berbeda dengan apa yang di
qiyaskan atau qiyas faariq. Tidak dapat disamakan hukumnya antara Ramadhan dan ‘Iedul Fithri tanggal satu
Syawwal dengan puasa hari Arafah dan ‘Iedul Adha. Maka sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam ,
“Puasalah karena melihat ru’yah (Ramadhan), dan berbukalah ketika melihat ru’yah (Syawwal)”. Jelas sekali
untuk puasa di bulan Ramadhan dan ‘Iedul Fithri, bahwa masing-masing negeri atau negeri-negeri yang
saling berdekatan mempunyai ru’yah masing-masing menurut pendapat sebagian ulama sebagaimana saya
telah jelaskan dengan luas di Al-Masaa-il jilid 2 masalah ke 39
Yang keempat, sebagian dari mereka mengatakan, “Kami melaksanakan dalam rangka menaati
dan mengikuti ulil amri!”
Ini adalah perkataan yang sangat batil yang telah menjadikan ulil amri sebagai tuhan-tuhan selain
Allah yang telah menetapkan kepada mereka sebuah syari’at walaupun menyalahi Syari’at Rabbul ‘alamin.
Oleh karena itu tidak ada seorangpun Ulama yang mengatakan secara mutlak ketaatan kepada ulil amri
seperti perekataan yang sangat batil di atas. Akan tetapi mereka selalu mengkaitkan dengan ketaatan
kepada Allah dan Rasul-Nya. Apabila perkataan atau ketetapan ulil amri menyalahi ketetapan Al-Kitab dan
As-Sunnah, maka tidak boleh didengar dan tidak boleh ditaati, karena tidak ada ketaatan kepada makhluk
dalam rangka maksiat kepada Rabbul ‘alamin sebagaimana telah di jelaskan dalam hadits-hadits yang shahih
dalam masalah ini. Selain perkataan dan perbuatan mereka diatas menyerupai manhaj Khawarij secara
khusus dan manhaj ahli bid’ah secara umum, yaitu berdalil dengan dalil-dalil umum atau mutlak dengan
meninggalkan dalil-dalil yang tidak bersifat umum atau mutlak.
Maka ikutilah penjelasan tafsirnya berikut ini:

‫ذ‬ ‫ذ‬ ‫ء‬ ‫ذ‬


‫يياَ أي يييهاَ الذيين آيمننوُا أيذطيِعنوُا اللهي يوأيذطيِعنوُا اللرنسوُيل يوأنوذل امليممذر ذمننكمم ۖ فيذإنِ تيييناَيزمعتنمم ذف يشميء فيينريدوهن إذيل اللذه يواللرنسوُذل ذإنِ نكنتنمم تنيمؤذمننوُينِ ذباَللذه يوالميِييموُم املذخذر ۚ ذيذل ي‬
‫ك يخيِميرر‬
٥٩﴿ ‫﴾يوأيمحيسنن تيأمذويلل‬

“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (-Nya), dan ulil amri diantara kamu.
kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
adalah lebih utama(bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Qs. An-Nisaa': 59)

Dalam ayat yang mulia iniAllah telah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk taat kepada
Allah dan Rasul-Nya secara mutlak. Oleh karena itu Allah mengulang fi’il (kata kerja) ” athi’u ” (‫ )أأططيِععوُا‬ketika
memerintahkan untuk menaati-Nya dan menaati Rasul-Nya. Adapun ketaatan kepada ulil amri tidak secara
mutlak, tetapi terkait dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu Allah tidak mengulang
kata kerja (fi’il) athi’u ketika memerintahkan untuk menaati ulil amri. Karena tidak ada ketaatan kepada
makhluk dalam maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Apabila ulil amri memerintahkan kepada kita untuk
maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya atau perintahnya menyalahi Al-Kitab dan Sunnah, maka tidak boleh
didengar dan ditaati sebagaimana telah di jelaskan di dalam Al-Kitab dan Sunnah dari hadits-hadits shahih.
Karena kalau kita taati perintah ulil amri yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah, maka kita telah
menjadikan ulil amri tersebut sebagai tuhan-tuhan selain dari Allah yang ditaati perintah dan larangannya
secara mutlak sebagaimana perbuatan Ahli Kitab dari orang-orang Yahudi dan Nashara. Tetapi sangat
pentimg kita ketahui, bahwa larangan tidak boleh mendengar dan mentaati perintah ulil amri yang menyalahi
Al-Kitab dan Sunnah, tidaklah mewajibkan kepada kita untuk memberontak yang kemudian menjatuhkannya
atau yang semakna dengannya sebagaimana perbuatan ahli bid’ah dan firqoh-firqoh sesat seperti khawarij
dan mu’tazilah dan yang sepaham dengan mereka. Tetapi ada cara yang diajarkan oleh islam dalam
menasehati dan memperingati ulil amri yang zhalim atau yang memerintahkan maksiat atau yang perintahnya
menyalahi keputusan Allah dan Rasul-Nya.
Sedangkan yang dimaksud dengan ketaatan kepada Allah ialah dengan berpegang dan mengikuti
kitab-Nya Al-Qur’an. Dan ketaatan kepada Rasul dengan berpegang dan mengikuti Sunnahnya. Ayat yang
mulia ini (Qs.An-Nisaa': 59, admin) menjadi sebesar-besar dalil dan hujjah akan kedudukan dan ketinggian
serta kemuliaan Sunnah, bahwa menaati Rasul yakni dengan mengikuti Sunnahnya secara mutlak, baik
terdapat di dalam Al-Qur’an atau tidak, sama saja, kewajiban kita mentaati dan mengikutinya. Jelas sekali
dari ayat yang muliakita mengetahui, bahwa orang yang meninggalkan Sunnah dengan sendirinya dia telah
meninggalkan Al-Kitab (Al-Qur’an) dan tidak menaati Allah secara mutlak. Dari sini pun kita mengetahui,
bahwa orang yang menjadikan dalil aqli (yang diputuskan oleh akal) sebagai asas, kemudian dalil naqli(yang
diambil dari Al-Qur’an dan Sunnah) mengikutinya, yang pada hakekatnya mereka telah menjadikan akal-akal
mereka sebagai raja yang memerintahkan` dua wahyu yang mulia (Al-Kitab dan Sunnah). Mereka inilah
orang-orang yang tidak mentaati Allah dan Rasul-Nya sesuai dengan tingkat kesesatan mereka.
Kemudian , pada bagian kedua dari ayat yang mulia ini, Allah Tabaaraka wa Ta’ala telah
memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk mengembalikan segala sesuatu yang mereka
perselisihkan dari urusan dunia dan akherat kepada Allah dan Rasul-Nya, yakni kepada Kitab-Nya dan
Sunnah Nabi-Nya. Karena didalam Al-Kitab dan Sunnah itulah mereka akan mendapati penjelasan
danpenyelesaian tentang hukum yang mereka perselisihkan. Sesuatu hal yang tidak mungkin terjadi ketika
Allah memerintahkan untuk mengembalikan segalaperselisihan kepada Kitab-Nya dan Sunnah Rasul-Nya
kemudian mereka benar-benar mengembalikan kepada keduanya. Dengan syarat, tentunya mengembalikan
kepada keduanya itu dengan cara yang benar, yaitu dengan ilmu dan keadilan bukan dengan kebodohan dan
hawa. Dan hal ini menjadi bukti bahwa kita memang benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir.
Kemudian buah yang akan dihasilkan dari mengembalikan segala urusan perselisihan kepada Al-Kitab dan
Sunnah ialah penyelesaiannya akan berakhir dengan kebaikan dan kebahagiaan dunia dan akhirat kamu.
Disalin dari Kitab Al-Masaa-il Jilid 5 (Masalah 110) hal. 88-92 oleh guru kami Al-Ustadz Abdul
Hakim bin Amir Abdat ~semoga Allah menjaganya~. (Pustaka Darus Sunnah – Jakarta, Cetakan 1,
November 2005)

Artikel: Moslemsunnah.Wordpress.com

Abu Sahal al-Atsary


Ahad, 14 November 2010

Artikel Terkait: Derajat Hadits Puasa Hari Tarwiyah (8 Dzulhijjah)?


Puasa Arafah Ikut Wukuf di Arafah atau Ikut Pemerintah?
 25 September 2014, 12:02 pm
 puasa arafah

Puasa Arafah yang dilakukan tahun ini apakah ikut


wukuf di Arafah ataukah ikut ketetapan pemerintah?
Karena kalau ikut ketetapan pemerintah, maka puasa
Arafah akan berbeda dengan waktu Jamaah haji wukuf
di Arafah. Waktu wukuf di Arafah pada hari Jumat, 3
Oktober 2014. Sedangkan untuk 9 Dzulhijjah di
Indonesia jatuh pada 4 Oktober 2014.

Kalau Begitu Puasa Arafah Ikut Siapa?

Yang jelas kasus semacam ini sudah ada sejak masa silam. Kita semestinya bersikap
legowo dan lapang dada, menghargai perbedaan yang terjadi.

Namun mengedepankan persatuan dalam masalah ini, itu lebih baik. Landasannya adalah
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

‫ذ‬
ِ‫ضيحوُين‬ ‫صوُنموُينِ َيوالمفطمنر َيييموُيم َتينمفذطنروينِ َيوالي م‬
‫ضيحىَ َيييموُيم َتن ي‬ ‫صموُنم َيييموُيم َتي ن‬
‫ال ل‬
“Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, hari raya Idul Fithri
ditetapkan tatkala mayoritas kalian berhari raya, dan Idul Adha ditetapkan tatkala
mayoritas kalian beridul Adha.” (HR. Tirmidzi no. 697. Hadits ini shahih kata Syaikh Al
Albani).

Imam Tirmidzi ketika menyebutkan hadits ini berkata,

‫صموُيم َيوالمذفطمير َيميع َاملييماَيعذة َيوعنظمذم َاللناَذس‬ ‫ذ‬


‫ض َأيمهذل َالمعذملذم َيهيذا َامليدي ي‬
‫ث َفيييقاَيل َإذليناَ َيممعين َيهيذا َأيلنِ َال ل‬ ‫يوفيلسير َبييمع ن‬
“Para ulama menafsirkan bahwa hadits ini yang dimaksud adalah berpuasa dan berhari
raya bersama al jama’ah dan mayoritas manusia”. Yang dimaksud Abu ‘Isa At Tirmidzi
adalah berpuasa dengan pemerintah (ulil amri), bukan dengan ormas atau golongan
tertentu.

Hadits di atas menunjukkan bahwa berpuasalah dan berhari rayalah bersama pemerintah.
Kalau ketetapan pemerintah berbeda dengan wukuf di Arafah, tetap ketetapan pemerintah
yang diikuti.

Ikuti Hilal di Negeri Masing-Masing, Bukan Ikut Wukuf di Arafah

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ذ‬
‫ َفيذإمنِ َغنلم َيعليميِنكمم َيفاَقمندنروا َليهن‬,‫ َيوإذيذا َيريأيميتننموُنه َفيأيفمطنروا‬,‫صوُنموُا‬
‫إذيذا َيريأيميتننموُنه َفي ن‬
“Jika kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Jika kalian melihatnya lagi, maka berhari
rayalah. Jika hilal tertutup, maka genapkanlah (bulan Sya’ban menjadi 30 hari).”
(Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 1906 dan Muslim no. 1080).

Hilal di negeri masing-masinglah yang jadi patokan, itulah maksud perintah hadits. Yang
menguatkannya pula adalah riwayat dari Kuraib–, bahwa Ummu Fadhl bintu Al Harits
pernah menyuruhnya untuk menemui Muawiyah di Syam, dalam rangka menyelesaikan
suatu urusan.

Kuraib melanjutkan kisahnya, setibanya di Syam, saya selesaikan urusan yang dititipkan
Ummu Fadhl. Ketika itu masuk tanggal 1 ramadhan dan saya masih di Syam. Saya melihat
hilal malam jumat. Kemudian saya pulang ke Madinah. Setibanya di Madinah di akhir
bulan, Ibnu Abbas bertanya kepadaku, “Kapan kalian melihat hilal?” tanya Ibnu Abbas.
Kuraib menjawab, “Kami melihatnya malam Jumat.” “Kamu melihatnya sendiri?”, tanya
Ibnu Abbas. “Ya, saya melihatnya dan penduduk yang ada di negeriku pun melihatnya.
Mereka puasa dan Muawiyah pun puasa.” Jawab Kuraib.

Ibnu Abbas menjelaskan,

‫ذ ذ‬ ‫ليذكلناَ َريأيييناَه َلييِيليية َاللسب ذ‬


‫ي َأيمو َنيييراهن‬
‫صوُنم َيحلت َنمكميل َثيليث ي‬
‫ل َنيييزانل َني ن‬
‫ت َفي ي‬ ‫م‬ ‫يم ن م‬
“Kalau kami melihatnya malam Sabtu. Kami terus berpuasa, hingga kami selesaikan
selama 30 hari atau kami melihat hilal Syawal.”

Kuraib bertanya lagi, “Mengapa kalian tidak mengikuti rukyah Muawiyah dan puasanya
Muawiyah?”

Jawab Ibnu Abbas,

-‫صلىَ َال َعليِه َوسلم‬-َ ‫يل َيهيكيذا َأييميريناَ َيرنسوُنل َاللذه‬


“Tidak, seperti ini yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
kepada kami.” (HR. Muslim no. 1087).

Ini jadi dalil bahwa hilal di negeri kita tidak mesti sama dengan hilal Kerajaan Saudi
Arabia, hilal lokal itulah yang berlaku. Kalau hilal negara lain terlalu dipaksakan berlaku
di negeri ini, coba bayangkan bagaimana hal ini diterapkan di masa silam yang
komunikasinya belum maju seperti saat ini.

Imam Nawawi rahimahullah membawakan judul untuk hadits Kuraib, “Setiap negeri
memiliki penglihatan hilal secara tersendiri. Jika mereka melihat hilal, maka tidak berlaku
untuk negeri lainnya.”

Imam Nawawi rahimahullah juga menjelaskan, “Hadits Kuraib dari Ibnu ‘Abbas jadi dalil
untuk judul yang disampaikan. Menurut pendapat yang kuat di kalangan Syafi’iyah,
penglihatan rukyah (hilal) tidak berlaku secara umum. Akan tetapi berlaku khusus untuk
orang-orang yang terdekat selama masih dalam jarak belum diqasharnya shalat.” (Syarh
Shahih Muslim, 7: 175). Namun sebagian ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa hilal
internasionallah yang berlaku. Maksudnya, penglihatan hilal di suatu tempat berlaku pula
untuk tempat lainnya. (Lihat Idem)

Tidak Masalah Jika Puasa Arafah Beda dengan Hari Wukuf di Arafah

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin juga mendapat pertanyaan sebagai berikut,
“Jika terdapat perbedaan tentang penetapan hari Arafah disebabkan perbedaan mathla’
(tempat terbit bulan) hilal karena pengaruh perbedaan daerah. Apakah kami berpuasa
mengikuti ru’yah negeri yang kami tinggali ataukah mengikuti ru’yah Haromain (dua
tanah suci)?”

Syaikh rahimahullah menjawab, “Permasalahan ini adalah turunan dari perselisihan ulama
apakah hilal untuk seluruh dunia itu satu ataukah berbeda-beda mengikuti perbedaan
daerah. Pendapat yang benar, hilal itu berbeda-beda mengikuti perbedaan daerah.

Misalnya di Makkah terlihat hilal sehingga hari ini adalah tanggal 9 Dzulhijjah. Sedangkan
di negara lain, hilal Dzulhijjah telah terlihat sehari sebelum ru’yah Makkah sehingga
tanggal 9 Dzulhijjah di Makkah adalah tanggal 10 Dzulhijjah di negara tersebut. Tidak
boleh bagi penduduk Negara tersebut untuk berpuasa Arafah pada hari ini karena hari ini
adalah hari Idul Adha di negara mereka.

Demikian pula, jika kemunculan hilal Dzulhijjah di negara itu selang satu hari setelah
ru’yah di Makkah sehingga tanggal 9 Dzulhijjah di Makkah itu baru tanggal 8 Dzulhijjah
di negara tersebut. Penduduk negara tersebut berpuasa Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah
menurut mereka meski hari tersebut bertepatan dengan tanggal 10 Dzulhijjah di Mekkah.

Inilah pendapat yang paling kuat dalam masalah ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Jika kalian melihat hilal Ramadhan hendaklah kalian berpuasa dan jika
kalian melihat hilal Syawal hendaknya kalian berhari raya” (HR Bukhari dan Muslim).

Orang-orang yang di daerah mereka hilal tidak terlihat maka mereka tidak termasuk orang
yang melihatnya.

Sebagaimana manusia bersepakat bahwa terbitnya fajar serta tenggelamnya matahari itu
mengikuti daerahnya masing-masing, demikian pula penetapan bulan itu sebagaimana
penetapan waktu harian (yaitu mengikuti daerahnya masing-masing)”. (Majmu’ Fatawa wa
Rosa-il Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, 20/47-48, Darul Wathon – Darul
Tsaroya, cetakan terakhir, tahun 1413 H)

Kesimpulan dari Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, puasa Arafah mengikuti


penanggalan atau penglihatan di negeri masing-masing dan tidak mesti mengikuti wukuf di
Arafah. Wallahu a’lam, wallahu waliyyut taufiq.
Puasa Arafah Berbeda dengan Hari Arafah
 by Ammi Nur Baits
 September 25, 2014

Puasa Arafah Berbeda dengan Hari Arafah


Jika terjadi perbedaan dalam menentukan tanggal 9 Dzulhijjah, antara pemerintah
Indonesia dengan Saudi, mana yang harus diikuti? Kami bingung dalam menentukan
kapan puasa arafah?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du

Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini,

Pertama, puasa arafah mengikuti wuquf di arafah.

Ini merupakan pendapat Lajnah Daimah (Komite Fatwa dan Penelitian Ilmiyah) Arab
Saudi. Mereka berdalil dengan pengertian hari arafah, bahwa hari arafah adalah hari
dimana para jamaah haji wukuf di Arafah. Tanpa memandang tanggal berapa posisi hari ini
berada.

Dalam salah satu fatwanya tentang perbedaan tanggal antara tanggal 9 Dzulhijjah di luar
negeri dengan hari wukuf di arafah di Saudi, Lajnah Daimah menjelaskan,
‫ فإذا أردت أن تصوم فإنك‬،‫ وصومه مشروع لغير من تلبس بالحج‬،‫يوم عرفة هو اليوم الذي يقف الناس فيه بعرفة‬
‫ وإن صمت يوما ا قبله فل بأس‬،‫تصوم هذا اليوم‬

Hari arafah adalah hari dimana kaum muslimin melakukan wukuf di Arafah. Puasa arafah
dianjurkan, bagi orang yang tidak melakukan haji. Karena itu, jika anda ingin puasa arafah,
maka anda bisa melakukan puasa di hari itu (hari wukuf). Dan jika anda puasa sehari
sebelumnya, tidak masalah. (Fatawa Lajnah Daimah, no. 4052)

Kedua, puasa arafah sesuai tanggal 9 Dzulhijjah di daerah setempat

Karena penentuan ibadah yang terkait dengan waktu, ditentukan berdasarkan waktu
dimana orang itu berada. Dan hari arafah adalah hari yang bertepatan dengan tanggal 9
Dzulhijjah. Sehingga penentuannya kembali kepada penentuan kalender di mana kaum
muslimin berada.

Pendapat ini ditegaskan oleh Imam Ibnu Utsaimin. Beliau pernah ditanya tentang
perbedaan dalam menentukan hari arafah. Kita simak keterangan beliau,

‫ ورؤي‬، ‫ وكان هذا اليوم هو اليوم التاسع‬، ‫ فمثل إذا كان الهللا قد رؤي بمكة‬، ‫والصواب أنه يختلف باختلفا المطالع‬
، ‫في بلد آخر قبل مكة بيوم وكان يوم عرفة عندهم اليوم العاشر فإنه ل يجوز لهم أن يصوموا هذا اليوم لنه يوم عيد‬
‫ فإنهم يصومون يوم التاسع‬، ‫وكذلك لو قدر أنه تأخرت الرؤية عن مكة وكان اليوم التاسع في مكة هو الثامن عندهم‬
‫ لن النبي صلى ا عليه وسلم يقولا ) إذا رأيتموه‬، ‫ هذا هو القولا الراجح‬، ‫عندهم الموافق ليوم العاشر في مكة‬
( ‫فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا‬

Yang benar, semacam ini berbeda-beda, sesuai perbedaan mathla’ (tempat terbit hilal).
Sebagai contoh, kemarin hilal sudah terlihat di Mekah, dan hari ini adalah tanggal 9
Dzulhijjah. Sementara di negeri lain, hilal terlihat sehari sebelum Mekah, sehingga hari
wukuf arafah menurut warga negara lain, jatuh pada tanggal 10 Dzulhijjah, maka pada saat
itu, tidak boleh bagi mereka untuk melakukan puasa. Karena hari itu adalah hari raya bagi
mereka.

Demikian pula sebaliknya, ketika di Mekah hilal terlihat lebih awal dari pada negara lain,
sehingga tanggal 9 di Mekah, posisinya tanggal 8 di negara tersebut, maka penduduk
negara itu melakukan puasa tanggal 9 menurut kalender setempat, yang bertepatan dengan
tanggal 10 di Mekah. Inilah pendapat yang kuat. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,

‫إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا‬

Apabila kalian melihat hilal, lakukanlah puasa dan apabila melihat hilal lagi, (hari raya),
jangan puasa. (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, volume 20, hlm. 28)

Dari keterangan di atas, kita bisa memahami bahwa perbedaan penentuan hari arafah,
kembali kepada dua pertimbangan:

Pertama, apakah perbedaan tempat terbit hilal (Ikhtilaf Mathali’) mempengaruhi


perbedaan dalam penentuan tanggal ataukah tidak.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa dalam menentukan tanggal awal bulan, kaum
muslimin di seluruh dunia disatukan. Sehingga perbedaan tempat terbit hilal tidak
mempengaruhi perbedaan tanggal.

Sementara sebagian ulama berpendapat bahwa perbedaan mathali’ mempengaruhi


perbedaan penentuan awal bulan di masing-masing daerah. Ini meruakan pendapat
Ikrimah, al-Qosim bin Muhammad, Salim bin Abdillah bin Umar, Imam Malik, Ishaq bin
Rahuyah, dan Ibnu Abbas. (Fathul Bari, 4/123).

Dari dua pendapat ini, insyaaAllah yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat
kedua. Adanya perbedaan tempat terbit hilal, mempengaruhi perbedaan penentuan tanggal.
Hal ini berdasarkan riwayat dari Kuraib – mantan budak Ibnu Abbas –, bahwa Ummu
Fadhl bintu al-Harits (Ibunya Ibnu Abbas) pernah menyuruhnya untuk menemui
Muawiyah di Syam, dalam rangka menyelesaikan suatu urusan.

Kuraib melanjutkan kisahnya,

Setibanya di Syam, saya selesaikan urusan yang dititipkan Ummu Fadhl. Ketika itu masuk
tanggal 1 ramadhan dan saya masih di Syam. Saya melihat hilal malam jumat. Kemudian
saya pulang ke Madinah. Setibanya di Madinah di akhir bulan, Ibnu Abbas bertanya
kepadaku

“Kapan kalian melihat hilal?” tanya Ibnu Abbas.

“kami melihatnya malam jumat.” Jawab Kuraib.

“Kamu melihatnya sendiri?” tanya Ibnu Abbas.

“Ya, saya melihatnya dan masyarakatpun melihatnya. Mereka puasa dan Muawiyahpun
puasa.” Jawab Kuraib.

Ibnu Abbas menjelaskan,

‫ فل نزالا نصوم حتى نكمل ثالثاين أو نراه‬،‫لكنا رأيناه ليلة السبت‬

“Kalau kami melihatnya malam sabtu. Kami terus berpuasa, hingga kami selesaikan
selama 30 hari atau kami melihat hilal Syawal.”

Kuraib bertanya lagi,

“Mengapa kalian tidak mengikuti rukyah Muawiyah dan puasanya Muawiyah?”

Jawab Ibnu Abbas,

‫ل هكذا أمرنا رسولا ا صلى ا عليه وسلم‬

“Tidak, seperti ini yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada
kami.” (HR. Muslim 2580, Nasai 2111, Abu Daud 2334, Turmudzi 697, dan yang lainnya).
Kedua, batasan hari arafah

Sebagian ulama menyebutkan bahwa puasa arafah adalah puasa pada hari di mana jamaah
haji melakukan wukuf di arafah. Tanpa mempertimbangkan perbedaan tanggal dan waktu
terbitnya hilal.

Sementara ulama lain berpendapat bahwa hari arafah adalah hari yang bertepatan dengan
tanggal 9 Dzulhijjah. Sehingga sangat memungkinkan masing-masing daerah berbeda.

Ada satu pertimbangan sehingga kita bisa memilih pendapat yang benar dari dua
keterangan di atas. Terlepas dari kajian ikhtilaf mathali’ (perbedaan tempat terbit hilal) di
atas.

Kita sepakat bahwa islam adalah agama bagi seluruh alam. Tidak dibatasi waktu dan
zaman, sebelum tiba saatnya Allah mencabut islam. Dan seperti yang kita baca dalam
sejarah, di akhir dakwah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, islam sudah tersebar ke
berbagai penjuru wilayah, yang jarak jangkaunya cukup jauh. Mekah dan Madinah kala itu
ditempuh kurang lebih sepekan. Kemudian di zaman para sahabat, islam telah melebar
hingga dataran syam dan Iraq. Dengan alat transportasi masa silam, perjalanan dari Mekah
menuju ujung wilayah kaum muslimin, bisa menghabiskan waktu lebih dari sebulan.

Karena itu, di masa silam, untuk mengantarkan sebuah info dari Mekah ke Syam atau
Mekah ke Kufah, harus menempuh waktu yang sangat panjang. Berbeda dengan sekarang,
anda bisa menginformasikan semua kejadian yang ada di tanah suci ke Indonesia, hanya
kurang dari 1 detik. Sehingga orang yang berada di tempat sangat jauh sekalipun, bisa
mengetahui kapan kegiatan wukuf di arafah, dalam waktu sangat-sangat singkat.

Di sini kita bisa menyimpulkan, jika di masa silam standar hari arafah itu mengikuti
kegiatan jamaah haji yang wukuf di arafah, tentu kaum muslimin yang berada di tempat
yang jauh dari Mekah, tidak mungkin bisa menerima info tersebut di hari yang sama, atau
bahkan harus menunggu beberapa hari.

Jika ini diterapkan, tentu tidak akan ada kaum muslimin yang bisa melaksanakan puasa
arafah dalam keadaan yakin telah sesuai dengan hari wukuf di padang arafah. Karena
mereka yang jauh dari Mekah sama sekali buta dengan kondisi di Mekah.

Ini berbeda dengan masa sekarang. Hari arafah sama dengan hari wukuf di arafah, bisa
dengnan mudah diterapkan. Hanya saja, di sini kita berbicara dengan standar masa silam
dan bukan masa sekarang. Karena tidak boleh kita mengatakan, ada satu ajaran agama
yang hanya bisa diamalkan secara sempurna di zaman teknologi, sementara itu tidak
mungkin dipraktekkan di masa silam.

Oleh karena itu, memahami pertimbangan di atas, satu-satunya yang bisa kita jadikan
acuan adalah penanggalan. Hari arafah adalah hari yang bertepatan dengan tanggal 9
Dzulhijjah, dan bukan hari jamaah haji wukuf di Arafah. Dengan prinsip ini, kita bisa
memahammi bahwa syariat puasa arafah bisa dipraktekkan kaum muslimin di seluruh
penjuru dunia tanpa mengenal batas waktu dan tempat.

Allahu a’lam.

Anda mungkin juga menyukai