Anda di halaman 1dari 8

1.

Klasifikasi dan Karakteristik Toksikan (Bahan Toksik)


Klasifikasi toksikan (Bahan Toksik). Bahan toksik dapat diklasifikasikan berdasarkan:
- Organ tujuan, misalnya ginjal, hati, dan sistem hematopoitik
- Penggunaan, misalnya pestisida, pelarut, dan food additive
- Sumber, misalnya tumbuhan atau hewan
- Efek yang ditimbulkan, misalnya kanker dan mutasi
- Bentuk fisik, misalnya gas, cair, dan debu
- Label kegunaan, misalnya bahan peledak dan oksidator
- Susunan kimia, misalnya amino aromatis, halogen, dan hidrokarbon
- Potensi racun, misalnya organofosfat lebih toksik daripada karbamat
Untuk dapat diterima dalam spektrum agen toksik, suatu bahan tidak hanya ditinjau dari
satu macam klasifikasi saja, tetapi dapat pula ditinjau dari beberapa kombinasi dan beberapa
faktor lain. Klasifikasi bahan toksik dapat dibagi secara kimiawi, biologi, dan karakteristik
paparan yang bermanfaat untuk usaha pengontrolan.
Ada pula sumber lain yang mengklasifikasikan toksik sebagai berikut :
a. Klasifikasi atas dasar sumber
- Sumber alamiah/buatan : klasifikasi ini membedakan racun asli yang berasalkan fauna dan
flora, dan kontaminasi organisme dengan berbagai racun berasalkan lingkungan seperti bahan
baku industri yang beracun ataupun buangan beracun dan bahan sintetis beracun.
- Sumber berbentuk titik, area, dan bergerak. Klasifikasi ini biasanya digunakan untuk orang
yang berminat dalam melakukan pengendalian. Tentunya sumber titik lebih mudah
dikendalikan daripada sumber area yang bergerak.
- Sumber domestik, komersial, dan industri, yang lokasi sumbernya. Sifat, dan jenisnya
berbeda, kecuali terkontaminasi oleh buangan insektisida, sisa obat, dll.

b. Klasifikasi atas dasar wujud


Klasifikasi atas dasar wujud sangat bermanfaat dalam memahami efek yang mungkin terjadi
serta pengendaliannya:
- Wujud pencemar dapat bersifat padat, cair, dan gas. Racun dapat dibedakan atas dasar
wujudnya ini terutama karena efeknya yang berbeda. Gas dapat berdifusi, sehingga menyebar
lebih cepat daripada cairan dan zat padat. Efek terhadap masyarakat tentunya akan sangat
berbeda. Gasa dan padatan yang sangat halus akan cepat menimbulkan efek, dan apabila
konsentrasi masyarakat di tempat tersebut padat, maka efeknya akan menjadi sangat drastis.
- Ukuranpencemar bentuk,, dan densitas, serta komposisi kimiawi dan fisika sangat erat
hubungannya dengan wujud. Hal ini akan memberikan petunjuk mudah tidaknya sesuatu
pencemar memasuki tubuh host dan cepat tidaknya menimbulkan efek dan sampai seberapa
jauh efeknya. Padatan halus dengan sifat-sifat tersebut dapat berbentuk sangat aerodinamis,
sehingga mudah masuk ke dalam paru-paru, sekalipun ukurannya sangat relatif besar

c. Klasifikasi atas dasar sifat kimia-fisika


Klasifikasi ini sering digunakan untuk bahan beracun (B3), dan pengelompokan xenobiotik
tersebut adalah sebagai B3 yang:
- Korosif
- Radioaktif
- Evaporatif
- Eksplosif
- Reaktif; semua ini menghendaki penanganan, transportasi, dan pembuangan yang berbeda,
karena bahaya yang mungkin ditimbulkan akan berbeda.

d. Klasifikasi atas dasar terbentuknya pencemar/xenobiotik


Pencemar yang terbentuk dan keluar dari sumber disebut pencemar prmer. Selanjutnya,
setelah transformasi pertama di lingkungan, ia akan disebut pencemar sekunder, dan
kemudian dapat menjadi pencemar tersier, dan seterusnya. Klasifikasi ini menjadi penting
jika kita melakukan pengukuran ataupun pemantuan pencemar. Lokasi, jarak, dari sumber,
dan sifat reaktifitasnya dengan zat yang ada di media lingkungan akan menentukan terjadinya
perubahan sifat kimia pencemar. Pencemar sekunder, dan seterusnya tentu akan bersifat
berbeda dari sifat primer.

e. Klasifikasi atas dasar efek kesehatan


Klasifikasi atas dasar efek kesehatan atau lebih tepat atas dasar gejala yang timbul
mengelompokkan pencemar sebagai penyebab gejala:
- Fibrosis atau terbentuknya jaringan ikat secara berlebih
- Granuloma atau didapatnya jaringan radang yang kronis
- Demam atau temperatur badan melebihi normal
- Asfiksia atau keadaan kekurangan oksigen
- Alergi atau sensitivitas yang berlebih
- Kanker atau tumor ganas
- Mutan adalah generasi yang secar genetik berbeda dari induknya
- Cacat bawaan akibat teratogen
- Keracunan sistemik, yakni keracunan yang menyerang seluruh anggota tubuh.

f. Klasifikasi atas dasar kerusakan/organ target


Racun dapat dikelompokkan atas dasar organ yang diserangnya. Klasifikasi ini digunakan
oleh para ahli superspesialis organ target tersebut. Dalam klasifikasi ini, racun dinyatakan
sebagai racun yang:
- Hepatotoksik atau beracun bagi hepar/hati
- Nefrotoksik atau beracun bagi nefron/ginjal
- Neurotoksik atau beracun bagi neuron/saraf
- Hermatotoksik atau beracun bagi darah/sistem pembentukan sel darah
- Pneumotoksik atau beracun bagi pneumon/paru-paru
Klasifikasi atas dasar organ target ini sering digunakan karena sifat kimia-fisika racun yang
berbeda dengan racun biologis ataupun kuman patogen.
g. Klasifikasi atas dasar hidup/matinya racun
Klasifikasi atas dasar hidup/motinya racun atau yang bersifat biotis dan abiotis dibuat, karena
bahaya yang terjadi akan beda. Zat yang hidup dapat berkembang biak bila lingkungannya
mengizinkan, sedangkan yang abiotis dapat berubah menjadi berbagai senyawa. Dengan
demikian, pengendaliannya akan berbeda pula.
Mekanisme toksikan

Suatu toksikan melewati membran sel melalui empat mekanisme, yaitu difusi pasif lewat
membran, filtrasi lewat pori-pori membran, transpor dengan perantaraan carrier, dan
pencaplokan (pinositosis). Pada mekanisme terakhir ini sel berperan aktif dalam transfer
toksikan lewat membrannya.

1. Difusi pasif

Sebagian besar toksikan melewati membran sel secara difusi pasif sederhana. Laju
difusi berhubungan langsung dengan perbedaan kadar yang dibatasi oleh membran itu, dan
daya larutnya dalam lipid. Banyak toksikan bersifat mampu mengion. Bentuk ion sering tidak
dapat menembus membran sel karena daya larut lipidnya yang rendah. Sebaliknya bentuk
non-ion cukup larut dalam lipid sehingga dapat menembus membran dengan laju penetrasi
yang bergantung pada daya larut lipidnya. Tingkat ionisasi asam dan basa organik lemah
bergantung pada pH medium. Jadi untuk asam organik lemah, difusi akan mudah bila
lingkungan bersifat asam karena zat ini terutama berada dalam bentuk ion-ion (asam
benzoat); untuk basa organik lemah, difusi mudah terjadi dalam lingkungan lingkungan basa
(anilin).

2. Filtrasi

Membran kapiler dan glomeruli mempunyai pori-pori yang relatif besar. Hal ini
memungkinkan lewatnya molekul-molekul yang lebih besar pula (albumin, BM=60.000).
Aliran air lewat pori-pori ini terjadi karena tekanan hidrostatik dan/atau osmotik dan dapat
bertindak sebagai pembawa toksikan. Namun pada kebanyakan sel, pori-pori umumnya
relatif kecil (4 nm) dan hanya memungkinkan lewatnya zat kimia yang BM-nya kurang dari
100-200. Oleh karena itu, zat-zat kimia yang molekulnya lebih besar dapat keluar masuk
kapiler itu sehingga dapat tercapai keseimbangan antara konsentrasinya dalam plasma dan
dalam cairan ekstrasel; tetapi keseimbangan ini tidak dapat dicapai melalui filtrasi antara
cairan ekstrasel dan intrasel.

3. Transpor dengan Perantaraan Carrier

Proses ini melibatkan pembentukan kompleks zat kimia dan carrier makromolekuler
di satu sisi membran. Kompleks ini lalu berdifusi ke sisi lain, tempat zat kimia itu dilepaskan.
Sesudah itu carrier kembali ke permukaan semula untuk mengulangi proses transpor.
Kapasitas carrier ini terbatas. Bila kapasitas ini telah terpakai habis, laju transpor tidak lagi
bergantung pada kadar zat kimia, dan dimulailah kinetik zero-order. Struktur, konformasi,
ukuran, dan muatan molekul penting dalam menentukan afinitas suatu zat kimia terhadap
situs carrier, inhibisi kompetitif dapat terjadi diantara zat-zat kimia yang cirinya serupa.

Transpor aktif melibatkan carrier untuk memindahkan molekul melewati membran melawan
perbedaan kadar, atau kalau molekul itu suatu ion, melawan perbedaan muatan. Transpor ini
membutuhkan energi metabolisme dan dapat dihambat oleh racun yang mengganggu
metabolisme sel.
4. Pencaplokan oleh sel

Partikel-partikel dapat ditelan oleh sel. Bila partikel itu benda padat, prosesnya
disebut fagositosis, dan bila cairan, disebut pinositosis. Sistem transpor khusus semacam ini
penting untuk menghilangkan partikel dari alveoli dan menghilangkan racun tertentu dari
darah oleh sistem retikuloendotelial.

ABSORPSI TOKSIKAN

Absorpsi dapat terjadi lewat saluran cerna, paru-paru, kulit dan beberapa jalur lain. Jalur
utama bagi penyerapan toksikan adalah saluran cerna, paru-paru, dan kulit. Namun dalam
penelitian toksikologi, sering digunakan jalur khusus seperti injeksi intraperitoneal,
intramuskuler dan subkutan.

1. Saluran Cerna

Banyak toksikan dapat masuk ke saluran cerna bersama makanan dan air minum, atau
secara sendiri sebagai obat atau zat kimia lain. Kecuali zat yang kaustik atau amat
merangsang mukosa, sebagian besar toksikan tidak menimbulkan efek toksik kecuali kalau
mereka diserap. Absorpsi dapat terjadi di seluruh saluran cerna. Namun pada umumnya,
mulut dan rektum tidak begitu penting bagi absorpsi zat-zat kimia dari lingkungan.

Lambung merupakan tempat penyerapan yang penting, terutama untuk asam-asam lemah
yang akan berada dalam bentuk ion-ion yang larut lipid dan mudah berdifusi. Sebaliknya,
basa-basa lemah akan sangat mengion dalam getah lambung yang bersifat asam dan
karenanya tidak mudah diserap. Perbedaan dalam absorpsi ini diperbesar lagi oleh adanya
plasma yang beredar. Asam-asam lemah terutama akan berada dalam bentuk ion yang terlarut
dalam plasma dan diangkut, sementara basa lemah akan berada dalam bentuk ion-ion dan
dapat berdifusi kembali ke lambung.

Di dalam usus, asam lemah terutama akan berada dalam bentuk ion dan karenanya tidak
mudah diserap. Namun sesampai di darah, mereka mengion sehingga tidak mudah berdifusi
kembali. Sebaliknya, basa lemah terutama akan berada dalam bentuk non-ion sehingga
mudah diserap. Absorpsi usus akan lebih tinggi dengan lebih lamanya waktu kontak dan
luasnya daerah permukaan vili dan mikrovili usus.

2. Saluran Napas

Tempat utama bagi absorpsi di saluran napas adalah alveoli paru-paru. Hal ini
terutama berlaku untuk gas, misalnya CO, NO dan SO2; hal ini juga berlaku untuk uap cairan
misalnya benzen dan CCl4. Kemudahan absorpsi ini berkaitan dengan luasnya permukaan
alveoli, cepatnya aliran darah dan dekatnya darah dengan udara alveoli.

Laju absoprsi bergantung pada daya larut gas dalam darah; semakin mudah larut, semakin
cepat absorpsi. Namun keseimbangan antara udara dan darah ini lebih lambat tercapai untuk
zat kimia yang mudah larut, misalnya etilen. Hal ini terjadi karena suatu zat kimia yang lebih
mudah larut akan lebih mudah larut dalam darah. Karena udara alveolar hanya dapat
membawa zat kimia dalam jumlah terbatas, maka diperlukan lebih banyak pernapasan dan
waktu lebih lama untuk mencapai keseimbangan. Bahkan diperlukan waktu lebih lama lagi
kalau zat kimia itu juga diendapkan dalam jaringan lemak.
Disamping gas dan uap, aerosol cair dan partikel-partikel di udara dapat juga diserap. Pada
umumnya, partikel besar (> 10 mm) tidak memasuki saluran napas; kalaupun masuk, mereka
diendapkan di hidung dan dienyahkan dengan diusap, dihembuskan dan berbangkis. Partikel
yang sangat kecil (< 0,01 mm) lebih mungkin terbuang ketika kita menghembuskan napas.
Partikel berukuran 0,01-10 mm diendapkan dalam berbagai bagian saluran napas. Partikel
yang lebih besar mungkin diendapkan di nasofaring dan diserap lewat epitel di daerah ini atau
lewat epitel saluran cerna setelah mereka tertelan bersama lendir. Partikel-partikel yang lebih
kecil diendapkan dalam trakea, bronki, dan bronkioli, lalu ditangkap oleh silia di mukosa atau
ditelan oleh fagosit. Partikel-partikel yang dilempar ke atas oleh silia akan dibatukkan atau
ditelan. Fagosit yang berisi partikel-partikel akan diserap ke dalam sistem limfatik. Beberapa
partikel bebas dapat juga masuk ke saluran limfe. Partikel-partikel yang dapat larut mungkin
diserap lewat epitel ke dalam darah.

Secara kasar dapat dikatakan bahwa 25 % partikel yang terhirup akan dikeluarkan bersama
udara napas, 50 % diendapkan dalam saluran napas bagian atas, dan 25 % diendapkan dalam
saluran napas bagian bawah.

3. Kulit

Pada umumnya kulit relatif impermeabel, dan karenanya merupakan sawar (barrier)
yang baik untuk memisahkan organisme dari lingkungannya. Namun beberapa zat kimia
dapat diserap lewat kulit dalam jumlah cukup banyak sehingga menimbulkan efek sistemik.

Suatu zat kimia dapat diserap lewat folikel rambut atau lewat sel-sel kelenjar keringat
atau sel kelenjar sebasea. Tetapi penyerapan lewat jalur ini kecil sekali sebab struktur ini
hanya merupakan bagian kecil dari permukaan kulit. Maka absorpsi zat kimia di kulit
sebagian besar adalah menembus lapisan kulit yang terdiri atas epidermis dan dermis.

Fase pertama absorpsi perkutan adalah difusi toksikan lewat epidermis yang
merupakan sawar terpenting, terutama stratum korneum. Stratum korneum terdiri atas
beberapa lapis sel mati yang tipis dan rapat, yang berisi bahan (protein filamen) yang resisten
secara kimia. Sejumlah kecil zat-zat polar tampaknya dapat berdifusi lewat permukaan luar
filamen protein stratum korneum yang terhidrasi; zat-zat non-polar melarut dan berdifusi
lewat matriks lipid di antara filamen protein. Stratum korneum manusia berbeda struktur dan
sifat kimianya dari satu bagian tubuh ke bagian lainnya, hal ini tercermin dari perbedaan
permeabilitasnya terhadap zat-zat kimia.

Fase kedua absorpsi perkutan adalah difusi toksikan lewat dermis yang mengandung medium
difusi yang berpori, non-selektif, dan cair. Oleh karena itu, sebagai sawar, dermis jauh kurang
efektif dibandingkan stratum korneum. Akibatnya, abrasi atau hilangnya stratum korneum
menyebabkan sangat meningkatnya absorpsi perkutan. Zat-zat asam, basa, dan gas mustard
juga akan menambah aborpsi dengan merusak sawar ini. Beberapa pelarut terutama dimetil
sulfoksid, juga meningkatkan permeabilitas kulit.

DISTRIBUSI TOKSIKAN

Setelah suatu zat kimia memasuki darah, ia didistribusi dengan cepat ke seluruh tubuh. Laju
distribusi ke setiap alat tubuh berhubungan dengan aliran darah di alat tersebut, mudah
tidaknya zat kimia itu melewati dinding kapiler dan membran sel, serta afinitas komponen
alat tubuh terhadap zat kimia itu.
1. Sawar

Sawar darah-otak terletak di dinding kapiler. Disana sel-sel endotelial kapiler bertaut
rapat sehingga hanya sedikit atau tak ada pori-pori di antara sel-sel itu. Jadi toksikan harus
melewati endotelium kapiler itu sendiri. Tiadanya vesikel dalam sel-sel ini menyebabkan
kemampuan transpornya lebih rendah lagi. Akhirnya kadar protein cairan interstisial otak
rendah, berbeda dengan kadarnya dalam alat-alat tubuh lain; oleh karena itu mekanisme
transfer toksikan dari darah ke otak bukan melalui pengikatan protein. Dengan demikian
penetrasi toksikan ke dalam otak bergantung pada daya larut lipidnya. Contoh, metilmerkuri
yang mudah memasuki otak dengan toksisitas utama pada sistem saraf pusat. Sebaliknya,
senyawa merkuri anorganik tidak larut dalam lipid, tidak mudah memasuki otak, dan
toksisitas utamanya bukan di otak, tetapi di ginjal karena air seni mudah melarutkan merkuri
anorganik.

Sawar plasenta ternyata dapat menghalangi transfer toksikan ke janin sehingga sampai batas
tertentu dapat melindungi si janin. Tetapi kadar suatu toksikan, misalnya metilmerkuri
mungkin lebih tinggi dalam alat tubuh tertentu pada janin seperti otak, karena kurang
efektifnya sawar darah-otak janin. Sebaliknya kadar pewarna makanan amaranth pada janin
lebih rendah dibandingkan kadar pada ibunya.

Sawar lain juga terdapat dalam alat-alat tubuh seperti mata dan testis. Selain itu, eritrosit
ternyata mempunyai peran khusus dalam distribusi toksikan tertentu. Misalnya, membrannya
bertindak sebagai sawar terhadap penetrasi senyawa merkuri anorganik tetapi tidak terhadap
alkilmerkuri. Sitoplasma eritrosit mempunyai afinitas terhadap senyawa alkilmerkuri. Karena
faktor-faktor ini, kadar senyawa merkuri anorganik dalam eritrosit hanya sekitar setengah
dari kadarnya dalam plasma, sementara kadar metilmerkuri dalam eritrosit sekitar sepuluh
kali kadarnya dalam plasma.

2. Pengikatan dan Penyimpanan

Pengikatan suatu zat kimia dalam jaringan dapat menyebabkan lebih tingginya kadar
dalam jaringan itu. Ada dua jenis ikatan yang utama yaitu, ikatan kovalen dan nonkovalen.
Ikatan kovalen bersifat tidak reversibel dan pada umumnya berhubungan dengan efek toksik
yang penting. Ikatan nonkovalen biasanya merupakan yang terbanyak dan bersifat ireversibel.
Oleh karena itu, proses ini berperan penting dalam distribusi toksikan ke berbagai alat tubuh
dan jaringan.

Protein plasma dapat mengikat komponen fisiologik normal dalam tubuh di samping banyak
senyawa asing lainnya. Sebagian besar senyawa asing ini terikat pada albumin dan karena itu
tidak dengan segera tersedia untuk didistribusi ke ruang ekstravaskuler. Namun karena
pengikatan ini reversibel, bahan kimia yang terikat itu dapat lepas dari protein sehingga kadar
bahan kimia yang bebas meningkat, dan kemudian mungkin melewati kapiler endotelium.

Hati dan ginjal memiliki kapasitas yang lebih tinggi untuk mengikat zat-zat kimia. Ciri ini
mungkin berhubungan dengan fungsi metabolik dan ekskretorik mereka. Dalam alat-alat
tubuh ini telah dikenal berbagai protein yang memiliki sifat pengikatan khusus. Pengikatan
suatu zat dapat dengan cepat menaikkan kadarnya dalam organ tubuh.

Jaringan lemak merupakan depot penyimpanan yang penting bagi zat yang larut dalam lipid,
misalnya DDT, dieldrin, dan PCB. Zat-zat ini disimpan dalam jaringan lemak dengan
pelarutan sederhana dalam lemak netral. Ada kemungkinan bahwa kadar plasma zat yang
disimpan dalam lemak naik tajam akibat mobilisasi lemak dengan cepat pada kelaparan.
Konjugasi asam lemak dengan toksikan (mis: DDT) dapat juga merupakan suatu mekanisme
penimbunan zat kimia dalam jaringan yang mengandung lipid dan dalam sel-sel badan.

Tulang merupakan tempat penimbunan utama untuk toksikan fluorida, timbal, dan stronsium.
Penimbunan ini terjadi dengan cara penjerapan silang antara toksikan dalam cairan interstisial
dan kristal hidroksiapatit dalam mineral tulang. Zat-zat yang ditimbun ini akan dilepaskan
lewat pertukaran ion dan dengan pelarutan kristal tulang lewat aktivitas osteoklastik.

Anda mungkin juga menyukai