PENDAHULUAN
1
Masjid memiliki peran sangat penting bagi masyarakat muslim sejak
periode nabi Muhammad SAW. dan sejak masa awal eksistensi masyarakat
muslim di Madinah. Ketika hijrahnya dari Makkah ke Madinah, beliau
membangun masjid sebagai upaya konkret yang pertama bagi peradaban
Islam. Sejak periode penting ini masjid yang ia bangun dipandang sebagai
pusat utama bagi beragam aktifitas masyarakat muslim. Dengan kata lain
masjid menjadi pusat komunitas dan naungan bagi segala bentuk program
dan aktifitas sosial dan pendidikan masyarakat muslim.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
2.2 Masjid dalam Masa Periode Awal Islam
Pada periode awal Islam yaitu pada masa Rasulullah Saw. masjid
memiliki peran signifikan dan strategis baik ketika di Makkah atau di
Madinah. Di Makkah, masjid al Haram menjadi tempat sosialisasi wahyu
dari Allah secara terbuka sehingga mengundang reaksi keras dari golongan
musyrikin Quraisy seperti dialami oleh Abdullah ibn Mas’ud. Demikian
pula sewaktu nabi singgah di Quba dalam perjalanannya ke Yatsrib, selama
4 (empat) hari beliau mendirikan masjid yang kemudian dikenal dengan
sebutan masjid Quba, masjid yang pertama kali dibangun oleh nabi pada
tahun ke- 13 kenabiannya atau tahun ke- 1 hijriah (28 Juni 622 M). Masjid
Quba ini merupakan tempat peribadatan umat Islam pertama yang kemudian
menjadi model atau pola dasar bagi umat Islam dalam membangun masjid-
masjid di kemudian hari. Masjid Quba disamping sebagai tempat
peribadatan yang menjadi fungsi utamanya, juga sebagai tempat pendidikan
dan pengajaran agama Islam. Untuk itu, Rasulullah menempatkan Mu’adz
ibn Jabal sebagai imam sekaligus guru agama di majid Quba ini. Selain itu,
Rasulullah sendiri kerap berkunjung ke masjid ini, baik dengan
mengendarai unta ataupu berjalan kaki, dan menunaikan shalat.
Kemudian setibanya di Yatsrib, langkah pertama yang dilakukan
Rasulullah Saw. adalah membangun masjid yang sangat sederhana,
berukuran 35 x 30 m2. Dengan berlantaikan tanah, dinding terbuat dari
tanah yang dikeringkan, tiangnya dari batang pohon kurma dan atapnya dari
pelepah dan daunnya. Masjid ini kemudian dikenal dengan sebutan Masjid
Nabawi. Di sebelah timur masjid, dibangun tempat tinggal Rasulullah yang
tentunya lebih sederhana lagi dari masjid, dan di sebelah barat dibangun
sebuah ruangan khusus untuk orang-orang miskin muhajirin, yang kemudian
dikenal dengan sebutan al shuffah.
Di Masjid Nabawi inilah, seperti dijelaskan Quraish Shihab, fungsi-
fungsi penting yang terkait dengan kehidupan masyarakat muslim pada
masa itu dijalankan dengan baik karena Rasulullah sendiri yang secara
langsung memimpin pemberdayaan masjid sebagai tempat dan basis utama
4
mengelola masyarakat muslim dengan sebaik-baiknya yang di kemudian
hari melahirkan sebuah masyarakat ideal yang disebut masyarakat madani.
Selain dari dua masjid di atas, Rasulullah dan para sahabat juga
membangun dan memperhatikan beberapa masjid dalam waktu yang
berbeda antara lain : masjid Qiblatain, masjid Salman, masjid Sayyidina Ali,
masjid Ijabah, masjid Raya, masjid Suqiya, masjid Fadikh, masjid Bani
Quraizhah, Masjid Afr dan masjid al Aqsha yang notebene masjid tertua
kedua setelah masjid al haram di Makkah.
Pada masa Khulafa al Rasyidin juga dibangun beberapa masjid baru di
wilayah-wilayah yang berhasil dikuasai. Di Bayt al Maqdis, misalnya,
khalifah Umar ibn Khattab membangun sebuah masjid yang berbentuk
lingkaran (segi delapan), dindingnya terbuat dari tanah liat, tanpa atap,
tepatnya di atas bukit Muriah. Masjid ini kemudian dikenal dengan nama
masjid Umar. Di Kufah pada tahun 17 H Sa’ad ibn Abi Waqqash, sebagai
panglima perang, membangun sebuah masjid dengan bahan-bahan
bangunan dari Persia lama dari Hirah dan selesai dibangun pada tahun 18 H.
Masjid ini sudah memiliki mihrab dan menara. Di kota Basrah, pada tahun
14 H juga dibangun sebuah masjid oleh ‘Utbah ibn Ghazwan. Di Madain,
pada tahun 16 H. Sa’ad ibn Abi Waqqash menjadikan sebuah gedung
sebagai masjid. Di Damaskus, pada tahun 14 H. gereja St. John dibagi dua,
sebagian (sebelah timur) menjadi milik muslim dan dibuat sebagai masjid
oleh Abu Ubaidah ibn Jarrah. Di Fustat, Mesir, pada tahun 21 H. Amr ibn
‘Ash, ketika menjadi panglima perang untuk menaklukan daerah tersebut
membangun masjid al ‘Atiq. Secara fisik masjid tersebut sudah
berkembang lebih maju dibandingkan masjid-masjid lain yang telah ada.
5
2.3 Masjid dan Pendidikan
Pada masa nabi Muhammad Saw dan khalifah Abu Bakar Shiddiq masjid
masih berfungsi sebagai tempat ibadah dan pendidikan Islam tanpa ada
pemisahan yang jelas antara keduanya hingga masa Amirul Mukminin,
Umar ibn Khattab. Pada masanya, di samping atau di beberapa sudut masjid
dibangun kuttab-kuttab untuk tempat belajar anak-anak. Kuttab atau maktab
“berasal dari kata dasar ‘kataba’ yang artinya menulis atau tempat menulis,
jadi kuttab adalah tempat belajar menulis. Sebelum datangnya Islam kuttab
telah ada di negeri arab meskipun belum banyak dikenal oleh masyarakat”.
Ahmad Syalabi menulis bahwa “kuttab adalah tempat memberi pelajaran
menulis, dimana tempat belajar membaca dan menulis ini teruntuk bagi
anak-anak”.
Sejak masa inilah pengaturan pendidikan anak-anak dimulai. Hari Jum’at
adalah hari libur mingguan sebagai persiapan melaksanakan shalat Jum’at.
Khalifah Umar ibn Khattab mengusulkan agar para pelajar diliburkan pada
waktu dzuhur hari kamis, agar mereka bersiap-siap menghadapi hari Jum’at.
Usul ini kemudian menjadi tradisi hingga sekarang.
Sebagai institusi pendidikan Islam periode awal, masjid
menyelenggarakan kajian-kajian baik dalam bentuk diskusi, ceramah dan
model pembelajaran yang memiliki bentuk atau format tersendiri yang
disesuaikan dengan tingkat perkembangan masyarakat muslim pada masa
itu yang pada masa-masa berikutnya terus mengalami inovasi dan
pembaruan. Hasil inovasi dan pembaruan tersebut sebagai konsekwensi dari
tuntutan dan kebutuhan masyarakat muslim terhadap pendidikan Islam yang
terus mengalami perubahan dan peningkatan.
Format dasar pendidikan masjid adalah lingkaran studi, lebih dikenal
dalam Islam sebagai `ilm al-Halaqat ‘atau singkatnya: Halaqa. Halaqa,
dieja Halqa dalam edisi baru Ensiklopedi Islam, yang didefinisikan sebagai
‘pertemuan orang yang duduk membentuk lingkaran.
Lingkaran (halaqa) adalah bentuk tertua dari pengajaran Islam, sejak
masa Nabi Muhammad, yang berperan memimpin kegiatan bagi para
pengikutnya baik pria maupun wanita. Dalam halaqa tradisional, guru
6
duduk di atas bantal membelakangi dinding atau pilar. Para siswa duduk
dalam setengah lingkaran di sekitar guru, sesuai peringkat pengetahuannya.
Pada awal Islam, para guru di halaqa termasuk laki-laki dan perempuan.
Situs pertama untuk kalangan belajar berada di masjid (masjid). Guru
terkenal dikaitkan dengan kota dan masjid tertentu, dan biasanya juga untuk
nama pilar bagi ulama terkenal yang duduk di sana. Lingkaran belajar juga
diadakan di lembaga lain dan rumah. Siswa melakukan perjalanan untuk
duduk dalam lingkaran seorang sarjana terkenal. Tradisi merekam
pemaparan pengajar berkembang menjadi pengajaran yang lebih sistematis.
Metode yang dilakukan para guru dalam mengampu mata pelajaran,
memungkinkan siswa mereka untuk mengajukan pertanyaan dan menguji
pengetahuan mereka. Kesuksesan belajar dihargai dengan surat, atau
sertifikat belajar (ijazah). Tradisi halaqa formal dan informal berlanjut
sampai hari ini dalam kebudayan Muslim.
Dalam halaqa yang diselenggarakan di masjid siapapun bisa bergabung
baik statusnya sebagai murid yang terdaftar ataupun sekedar pengunjung
yang berminat mengikuti kajian. Mereka yang menjadi murid pada halaqa
tersebut diberi tugas untuk melakukan pembacaan terhadap sumber-sumber
keilmuan penunjang agar tidak mengalami kesulitan dalam memahami
uraian mudarris ketika proses kajian berlangsung, juga dituntut untuk
berkonsentrasi secara sungguh-sungguh. Kegiatan diskusi aktif pun
diintensifkan untuk menggali lebih dalam untuk menangkap wawasan lebih
luas tentang ajaran Islam.
Pada perkembangan selanjutnya pembakuan kurikulum terstruktur
tersebut dilakukan pada lembaga pendidikan Islam yang formal yaitu :
madrasah. Kemunculan madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam
merupakan fase terpenting dalam sejarah intelektual pendidikan Islam yang
mengubah secara signifikan format penyelenggaraan pendidikan Islam
menjadi lebih sistematis dan terstruktur. Format halaqa yang semula
digunakan dalam kajian-kajian keilmuan Islam bergeser ke lembaga baru
bernama madrasah yang menggunakan sistem kelas dalam praktek
pengajaran dan pembelajarannya.
7
Faktor yang mendorong perlunya pendirian madrasah sebagai pengganti
fungsi pendidikan masjid adalah kenyataan bahwa kemajuan ilmu
pengetahuan telah melahirkan kelompok intelektual baru, tentunya
memajukan dan mengembangkan lembaga pendidikan seperti madrasah
merupakan usaha untuk menyediakan lahan baru bagi mereka.
8
2.5 Lembaga dalam Kepengurusan Masjid Kampus
Masjid kampus memiliki banyak lembaga yang bergerak di bidang sosial
dan keagamaan. Lembaga dakwah kampus (LDK) merupakan salah-satu
pilar paling penting dalam membentuk mahasiswa yang berintegritas.
Sebagai lembaga dakwah yang berbasis di masjid, LDK bisa memanfaatkan
posisi strategis masjid sebagai tempat berkumpulnya mahasiswa. LDK bisa
menawarkan kajian-kajian, halaqah-halaqah, atau kegiatan kegiatan lain
yang bisa meningkatkan integritas dan spiritualitas mahasiswa. Model
halaqah (forum berbentuk lingkaran) adalah model kajian/diskusi yang
cukup popular dikalangan aktivis islam kampus. Model ini sudah terkenal
sejak masa kejayaan Islam. Saat itu halaqah merupakan model kajian yang
begitu trekenal dan efektif di masjid-masjid di seluruh duania Islam.
Peran LDK dalam membentuk mahasiswa berintergritas selanjutnya
melalui organasasinya. Biasanya, sebagian besar mahasiswa yang
bergabung dengan LDK bertujuan untuk memperbaiki diri dan spiritualitas
mereka. Maka lingkungan LDK yang berisi komunitas orang-orang yang
konsisten menjaga spiritualitasnya harus mampu memberikan jawaban dari
permasalahan permasalahan mereka, dan pada akhirnya mampu mencetak
mahasiswa – mahasiswa yang berintegritas.
9
mencapai taraf kemakmuran hidup lebih baik.Masjid yang hidup sebagai
pusat pembinaan umat, akan meng- hidupkan jiwa jamaahnya supaya
terpelihara “Izzah”, kepribadian umat yang sedang berkecimpung dalam
masyarakat ramai dari berbagai corak.
Jamaah umat Islam dapat saling berlomba dengan masyarakat lainnya
dalam menegakkan kebenaran dan keadilan secara bersama-sama guna
menyuburkan kebajikan untuk masyarakat umum. Begitulah fungsi Masjid
secara hakiki. Kewajiban Umat “Membina Jamaah melalui Masjid” ini
tidak boleh dilalaikan (di kucawaikan) dalam keadaan bagaimanapun.
Hidupkan Masjid kembali. Dari masjid yang hidup akan terpancar jiwa
yang memancarkan cahaya hidup kepada umat disekelilingnya. Inilah
program umatisasi. Masjid adalah sumber kekuatan umat Islam masa lalu,
sekarang dan di masa depan. Alangkah meruginya Umat Islam, bila mereka
tidak kunjung mengenal dan mempergunakan modal kekayaan tak ternilai
jumlahnya yang dapat dijadikan sumber kekuatannya ini.
10
pendukung. Dengan memperhatikan pertimbangan dasar tersebut tentunya
strategi dakwah untuk anak-anak akan berbeda dengan strategi yang
digunakan kepada para pemuda. Begitu juga, strategi yang diterapkan
kepada pemuda berbeda dengan strategi yang diterapkan kepada orang
dewasa.
Secara umum ada dua strategi besar yang dapat diterapkan dalam
pembinaan kepada pemuda yaitu: strategi internal-personal dan strategi
external-institutional.
1. Strategi internal-personal berorientasi pada upaya peningkatkan
pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran Islam yang bersumber
dari dalam diri pemuda itu sendiri.
2. Strategi external-institutional diarahkan pada penguatan organisasi yang
dimiliki oleh pemuda.
Dalam mengaplikasikan strategi internal-personal, pengurus masjid tidak
hanya memberikan tempat dan pendanaan untuk berkembangnya organisasi
pemuda masjid. Pengurus masjid hendaknya memberikan bimbingan,
arahan dan kontrol terhadap pelaksanaan ajaran Islam pada generasi muda.
Apakah dalam kegiatankegiatan yang mereka lakukan tidak menyimpang
dari ajaran Islam, bagaimana shalat berjama’ah mereka, tadarus al-Qur’an
mereka dan bagaimana kepeduliaan serta keterlibatan pemuda dengan
persoalan kemasyarakatan. Semua itu tentunya dilakukan dengan cara-cara
yang bijak dan demokratis. Tidak bisa pengurus masjid memaksakan
paham, ideologi dan kepentingan masjid kepada pemuda. Intinya, penerapan
strategi ini lebih pada pembinaan kepribadian pemuda tersebut atau dalam
bahasa sekarang dikenal dengan pembangunan karakter (character building)
pemuda.
Sedangkan aplikasi strategi external-institutional, pengurus masjid harus
memberikan kesempatan kepada pemuda untuk mengembangkan diri dalam
organisasi remaja (pemuda) masjid dan setiap masjid harus mengupayakan
terbentuknya organisasi pemuda masjid.
Dalam praktek di lapangan, kedua strategi besar di atas jangan
dipisahkan atau dipertentangkan. Kita tidak bisa hanya mengandalkan
11
strategi internal – personal saja atau sebaliknya hanya menerapkan strategi
external-institutional saja. Hindari juga anggapan yang menyatakan bahwa
membina mental remaja hanya menjadi tugas dari orang tua saja, sedangkan
masyarakat hanya berpangku tangan atau sebaliknya. Organisasi dapat
melakukan pembinaan mental sekaligus dapat melatih mereka dalam
berorganisasi. Demikian juga, orang tua melatih mental remaja sekaligus
mendukung remaja untuk aktif di organisasi.
12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa:
a. Masjid mempunyai dua arti, yaitu arti umum dan arti khusus. Dalam arti
umum, masjid adalah semua tempat yang digunakan untuk sujud,
sedangkan dalam arti khusus masjid adalah tempat yang dibangun khusus
untuk menjalankan ibadah, terutama shalat berjamaah.
13