Laporan Pendahuluan Combustio
Laporan Pendahuluan Combustio
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN COMBUSTIO
1) Stratum korneum: lapisan kulit yang paling luar dan terdiri atas
beberapa lapisan sel-sel gepeng yang mati, tidak berinti, dan
protoplasmanya telah berubah menjadi keratin (zat tanduk).
2) Stratum lusidum: terdapat langsung di bawah lapisan korneum,
merupakan lapisan sel-sel gepeng tanpa inti dengan protoplasma
yang berubah menjadi protein yang disebut eleidin. Lapisan
tersebut tampak lebih jelas di telapak tangan dan kaki (Djuanda,
2003).
3) Stratum granulosum: merupakan 2 atau 3 lapis sel-sel gepeng
dengan sitoplasma berbutir kasar dan terdapat inti di antaranya.
Butir-butir kasar ini terdiri atas keratohialin.
4) Stratum spinosum terdiri atas beberapa lapis sel yang berbentuk
poligonal yang besarnya berbeda-beda karena adanya proses
mitosis. Protoplasmanya jernih karena banyak mengandung
glikogen, dan inti terletak ditengah-tengah. Sel-sel ini makin
dekat ke permukaan makin gepeng bentuknya. Di antara sel-sel
stratum spinosun terdapat jembatan-jembatan antar sel yang
terdiri atas protoplasma dan tonofibril atau keratin. Pelekatan
antar jembatan-jembatan ini membentuk penebalan bulat kecil
yang disebut nodulus Bizzozero. Di antara sel-sel spinosum
terdapat pula sel Langerhans. Sel-sel stratum spinosum
mengandung banyak glikogen (Djuanda, 2003).
5) Stratum germinativum: terdiri atas sel-sel berbentuk kubus yang
tersusun vertical pada perbatasan dermo-epidermal berbasis
seperti pagar (palisade). Lapisan ini merupakan lapisan epidermis
yang paling bawah. Sel-sel basal ini mrngalami mitosis dan
berfungsi reproduktif. Lapisan ini terdiri atas dua jenis sel yaitu
sel-sel yang berbentuk kolumnar dengan protoplasma basofilik
inti lonjong dan besar, dihubungkan satu dengan lain oleh
jembatang antar sel, dan sel pembentuk melanin atau clear cell
yang merupakan sel-sel berwarna muda, dengan sitoplasma
3
Fase ini dimulai sejak terjadinya luka sampai hari kelima. Segera
setelah terjadinya luka, pembuluh darah yang putus mengalami
konstriksi dan retraksi disertai reaksi hemostasis karena agregasi
trombosit yang bersama jala fibrin membekukan darah. Komponen
hemostasis ini akan melepaskan dan mengaktifkan sitokin yang
meliputi Epidermal Growth Factor (EGF), Insulin-like Growth Factor
(IGF), Plateled-derived Growth Factor (PDGF) dan Transforming
Growth Factor beta (TGF-β) yang berperan untuk terjadinya
kemotaksis netrofil, makrofag, mast sel, sel endotelial dan fibroblas.
Keadaan ini disebut fase inflamasi. Pada fase ini kemudian terjadi
vasodilatasi dan akumulasi lekosit Polymorphonuclear (PMN).
Agregat trombosit akan mengeluarkan mediator inflamasi
Transforming Growth Factor beta 1 (TGF -1) yang juga dikeluarkan
oleh makrofag. Adanya TGF-1 akan mengaktivasi fibroblas untuk
mensintesis kolagen.
2. Fase proliferasi atau fibroplasi
Fase ini disebut fibroplasi karena pada masa ini fibroblas sangat
menonjol perannya. Fibroblas mengalami proliferasi dan mensintesis
kolagen. Serat kolagen yang terbentuk menyebabkan adanya kekuatan
untuk bertautnya tepi luka. Pada fase ini mulai terjadi granulasi,
kontraksi luka dan epitelialisasi
3. Fase remodeling atau maturasi
Fase ini merupakan fase yang terakhir dan terpanjang pada proses
penyembuhan luka. Terjadi proses yang dinamis berupa remodelling
kolagen, kontraksi luka dan pematangan parut. Aktivitas sintesis dan
degradasi kolagen berada dalam keseimbangan. Fase ini berlangsung
mulai 3 minggu sampai 2 tahun . Akhir dari penyembuhan ini
didapatkan parut luka yang matang yang mempunyai kekuatan 80%
dari kulit normal Tiga fase tersebut diatas berjalan normal selama
tidak ada gangguan baik faktor luar maupun dalam.
8
C. Jenis-jenis Luka
Luka sering digambarkan berdasarkan bagaimana cara
mendapatkan luka itu dan menunjukan derajat luka (Taylor,1997):
1. Luka bersih: luka yang tidak terdapat inflamasi dan infeksi, yang
merupakan luka sayat elektif dan steril dimana luka tersebut
berpotensi untuk terinfeksi. Luka tidak ada kontak dengan
orofaring,traktus respiratorius maupun traktus genitourinarius. Dengan
demikian kondisi luka tetap dalam Universitas Universitas Sumatera
Sumatera Utara keadaan bersih. Kemungkinan terjadinya infeksi luka
sekitar 1% - 5%.
2. Luka bersih terkontaminasi: luka pembedahan dimana saluran
pernafasan, saluran pencernaan dan saluran perkemihan dalam kondisi
terkontrol. Proses penyembuhan luka akan lebih lama namun luka
tidak menunjukkan tanda infeksi. Kemungkinan timbulnya infeksi
luka sekitar 3% - 11%.
3. Luka terkontaminasi: luka yang berpotensi terinfeksi spillage saluran
pernafasan, saluran pencernaan dan saluran kemih. Luka menunjukan
tanda infeksi. Luka ini dapat ditemukan pada luka terbuka karena
trauma atau kecelakaan (luka laserasi), fraktur terbuka maupun luka
penetrasi. Kemungkinan infeksi luka 10% - 17%.
4. Luka kotor: luka lama, luka kecelakaan yang mengandung jaringan
mati dan luka dengan tanda infeksi seperti cairan purulen. Luka ini
bisa sebagai akibat pembedahan yang sangat terkontaminasi. Bentuk
luka seperti perforasi visera, abses dan trauma lama.
D. Konsep Dasar Combustio
1. Definisi
Luka bakar/ combustio merupakan kerusakan kulit yang dapat
disertai dengan kerusakan jaringan dibawahnya yang dapat terjadi
karena kontak langsung dengan sumber panas seperti api, air panas,
bahan kimia, maupun arus listrik (Grace & Borley, 2006). Luka bakar
adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang
9
sebasea
masih utuh.
Berdasarkan Penderita
Menurut Moenadjat (2009), luka bakar dapat dikategorikan berdasarkan berat
dan ringan luka bakar adalah:
1) Luka bakar ringan: kriteria luka bakar derajat II, derajat III<10% pada
kelompok usia <10 th/ >50th, luka bakar derajat II dan derajat III <15%
pada kelompok usia lain; luka bakar derajat 320% pada kelompok
usia50th, luka bakar derajat II dan derajat III<10% pada semua kelompok
usia, tanpa cedera pada tangan, kaki dan perineum
2) Luka bakar sedang atau moderat dengan kriteria luka bakar derajat II dan
derajat III 10-20% pada kelompok usia<10 th/ >50th; luka bakar derajat II
dan derajat III 15-25% pada kelompok usia lain; luka bakar derajat
III<10% pada semua kelompok usia tanpa cedera pada tangan, kaki, dan
perineum
3) Luka bakar kritis atau luka bakar berat dengan kriteria luka bakar derajat II
dan derajat III>20% pada kelompok usia50th, luka bakar derajat II dan
derajat III>25% pada kelompok usia lain, terjadi trauma inhalasi serta luka
bakar akibat tegangan tinggi, luka bakar pada populasi resiko tinggi, luka
bakar pada tangan, kaki, dan perineum
a) Berdasarkan tingkat keseriusan luka
American Burn Association menggolongkan luka bakar menjadi tiga kategori,
yaitu:
16
4. Patofisiologi/ Patologi
Luka bakar disebabkan oleh perpindahan energi dari sumber panas
ke tubuh. Panas dapat dipindahkan melalui konduksi atau radiasi
elektromagnetik. Kulit akan mengalami kerusakan pada epidermis,
dermis, maupun jaringan subkutan tergantung faktor penyebab dan
lamanya kulit kontak dengan sumber panas (Smeltzer & Bare, 2002).
17
6. Komplikasi
Komplikasi luka bakar dapat berasal dari luka itu sendiri atau dari
ketidakmampuan tubuh saat proses penyembuhan luka (Burninjury,
2013):
a. Infeksi luka bakar
Infeksi pada luka bakar merupakan komplikasi yang paling sering
terjadi. Sistem integumen memiliki peranan sebagai pelindung
utama dalam melawan infeksi. Kulit yang rusak atau nekrosis
menyebabkan tubuh lebih rentan terhadap patogen di udara
seperti bakteri dan jamur.
b. Terganggunya suplai darah atau sirkulasi
Penderita dengan kerusakan pembuluh darah yang berat dapat
menyebabkan kondisi hipovolemik atau rendahnya volume darah.
Selain itu, trauma luka bakar berat lebih rentan mengalami
sumbatan darah (blood clot) pada ekstremitas. Hal ini terjadi
akibat lamanya waktu tirah baring pada pasien luka bakar. Tirah
baring mampu menganggu sirkulasi darah normal, sehingga
mengakibatkan akumulasi darah di vena yang kemudian akan
membentuk sumbatan darah (Burninjury, 2013).
c. Komplikasi jangka panjang
Komplikasi jangka panjang terdiri dari komplikasi fisik dan
psikologis. Pada luka bakar derajat III, pembentukan jaringan
sikatriks terjadi secara berat dan menetap seumur hidup. Pada
kasus dimana luka bakar terjadi di area sendi, pasien mungkin
akan mengalami gangguan pergerakan sendi. Hal ini terjadi ketika
kulit yang mengalami penyembuhan berkontraksi atau tertarik
22
intravena (melalui infus) diberikan bila luas luka bakar >10%. Bila
kurang dari itu dapat diberikan cairan melalui mulut. Cairanmerupakan
komponen penting karena pada luka bakar terjadi kehilangan cairan
baik melalui penguapan karena kulit yang berfungsi sebagai proteksi
sudah rusak danmekanisme dimana terjadi perembesan cairan dari
pembuluh darah ke jaringan sekitar pembuluh darah yang
mengakibatkan timbulnya pembengkakan (edema). Bila hal ini terjadi
dalam jumlah yang banyak dan tidak tergantikan maka volume cairan
dalam pembuluh darah dapat berkurang dan mengakibatkan kekurangan
cairan yang berat dan mengganggu fungsi organ-organ tubuh.Cairan
infus yang diberikan adalah cairan kristaloid (ringer laktat, NaCl
0,9%/normal Saline). Kristaloid dengan dekstrosa (gula) di dalamnya
dipertimbangkan untuk diberikan pada bayi dengan luka bakar. Jumlah
cairan yang diberikan berdasarkan formula dari Parkland : 3-4
cc/kgBB/%TBSA + cairan rumatan (maintenance per 24 jam). Cairan
rumatan adalah 4cc/kgBB dalam 10 kg pertama, 2cc/kgBB dalam 10 kg
ke 2 (11-20kg) dan 1cc/kgBB untuk tiap kg diatas 20 kg. Cairan
formula parkland (3-4cc/kgBB/%TBSA) diberikan setengahnya dalam
8 jam pertama dan setengah sisanya dalam 16 jam berikutnya.
Pengawasan kecukupan cairan yang diberikan dapat dilihat dari
produksi urin yaitu 1cc/kgBB/jam (Rosfanty, 2009).
Kebutuhan cairan yang diproyeksikan dalan 24 jam pertama dihitung
berdasarkan luas luka bakar. Resusitasi cairan yang adekuat
menghasilkan sedikit penurunan volume darah selama 24 jam pertama
pasca luka bakar dan mengembalikan kadar plasma pada nilai yang
normal pada akhir periode 48 jam. Beberapa rumus telah dikembangkan
untuk memperbaiki kehilangan cairan berdasarkan estimasi persentase
luas permukaan tubuh yang terbakar dan berat badan pasien.
27
- Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan pada luka bakar mayor.Hal ini
untuk menunjang tatalaksana, mengingat luka bakar mayor dapat
menyebabkan kerusakan yang lebih berat dan gangguan keseimbangan
metabolisme tubuh yang berat.Hal ini harus dikenali sehingga bisa diatasi
secepat mungkin.Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu Hemoglobin,
hematokrit, elektrolit, gula darah, golongan darah, kadar COHb dan kadar
sianida (pada luka bakar akiibat kebakaran di ruangan).
- Pemindahan ke Unit Luka Bakar
1. Luka bakar derajat 3 yang melebihi 5% luas permukaan tubuh pada
segala kelompok usia
2. Luka bakar derajat 2 dan 3 yang melebihi 10% luas permukaan tubuh
pada pasien < 10 tahun atau > 50 tahun
3. Luka bakar derajat 2 dan 3 yang melebihi 20% luas permukaan tubuh
pada segala kelompok usia yang lain.
4. Luka bakar derajat 2 dan 3 yang mengenai muka, tangan, kaki,
genetalia, perineum, serta persendian yang besar.
5. Luka bakar listrik yang mencakup luka bakar tersambar petir
6. Luka bakar kimia dengan ancaman ganguan fungsional atau kosmetik
yang serius
7. Cedera inhalasi dengan luka bakar
8. Luka bakar yang melingkar pada ektremitas dan dada
9. Luka bakar pada pasien yang sebelumnya sudah menderita sakit dapat
memperumit penanganan
10. Luka bakar dengan trauma dimana luka bakar tersebut menghadapi
risiko yang terbesar.
32
33
34
3. Intervensi keperawatan
No Diagnosa Tujuan (Outcome/NOC) Intervensi Keperawatan (NIC)
1 Ketidakefektifan bersihan a. Respiratory Status: Airway patency Airway Management
jalan nafas berhubungan b. Vital Signs 1. Auskultasi suara napas, catat hasil penurunan daerah
dengan obtruksi c. Respiratory status : Ventilation ventilasi atau tidak adanya suara adventif
trakeabronkial, edema Setelah diberikan asuhan keperawatan, diharapkan 2. Monitor pernapasan dan status oksigen yang sesuai
mukosa dan hilangnya kerja jalan napas pasien efektif dengan kriteria hasil: 3. Posisikan pasien untuk memaksimalkan potensial
silia, luka bakar daerah 1) Tidak tampak penggunaan otot bantu napas ventilasi
leher, kompresi jalan nafas 2) Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak Respiratory Monitoring
thorak dan dada atau merasa tercekik, irama nafas reguler, frekuensi 1. Monitor kecepatan, ritme, kedalaman dan usaha pasien
keterbatasan pengembangan pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara saat bernapas
dada. nafas abnormal) 2. Catat pergerakan dada, simetris atau tidak, menggunakan
3) Frekuensi napas normal (16 – 20 x/ menit) otot bantu pernapasan atau tidak
4) Tidak ada sianosis dan dyspnea 3. Monitor pola napas: bradypnea, tachypnea,
hiperventilasi, respirasi kussmaul, respirasi cheyne-
stokes.
Oxygen Therapy
1. Bersihkan area mulut, hidung, jika diperlukan
2. Pertahankan kepatenan jalan napas
3. Monitor jumlah aliran oksigen
4. Monitor efektivitas terapi oksigen
2 Kekurangan volume cairan a. Fluid Balance Fluid/Electrolyte Management
berhubungan dengan b. Burn recovery 1. Monitor keabnormalitas tingkat elektrolit serum
kehilangan cairan melalui c. Hydration 2. Monitor hasil pemeriksaan laboratorium yang terkait
rute abnormal, peningkatan d. Elektrolit balance perubahan cairan atau tingkat elektrolit
kebutuhan: status Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan 3. Berikan cairan yang adekuat
hypermetabolik, volume cairan seimbang dengan criteria hasil: 4. Berikan intake oral
ketidakcukupan pemasukan, 1) Tekanan darah dalam batas normal (sistolic 100-130 5. Monitor status hemodinamik klien
kehilangan perdarahan dan diastolic 70-90) 6. Kaji membran mukosa klien untuk mengindikasikan
2) HR dalam batas normal (60-100 x/menit) adanya perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit
3) Granulasi Jaringan baik 7. Monitor kehilangan cairan
4) Persen dari luas luka bakar berkurang
5) Suhu tubuh stabil
6) Urin output 0,5-1 cc/kgBB
7) Mukosa membran lembab
42
3) Denyut nadi radial dalam batas normal 60-100 informasi terhadap pengalaman nyeri dan cara pasien
x/menit merespon terjadinya nyeri
4) Klien melaporkan adanya rasa nyeri yang ringan 5. Gali pengetahuan dan kepercayaan klien mengenai nyeri
(skala 1-3) 6. Tanyakan pada klien kapan nyeri menjadi lebih buruk
5) Klien tidak menunjukkan rasa sakit akibat nyerinya dan apa yang dilakukan untuk menguranginya
6) Klien dapat menjelaskan faktor penyebab timbulnya 7. Ajarkan prinsip dari manajemen nyeri
nyeri dengan sering 8. Ajari pasien untuk menggunakan medikasi nyeri yang
7) Sering menggunakan pengobatan non farmakologis adekuat
untuk meredakan rasa sakit Analgesic Administration
1. Ketahui lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri
sebelum memberikan pasien medikasi
2. Lakukan pengecekan terhadap riwayat alergi
3. Pilih analgesic yang sesuai atau kombinasikan analgesic
saat di resepkan anagesik lebih dari
4. Monitor tanda-tanda vital sebelum dan setelah diberikan
analgesic dengan satu kali dosis atau tanda yang tidak
biasa dicatat perawat
5. Evaluasi keefektian dari analgesic
44
DAFTAR PUSTAKA
Moenadjat Y. 2009. Luka Bakar Masalah Dan Tata Laksana. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
Rosfanty. 2009. Luka Bakar. [online]. Diakes tanggal 11 November 2016 melalui
http://dokterrosfanty.blogspot.com/2009/03/luka-bakar.html.
Smeltzer, S.C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah. Edisi 8. Jakarta:
EGC