Anda di halaman 1dari 22

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayahnya, penyusun dapat

menyelesaikan referat dengan judul Pterigium ini tepat pada waktunya.

Referat ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit

Mata RSUD Arjawinangun. Pada kesempatan ini penyusun mengucapkan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada Dr. Wawin Wilman Sp.M dan Dr. Juniani Sunarjo, selaku dokter pembimbing dalam

kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Mata ini dan rekan-rekan koas yang ikut membantu memberikan

dorongan semangat serta moril.

Penyusun menyadari bahwa referat ini tidak luput dari kesalahan. Oleh karena itu penulis

sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Semoga referat ini dapat

bermanfaat dan menambah pengetahuan dalam bidang Ilmu Penyakit Mata khususnya dan bidang

kedokteran pada umumnya.

Arjawinangun, Januari 2012

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar…………………………………………………………………….. ....i


Daftar Isi ………………………………………………………………………….. ....ii
BAB I Pendahuluan ……………………………………………………….…….. 1
BAB II Pembahasan ……………………………………………………….…….. 2
II.1. Anatomi ……………………………………………………….………. 2
II.1.1 Anatomi Konjungtiva …………………………………………... 2
II.1.2 Anatomi Kornea ………………………………………………... 3
II.2. Pterigium ……………………………………………………………… 5
II.2.1 Definisi …………………………………………………………. 5
II.2.2 Epidemiologi …………………………………………………… 6
II.2.3Mortalitas/morbiditas …………………………………………… 6
II.2.4 Etiologi …………………………………………………………. 6
II.2.5 Patofisiologi .……………………………………………………. 7
II.2.6 Gejala klinis …………………………………………….………. 8
II.2.7 Pemeriksaan fisik ………………………………………….……. 9
II.2.8 Diagnosa …………………………………………………….….. 9
II.2.9 Diagnosa Banding ……………………………………………… 10
II.2.10 Terapi …………………………………………………………. 10
II.2.10.1 Konservatif …………………………………………...…….. 10
II.2.10.2 Bedah ………………………………………………...….….. 11
A. Indikasi Operasi ……………………………………………….. 11
B. Teknik Bedah ………………………………………………….. 11
C. Terapi Tambahan …………………………………………….… 12
II.2.11 Komplikasi ………………………………………………….. 14
II.2.12 Pencegahan …………………………………………….……. 14
II.2.13 Prognosa …………………………………………………….. 15

BAB III Kesimpulan ……………………………………………………………. 16


Daftar Pustaka …………………………………………………….…………….. 18

ii
BAB I
Pendahuluan

Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif


dan invasif. Seperti daging berbentuk segitiga, dan umumnya bilateral di sisi nasal. Keadaan ini
diduga merupakan suatu fenomena iritatif akibat sinar ultraviolet, daerah yang kering dan
lingkungan yang banyak angin, karena sering terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya
berada di lingkungan yang berangin, penuh sinar matahari, berdebu atau berpasir. Temuan
patologik pada konjungtiva, lapisan bowman kornea digantikan oleh jaringan hialin dan elastik.7

Jika pterigium membesar dan meluas sampai ke daerah pupil, lesi harus diangkat secara
bedah bersama sebagian kecil kornea superfisial di luar daerah perluasannya. Kombinasi
autograft konjungtiva dan eksisi lesi terbukti mengurangi resiko kekambuhan.7

1
BAB II
Pembahasan

II.1 ANATOMI
II.1.1 Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sclera dan kelopak mata bagian
belakang. Berbagai macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva. Konjungtiva ini
mengandung sel musin yang dihasilkan oleh sel goblet. 2

Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :

-
Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal ini sukar digerakkan dari
tarsus.

-
Konjungtiva bulbi, menutupi sclera dan mudah digerakan dari sclera dibawahnya.

-
Konjungtiva forniks, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva
bulbi 2

Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan jaringan di bawahnya
sehingga bola mata mudah bergerak 2

2
II.1.2 Anatomi kornea

Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya, merupakan
lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan. 2

Kornea terdiri dari lima lapis, yaitu :

1. Epitel

- Tebalnya 50 μm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih; satu
lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.

- Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi lapis sel
sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal
di sampingnya dan sel poligonal di depanya melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini
menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang merupakan barrier.

-epitel berasal dari ektoderm permukaan. 2

2. Membran Bowman

-Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang tersusun tidak
teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.

- Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi. 2

3. Stroma

- Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya, pada
permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serat kolagen ini bercabang;
terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu yang lama yang kadang-kadang sampai 15
bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak di antara serat
kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam
perkembangan embrio atau sesudah trauma. 2

4. membrane descement

3
- merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea dihasilkan sel
endotel dan merupakan membran basalnya.

- bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40µm.2

5. Endotel

- berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40µm. endotel melekat
pada membrane descement melalui hemidesmosom dan zonula okluden. 2

Kornea dipersyarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus, saraf
nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea,
menembus membrane bowman melepaskan selubung schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi
sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin
ditemukan di daerah limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi
dalam waktu 3 bulan. 2

Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan system pompa endotel
terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema kornea. Endotel tidak mempunyai
daya regenarasi.2

Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata di sebelah depan.
Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar
masuk kornea dilakukan oleh kornea. 2

4
II.2 PTERIGIUM

II.2.1 Definisi

Pterigium adalah suatu penebalan konjungtiva bulbi yang berbentuk segitiga, mirip
daging yang menjalar ke kornea 6, pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat
degeneratif dan invasif 2.

5
II.2.2 EPIDEMIOLOGI

Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada lokasi


geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya berkisar kurang dari 2% untuk daerah di
atas 40o lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 28-36o. Sebuah hubungan
terdapat antara peningkatan prevalensi dan daerah yang terkena paparan ultraviolet lebih tinggi
di bawah garis lintang. Sehingga dapat disimpulkan penurunan angka kejadian di lintang atas dan
peningkatan relatif angka kejadian di lintang bawah.3

II.2.3 Mortalitas/Morbiditas

Pterygium bisa menyebabkan perubahan yang sangat berarti dalam fungsi visual atau
penglihatan pada kasus yang kronis. Mata bisa menjadi inflamasi sehingga menyebabkan iritasi
okuler dan mata merah. 3

Berdasarkan beberapa faktor diantaranya :

1. Jenis Kelamin

Pterygium dilaporkan bisa terjadi pada golongan laki-laki dua kali lebih banyak dibandingkan
wanita. 3

2. Umur

Jarang sekali orang menderita pterygium umurnya di bawah 20 tahun. Untuk pasien umurnya
diatas 40 tahun mempunyai prevalensi yang tertinggi, sedangkan pasien yang berumur 20-40
tahun dilaporkan mempunyai insidensi pterygium yang paling tinggi.3

II.2.4. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO

Hingga saat ini etiologi pasti pterygium masih belum diketahui secara pasti. Beberapa
faktor resiko pterygium antara lain adalah paparan ultraviolet, mikro trauma kronis pada mata,
infeksi mikroba atau virus. Selain itu beberapa kondisi kekurangan fungsi lakrimal film baik
secara kuantitas maupun kualitas, konjungtivitis kronis dan defisiensi vitamin A juga berpotensi
menimbulkan pterygium. Selain itu ada juga yang mengatakan bahwa etiologi pterygium
merupakan suatu fenomena iritatif akibat pengeringan dan lingkungan dengan banyak angin

6
karena sering terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya berada di lingkungan yang
berangin, penuh sinar matahari, berdebu dan berpasir. Beberapa kasus dilaporkan sekelompok
anggota keluarga dengan pterygium dan berdasarkan penelitian menunjukkan riwayat keluarga
dengan pterygium, kemungkinan diturunkan autosom dominan.2,5,8
Terdapat banyak perdebatan mengenai etiologi atau penyebab pterygium. Disebutkan
bahwa radiasi sinar Ultra violet B sebagai salah satu penyebabnya. Sinar UV-B merupakan sinar
yang dapat menyebabkan mutasi pada gen suppressor tumor p53 pada sel-sel benih embrional di
basal limbus kornea. Tanpa adanya apoptosis (program kematian sel), perubahan pertumbuhan
faktor Beta akan menjadi berlebihan dan menyebabkan pengaturan berlebihan pula pada sistem
kolagenase, migrasi seluler dan angiogenesis. Perubahan patologis tersebut termasuk juga
degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovesikular, seringkali disertai dengan
inflamasi. Lapisan epitel dapat saja normal, menebal atau menipis dan biasanya menunjukkan
dysplasia. 8
Terdapat teori bahwa mikrotrauma oleh pasir, debu, angin, inflamasi, bahan iritan lainnya
atau kekeringan juga berfungsi sebagai faktor resiko pterygium. Orang yang banyak
menghabiskan waktunya dengan melakukan aktivitas di luar ruangan lebih sering mengalami
pterygium dan pinguekula dibandingkan dengan orang yang melakukan aktivitas di dalam
ruangan. Kelompok masyarakat yang sering terkena pterygium adalah petani, nelayan atau
olahragawan (golf) dan tukang kebun. Kebanyakan timbulnya pterygium memang multifaktorial
dan termasuk kemungkinan adanya keturunan (faktor herediter). 8
Pterygium banyak terdapat di nasal daripada temporal. Penyebab dominannya pterygium
terdapat di bagian nasal juga belum jelas diketahui namun kemungkinan disebabkan
meningkatnya kerusakan akibat sinar ultra violet di area tersebut. Sebuah penelitian
menyebutkan bahwa kornea sendiri dapat bekerja seperti lensa menyamping (side-on) yang dapat
memfokuskan sinar ultra violet ke area nasal tersebut. 8
Teori lainnya menyebutkan bahwa pterygium memiliki bentuk yang menyerupai tumor.
Karakteristik ini disebabkan karena adanya kekambuhan setelah dilakukannya reseksi dan jenis
terapi yang diikuti selanjutnya (radiasi, antimetabolit). Gen p53 yang merupakan penanda
neoplasia dan apoptosis ditemukan pada pterygium. Peningkatan ini merupakan kelainan
pertumbuhan yang mengacu pada proliferasi sel yang tidak terkontrol daripada kelainan
degeneratif. 11

7
1. Paparan sinar matahari (UV)
Paparan sinar matahari merupakan faktor yang penting dalam perkembangan terjadinya
pterigium. Hal ini menjelaskan mengapa insidennya sangat tinggi pada populasi yang
berada pada daerah dekat equator dan pada orang –orang yang menghabiskan banyak
waktu di lapangan. 8
2. Iritasi kronik dari lingkungan (udara, angin, debu)
Faktor lainnya yang berperan dalam terbentuknya pterigium adalah alergen, bahan kimia
berbahaya, dan bahan iritan (angin, debu, polutan). UV-B merupakan mutagenik untuk
p53 tumor supressor gen pada stem sel limbal. Tanpa apoptosis, transforming growth
factor-beta over produksi dan memicu terjadinya peningkatan kolagenasi, migrasi seluler,
dan angiogenesis. Selanjutnya perubahan patologis yang terjadi adalah degenerasi
elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovaskuler subepitelial. Kornea menunjukkan
destruksi membran Bowman akibat pertumbuhan jaringan fibrovaskuler. 8
Faktor risiko yang mempengaruhi antara lain :
1. Usia
Prevalensi pterygium meningkat dengan pertambahan usia banyak ditemui pada usia
dewasa tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak. Tan berpendapat pterygium
terbanyak pada usia dekade dua dan tiga. 8
2. Pekerjaan
Pertumbuhan pterygium berhubungan dengan paparan yang sering dengan sinar UV. 8
3. Tempat tinggal
Gambaran yang paling mencolok dari pterygium adalah distribusi geografisnya.
Distribusi ini meliputi seluruh dunia tapi banyak survei yang dilakukan setengah abad
terakhir menunjukkan bahwa negara di khatulistiwa memiliki angka kejadian pterygium
yang lebih tinggi. Survei lain juga menyatakan orang yang menghabiskan 5 tahun
pertama kehidupannya pada garis lintang kurang dari 300 memiliki risiko penderita
pterygium 36 kali lebih besar dibandingkan daerah yang lebih selatan. 8
4. Jenis kelamin
Tidak terdapat perbedaan risiko antara laki-laki dan perempuan.
5. Herediter
Pterygium diperengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara autosomal dominan. 8

8
6. Infeksi
Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab pterygium. 8
7. Faktor risiko lainnya
Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-partikel tertentu seperti asap
rokok , pasir merupakan salah satu faktor risiko terjadinya pterygium. 8

II.2.5 Patofisiologi

Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan ultraviolet,
debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan pertumbuhan konjungtiva bulbi yang
menjalar ke kornea 6

Pterigium ini biasanya bilateral, karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama
untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Semua kotoran pada konjungtiva
akan menuju ke bagian nasal, kemudian melalui pungtum lakrimalis dialirkan ke meatus nasi
inferior. 6

Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet yang lebih banyak
dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena di samping kontak langsung, bagian
nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet secara tidak langsung akibat pantulan dari
hidung, karena itu pada bagian nasal konjungtiva lebih sering didapatkan pterigium
dibandingkan dengan bagian temporal. 6

Patofisiologi pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan proliferasi


fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium, Histopatologi kolagen abnormal
pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan basofilia bila dicat dengan hematoksin dan eosin.
Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan elastic akan tetapi bukan jaringan elastic
yang sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase.3

Pterigium memiliki tiga bagian : 10

1. Bagian kepala atau cap, biasanya datar, terdiri dari zona abu-abu pada kornea yang
kebanyakan terdiri atas fibroblast. Area ini menginvasi dan menghancurkan lapisan

9
bowman pada kornea. Garis zat besi (iron line/stocker’s line) dapat dilihat pada bagian
anterior kepala. Area ini juga merupakan area kornea yang kering.
2. Bagian whitish. Terletak langsung setelah cap. Merupakan sebuah lapisan vesicular
yang tipis yang menginvasi kornea seperti halnya kepala.
3. Bagian badan atau ekor, merupakan bagian mobile (dapat bergerak ), lembut,
merupakan area vesicular pada konjungtiva bulbi dan merupakan area paling ujung.
Badan ini menjadi tanda yang khas untuk dilakukan koreksi pembedahan.

Histologi, pterigium merupakan akumulasi dari jaringan degenerasi subepitel yang


basofilik dengan karakteristik keabu-abuan di pewarnaan H & E . Berbentuk ulat atau degenerasi
elastotic dengan penampilan seperti cacing bergelombang dari jaringan yang degenerasi.
Pemusnahan lapisan Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat khas. Epitel diatasnya biasanya
normal, tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan displastik dan sering
menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet.9

II.2.6 Gejala Klinis

10
Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan
sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami pasien antara lain:


mata sering berair dan tampak merah


merasa seperti ada benda asing


timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterigium tersebut, biasanya
astigmatisme with the ruleataupun astigmatisme irreguler sehingga mengganggu
penglihatan


pada pterigium yang lanjut (derajat 3 dan 4) dapat menutupi pupil dan aksis visual
sehingga tajam penglihatan menurun.10

II.2.7 Pemeriksaan Fisik

Adanya massa jaringan kekuningan akan terlihat pada lapisan luar mata (sclera) pada limbus,
berkembang menuju ke arah kornea dan pada permukaan kornea. Sclera dan selaput lendir luar
mata (konjungtiva) dapat merah akibat dari iritasi dan peradangan.11

Berbentuk segitiga yang terdiri dari kepala (head) yang mengarah ke kornea dan badan.
Derajat pertumbuhan pterigium ditentukan berdasarkan bagian kornea yang tertutup oleh
pertumbuhan pterigium, dan dapat dibagi menjadi 4 (Gradasi klinis menurut Youngson ):


Derajat 1: Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea


Derajat 2: Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm
melewati kornea


Derajat 3: Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi pinggiran
pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm)


Derajat 4: Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga mengganggu
penglihatan.10

11
Gambar 3. Pterigium stadium 1 Gambar 4. Pterigium stadium 2

Gambar 5. Pterigium stadium 3 Gambar 6. Pterigium stadium 4

Berdasarkan progresifitas tumbuhnya :1


- Pterygium progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di kornea di depan kepala
pterygium (disebut cap dari pterygium)
- Pterygium regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk membran, tetapi
tidak pernah hilang.

II.2.8 Diagnosa

Penderita dapat melaporkan adanya peningkatan rasa sakit pada salah satu atau kedua
mata, disertai rasa gatal, kemerahan dan atau bengkak. Kondisi ini mungkin telah ada selama
bertahun-tahun tanpa gejala dan menyebar perlahan-lahan, pada akhirnya menyebabkan
penglihatan terganggu, ketidaknyamanan dari peradangan dan iritasi. Sensasi benda asing dapat
dirasakan, dan mata mungkin tampak lebih kering dari biasanya. penderita juga dapat
melaporkan sejarah paparan berlebihan terhadap sinar matahari atau partikel debu.11

Test: Uji ketajaman visual dapat dilakukan untuk melihat apakah visi terpengaruh. Dengan
menggunakan slitlamp diperlukan untuk memvisualisasikan pterygium tersebut.11 Dengan
menggunakan sonde di bagian limbus, pada pterigium tidak dapat dilalui oleh sonde seperti pada
pseudopterigium.10

12
II.2.9 Diagnosa Banding

1.Pinguekula
penebalan terbatas pada konjungtiva bulbi, berbentuk nodul yang berwarna kekuningan.6

2.Pseudopterigium
Merupakan suatu reaksi dari konjungtiva oleh karena ulkus kornea. Pada pengecekan dengan
sonde, sonde dapat masuk di antara konjungtiva dan kornea.6

Perbedaan Pterigium dan Pseudopterigium


Pterigium Pseudopterigium
Etiologi Proses degenerasi Proses inflamasi
Umur Sering terjadi pada Terjadi pada semua umur
orang tua
Lokasi Pada konjungtiva nasal Dapat terjadi pada semua sisi
atau temporal dari konjungtiva
Stadium Progresif, regresif atau Biasanya stasioner
stationer
Tes sondase Negative Positif

II.2.10 Terapi

13
II.2.10.1 Konservatif

Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium derajat 1-2 yang mengalami
inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari
selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada
penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada kornea.10

II.2.10.2 Bedah

Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium. Sedapat
mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi
dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian superior untuk menurunkan
angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan hasil yang baik
secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal mngkin, angka kekambuhan yang
rendah. Penggunaan Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus pterigium yang rekuren,
mengingat komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat.10

A. Indikasi Operasi

1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus

2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil

3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena
astigmatismus

4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.6

B. Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan, dibuktikan dengan
pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Banyak teknik bedah telah digunakan,
meskipun tidak ada yang diterima secara universal karena tingkat kekambuhan yang
variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi pterigium adalah langkah pertama
untuk perbaikan. Banyak dokter mata lebih memilih untuk memisahkan ujung pterigium dari
kornea yang mendasarinya. Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih cepat, jaringan

14
parut yang minimal dan halus dari permukaan kornea.1 Pada prinsipnya, tatalaksana
pterygium adalah dengan tindakan operasi. Ada berbagai macam teknik operasi yang
digunakan dalam penanganan pterygium di antaranya adalah:8
1. Bare sclera : bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva dengan permukaan
sklera. Kerugian dari teknik ini adalah tingginya tingkat rekurensi pasca pembedahan
yang dapat mencapai 40-75%.
2. Simple closure : menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka, diman teknik ini
dilakukan bila luka pada konjuntiva relatif kecil.
3. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi untuk
memungkinkan dilakukannya penempatan flap.
4. Rotational flap : dibuat insisi berbentuk huruf U di sekitar luka bekas eksisi untuk
membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian diletakkan pada bekas eksisi.
5. Conjungtival graft : menggunakan free graft yang biasanya diambil dari konjungtiva
bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka kemudian dipindahkan dan
dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat jaringan (misalnya Tisseel VH, Baxter
Healthcare, Dearfield, Illionis).

Gambar 10 : Jenis-
jenis operasi
pterigium4
a. Bare sclera
b. Simple closure
c. Sliding flap
d. Rotational flap
e. Conjungtival
graft
C. Terapi Tambahan

15
Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi masalah, dan terapi
medis demikian terapi tambahan telah dimasukkan ke dalam pengelolaan pterygia. Studi
telah menunjukkan bahwa tingkat rekurensi telah jatuh cukup dengan penambahan terapi ini,
namun ada komplikasi dari terapi tersebut.1

MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena kemampuannya untuk


menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan iradiasi beta. Namun, dosis minimal yang
aman dan efektif belum ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini digunakan: aplikasi
intraoperative MMC langsung ke sclera setelah eksisi pterygium, dan penggunaan obat tetes
mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa penelitian sekarang menganjurkan penggunaan
MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi toksisitas.1

Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan, karena menghambat
mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium, meskipun tidak ada data yang jelas dari
angka kekambuhan yang tersedia. Namun, efek buruk dari radiasi termasuk nekrosis scleral ,
endophthalmitis dan pembentukan katarak, dan ini telah mendorong dokter untuk tidak
merekomendasikan terhadap penggunaannya.1

Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan dengan pemberian:

1. Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari, bersamaan
dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari kemudian tappering off sampai 6
minggu.
2. Mitomycin C 0,04% (o,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan bersamaan
dengan salep mata dexamethasone.

3. Sinar Beta

4. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1 tetes/ 3 jam selama 6


minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotik Chloramphenicol, dan steroid
selama 1 minggu.6

16
II.2.11 Komplikasi

1. Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut:

-
Gangguan penglihatan
-
Mata kemerahan
-
Iritasi
-
Gangguan pergerakan bola mata.
-
Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea
-
Dry Eye sindrom 3

2. Komplikasi post-operatif bisa sebagai berikut:

-
Infeksi
-
Ulkus kornea
-
Graft konjungtiva yang terbuka
-
Diplopia
-
Adanya jaringan parut di kornea 3

Yang paling sering dari komplikasi bedah pterigium adalah kekambuhan. Eksisi bedah memiliki
angka kekambuhan yang tinggi, sekitar 50-80%. Angka ini bisa dikurangi sekitar 5-15% dengan
penggunaan autograft dari konjungtiva atau transplant membran amnion pada saat eksisi 3

II.2.12 Pencegahan

Pada penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah seperti nelayan, petani yang
banyak kontak dengan debu dan sinar ultraviolet dianjurkan memakai kacamata pelindung sinar
matahari.6

II.2.13 Prognosis

Pterigium adalah suatu neoplasma yang benigna. Umumnya prognosis baik. Kekambuhan
dapat dicegah dengan kombinasi operasi dan sitotastik tetes mata atau beta radiasi.6

Eksisi pada pterigium pada penglihatan dan kosmetik adalah baik. Prosedur yang baik
dapat ditolerir pasien dan disamping itu pada beberapa hari post operasi pasien akan merasa tidak
nyaman, kebanyakan setelah 48 jam pasca operasi pasien bisa memulai aktivitasnya. . Pasien
dengan pterygia yang kambuh lagi dapat mengulangi pembedahan eksisi dan grafting
dengan konjungtiva / limbal autografts atau transplantasi membran amnion pada pasien tertentu 3

17
BAB III

Kesimpulan

18
Pterigium merupakan salah satu dari sekian banyak kelainan pada mata dan
merupakan yang tersering nomor dua di indonesia setelah katarak, hal ini di karenakan
oleh letak geografis indonesia di sekitar garis khatulistiwa sehingga banyak terpapar oleh
sinar ultraviolet yang merupakan salah satu faktor penyebab dari piterigium. Pterigium
banyak diderita oleh laki-laki karena umumnya aktivitas laki-laki lebih banyak di luar
ruangan, serta dialami oleh pasien di atas 40 tahun karena faktor degeneratif.

Penderita dengan pterigium dapat tidak menunjukkan gejala apapun


(asimptomatik), bisa juga menunjukkan keluhan mata iritatif, gatal, merah, sensasi benda
asing hingga perubahan tajam penglihatan tergantung dari stadiumnnya.

Terapi dari pterigium umumnya tidak perlu diobati, hanya perawatan secara
konservatif seperti memberikan anti inflamasi pada pterigium yang iritatif. Pada
pembedahan akan dilakukan jika piterigium tersebut sudah sangat mengganggu bagi
penderita semisal gangguan visual, dan pembedahan ini pun hasilnya juga kurang
maksimal karena angka kekambuhan yang cukup tinggi mengingat tingginya kuantitas
sinar UV di Indonesia. Walaupun begitu penyakit ini dapat dicegah dengan menganjurkan
untuk memakai kacamata pelindung sinar matahari.

Daftar Pustaka

1. Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD. Management of
Pterygium

19
http://www.aao.org/aao/publications/eyenet/201011/pearls.cfm?

2. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2007. hal:2-6, 116 –
117

3. Jerome P Fisher, PTERYGIUM. 2009

http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview

4. Kanski JJ. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach; Edisi 6. Philadelphia:


Butterworth Heinemann Elsevier. 2006 :242-244.

5. Miller SJH. Parson’s Disease of The Eye. 18th ed. London : Churchill Livingstone ;
1996. p.142

6. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata. Edisi III penerbit
Airlangga Surabaya. 2006. hal: 102 – 104

7. Voughan & Asbury. Oftalmologi umum , Paul Riordan-eva, John P. Whitcher edisi 17
Jakarta : EGC, 2009 Hal 119

8. www.en.wikipedia.org/wiki/Pterygium_(conjunctiva)

9. www.eyewiki.aao.org/Pterygium

10. www.inascrs.org/pterygium/

11. www.mdguidelines.com/pterygium

20

Anda mungkin juga menyukai