Anda di halaman 1dari 36

Referat

Perdarahan
Pada
Kehamilan
Trimester
Pertama

Pembimbing

Dr. Doddy, SpOG

Penyusun

Francisca Rimareta
Jenny Indriani

1
Koesrinnt Widjaja

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kebidanan dan Kandungan


Rumah Sakit Umum Daerah Karawang
Periode 17 Agustus – 31 Oktober 2009
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
Jakarta

LEMBAR PERSETUJUAN
Referat Perdarahan Pada Kehamilan Trimester Pertama
telah diterima dan disetujui oleh pembimbing
pada tanggal
sebagai salah satu syarat menyelesaikan
kepaniteraan klinik Ilmu Kebidanan dan Kandungan
di RSUD Karawang Periode 2009

2
Karawang, Oktober 2009

dr. Doddy, SpOG

3
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan sayang-Nya sehingga
referat ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Adapun referat mengenai Perdarahan Trimester Pertama ini disusun dalam
rangka memenuhi salah satu tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Obstetri dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti di RSUD Karawang, Jawa
Barat.
Sehubungan dengan selesainya referat ini, kami ingin mengucapkan terima
kasih kepada pihak-pihak yang selama ini banyak membantu, yaitu: dr. H. Doddy,
SpOG sebagai pembimbing dalam penyusunan referat ini, orang tua dan keluarga
kami yang telah banyak memberikan dukungan moril dan materiil serta teman-teman
sekalian yang telah memberikan dukungan dan masukan-masukan sehingga referat ini
dapat saya selesaikan tepat pada waktunya.
Kami menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
kami sangat menghargai dan mengharapkan kritik serta saran yang membangun demi
perbaikan.
kami berharap semoga referat ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada
umumnya dan bagi civitas akademi pada khususnya.

Karawang, Oktober 2009

Penyusun

4
DAFTAR ISI

Lembar persetujuan .............................................................................. 2

Kata pengantar ...................................................................................... 3

Daftar Isi ............................................................................................... 4

BAB I Pendahuluan .............................................................................. 6

BAB II Abortus ..................................................................................... 8

2.1 Definisi ............................................................................... 8

2.2 Etiologi ................................................................................ 8

2.3 Patofisiologi ........................................................................ 10

2.4 Manifestasi Klinik ............................................................... 12

2.5 Diagnosis ............................................................................. 13

2.6 penatalaksanaan ................................................................... 14

BAB III Kehamilan Ektopik Terganggu ................................................ 15

3.1 Definisi ................................................................................. 15

3.2 Faktor resiko ......................................................................... 15

3.3 Klsifikasi & Manifestasi Klinik ............................................ 17

3.4 Diagnosis ............................................................................... 19

3.5 Penatalaksanaan ..................................................................... 22

BAB IV Kehamilan Mola ......................................................................... 24

5
4.1 Definisi .................................................................................... 24

` 4.2 Etiologi .................................................................................... 24

4.3 Klasifikasi .............................................................................. 25

4.4 Manifestasi Klinis .................................................................. 26

4.5 Diagnosis ............................................................................... 27

4.6 Diagnosis Banding .................................................................. 30

4.7 Penatalaksanaan ...................................................................... 30

BAB V Kesimpulan ................................................................................... 34

Daftar Pustaka ............................................................................................ 35

6
BAB I

Pendahuluan
Pada kehamilan, perdarahan menjadi penyebab utama mortalitas maternal.
Mortalitas akibat perdarahan masih menjadi faktor utama mortalitas maternal
walaupun angka kematian maternal telah menurun seiring peningkatan pelayanan
kesehatan obstetri. 1

Perdarahan dapat terjadi baik selama kehamilan, persalinan maupun masa


nifas.1 Perdarahan pada kehamilan dapat mengancam jiwa. Sedikit perdarahan atau
spotting pervaginam yang diremehkan kadang dapat menjadi tanda akut yang dapat
membahayakan ibu dan anak, sampai dapat menimbulkan kematian.2

Pada dasarnya perdarahan pada kehamilan dibagi menjadi :

1. Perdarahan trimester I atau perdarahan pada awal kehamilan yang disebabkan


oleh implantasi ovum, karsinoma servik, abortus, mola hidatidosa, kehamilan
ektopik, menstruasi, kehamilan normal, kelainan lokal pada vagina/ servik
seperti varises, perlukaan, erosi dan polip.
2. Perdarahan trimester II sering disebabkan partus prematurus, solusio plasenta,
mola dan inkompetensi servik.
3. Perdarahan trimester III atau perdarahan antepartum adalah perdarahan setelah
29 minggu atau lebih ini dapat terjadi oleh solusio plesenta atau plasenta
previa

Kurang lebih 20% wanita hamil pernah mengalami perdarahan pada


kehamilan.1 Perdarahan trimester pertama diperkirakan mencakup 25% dari seluruh
perdarahan pada kehamilan. Dari estimasi ini, sekitar 50% berakhir dengan abortus
3
dan pada 50% lainnya, kehamilan dapat terus dilanjutkan. Perdarahan trimester
hingga kini tetap merupakan keluhan yang sering dijumpai di unit gawat darurat. 4

7
Prognosis dan penatalaksanaan kasus perdarahan selama kehamilan
dipengaruhi oleh umur kehamilan, banyaknya perdarahan, keadaan fetus dan sebab
dan perdarahan. Dalam referat ini hanya dibahas perdarahan selama kehamilan
trimester pertama; setiap perdarahan selama kehamilan harus dianggap sebagai
keadaan akut dan senus serta berisiko tinggi karena dapat membahayakan ibu dan
janin. 1

Etiologi

Setiap perdarahan pada awal kehamilan terlebih dahulu harus dipikirkan


berasal dari tempat pelekatan plasenta atau permukaan choriodecidua dan dianggap
mengancam kelangsungan dan kehamilan. 1

Penyebab perdarahan pada kehamilan trimester I sering sulit ditentukan


walaupun telah dilakukan pemeriksaan lengkap. Pemeriksaan dalam dan spekulum
hendaknya dilakukan hati-hati terutama jika penyebabnya adalah karsinoma servik.
Walaupun insiden karsinoma servik dengan kehamilan sangat jarang yaitu 1 : 3000. 1

Dalam pemeriksaan spekulum dapat dilihat asal perdarahan; perdarahan


disebabkan oleh gangguan kehamilan jika darah berasal dari ostium uteri. Pada
beberapa wanita hamil dapat terjadi pula perdarahan dalam jumlah sedikit yang
disebabkan oleh penembusan villi khorialis ke dalam desidua saat implantasi ovum. 1

Ada 3 penyebab patologis penting perdarahan pada awal kehamilan atau


perdarahan trimester pertama berdasarkan urutan frekuensinya adalah abortus,
2
kehamilan ektopik dan kehamilan mola. Ketiga etiologi perdarahan trimester
pertama ini akan dibahas masing-masing dalam referat ini secara khusus.

Tabel 1. Anamnesis perdarahan trisemester pertama 1

8
BAB II
Abortus
Abortus merupakan penyebab perdarahan trimester pertama paling sering; dan
diperkirakan terjadi pada 10-15% dari seluruh kehamilan. 1 Lebih dari 80% abortus
terjadi dalam 12 minggu pertama masa gestasi dan 50% diantaranya akibat adanya
kelainan anomali. Setelah trisemester pertama baik insiden abortus karena anomali
menurun.5

Risiko abortus spontan meningkat seiring dengan usia maternal dan paternal.
Frekuensi abortus meningkat dari 12% pada kelompok usia 20 hingga 26 tahun
menjadi 26% pada kelompok usia diatas 40 tahun. Mengingat pengaruh abortus
terhadap kematian maternal sangat tinggi maka diagnosis dan penatalaksanaan sedini
5
mungkin sangat penting

2.1. Definisi

Abortus merupakan penghentian kehamilan sebelum waktunya, dimana hasil


konsepsi belum dapat hidup di luar kandungan, dan berusia kurang dari 20 minggu
dan BB kurang dari 500 gr.5 Abortus dapat digolongkan atas atas :
A. abortus spontan :
abortus imminens
abortus insipiens
abortus inkompletus

9
abortus kompletus
B. abortus provokatus :
abortus medicinalis
abortus kriminalis

2.2. Etiologi
Abortus spontan diduga disebabkan oleh :
- kelainan kromosom (sebagian besar kasus)
- infeksi (chlamydia, mycoplasma dsb)
- gangguan endokrin (hipotiroidisme, diabetes mellitus)
- oksidan (rokok, alkohol, radiasi dan toksin)
Mekanisme pasti abortus tidak selalu jelas tetapi dalam 3 bulan pertama kehamilan,
kematian embrio atau fetus selalau mengawali ekspulsi spontan dari ovum. Upaya
menemukan penyebab abortus dini dapat menentukan penyebab kematian janin. 5
1. Faktor Fetus
a. Gangguan perkembangan zigotik. Abortus spontaneus dini
dimungkinkan karena gangguan perkembangan zigot, embrio, fetus
dini atau plasenta.5
b. Abortus aneuploid. Sekitar 50 hingga 60% embrio yang dikeluarkan
saat abortus spontaneus memiliki kelainan kromosom, seperti trisomi
autosom, monosom X, triploidy, maupun tetraploid. 5
c. Abortus euploid. Janin euploid cenderung mengalami abortus pada
masa gestasi lebih lanjut dibanding aneuploid.5
2. Faktor Maternal
a. Infeksi. Beberapa organisme pemicu abortus ialah Brucella abortus,
Campylobacter fetus, Listeria monocytogenes, Chlamydia trachomatis,
Mycoplasma hominis,dan Ureaplasma urealyticum. Sebuah studi
melaporkan bahwa infeksi virus herpes simpleks tidak meningkatkan
risiko abortus pada kehamilan dini.5
b. Chronic Debilitating Disease. Pada awal kehamilan jarang sekali
terjadi abortus akibat penyakit seperti tuberkulosis atau karsinomatosis.
Celiac sprue, dilaporkan menyebabkan infertilitas pada pria dan wanita
serta memicu terjadinya abortus rekuren.5

10
c. Gangguan endokrin meliputi hipotiroidism, diabetes melitus, defisiensi
progesteron berhubungan dengan abortus. Wanita penderita diabetes
tergantung insulin sangat berisiko mengalami abortus spontan dan
malformasi kongenital pada janinnya.5
d. Penggunaan obat dan faktor Lingkungan. Kebiasaan merokok, alkohol,
kopi, radiasi, kontrasepsi, konsumsi sedikitnya 5 cangkir kopi setiap
harinya meningkatkan risiko abortus. Merokok > 14 batang setiap
harinya meningkatkan risiko abortus hingga 2 kali lipat.5
e. Faktor Immunologi. Faktor autoimun seperti antibodi antifosfolipid
juga berperan penting memicu abortus. Pemberian aspirin pada pasien
ini dapat meningkatkan kesempatan hidup janin.5
f. Defek Uteri
i. Defek Uteri didapat. Leiomioma uteri walau besar dan multipel
biasanya tidak memicu abortus. Bila berkaitan dengan abortus,
faktor letak lebih berpengaruh daripada ukuran. Sindrom
Asherman, dengan sinekia uteri akibat kerusakan endometrium
luas oleh kuretase dapat menyebabkan abortus.
ii. Defek perkembangan uteri. Kelainan pembentukan dan fusi
duktus mullerian dapat menyebabkan abortus.5

2.3. Patofisiologi
Pada awal abortus terjadi perdarahan dalam desidua basalis kemudian diikuti
dengan adanya nekrosis jaringan yang menyebabkan hasil konsepsi terlepas dan
dianggap sebagai benda asing di dalam uterus. kemudian uterus berkontraksi untuk
mengeluarkan benda asing tersebut. 5
Pada kehamilan <8 minggu hasil konsepsi biasanya dikeluarkan seluruhnya
karena villi korialis belum nemembus desidua secara mendalam. Pada kehamilan 8-14
minggu villi korialis menembus desidua lebih dalam, sehingga umumnya placenta
dapat dikeluarkan dengan sempurna, dan perdarahan lebih banyak. Pada kehamilan
>14 minggu biasanya abortus didahului dengan ketuban pecah, diikuti dengan
keluarnya hasil konsepsi, kemudian disusul dengan plasenta.5

11
Tabel 2. Klasifikasi abortus 4

2.4. Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis abortus tampak dalam tabel 1 dibawah ini :

Tabel 3. Kategori dan gambaran klinis abortus

1)
12
2.5. Diagnosis

Diagnosis abortus dapat ditegakkan melalui : 4,5,6


1. Anamnesis : perdarahan, haid terakhir, pola siklus haid, ada tidak gejala /
keluhan lain, cari faktor risiko / predisposisi. Riwayat penyakit umum dan
riwayat obstetri / ginekologi.
2. Prinsip : pasien usia reproduktif dengan perdarahan per vaginam abnormal
harus selalu dipertimbangkan kemungkinan adanya kehamilan.
3. Pemeriksaan fisis umum : keadaan umum, tanda vital, sistematik. Jika keadaan
umum buruk perlu dilakukan resusitasi dan stabilisasi segera
4. Pemeriksaan ginekologi : ada tidaknya tanda akut abdomen. Jika
memungkinkan, cari sumber perdarahan : apakah dari dinding vagina, atau
dari jaringan serviks, atau darah mengalir keluar dari ostium
5. Jika diperlukan, ambil darah / cairan / jaringan untuk pemeriksaan penunjang
(ambil sediaan sebelum pemeriksaan vaginal touche)
6. Pemeriksaan vaginal toucher dilakukan secara hati-hati. Bimanual tentukan
besar dan letak uterus..5

Pada abortus spontan biasanya disertai dengan perdarahan pervaginam dengan


atau tanpa rasa mules. Perdarahan pervaginam dapat hanya berupa flek (bercak-
bercak darah) hingga perdarahan banyak. Hal ini sangat penting untuk menilai apakah
perdarahan semakin berkurang atau bahkan memburuk. Adanya gumpalan darah atau
jaringan merupakan tanda bahwa abortus berjalan dengan progresif. Bila ditemukan
nyeri perlu dicatat letak dan lamanya nyeri tersebut berlangsung. 5

Pada pemeriksaan fisik, abdomen perlu diperiksa untuk menentukan lokasi


nyeri. Sumber dicari melalui pemeriksaan inspekulo dan vaginal toucher, untuk
menilai perdarahan apakah berasal dari dinding vagina, permukaan serviks atau OUE.
Secara iktisar abortus iminens dapat kita diagnosis kalau pada kehamilan muda
didapatkan : 6
1. perdarahan sedikit
2. nyeri memilin karena kontraksi tidak ada atau sedikit sekali
3. pada pemeriksaan dalam belum ada pembukaan serviks
4. tidak ditemukan kelainan pada serviks

13
Pada pemeriksaan dalam, lakukan pemeriksaan pergerakan serviks karenanya
bila nyeri pada pergerakan serviks (+), maka kemungkinan terjadinya kehamilan
ektopik perlu dipertimbangkan. Jika ditemukan OUI telah membuka, kemungkinan
yang terjadi adalah abortus insipiens, inkomplit maupun abortus komplit.
Pemeriksaan pada uterus juga perlu dilakukan, tentukan besar, konsistensi uterus serta
pada adneksa adakah nyeri tekan atau massa. Bila didapatkan adanya sekret vagina
abnormal, sebaiknya dibuat pemerik.saan biologisnya.6

Pada kasus abortus, selain menghentikan perdarahannya, perlu dicari


penyebab terjadinya abortus dan menentukan sikap dalam penanganan selanjutnya.
Pemeriksaan penunjang yang dapat kita lakukan antara lain: 5,6
1. β-HCG
2. Pemeriksaan kadar Hb dan Ht
3. pemeriksaan golongan darah dan skrining antibody
4. pemeriksaan kadar progresteron serum
5. USG

2.6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tergantung pada jenis-jenis aborsi.
Pada abortus Iminens apabila perdarahan setelah beberapa minggu masih ada,
maka perlu ditentukan apakah kehamilan masih baik atau tidak. Bila reaksi kehamilan
dua kali berturut-turut masih negative, maka sebaiknya uterys dikosongkan (kuret).
Namun bila kehamilan masih baik maka keluarnya fetus masih dapat dicegah dengan
memberikan obat-obat hormonal dan antispasmodika serta istirahat.
Pada abortus insipiens dan abortus inkomplit bila ada tanda-tanda syok maka
atasi dulu syok dengan pemberian cairan dan transfusi darah. Kemudian keluarkan
jaringan secepat mungkin dengan metode digital dan kuretase. Setelah itu, beri obat-
obat uterotonika dan antibiotik.
Pada abortus komplitus terapi hanya dengan uterotonika.
Pada Missed abortion diberikan obat dengan maksud agar terjadi his sehimgga
fetus dan desidua dapat dikeluarkan, kalau tidk berhasil lakukan dilatasi dan kuretase.
Hendaknya pada penderita juga diberikan uterotonika dan antibiotik.
Pada abortus infeksius bila perdarahan banyak, berikan transfuse darah dan
cairan yang cukup dan berikan antibiotik yang cukup dan tepat.

14
BAB III
Kehamilan Ektopik

Sekitar 1% dari seluruh kehamilan adalah kehamilan ektopik dan insidennya


cenderung meningkat seiring dengan peningkatan insiden penyakit inflamasi pelvis
dan penggunaan Copper T. 1

Blastocyst normalnya mengalami implantasi pada lapisan endometrium dalam


kavum uteri. Implantasi di tempat lain merupakan kehamilan ektopik. Diperkirakan
hampir 2 dari 100 kehamilan di Amerika Serikat merupakan kehamilan ektopik dan
95 persen terjadi dalam tuba.7,8 Jumlah kasus kehamilan ektopik di Amerika Serikat
dalam kurun waktu 1970 - 1992 mengalami peningkatan 4 kali lipat. Peningkatan ini
lebih besar dijumpai pada kaum kulit non putih dibandingkan dengan kulit putih.
Insiden kehamilan ektopik meningkat seiring dengan bertambahnya usia.7

Risiko kematian akibat kehamilan ekstra-uterin lebih tinggi baik pada


kehamilan yang dipertahankan hingga bayi lahir hidup maupun pada terminasi
kehamilan. Biasanya kemungkinan keberhasilan kehamilan semakin kecil pada
kehamilan ektopik.7

3.1. Definisi

Kehamilan ektopik ialah kehamilan dimana ovum yang telah mengalami


fertilisasi mengadakan implantasi diluar kavitas intra-uterin, sebagian besar di tuba
falopi dan pada kasus jarang terdapat dalam kavitas abdominal 7,8,9,10

3.2. Faktor Risiko

Beberapa faktor yang memicu peningkatan insiden terjadinya kehamilan ektopik : 7,8
-
Prevalensi infeksi tuba akibat penyakit menular seksual
-
Popularitas kontrasepsi yang memungkinkan terjadinya kegagalan sehingga
dapat menyebabkan kehamilan ektopik
-
Penggunaan teknik sterilisasi tuba meningkatkan kecenderungan kehamilan
ektopik

15
-
Penggunaan assisted reproductive techniques
-
Riwayat operasi tuba meliputi salpingotomi untuk kehamilan tuba dan
tuboplasty untuk infertilitas.

Tabel 4. Faktor risiko kehamilan ektopik 7

Faktor Risiko Risiko


Risiko Tinggi
-
Operasi korektif tuba 21,0
-
Sterilisasi tuba 9,3
-
Riwayat kehamilan ektopik sebelumnya 8,3
-
Pemajanan DES dalam uterus 5,6
-
Intrauterine device 4,2-4,5
-
Patologi tubal tercatat 3,8-21
Risiko Sedang
-
Infertilitas 2,5-21
-
Infeksi kelamin sebelumnya 2,5-3,7
-
Banyak pasangan seksual 2,1
Risiko Ringan
-
Operasi pelvis atau abdomen sebelumnya 0,93-3,8
-
Merokok 2,3-2,5
-
Hubungan seksual sebelum usia 18 tahun 1,6

Kebiasaan merokok mempunyai efek independen dan tergantung dosis akan


terjadinya kehamilan ektopik. Merokok diketahui akan mempengaruhi kerja siliar dari
asofaring dan traktus respirasi. Efek yang serupa dapat terjadi pada tuba falopi.8

Partner seks yang berganti-ganti, usia dini saat melakukan hubungan seksual
pertama dan vaginal douching sering kali merupakan faktor risiko kehamilan ektopik.
Mekanisme kerja faktor risiko ini ialah secara tidak langsung dan merupakan penanda
bagi perkembangan penyakit seksual menular, ascending infection atau keduanya.8

3.3. Klasifikasi dan Manifestasi Klinis Kehamilan Ektopik

16
2.3.1. Kehamilan tuba.

Ovum yang telah mengalami fertilisasi dapat tersangkut dalam saluran tuba
yang menyebabkan kehamilan tuba insterstial, isthmus, dan ampula. Bahkan pada
kasus yang jarang dapat terjadi implantasi pada fimbriated extremity. Tempat
implantasi paling sering pada kehamilan ektopik ialah ampula, diikuti oleh isthmus
ditempat kedua. Kehamilan interstitial hanya meliputi tiga persen dari gestasi tuba.7

Tuba mengandung sedikit lapisan mukosa, sehingga ovum yang telah dibuahi
akan masuk dalam epitelium dan tertanam dalam dinding muskular. Zigot ini
mengalami proliferasi membentuk trofoblas, melakukan invasi ke lapisan muskularis
terdekat. Pada saat bersamaan, pembuluh darah terbuka dan darah mengalir dalam
ruangan diantara trofoblas maupun ruangan antara trofoblas dan jaringan didekatnya.
Dinding tuba yang berbatasan dengan zigot memberikan resistensi ringan terhadap
invasi dari trofoblas. Embrio atau fetus dalam kehamilan ektopik ini sering kali
absent atau stunted.7

Abortus tuba. Frekuensi aborsi tuba tergantung letak implantasi. Abortus


biasanya sering terjadi pada kehamilan tuba ampula dimana ruptur biasanya sering
terjadi pada kehamilan isthmus. Konsekuensi perdarahan ialah kerusakan lebih lanjut
pada taut antara plasenta dan membran dan dinding tuba. Jika pemisahan plasenta
lengkap, semua produk konsepsi melalui ujung fimbriae menuju kavitas peritoneum.
Pada saat ini, hemoragi akan berkurang dan gejala akan menghilang. Beberapa
perdarahan akan menetap selama produk konsepsi ini tetap berada dalam saluran
tuba.Bila fimbriated extremity ini mengalami penyumbatan makan tuba fallopi akan
mengembang secara bertahap karena terisi darah dan membentuk hematosalpinx.7

Ruptur tuba. Invasi dan perluasan produk konsenpsi dapat menyebabkan


ruptur saluran tuba pada beberapa tempat. Banyak kasus kehamilan tuba berakhir
dengan ruptur pada beberapa minggu pertama. Bila ruptur tuba terjadi dalam beberapa
minggu pertama maka biasanya kehamilan ektopik terletak pada bagian isthmus dari
tuba. Namun bila implantasi terjadi pada bagian interstitial, ruptur biasanya terjadi
pada saat lanjut. Ruptur biasanya terjadi spontan disamping dapat disebabkan oleh
trauma misalnya akibat coitus maupun pemeriksaan bimanual.7

Pada ruptur intraperitoneal, hasil konsepsi akan dikeluarkan dari tuba disertai
dengan perdarahan sehingga sang ibu akan menunjukkan tanda hipovolemia.

17
Sebagian besar konseptuses ini diabsorbsi. Bila besar biasanya akan menetap dalam
cul de sac selama bertahun tahun dan membentuk masa berkapsul atau bahkan
mengalami kalsifikasi membentuk lithopedion.7

2.3.2. Kehamilan Abdominal

Terjadi bila fetus dikeluarkan saat terjadi ruptur, efek dari kehamilan akan
bervariasi tergantung pada luasnya trauma yang ditahan oleh plasenta. Bila plasenta
rusak maka fetus akan meninggal namun bila sebagian besar plasenta masih dalam
kondisi baik maka perkembangan lebih lanjut mungkin terjadi. Fetus akan bertahan
hidup untuk beberapa waktu dan menyebabkan terjadinya kehamilan abdominal. Pada
beberapa kasus sebagian dari plasenta tetap tertanam dalam dinding tuba dan tmbuh
dibalik tuba dan implant pada struktur yang mengelilinginya.7

2.3.3. Broad Ligament Pregnancy

Saat zigot melakukan implantasi terhadap mesosalpinx, ruptur dapat terjadi


pada bagian tuba yang tidak langsung diliputi peritoneum. Isi gestasi akan masuk
dalam ruangan yang dibentuk antara lipatan ligamen dan kemudian menjadi
kehamilan intraligamentosa atau broad ligament pregnancy.1

2.3.4. Kehamilan Interstitial

Implantasi diantara segmen tuba yang menembus dinding uterus menyebabkan


terjadinya kehamilan tuba atau kornual. Kasus ini terjadi pada 3% dari seluruh
kehamilan tuba. Biasanya ruptur dapat tertunda hingga 16 minggu, tetapi pada
beberapa kasus dapat terjadi sebelum minggu 12. Letak inflamasi antara arteri ovarian
dan uterina dapat memicu perdarahan berat. Banyak kasus ini yang menjadi fatal 7

2.3.5.Kehamilan Ovarium Primer

Kehamilan ektopik dalam ovarium primer ini jarang terjadi dengan insiden
1/6000 hingga 1/40.000 kehamilan. Pada akhir-akhir ini dijumpai peningkatakan
kasus kehamilan ovarium karena meningkatnya insiden inflamasi pelvis, operasi
abdomen, endometriosis dan pemakaian intrauterine device. Kehamilan ini
disebabkan oleh fertilisasi yang terjadi diluar ovarium disertai dengan implantasi ke
dalam ovarium. Pemeriksaan ultrasonografi dan  hCG mempermudah diagnosis
preoperatif kehamilan ektopik dalam ovarium. 12

3.4. Diagnosis

18
Gambaran klinis kehamilan tuba bervariasi dan tergantung apakah telah terjadi
ruptur. Gambaran awal dan tehnologi diagnostik yang lebih tepat telah
memungkinkan identifikasi sebelum ruptur terjadi. Biasanya, wanita tidak mengira
dirinya menderita kehamilan ektopik dan berpikir bahwa ia mengalami kehamilan
normal. Pada kenyataannya, gejala dan tanda kehamilan ektopik sering kali tidak jelas
atau tidak ada.7

Umumnya, tanda adanya kehamilan ektopik ialah adanya nyeri abdomen


dengan spotting yang biasanya terjadi dalam enam hingga delapan minggu pasca
periode mesntrual terakhir yang normal. Gambaran lainnya berdasarkan lokasi dari
kehamilan ektopik. 8

Karena diagnosis dini sangat penting maka gejala dan pemeriksaan fisis pada pasien
kehamilan ektopik telah dicermati lebih dari dua dekade.7
-
Nyeri. Gejala ini paling sering berupa nyeri pelvis maupun abdominal dan
amenorrhea dengan beberapa derajat vaginal spotting atau perdarahan (60
hingga 80 persen) Gejala akan meningkat seiring dengan bertambahnya masa
gestasi. Saat ruptur, nyeri dapat terjadi di titik manapun dalam abdomen.
-
Kelainan menstruasi. Sebagian besar wanita amenorrhea, namun tidak pada
seperempat kasus –perdarahan uteri sering terjadi dengan kehamilan tuba pada
menstruasi yang sebenarnya. Perdarahan vagina profus lebih cenderung
merupakan tanda adanya aborsi incomplete daripada kehamilan ektopik.

Algoritma 1. Alur diagnostik perdarahan trimester pertama yang mengarah pada


kehamilan ektopik 8

19
-
Nyeri tekan abdominal dan pelvis. Nyeri tekan pada pemeriksaan abdomen
danvagina biasanya pada pergerakan serviks dijumpai pada lebih dari tiga
perempat kasus wanita dengan ruptur tuba. Namun nyeri tekan ini biasanya
tidak dijumpai sebelum ruptur.
-
Perubahan Uterus. Uterus akan terdesak ke satu sisi oleh masa ektopik, bila
ligamen terisi dengan darah maka sebagian besar uterus akan mengalami
penyimpangan letak. Pada 25% wanita dengan pembesaran uterus akibat
stimulasi hormon kehamilan.
-
Tekanan darah dan Nadi. Sebelum ruptur biasanya tanda vital dalam batas
normal. Respon awal terhadap perdarahan sedang dapat berupa tidak ada
perubahan dari tanda vital hingga sedikit peningkatan tekanan darah atau
respon vasovagal dengan bradikardi dan hipotensi.

20
-
Masa pelvis. Pada pemeriksaan bimanual, masa pelvis bervariasi ukuran dari 5
hingga 15 cm dapat dipalpasi pada 20% wanita. Massa biasanya terletak di
sebelah posterior atau lateral uterus dan biasanya bersifat lunak dan elastis.
Pemeriksaan Laboratorium 7

-
Hemogram. Pasca hemoragi, deplesi volume darah kembali normal melalui
hemodilusi setelah beberapa waktu. Namun pasca hemoragi substantif,
hemoglobin atau hematokrit pada saat pertama menunjukkan sedikit
penurunan. Kemudian pasca hemoragi akut maka penurunan hemogrobin dan
hematokrit menjadi bermakna. Pada setengah kasus kehamilan ektopik dengan
ruptur dapat dijumpai leukositosis hingga 30.000/l
-
Chorionic Gonadotropin Assay. Kehamilan ektopik tidak dapat didiagnosis
dengan hasil positif tes kehamilan sendiri. Pemeriksaan dengan ELISA cukup
sensitif terhadap kadar chorionic gonadotropin dari 10 hingga 20 mIU/mL dan
positif pada 99 persen kasus kehamilan ektopik.
-
Kadar Progesteron Serum. Pengukuran progesteron tunggal dapat digunakan
untuk menentukan adanya kehamilan normal dengan tingkat kepercayaan yang
tinggi. Nilai diatas 25ng/ml dapat digunakan untuk menyingkirkan
kemungkinan kehamilan ektopik dengan nilai sensitivitas mencapai 97,5%.

Pemeriksaan Pencitraan
-
Pencitraan ultrasound
o
Sonografi abdominal
o
Sonografi vaginal

Kecurigaan tinggi dan metode diagnostik yang up-to date sangat diperlukan
dalam identifikasi kehamilan ektopik. Gejala dan tanda klasik seperti nyeri abdomen
dan hipotensi berhubungan dengan kehamilan ektopik lanjut atau dengan ruptur yang
tidak dapat ditangani dengan terapi konservatif saja.13

Penggunaan protokol skreening meliputi penilaian kuantitatif dari hCG dan


progesteron pada wanita akan memperkecil risiko bila pemeriksaan ultrasonografi
transvaginal tidak tersedia. Kehamilan ektopik jarang sekali berhubungan dengan
kadar hCG 50.000 mIU per mililiter atau kadar progesteron serum 25 ng per mililiter

21
atau lebih. Wanita dengan kadar setinggi itu tidak memerlukan evaluasi lanjut kecuali
dijumpai ada faktor risiko lainnya. 13

3.5. Penatalaksanaan

-
Anti D Immunoglobulin – wanita D_negatif dengan kehamilan ektopik ang
tidak disensitisasi oleh antigen D harus diberikan imunoglobulin anti D.7
-
Penatalaksanaan bedah
o
Salpingostomy digunakan untuk mengangkat kehamilan kecil yang
biasanya mempunyai panjang kurang dari 2 cm dan terletak pada
sepertiga distal dari tuba falopi. Insisi linear 10 hingga 15 mm dibuat
pada batas antimesenterik segera diatas kehamilan ektopik. Perdarahan
dikontrol dengan elektrokauter atau jarum. Prosedur ini biasanya
dilakukan dengan bantuan laparoskopi.
o
Salpingotomy merupakan prosedur seperti halnya salpingostomy
kecuali insisi ditutup dengan Vicryl 7-0 atau sutura yang serupa.
o
Salpingectomy . Reseksi tuba melalui laparoskopi operatif baik untuk
kehamilan ektopik dengan ruptur maupun tidak
o
Reseksi segmental dan Anastomosis. Reseksi dari masa ektopik dan
reanastomossis tuba biasanya digunakan untuk kehamilan isthmus
yang tidak ruptur karena salpongostomy dapat meniombulkan scarring
dan penyempitan lumen isthmus
o
Trofoblas persisten. Pasca salpingostomi, kadar -hCG biasanya
menurun drastis. Kehamilan ektopik persisten terjadi akibat
pengangkatan trofoblas yang tidak sempurna dan memberikan
komplikasi pada 5 hingga 20% salpingostomi. Jika hari pertama pasca
operasi kadar -hCG kurang dari 50% kadar pre-operatif, maka jarang
sekali trofoblas ektopik persisten menjadi masalah. Menurut Seiferm
risiko kehamilan ektopik persisten meningkat bila : 8,9
 Kehamilan kecil, kurang dari 2 cm
 Terapi awal sebelum 42 hari menstrual
 Kadar -hCG yang lebih dari 3000 IU/ml

22
 Implantasi medial dari tempat salpingostomi
-
Penatalaksanaan medis
o
Metotrexat sistemik. Obat anti neoplastik ini bekerja sebagai antagonis
anti asam folat dan cukup efektif terhadap trofoblas proliferatif.
Hemoragi intraabdominal aktif merupakan kontraindikasi kemoterapi.
Ukuran masa ektopik juga penting, rekomendasi Pisarka menyatakan
bahwa jika kehamilan lebih dari 4 cm maka metrotrexat tidak
direkomendasikan. 12

23
BAB IV
Kehamilan Mola

4.1 Definisi

Gestational Trophoblastic Disease (GTD) mencakup spektrum penyakit


14
dengan kecenderungan invasi lokal dan metastasis yang bervariasi. GTD ini
mencakup sejumlah spektrum benigna dan maligna, meliputi mola hidatidosa, mola
14,15
invasif, koriokarsinoma dan placental site trophoblastic tumour (PSTT). Tiga
spektrum yang terakhir disebut sebagai gestational trophoblastic tumour (GTT) yang
dapat bermetastasis dan berbahaya bila tidak segera ditatalaksana.15
16,17
Mola hidatidosa merupakan spektrum jinak yang ditandai adanya kelainan
proliferasi trofoblas. Mola hidatidosa memiliki ciri histologis berupa kelainan vili
korionik dengan berbagai derajat proliferasi trofoblastik dan edema dari stroma
vilosa. Penyakit ini dapat dibagi menjadi mola hidatidosa lengkap (CHM) dan parsial.
17,18
CHM harus dapat dibedakan dari jenis mola lainnya karena risiko CHM akan
berkembang menjadi persistent trophoblastic disease sangat besar. Hal ini lebih tepat
bila terjadi pada kehamilan multipel karena insiden gestational trophoblastic disease
3–4 kali lebih tinggi pada kehamilan multipel dibandingkan kehamilan tunggal.19

4.1. Etiologi

Penyebab mola hidatidosa tidak diketahui, tetapi faktor-faktor yang diperkirakan


dapat memicu mola hidatidosa ialah :
1. Faktor ovum : ovum memang telah patologik sehingga mati tetapi terlambat
dikeluarkan
2. Imunoselektif dari trofoblas
3. Keadaan sosio-ekonomi rendah
4. Paritas tinggi
5. Kekurangan protein
6. Infeksi virus dan faktor kromosom yang belum jelas. 20

4.2.Klasifikasi

24
Mola hidatidosa secara patologi terdiri atas 2 jenis yaitu
- 16
Mola hidatidosa lengkap (complete hydatidiform mole-CHM) Mola
hidatidosa lengkap biasanya diploid dengan kariotipe 46,XX dan bersifat
androgenetic origin. Sebagian besar CHM bersifat monospermik dengan
fertilisasi anuclear ovum oleh sperma haploid (23,X) kemudian mengalami
duplikasi kromosomnya sendiri. Sekiatr 20-25% CHM bersifat dispermik,
17
terjadi dari fertilisasi anuclear ovum dengan dua sperma. Struktur histologi
ditandai adanya :
o
Degenerasi hidrofik dan pembengkakan stroma villosa
o
Hilangnya pembuluh darah dalam villi yang membengkak
o
Proliferasi epitelium trofoblastik dalam berbagai derajat
o
Tidak adanya janin atau amnion 18
-
Mola hidatidosa parsial (partial hydatidiform mole – PHM). Sebaliknya, PHM
bersifat triploid dengan kelebihan serangkaian pola kromosom akibat
fertilisasi ovum normal dengan dua sperma.

Berbeda dengan CHM, pada PHM seringkali diagnosis ditegakkan setelah evakuasi
uterus saat terjadi aborsi spontan atau missed abortion. Risiko sekuele meligna jauh
lebih tinggi pada CHM (15-20%) dibandingkan dengan PHM (5%). Walaupun
demikian penatalaksanaan sama dan secara klinis dipertimbangkan dalam kategori
yang sama.16

Tabel 5. Gambaran mola hidatidosa parsial dan lengkap


Gambaran Mola parsial Mola lengkap
Kariotipe 69,XXX atau 69,XXY 46, XX atau 46, XY
Patologi
Janin Seringkali ada Tidak ada
Amnion, sel darah fetal Seringkali ada Tidak ada
Edema villosa Variabel, fokal Difus
Proliferasi trofoblastik Variabel fokal Variabel, cenderung berat
Manifestasi Klinis
Diagnosis Missed Abortion Molar gestation
Ukuran uterus Kecil untuk masa 50% besar masa kehamilan
Kista teka lutein kehamilan 25-30%

25
Komplikasi medis Jarang Seringkali
Penyakit pasca mola Jarang 20%
Kurang dari 5-10%

4.3. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis sebagian besar kehamilan mola telah bervariasi. Adanya ultrasound
transvaginal dan pemeriksaan hCG serum kuantitif telah banyak membantu
menegakkan diagnosis lebih dini. Beberapa manifestasi klinis meliputi : 15
1. Perdarahan. Perdarahan uterus hampir universal dan dapat bervariasi dari
spotting hingga perdarahan profus. Perdarahan biasanya tejadi sesaat sebelum
aborsi dan seringkali terjadi secara intermiten selama beberapa minggu bahkan
bulan. Efek dilusi dari hipervolemia juga dijumpai pada beberapa wanita
dengan mola yang lebih besar. Perlu dipertimbangkan pula kemungkinan
adanya perdarahan yang terselubung dalam uterus (concealed hemorrhage).
Anemia defisiensi besi merupakan manifestasi klinis yang sering ditemui,
kadang eritropoiesis megaloblastik yang merupakan bukti akan adanya intake
dari yang rendah diiringi dengan peningkatan kebutuhan tubuh akibat adanya
proliferasi trofoblast yang cepat. 16
2. Ukuran Uterus. Pertumbuhan uterus seringkali lebih cepat daripada biasanya
pada 50% kasus. Uterus sulit dinilai dengan tepat melalui palpasi
khususnya,wanita nulipara karena konsistensi lunak dibalik dinding
abdominal.18
3. Aktivitas Janin. Walaupun uterus mengalami pembesaran yang cukup hingga
mencapai bagian atas simfisis, akan tetapi tidak terdeteksi bunyi jantung janin.
4. Hipertensi dalam Kehamilan. Tampaknya ada hubungan antara preeklampsia
dan kehamilan mola yang bertahan hingga trisemester kedua. Karena
hipertensi dalam kehamilan jarang dijumpai sebelum 24 minggu, preeklampsia
yang terjadi sebelum saat ini setidaknya perlu dipertimbangkan kemungkinan
18
mola hidatidosa atau perubahan mola ekstensif. Preeklampsia pada
trisemester pertama atau awal trisemester kedua dapat dikatakan
patognomonik pada mola hidatidosa walaupun kasusnya hanya dijumpai pada
10-12% pasien dengan mola hidatidosa. 23

26
5. Hiperemesis. Nausea, muntah bermakna dapat terjadi pada mola hidatidosa.
6. Tirotoksikosis. Kadar tiroksin pada wanita dengan kehamilan mola seringkali
mengalami peningkatan akan tetapi hipertiroidism secara klinis biasanyanya
jarang. Amir dkk dan Curry dkk mengidentifikasi hipertiroid pada 2% kasus.
Peningkatan tiroksin plasma mungkin merupakan efek primer estrogen seperti
halnya pada kehamilan normal. Tiroksin bebas serum mengalami peningkatan
sebagai akibat pengaruh dari thyrotropin like effect of chorionic gonadotropin
dan variannya. 18
7. Embolisasi. Sejumlah trofoblast dengan atau tanpa stroma villous keluar dari
uterus melalui jalur vena saat evakuasi. Volume ini akan menyebabkan tanda
dan gejala emboli pulmonal dan bahkan menyebabkan keadaan pasien menjadi
fatal walaupun kefatalan ini jarang dijumpai. Beberapa klinisi mempercayai
bahwa induksi sebelum evakuasi mola hidatidosa meningkatkan risiko
embolisasi trofoblast atau persistent trophoblastic disease. 18
4.4. Diagnosis

1. Gambaran Klinis
-
Perdarahan pervaginam/gelembung mola
-
Gejala toksemia pada trisemester I-II
-
Hiperemesis gravidarum
-
Tirotoksikosis
-
Emboli paru 24

2. Pemeriksaan fisik
-
Umumnya uterus lebih besar dari usia kehamilan
-
Kista lutein
-
Balotemen negatif
-
Denyut jantung janin negatif 24
3. Pemeriksaan Penunjang
Di pusat kesehatan yang memiliki ultrasound, karakteristik gambaran pola
mola vesikular pada CHM seringkali teridentifikasi pada trisemester pertama sebelum
vaginal spotting atau the passage of macroscopic vesicles. Tidak ada bukti yang
menunjukkan adanya janin.28

27
Semua penyakit trofoblastik gestasional menyebabkan peningkatan human
chorionic gonadotropin (hCG) yang dapat diukur nilainya baik pada serum maupun
urin. Kadar hCG serum merupakan indikator sensitif untuk menilai perjalanan
penyakit meliputi respon penatalaksanaan dan deteksi adanya tumor maupun relaps.21
Pada umumnya kadar hCG kehamilan mola memiliki nilai > 100.000 mIU/ml
dan nilai ini sangat kontras dengan kadar hCG pada kehamilan normal (< 60.000
mIU/ml).23 Jumlah hCG dalam serum atau diekskresikan dalam urin berhubungan
dengan jumlah sel tumor. Studi melaporkan bahwa satu sel tumor menghasilkan hCG
sekitar 5x10-5 sampai 5x10-4 IU dalam 24 jam. Jika pasien mengeksresikan hCG
sekitar 106 IU / 24 jam maka diperkirakan ada sekitar 1011 sel tumor yang viable.23
Manfaat dan kemaknaan pemeriksaan gonadotropin ini sangat tegantung pada
kadar β-hCG pasien dan sensitivitas pemeriksaan. Bioassay atau radioimmunoassay
yang lebih sensitif akan mempertimbangkan range pituitari basal.23

Diagnosis dini mola parsial lebih rumit dan sulit walaupun ultrasound dapat
memberikan gambaran ruang kistik fokal pada plasenta dan peningkatan diameter
transversal sakus gestasional. Janin kadang dapat terlihat pada gestasi lanjut.15

Ultrasonografi merupakan kriteria standar dalam identifikasi kehamilan mola


lengkap maupun parsial. Pada gambaran klasik dengan menggunakan teknologi
ultrasonografi tampak gambaran ”snow storm pattern” yang menunjukkan adanya vili
korialis hidropik. Ultrasonografi resolusi tinggi akan memperlihatkan masa intrauterin
kompleks yang mengandung banyak kista kecil. Bila kehamilan molar telah
didiagnosis maka perlu dilakukan pemeriksaan rontgen dada karena paru-paru
merupakan tempat metastasis primer bagi tumor trofoblastik maligna. 24

Karakteristik sonography mola hidatidosa berupa gambaran ”snow storm” ini


seringkali membingungkan karena juga dijumpai pada missed abortion dan degenerasi
fibroid.25 Menurut penelitian Betel C dkk, kriteria sonografi pelvis yang dapat
memprediksikan adanya GTD ialah epicenter myometrial, kedalaman invasi
miometrial, placental venous lake, dimensi massa yang lebih dari 3,45 cm dan
ketebalan endometrial maksimum kurang dari 12 mm, sedangkan kriteria lain seperti
dalam tabel 6 tidak bermakna secara statistik yang meliputi karakteristik massa,
asites, gambaran ”snow storm”, vaskularitas masa dan kista ovarium. 25

28
Pada pemeriksaan dalam pada pasien mola hidatidosa perlu dipastikan besar
uterusnya, uterus terasa lembek, tidak ada bagian bagian janin, nilai perdarahan dan
jaringan dalam kanalis servikalis dan vagina serta evaluasi serviks. 20

Reaksi kehamilan karena kadar hCG yang tinggi maka uji biologi dan uji
imunologi (Galli Mainini dan planotest) akan positif setelah titrasi :
-
Galli Mainini 1/300 (+) maka menjadi dasar suspek mola hidatidosa
-
Galli Mainini 1/200 (+), kemungkinan mola hidatidosa atau hamil kembar.
Bahkan pada mola atau koriokarsinoma uji biologik atau imunologi cairan
20
serebrospinal dapat menjadi positif

Uji sonde dapat dilakukan; sonde dimasukkan pelan pelan dan hati hati dalam
kanalis servikalis dan kavum uteri. Bila tidak ada tahanan, sonde diputar setelah
ditarik sedikit, bila tetap tidak ada tahanan kemungkinan mola (cara Acosta-Sison).7

Pada beberapa kasus vesikel hidatid yang menyerupai anggur dapat keluar
sebelum mola diangkat melalui operasi atau abortus spontaneus. Ekspulsi spontan ini
seringkali terjadi pada minggu ke 16 dan jarang sekali setelah minggu ke 28.
Perdarahan persisten dan pembesaran uterus lebih dari ukuran yang seharusnya
membangkitkan kecurigaan akan adanya kehamilan molar. Pertimbangan akan
kesalahan data mestrual atau kemungkinan pembesaran uterus oleh mioma,
hidramnion dan kehamilan kembar perlu dipikirkan lebih dahulu. Pemeriksaan
ultrasound memberikan akurasi cukup tinggi. Singkatnya, gambaran klinis dan
18
diagnostik dari mola hidatidosa lengkap meliputi :
-
Duh berdarah (bloody discharge) terus menerus selama sekitar 12 minggu,
biasanya tidak profuse dan seringkali berwarna coklat daripada merah.
-
Pembesaran uterus diluar proporsi terhadap durasi kehamilan (50% kasus)
-
Tidak adanya bukti janin atau bunyi jantung janin walaupun uterus terus
membesar hingga mencapai tingkat umbilikus atau lebih tinggi.
-
Gambaran pemeriksaan ultrasound
-
Kadar hCG yang lebih tinggi daripada kadar normal hCG pada kehamilan
yang sesuai stadium gestasinya.
-
Preeklampsia dan eklampsia yang terjadi sebelum 24 minggu
-
Hiperemesis gravidarum 18

29
4.5. Diagnosis Banding

-
Abortus
-
Kehamilan normal
-
Kehamilan ganda
-
Kehamilan dengan mioma 26

4.6. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan mola hidatidosa meliputi beberapa fase yaitu :


-
Tindakan suportif, memperbaiki kondisi pasien, mencegah perdarahan 25
-
Evakuasi segera mola setelah diagnosis ditegakkan dan mempertimbangkan
risiko yang dapat terjadi.5,12
-
Melakukan tindakan secara bertahap dan meminimalisir risiko infeksi. 25
-
Tindak lanjut deteksi adanya proliferasi trofoblastik persisten atau perubahan
maligna 18

Setelah diagnosis mola hidatidosa ditegakkan, preparat preoperatif meliputi


skreening metastasis dan stabilisasi kondisi medis harus segera dilakukan.
Pemeriksaan fisik lengkap, X-ray dada, HCG serum, hitung jenis lengkap,
pemeriksaan fungsi ginjal dan hati harus dilakukan. Bila dijumpai anemia atau
18
hipertensi harus terus dikendalikan. Intinya, tindakan awal ialah perawatan untuk
memperbaiki keadaan umum pasien sebelum penatalaksanaan. 26

Penatalaksanaan utama kehamilan mola ialah suction evacuation, diikuti oleh


sharp curettage. Suction Evacuation ini dapat dilakukan untuk uterus pada semua
ukuran. Suction dilakukan dengan induksi intravena oksitosin (30 unit pada 30 dpm)
yang dipertahankan hingga 1 jam setelah prosedur. Evakuasi uteri yang besar dapat
menimbulkan komplikasi sindrom distress respirasi onset akut akibat pelepasan
jaringan mola dalam sirkulasi. Penatalaksanaan ventilasi segera dapat menyelamatkan
jiwa pasien 16

Distres respiratori ini sering terjadi pada saat dilakukan penatalaksanaan


evakuasi. Hal ini dapat disebabkan oleh embolisasi trofoblastik, gagal jantung
kongestif high output akibat anemia maupun overload cairan iatrogenik. Distress ini
harus ditangani secara agresif dengan bantuan ventilasi dan pengawasan yang ketat.24

30
Evakuasi dengan kuret hisap (suction evacuation) dilanjutkan dengan kuret
tajam (setelah dilakukan dilatasi serviks dengan laminaria/Hegar). Bila kehamilan
memperlihatkan tinggi fundus uteri >20 minggu maka dilakukan kuretase kedua
sesudah hari ke 7. 26

The American College of Obstetricians and Gynecologist menyarankan bahwa


pasien mola hidatidosa harus menjalani pemeriksaan kadar hCG 48 jam setelah
evakuasi dan setiap 1 hingga 2 minggu kemudian hingga kadarnya tidak terdeteksi
lagi. Bila kadar telah tak terdeteksi maka tindak lanjut dilakukan setiap interval 1-2
bulan selama 6-12 bulan. Walaupun rekomendasi tindak lanjut hCG cukup aman
untuk memastikan adanya remisi akan tetapi tindak lanjut yang disarankan ini sering
kali tidak dilakukan dengan lengkap. Studi dari Korea dan Chicago menyatakan 27%
dan 81% pasien mola hidatidosa menghentikan lebih dini pemeriksaan hCG yang
direkomendasikan.14

Histerektomi dengan mole in situ merupakan penatalaksanaan pada wanita


yang lebih tua (40 tahun atau lebih) khususnya pada wanita yang ingin melakukan
sterilisasi. Ovarium tidak perlu diangkat bahwa kista teka lutein tetap ada. Ada
beberapa bukti yang menyatakan bahwa histerektomi dapat menekan risiko sekuele
maligna pasca mola. Bahar dkk menyatakan bahwa sekuele maligna terjadi pada 10%
pasien dengan tatalaksana histerektomi dibandingkan 33% pada pasien yang tidak
mendapat histerektomi. Walaupun demikian, histerektomi tidak mengurangi
pentingnya tindak lanjut pemeriksaan HCG pasca evakuasi mola. 16

Metode evakuasi lain dari mola melalui induksi persalinan dengan oksitosin
atau prostaglandin atau histerotomi tidak lagi digunakan di sejumlah pusat kesehatan,
16,23
karena potensi risiko terjadinya perdarahan dan sekuele keganasan cukup tinggi
Banyak klinisi merasakan bahwa induksi persalinan ini tidak banyak memberikan
manfaat dalam penatalaksanaan mola hidatidosa. 5 Metode ini memberika risiko
diseminasi trofoblas dan risiko sekuele maligna yang tinggi seperti dibuktikan oleh
Tow dkk di Singapura. 16

Jaringan yang telah dikeluarkan harus dikirimkan untuk pemeriksaan


histopatologi dalam dua porsi yaitu satu porsi dengan cunam ovum satu porsi lagi
dengan kuretase,5 dengan kata lain sediaan kuret hisap dan kuret tajam untuk
pemeriksaan patologi anatomi harus dipisahkan. 26

31
Pasien mola hidatidosa menjalani perawatan selama 3-5 hari post evakuasi
dengan masa pemulihan 4-6 minggu dan pengawasan lanjut minimal dua tahun.
Pasien dinyatakan sembuh bila kadar hCG telah mencapai nilai normal atau dibawah
5 mlU/ml, akan tetapi kemungkinan keganasan belum dapat disingkirkan.26

Kemoterapi profilaksis
Kemoterapi perlu dipertimbangkan karena efek sitotoksik yang dapat memicu
kematian akibat rutinitas pemakaiannya sebagai profilaksis. Walaupun demikian perlu
dipertimbangkan manfaat yang dapat diambil. Kemoterapi profilaksis perlu
dipertimbangkan pada kasus :
-
Jika hCG tidak menjadi negatif dalam waktu yang ditentukan (4-6 minggu)
atau kadar eksresi lebih dari 40.000 IU/24 jam pada 4-6 minggu
-
Adanya bukti metastasis tanpa memandang kadar hCG
-
Bila sekuele maligna lebih tinggi dengan adanya faktor risiko dan tidak ada
fasilitas tindak lanjut sesuai yang tersedia

Kemoterapi yang diberikan ialah metotreksat (MTX) 2,5 mg tablet – 3 x dua


tablet satu hari selama 5 hari. Jumlah periode pemberian ada 3 dengan interval 2
minggu. Pemberian intramuskular bersifat sedikit toksik dan dapat ditoleransi.
Kemoterapi alternatif lain ialah aktinomisin D 12μg/kgBB tiap hari selama 5 hari.
Obat ini kurang toksik dibandingkan metotreksat. 25

Sekitar 15-20% pasien mola akan berkembang menjadi gestational


trophoblastic tumour (GTT) pasca evakuasi kehamilan mola. Beberapa risiko tinggi
sebagai faktor predisposisi GTT telah teridentifikasi meliputi :
o
Nilai HCG awal yang sangat tinggi (>1.000.000 mIU/ml)
o
Uterus lebih besar dari 20 minggu
o
Perkembangan komplikasi pulmonal selama evakuasi
o
Eklampsia
o
Subinvolusi uterus dengan perdarahan 3

Ratnam dkk membuktikan bahwa pemberian metotreksat profilaksis


memberikan penurunan tidak bermakna akan insiden koriokarsinoma pasca evakuasi
mola bahkan dijumpai kasus toksisitas obat dengan satu kematian. Akan tetapi perlu
diketahui bahwa studi ini menggunakan metotreksat oral tanpa pemberian asam folat.

32
Pemberian metotreksat parenteral dengan asam folat akan memberikan toksisitas yang
sangat kecil. Walaupun demikian, akhir-akhir ini penelitian lain menunjukkan bahwa
pemberian kemoterapi profilaksis pada mola risiko tinggi menyebabkan penurunan
bermakna insiden GTD pasca molar tetapi tidak menyebabkan eliminasi GTD.16

Mengingat GTD pasca mola dapat didiagnosis dini pada pemeriksaan hCG
reguler maka tampaknya kemoterapi profilaksis dapat diberikan pada pasien tertentu
yang tidak dapat menjalani tindak lanjut pasca evakuasi mola (khususnya berisiko
tinggi) atau bila tidak tersedia pemeriksaan hCG sensitif di tempat di sekitar pasien.16

BAB V
33
Kesimpulan

Perdarahan dapat terjadi baik selama kehamilan, persalinan maupun masa


nifas. Perdarahan pada kehamilan dapat mengancam jiwa. Perdarahan trimester
pertama dapat terjadi sebagai akibat fisiologis yaitu oleh karena penembusan villi
khorialis ke dalam desidua saat implantasi ovum (tanda Hartmann) dan akibat
patologis, yang menurut urutan frekuensinya adalah abortus, kehamilan ektopik dan
kehamilan mola.

Perdarahan trimester pertama hingga saat ini merupakan salah satu keluhan
yang membawa pasien obstetri datang berobat ke unit gawat darurat.

Abortus adalah penyebab perdarahan trimester pertama yang paling sering


dijumpai. Abortus merupakan penghentian kehamilan sebelum waktunya, dimana
hasil konsepsi belum dapat hidup di luar kandungan, dan berusia kurang dari 20
minggu dan BB kurang dari 500 gr. Abortus dapat meliputi abortus spontan maupun
elektif. Risiko abortus spontan meningkat seiring dengan usia maternal dan paternal.

Perdarahan trimester pertama akibat kehamilan ektopik dicurigai


bilaultrasonografi transvaginal menunjukkan tidak adanya sakus gestasional
intrauterin saat kadar -hCG lebih dari 1500 mIU / mL

Perdarahan trimester pertama akibat mola hidatidosa perlu dicurigai bila


pasien datang dengan : Duh berdarah (bloody discharge) terus menerus selama sekitar
12 minggu, tidak profuse dan berwarna coklat , pembesaran uterus diluar proporsi,
tidak adanya bukti janin atau bunyi jantung janin, pemeriksaan ultrasound, kadar hCG
yang lebih tinggi daripada normal hCG pada kehamilan, preeklampsia dan eklampsia
yang terjadi sebelum 24 minggu, hiperemesis gravidarum.

Diagnosis dan tatalaksana dini yang akurat dapat membantu menekan


morbiditas dan mortalitas pasien sehingga prognosis pasien dapat lebih ditingkatkan.

Daftar Pustaka

34
1. Yoseph. Perdarahan Selama Kehamilan. Cermin Dunia Kedokteran 1996;
112:32-5
2. Vardhan S, Bhattacharyya TK, Kochar SPS, Sodhi B. Bleeding in Early
Pregnancy. MJAFI 2007;53:64-66
3. Schauberger CW, Mathiason MA, Rooney BL. Ultrasound Assessment of
First Trimester Bleeding. Obstet Gynecol 2005;105:333-8
4. Dogra V, Paspulati RM, Bhatt S. First Trimester Bleeding Evaluation.
Ultrasoundd Quaterly 2005;21(2):69-82
5. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Gilstrap LC, Wenstrom
KD. Williams Obstetrics. Edisi ke22. New York: McGraw-Hill.2005.h.231-
52
6. Jones DC. Bleeding in Pregnancy. Dalam : Benrubi GI, penyunting.
Handbook of Obstetric and Gynecologic Emergencies. Philadelphia:
Lippincott Williams& Wilkins.2005.h.114-8
7. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL,Hauth JC, Gilstrap LC, Wenstrom
KD. Williams Obstetrics . Edisi 22. New York : McGraw Hill. 2005.h.253-63
8. Tenore JL. Ectopic Pregnancy. American Family Physcian 2000;61:1080-8
9. Egger M, Low N, Smith GD, Lindblom B, Herrmann B. Screening for
Chlamydial Infection and The Risk of Ectopic Pregnancy in a County in
Sweden : Ecological Analysis. BMJ 1998;316:1776-80
10. Thonneau P, Hijazi Y, Goyaux N, Calvez T, Keita N. Ectopic Pregnancy in
Conakry, Guinea. Bulletin of the World Health Organization 2002;80:365-
370
11. Hieu DT, Luong TT. The Reate of Ectopic Pregnancy for 24,589 Quinacrine
Sterilization (QS) Users Compared to Users of Other Methods and No
Method in 4 provinces in Vietnam, 1994-1996. International Journal of
Gynecology and Obstetrics 2003;2:S35-43
12. Phupong V, Ultchaswadi P. Primary Ovarian Pregnancy. J Med Assoc Thai
2005; 88(4):527-9
13. Lipscomb GH. Stovall T, Ling FW. Non Surgical Treatment of Ectopic
Pregnancy. N Eng J Med 2000;343:1325-28
14. Feltmare CM, Batorfi J, Fulop V, Goldstein DP, Doszpod J, Berkowitz RS.
Human Chorionic Gonadotropin Follow up in Patients with Molar

35
Pregnancy: A Time for Reevaluation. Obstetrics & Gynecology
2003;101(4):732-6
15. Gerulath AH, Ehlen TG, Bessette P, Jolicoeur L, Savoie R. Gestational
Trophoblastic Disease. J Obstet Gynecol Can 2002;24(5):434-9
16. Ilancheran A. Optimal Treatment in Gestational Trophoblastic Disease. Ann
Acad Med Singapore 1998;27:698-704
17. Pongcharoen S. Hydatidiform Mole Pregnancy : Genetics and Immunology.
Siriraj Hosp Gaz 2004;56(7):382-7
18. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstrom
KD. Williams Obstetrics. Edisi ke-21. New York : McGraw-Hill.2001.h.836-
42
19. Shozu M, Akimoto K, Kasai T, Inoue M, Michikura Y. Hydatidiform Moles
Associated with Multiple Gestations After Assisted Reproduction ; A
Diagnosis By Analysis of DNA fingerprint. Molecular Human Reproduction
1998;4(9):877-80
20. Mochtar R, Lutan D. Sinopsis Obstetri : Obstetri Fisiologi, Obstetri patologi.
Jilid 1 Edisi 2. Jakarta:EGC.h.238-41

36

Anda mungkin juga menyukai