Perdarahan
Pada
Kehamilan
Trimester
Pertama
Pembimbing
Penyusun
Francisca Rimareta
Jenny Indriani
1
Koesrinnt Widjaja
LEMBAR PERSETUJUAN
Referat Perdarahan Pada Kehamilan Trimester Pertama
telah diterima dan disetujui oleh pembimbing
pada tanggal
sebagai salah satu syarat menyelesaikan
kepaniteraan klinik Ilmu Kebidanan dan Kandungan
di RSUD Karawang Periode 2009
2
Karawang, Oktober 2009
3
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan sayang-Nya sehingga
referat ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Adapun referat mengenai Perdarahan Trimester Pertama ini disusun dalam
rangka memenuhi salah satu tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Obstetri dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti di RSUD Karawang, Jawa
Barat.
Sehubungan dengan selesainya referat ini, kami ingin mengucapkan terima
kasih kepada pihak-pihak yang selama ini banyak membantu, yaitu: dr. H. Doddy,
SpOG sebagai pembimbing dalam penyusunan referat ini, orang tua dan keluarga
kami yang telah banyak memberikan dukungan moril dan materiil serta teman-teman
sekalian yang telah memberikan dukungan dan masukan-masukan sehingga referat ini
dapat saya selesaikan tepat pada waktunya.
Kami menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
kami sangat menghargai dan mengharapkan kritik serta saran yang membangun demi
perbaikan.
kami berharap semoga referat ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada
umumnya dan bagi civitas akademi pada khususnya.
Penyusun
4
DAFTAR ISI
5
4.1 Definisi .................................................................................... 24
6
BAB I
Pendahuluan
Pada kehamilan, perdarahan menjadi penyebab utama mortalitas maternal.
Mortalitas akibat perdarahan masih menjadi faktor utama mortalitas maternal
walaupun angka kematian maternal telah menurun seiring peningkatan pelayanan
kesehatan obstetri. 1
7
Prognosis dan penatalaksanaan kasus perdarahan selama kehamilan
dipengaruhi oleh umur kehamilan, banyaknya perdarahan, keadaan fetus dan sebab
dan perdarahan. Dalam referat ini hanya dibahas perdarahan selama kehamilan
trimester pertama; setiap perdarahan selama kehamilan harus dianggap sebagai
keadaan akut dan senus serta berisiko tinggi karena dapat membahayakan ibu dan
janin. 1
Etiologi
8
BAB II
Abortus
Abortus merupakan penyebab perdarahan trimester pertama paling sering; dan
diperkirakan terjadi pada 10-15% dari seluruh kehamilan. 1 Lebih dari 80% abortus
terjadi dalam 12 minggu pertama masa gestasi dan 50% diantaranya akibat adanya
kelainan anomali. Setelah trisemester pertama baik insiden abortus karena anomali
menurun.5
Risiko abortus spontan meningkat seiring dengan usia maternal dan paternal.
Frekuensi abortus meningkat dari 12% pada kelompok usia 20 hingga 26 tahun
menjadi 26% pada kelompok usia diatas 40 tahun. Mengingat pengaruh abortus
terhadap kematian maternal sangat tinggi maka diagnosis dan penatalaksanaan sedini
5
mungkin sangat penting
2.1. Definisi
9
abortus kompletus
B. abortus provokatus :
abortus medicinalis
abortus kriminalis
2.2. Etiologi
Abortus spontan diduga disebabkan oleh :
- kelainan kromosom (sebagian besar kasus)
- infeksi (chlamydia, mycoplasma dsb)
- gangguan endokrin (hipotiroidisme, diabetes mellitus)
- oksidan (rokok, alkohol, radiasi dan toksin)
Mekanisme pasti abortus tidak selalu jelas tetapi dalam 3 bulan pertama kehamilan,
kematian embrio atau fetus selalau mengawali ekspulsi spontan dari ovum. Upaya
menemukan penyebab abortus dini dapat menentukan penyebab kematian janin. 5
1. Faktor Fetus
a. Gangguan perkembangan zigotik. Abortus spontaneus dini
dimungkinkan karena gangguan perkembangan zigot, embrio, fetus
dini atau plasenta.5
b. Abortus aneuploid. Sekitar 50 hingga 60% embrio yang dikeluarkan
saat abortus spontaneus memiliki kelainan kromosom, seperti trisomi
autosom, monosom X, triploidy, maupun tetraploid. 5
c. Abortus euploid. Janin euploid cenderung mengalami abortus pada
masa gestasi lebih lanjut dibanding aneuploid.5
2. Faktor Maternal
a. Infeksi. Beberapa organisme pemicu abortus ialah Brucella abortus,
Campylobacter fetus, Listeria monocytogenes, Chlamydia trachomatis,
Mycoplasma hominis,dan Ureaplasma urealyticum. Sebuah studi
melaporkan bahwa infeksi virus herpes simpleks tidak meningkatkan
risiko abortus pada kehamilan dini.5
b. Chronic Debilitating Disease. Pada awal kehamilan jarang sekali
terjadi abortus akibat penyakit seperti tuberkulosis atau karsinomatosis.
Celiac sprue, dilaporkan menyebabkan infertilitas pada pria dan wanita
serta memicu terjadinya abortus rekuren.5
10
c. Gangguan endokrin meliputi hipotiroidism, diabetes melitus, defisiensi
progesteron berhubungan dengan abortus. Wanita penderita diabetes
tergantung insulin sangat berisiko mengalami abortus spontan dan
malformasi kongenital pada janinnya.5
d. Penggunaan obat dan faktor Lingkungan. Kebiasaan merokok, alkohol,
kopi, radiasi, kontrasepsi, konsumsi sedikitnya 5 cangkir kopi setiap
harinya meningkatkan risiko abortus. Merokok > 14 batang setiap
harinya meningkatkan risiko abortus hingga 2 kali lipat.5
e. Faktor Immunologi. Faktor autoimun seperti antibodi antifosfolipid
juga berperan penting memicu abortus. Pemberian aspirin pada pasien
ini dapat meningkatkan kesempatan hidup janin.5
f. Defek Uteri
i. Defek Uteri didapat. Leiomioma uteri walau besar dan multipel
biasanya tidak memicu abortus. Bila berkaitan dengan abortus,
faktor letak lebih berpengaruh daripada ukuran. Sindrom
Asherman, dengan sinekia uteri akibat kerusakan endometrium
luas oleh kuretase dapat menyebabkan abortus.
ii. Defek perkembangan uteri. Kelainan pembentukan dan fusi
duktus mullerian dapat menyebabkan abortus.5
2.3. Patofisiologi
Pada awal abortus terjadi perdarahan dalam desidua basalis kemudian diikuti
dengan adanya nekrosis jaringan yang menyebabkan hasil konsepsi terlepas dan
dianggap sebagai benda asing di dalam uterus. kemudian uterus berkontraksi untuk
mengeluarkan benda asing tersebut. 5
Pada kehamilan <8 minggu hasil konsepsi biasanya dikeluarkan seluruhnya
karena villi korialis belum nemembus desidua secara mendalam. Pada kehamilan 8-14
minggu villi korialis menembus desidua lebih dalam, sehingga umumnya placenta
dapat dikeluarkan dengan sempurna, dan perdarahan lebih banyak. Pada kehamilan
>14 minggu biasanya abortus didahului dengan ketuban pecah, diikuti dengan
keluarnya hasil konsepsi, kemudian disusul dengan plasenta.5
11
Tabel 2. Klasifikasi abortus 4
1)
12
2.5. Diagnosis
13
Pada pemeriksaan dalam, lakukan pemeriksaan pergerakan serviks karenanya
bila nyeri pada pergerakan serviks (+), maka kemungkinan terjadinya kehamilan
ektopik perlu dipertimbangkan. Jika ditemukan OUI telah membuka, kemungkinan
yang terjadi adalah abortus insipiens, inkomplit maupun abortus komplit.
Pemeriksaan pada uterus juga perlu dilakukan, tentukan besar, konsistensi uterus serta
pada adneksa adakah nyeri tekan atau massa. Bila didapatkan adanya sekret vagina
abnormal, sebaiknya dibuat pemerik.saan biologisnya.6
2.6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tergantung pada jenis-jenis aborsi.
Pada abortus Iminens apabila perdarahan setelah beberapa minggu masih ada,
maka perlu ditentukan apakah kehamilan masih baik atau tidak. Bila reaksi kehamilan
dua kali berturut-turut masih negative, maka sebaiknya uterys dikosongkan (kuret).
Namun bila kehamilan masih baik maka keluarnya fetus masih dapat dicegah dengan
memberikan obat-obat hormonal dan antispasmodika serta istirahat.
Pada abortus insipiens dan abortus inkomplit bila ada tanda-tanda syok maka
atasi dulu syok dengan pemberian cairan dan transfusi darah. Kemudian keluarkan
jaringan secepat mungkin dengan metode digital dan kuretase. Setelah itu, beri obat-
obat uterotonika dan antibiotik.
Pada abortus komplitus terapi hanya dengan uterotonika.
Pada Missed abortion diberikan obat dengan maksud agar terjadi his sehimgga
fetus dan desidua dapat dikeluarkan, kalau tidk berhasil lakukan dilatasi dan kuretase.
Hendaknya pada penderita juga diberikan uterotonika dan antibiotik.
Pada abortus infeksius bila perdarahan banyak, berikan transfuse darah dan
cairan yang cukup dan berikan antibiotik yang cukup dan tepat.
14
BAB III
Kehamilan Ektopik
3.1. Definisi
Beberapa faktor yang memicu peningkatan insiden terjadinya kehamilan ektopik : 7,8
-
Prevalensi infeksi tuba akibat penyakit menular seksual
-
Popularitas kontrasepsi yang memungkinkan terjadinya kegagalan sehingga
dapat menyebabkan kehamilan ektopik
-
Penggunaan teknik sterilisasi tuba meningkatkan kecenderungan kehamilan
ektopik
15
-
Penggunaan assisted reproductive techniques
-
Riwayat operasi tuba meliputi salpingotomi untuk kehamilan tuba dan
tuboplasty untuk infertilitas.
Partner seks yang berganti-ganti, usia dini saat melakukan hubungan seksual
pertama dan vaginal douching sering kali merupakan faktor risiko kehamilan ektopik.
Mekanisme kerja faktor risiko ini ialah secara tidak langsung dan merupakan penanda
bagi perkembangan penyakit seksual menular, ascending infection atau keduanya.8
16
2.3.1. Kehamilan tuba.
Ovum yang telah mengalami fertilisasi dapat tersangkut dalam saluran tuba
yang menyebabkan kehamilan tuba insterstial, isthmus, dan ampula. Bahkan pada
kasus yang jarang dapat terjadi implantasi pada fimbriated extremity. Tempat
implantasi paling sering pada kehamilan ektopik ialah ampula, diikuti oleh isthmus
ditempat kedua. Kehamilan interstitial hanya meliputi tiga persen dari gestasi tuba.7
Tuba mengandung sedikit lapisan mukosa, sehingga ovum yang telah dibuahi
akan masuk dalam epitelium dan tertanam dalam dinding muskular. Zigot ini
mengalami proliferasi membentuk trofoblas, melakukan invasi ke lapisan muskularis
terdekat. Pada saat bersamaan, pembuluh darah terbuka dan darah mengalir dalam
ruangan diantara trofoblas maupun ruangan antara trofoblas dan jaringan didekatnya.
Dinding tuba yang berbatasan dengan zigot memberikan resistensi ringan terhadap
invasi dari trofoblas. Embrio atau fetus dalam kehamilan ektopik ini sering kali
absent atau stunted.7
Pada ruptur intraperitoneal, hasil konsepsi akan dikeluarkan dari tuba disertai
dengan perdarahan sehingga sang ibu akan menunjukkan tanda hipovolemia.
17
Sebagian besar konseptuses ini diabsorbsi. Bila besar biasanya akan menetap dalam
cul de sac selama bertahun tahun dan membentuk masa berkapsul atau bahkan
mengalami kalsifikasi membentuk lithopedion.7
Terjadi bila fetus dikeluarkan saat terjadi ruptur, efek dari kehamilan akan
bervariasi tergantung pada luasnya trauma yang ditahan oleh plasenta. Bila plasenta
rusak maka fetus akan meninggal namun bila sebagian besar plasenta masih dalam
kondisi baik maka perkembangan lebih lanjut mungkin terjadi. Fetus akan bertahan
hidup untuk beberapa waktu dan menyebabkan terjadinya kehamilan abdominal. Pada
beberapa kasus sebagian dari plasenta tetap tertanam dalam dinding tuba dan tmbuh
dibalik tuba dan implant pada struktur yang mengelilinginya.7
Kehamilan ektopik dalam ovarium primer ini jarang terjadi dengan insiden
1/6000 hingga 1/40.000 kehamilan. Pada akhir-akhir ini dijumpai peningkatakan
kasus kehamilan ovarium karena meningkatnya insiden inflamasi pelvis, operasi
abdomen, endometriosis dan pemakaian intrauterine device. Kehamilan ini
disebabkan oleh fertilisasi yang terjadi diluar ovarium disertai dengan implantasi ke
dalam ovarium. Pemeriksaan ultrasonografi dan hCG mempermudah diagnosis
preoperatif kehamilan ektopik dalam ovarium. 12
3.4. Diagnosis
18
Gambaran klinis kehamilan tuba bervariasi dan tergantung apakah telah terjadi
ruptur. Gambaran awal dan tehnologi diagnostik yang lebih tepat telah
memungkinkan identifikasi sebelum ruptur terjadi. Biasanya, wanita tidak mengira
dirinya menderita kehamilan ektopik dan berpikir bahwa ia mengalami kehamilan
normal. Pada kenyataannya, gejala dan tanda kehamilan ektopik sering kali tidak jelas
atau tidak ada.7
Karena diagnosis dini sangat penting maka gejala dan pemeriksaan fisis pada pasien
kehamilan ektopik telah dicermati lebih dari dua dekade.7
-
Nyeri. Gejala ini paling sering berupa nyeri pelvis maupun abdominal dan
amenorrhea dengan beberapa derajat vaginal spotting atau perdarahan (60
hingga 80 persen) Gejala akan meningkat seiring dengan bertambahnya masa
gestasi. Saat ruptur, nyeri dapat terjadi di titik manapun dalam abdomen.
-
Kelainan menstruasi. Sebagian besar wanita amenorrhea, namun tidak pada
seperempat kasus –perdarahan uteri sering terjadi dengan kehamilan tuba pada
menstruasi yang sebenarnya. Perdarahan vagina profus lebih cenderung
merupakan tanda adanya aborsi incomplete daripada kehamilan ektopik.
19
-
Nyeri tekan abdominal dan pelvis. Nyeri tekan pada pemeriksaan abdomen
danvagina biasanya pada pergerakan serviks dijumpai pada lebih dari tiga
perempat kasus wanita dengan ruptur tuba. Namun nyeri tekan ini biasanya
tidak dijumpai sebelum ruptur.
-
Perubahan Uterus. Uterus akan terdesak ke satu sisi oleh masa ektopik, bila
ligamen terisi dengan darah maka sebagian besar uterus akan mengalami
penyimpangan letak. Pada 25% wanita dengan pembesaran uterus akibat
stimulasi hormon kehamilan.
-
Tekanan darah dan Nadi. Sebelum ruptur biasanya tanda vital dalam batas
normal. Respon awal terhadap perdarahan sedang dapat berupa tidak ada
perubahan dari tanda vital hingga sedikit peningkatan tekanan darah atau
respon vasovagal dengan bradikardi dan hipotensi.
20
-
Masa pelvis. Pada pemeriksaan bimanual, masa pelvis bervariasi ukuran dari 5
hingga 15 cm dapat dipalpasi pada 20% wanita. Massa biasanya terletak di
sebelah posterior atau lateral uterus dan biasanya bersifat lunak dan elastis.
Pemeriksaan Laboratorium 7
-
Hemogram. Pasca hemoragi, deplesi volume darah kembali normal melalui
hemodilusi setelah beberapa waktu. Namun pasca hemoragi substantif,
hemoglobin atau hematokrit pada saat pertama menunjukkan sedikit
penurunan. Kemudian pasca hemoragi akut maka penurunan hemogrobin dan
hematokrit menjadi bermakna. Pada setengah kasus kehamilan ektopik dengan
ruptur dapat dijumpai leukositosis hingga 30.000/l
-
Chorionic Gonadotropin Assay. Kehamilan ektopik tidak dapat didiagnosis
dengan hasil positif tes kehamilan sendiri. Pemeriksaan dengan ELISA cukup
sensitif terhadap kadar chorionic gonadotropin dari 10 hingga 20 mIU/mL dan
positif pada 99 persen kasus kehamilan ektopik.
-
Kadar Progesteron Serum. Pengukuran progesteron tunggal dapat digunakan
untuk menentukan adanya kehamilan normal dengan tingkat kepercayaan yang
tinggi. Nilai diatas 25ng/ml dapat digunakan untuk menyingkirkan
kemungkinan kehamilan ektopik dengan nilai sensitivitas mencapai 97,5%.
Pemeriksaan Pencitraan
-
Pencitraan ultrasound
o
Sonografi abdominal
o
Sonografi vaginal
Kecurigaan tinggi dan metode diagnostik yang up-to date sangat diperlukan
dalam identifikasi kehamilan ektopik. Gejala dan tanda klasik seperti nyeri abdomen
dan hipotensi berhubungan dengan kehamilan ektopik lanjut atau dengan ruptur yang
tidak dapat ditangani dengan terapi konservatif saja.13
21
atau lebih. Wanita dengan kadar setinggi itu tidak memerlukan evaluasi lanjut kecuali
dijumpai ada faktor risiko lainnya. 13
3.5. Penatalaksanaan
-
Anti D Immunoglobulin – wanita D_negatif dengan kehamilan ektopik ang
tidak disensitisasi oleh antigen D harus diberikan imunoglobulin anti D.7
-
Penatalaksanaan bedah
o
Salpingostomy digunakan untuk mengangkat kehamilan kecil yang
biasanya mempunyai panjang kurang dari 2 cm dan terletak pada
sepertiga distal dari tuba falopi. Insisi linear 10 hingga 15 mm dibuat
pada batas antimesenterik segera diatas kehamilan ektopik. Perdarahan
dikontrol dengan elektrokauter atau jarum. Prosedur ini biasanya
dilakukan dengan bantuan laparoskopi.
o
Salpingotomy merupakan prosedur seperti halnya salpingostomy
kecuali insisi ditutup dengan Vicryl 7-0 atau sutura yang serupa.
o
Salpingectomy . Reseksi tuba melalui laparoskopi operatif baik untuk
kehamilan ektopik dengan ruptur maupun tidak
o
Reseksi segmental dan Anastomosis. Reseksi dari masa ektopik dan
reanastomossis tuba biasanya digunakan untuk kehamilan isthmus
yang tidak ruptur karena salpongostomy dapat meniombulkan scarring
dan penyempitan lumen isthmus
o
Trofoblas persisten. Pasca salpingostomi, kadar -hCG biasanya
menurun drastis. Kehamilan ektopik persisten terjadi akibat
pengangkatan trofoblas yang tidak sempurna dan memberikan
komplikasi pada 5 hingga 20% salpingostomi. Jika hari pertama pasca
operasi kadar -hCG kurang dari 50% kadar pre-operatif, maka jarang
sekali trofoblas ektopik persisten menjadi masalah. Menurut Seiferm
risiko kehamilan ektopik persisten meningkat bila : 8,9
Kehamilan kecil, kurang dari 2 cm
Terapi awal sebelum 42 hari menstrual
Kadar -hCG yang lebih dari 3000 IU/ml
22
Implantasi medial dari tempat salpingostomi
-
Penatalaksanaan medis
o
Metotrexat sistemik. Obat anti neoplastik ini bekerja sebagai antagonis
anti asam folat dan cukup efektif terhadap trofoblas proliferatif.
Hemoragi intraabdominal aktif merupakan kontraindikasi kemoterapi.
Ukuran masa ektopik juga penting, rekomendasi Pisarka menyatakan
bahwa jika kehamilan lebih dari 4 cm maka metrotrexat tidak
direkomendasikan. 12
23
BAB IV
Kehamilan Mola
4.1 Definisi
4.1. Etiologi
4.2.Klasifikasi
24
Mola hidatidosa secara patologi terdiri atas 2 jenis yaitu
- 16
Mola hidatidosa lengkap (complete hydatidiform mole-CHM) Mola
hidatidosa lengkap biasanya diploid dengan kariotipe 46,XX dan bersifat
androgenetic origin. Sebagian besar CHM bersifat monospermik dengan
fertilisasi anuclear ovum oleh sperma haploid (23,X) kemudian mengalami
duplikasi kromosomnya sendiri. Sekiatr 20-25% CHM bersifat dispermik,
17
terjadi dari fertilisasi anuclear ovum dengan dua sperma. Struktur histologi
ditandai adanya :
o
Degenerasi hidrofik dan pembengkakan stroma villosa
o
Hilangnya pembuluh darah dalam villi yang membengkak
o
Proliferasi epitelium trofoblastik dalam berbagai derajat
o
Tidak adanya janin atau amnion 18
-
Mola hidatidosa parsial (partial hydatidiform mole – PHM). Sebaliknya, PHM
bersifat triploid dengan kelebihan serangkaian pola kromosom akibat
fertilisasi ovum normal dengan dua sperma.
Berbeda dengan CHM, pada PHM seringkali diagnosis ditegakkan setelah evakuasi
uterus saat terjadi aborsi spontan atau missed abortion. Risiko sekuele meligna jauh
lebih tinggi pada CHM (15-20%) dibandingkan dengan PHM (5%). Walaupun
demikian penatalaksanaan sama dan secara klinis dipertimbangkan dalam kategori
yang sama.16
25
Komplikasi medis Jarang Seringkali
Penyakit pasca mola Jarang 20%
Kurang dari 5-10%
Manifestasi klinis sebagian besar kehamilan mola telah bervariasi. Adanya ultrasound
transvaginal dan pemeriksaan hCG serum kuantitif telah banyak membantu
menegakkan diagnosis lebih dini. Beberapa manifestasi klinis meliputi : 15
1. Perdarahan. Perdarahan uterus hampir universal dan dapat bervariasi dari
spotting hingga perdarahan profus. Perdarahan biasanya tejadi sesaat sebelum
aborsi dan seringkali terjadi secara intermiten selama beberapa minggu bahkan
bulan. Efek dilusi dari hipervolemia juga dijumpai pada beberapa wanita
dengan mola yang lebih besar. Perlu dipertimbangkan pula kemungkinan
adanya perdarahan yang terselubung dalam uterus (concealed hemorrhage).
Anemia defisiensi besi merupakan manifestasi klinis yang sering ditemui,
kadang eritropoiesis megaloblastik yang merupakan bukti akan adanya intake
dari yang rendah diiringi dengan peningkatan kebutuhan tubuh akibat adanya
proliferasi trofoblast yang cepat. 16
2. Ukuran Uterus. Pertumbuhan uterus seringkali lebih cepat daripada biasanya
pada 50% kasus. Uterus sulit dinilai dengan tepat melalui palpasi
khususnya,wanita nulipara karena konsistensi lunak dibalik dinding
abdominal.18
3. Aktivitas Janin. Walaupun uterus mengalami pembesaran yang cukup hingga
mencapai bagian atas simfisis, akan tetapi tidak terdeteksi bunyi jantung janin.
4. Hipertensi dalam Kehamilan. Tampaknya ada hubungan antara preeklampsia
dan kehamilan mola yang bertahan hingga trisemester kedua. Karena
hipertensi dalam kehamilan jarang dijumpai sebelum 24 minggu, preeklampsia
yang terjadi sebelum saat ini setidaknya perlu dipertimbangkan kemungkinan
18
mola hidatidosa atau perubahan mola ekstensif. Preeklampsia pada
trisemester pertama atau awal trisemester kedua dapat dikatakan
patognomonik pada mola hidatidosa walaupun kasusnya hanya dijumpai pada
10-12% pasien dengan mola hidatidosa. 23
26
5. Hiperemesis. Nausea, muntah bermakna dapat terjadi pada mola hidatidosa.
6. Tirotoksikosis. Kadar tiroksin pada wanita dengan kehamilan mola seringkali
mengalami peningkatan akan tetapi hipertiroidism secara klinis biasanyanya
jarang. Amir dkk dan Curry dkk mengidentifikasi hipertiroid pada 2% kasus.
Peningkatan tiroksin plasma mungkin merupakan efek primer estrogen seperti
halnya pada kehamilan normal. Tiroksin bebas serum mengalami peningkatan
sebagai akibat pengaruh dari thyrotropin like effect of chorionic gonadotropin
dan variannya. 18
7. Embolisasi. Sejumlah trofoblast dengan atau tanpa stroma villous keluar dari
uterus melalui jalur vena saat evakuasi. Volume ini akan menyebabkan tanda
dan gejala emboli pulmonal dan bahkan menyebabkan keadaan pasien menjadi
fatal walaupun kefatalan ini jarang dijumpai. Beberapa klinisi mempercayai
bahwa induksi sebelum evakuasi mola hidatidosa meningkatkan risiko
embolisasi trofoblast atau persistent trophoblastic disease. 18
4.4. Diagnosis
1. Gambaran Klinis
-
Perdarahan pervaginam/gelembung mola
-
Gejala toksemia pada trisemester I-II
-
Hiperemesis gravidarum
-
Tirotoksikosis
-
Emboli paru 24
2. Pemeriksaan fisik
-
Umumnya uterus lebih besar dari usia kehamilan
-
Kista lutein
-
Balotemen negatif
-
Denyut jantung janin negatif 24
3. Pemeriksaan Penunjang
Di pusat kesehatan yang memiliki ultrasound, karakteristik gambaran pola
mola vesikular pada CHM seringkali teridentifikasi pada trisemester pertama sebelum
vaginal spotting atau the passage of macroscopic vesicles. Tidak ada bukti yang
menunjukkan adanya janin.28
27
Semua penyakit trofoblastik gestasional menyebabkan peningkatan human
chorionic gonadotropin (hCG) yang dapat diukur nilainya baik pada serum maupun
urin. Kadar hCG serum merupakan indikator sensitif untuk menilai perjalanan
penyakit meliputi respon penatalaksanaan dan deteksi adanya tumor maupun relaps.21
Pada umumnya kadar hCG kehamilan mola memiliki nilai > 100.000 mIU/ml
dan nilai ini sangat kontras dengan kadar hCG pada kehamilan normal (< 60.000
mIU/ml).23 Jumlah hCG dalam serum atau diekskresikan dalam urin berhubungan
dengan jumlah sel tumor. Studi melaporkan bahwa satu sel tumor menghasilkan hCG
sekitar 5x10-5 sampai 5x10-4 IU dalam 24 jam. Jika pasien mengeksresikan hCG
sekitar 106 IU / 24 jam maka diperkirakan ada sekitar 1011 sel tumor yang viable.23
Manfaat dan kemaknaan pemeriksaan gonadotropin ini sangat tegantung pada
kadar β-hCG pasien dan sensitivitas pemeriksaan. Bioassay atau radioimmunoassay
yang lebih sensitif akan mempertimbangkan range pituitari basal.23
Diagnosis dini mola parsial lebih rumit dan sulit walaupun ultrasound dapat
memberikan gambaran ruang kistik fokal pada plasenta dan peningkatan diameter
transversal sakus gestasional. Janin kadang dapat terlihat pada gestasi lanjut.15
28
Pada pemeriksaan dalam pada pasien mola hidatidosa perlu dipastikan besar
uterusnya, uterus terasa lembek, tidak ada bagian bagian janin, nilai perdarahan dan
jaringan dalam kanalis servikalis dan vagina serta evaluasi serviks. 20
Reaksi kehamilan karena kadar hCG yang tinggi maka uji biologi dan uji
imunologi (Galli Mainini dan planotest) akan positif setelah titrasi :
-
Galli Mainini 1/300 (+) maka menjadi dasar suspek mola hidatidosa
-
Galli Mainini 1/200 (+), kemungkinan mola hidatidosa atau hamil kembar.
Bahkan pada mola atau koriokarsinoma uji biologik atau imunologi cairan
20
serebrospinal dapat menjadi positif
Uji sonde dapat dilakukan; sonde dimasukkan pelan pelan dan hati hati dalam
kanalis servikalis dan kavum uteri. Bila tidak ada tahanan, sonde diputar setelah
ditarik sedikit, bila tetap tidak ada tahanan kemungkinan mola (cara Acosta-Sison).7
Pada beberapa kasus vesikel hidatid yang menyerupai anggur dapat keluar
sebelum mola diangkat melalui operasi atau abortus spontaneus. Ekspulsi spontan ini
seringkali terjadi pada minggu ke 16 dan jarang sekali setelah minggu ke 28.
Perdarahan persisten dan pembesaran uterus lebih dari ukuran yang seharusnya
membangkitkan kecurigaan akan adanya kehamilan molar. Pertimbangan akan
kesalahan data mestrual atau kemungkinan pembesaran uterus oleh mioma,
hidramnion dan kehamilan kembar perlu dipikirkan lebih dahulu. Pemeriksaan
ultrasound memberikan akurasi cukup tinggi. Singkatnya, gambaran klinis dan
18
diagnostik dari mola hidatidosa lengkap meliputi :
-
Duh berdarah (bloody discharge) terus menerus selama sekitar 12 minggu,
biasanya tidak profuse dan seringkali berwarna coklat daripada merah.
-
Pembesaran uterus diluar proporsi terhadap durasi kehamilan (50% kasus)
-
Tidak adanya bukti janin atau bunyi jantung janin walaupun uterus terus
membesar hingga mencapai tingkat umbilikus atau lebih tinggi.
-
Gambaran pemeriksaan ultrasound
-
Kadar hCG yang lebih tinggi daripada kadar normal hCG pada kehamilan
yang sesuai stadium gestasinya.
-
Preeklampsia dan eklampsia yang terjadi sebelum 24 minggu
-
Hiperemesis gravidarum 18
29
4.5. Diagnosis Banding
-
Abortus
-
Kehamilan normal
-
Kehamilan ganda
-
Kehamilan dengan mioma 26
4.6. Penatalaksanaan
30
Evakuasi dengan kuret hisap (suction evacuation) dilanjutkan dengan kuret
tajam (setelah dilakukan dilatasi serviks dengan laminaria/Hegar). Bila kehamilan
memperlihatkan tinggi fundus uteri >20 minggu maka dilakukan kuretase kedua
sesudah hari ke 7. 26
Metode evakuasi lain dari mola melalui induksi persalinan dengan oksitosin
atau prostaglandin atau histerotomi tidak lagi digunakan di sejumlah pusat kesehatan,
16,23
karena potensi risiko terjadinya perdarahan dan sekuele keganasan cukup tinggi
Banyak klinisi merasakan bahwa induksi persalinan ini tidak banyak memberikan
manfaat dalam penatalaksanaan mola hidatidosa. 5 Metode ini memberika risiko
diseminasi trofoblas dan risiko sekuele maligna yang tinggi seperti dibuktikan oleh
Tow dkk di Singapura. 16
31
Pasien mola hidatidosa menjalani perawatan selama 3-5 hari post evakuasi
dengan masa pemulihan 4-6 minggu dan pengawasan lanjut minimal dua tahun.
Pasien dinyatakan sembuh bila kadar hCG telah mencapai nilai normal atau dibawah
5 mlU/ml, akan tetapi kemungkinan keganasan belum dapat disingkirkan.26
Kemoterapi profilaksis
Kemoterapi perlu dipertimbangkan karena efek sitotoksik yang dapat memicu
kematian akibat rutinitas pemakaiannya sebagai profilaksis. Walaupun demikian perlu
dipertimbangkan manfaat yang dapat diambil. Kemoterapi profilaksis perlu
dipertimbangkan pada kasus :
-
Jika hCG tidak menjadi negatif dalam waktu yang ditentukan (4-6 minggu)
atau kadar eksresi lebih dari 40.000 IU/24 jam pada 4-6 minggu
-
Adanya bukti metastasis tanpa memandang kadar hCG
-
Bila sekuele maligna lebih tinggi dengan adanya faktor risiko dan tidak ada
fasilitas tindak lanjut sesuai yang tersedia
32
Pemberian metotreksat parenteral dengan asam folat akan memberikan toksisitas yang
sangat kecil. Walaupun demikian, akhir-akhir ini penelitian lain menunjukkan bahwa
pemberian kemoterapi profilaksis pada mola risiko tinggi menyebabkan penurunan
bermakna insiden GTD pasca molar tetapi tidak menyebabkan eliminasi GTD.16
Mengingat GTD pasca mola dapat didiagnosis dini pada pemeriksaan hCG
reguler maka tampaknya kemoterapi profilaksis dapat diberikan pada pasien tertentu
yang tidak dapat menjalani tindak lanjut pasca evakuasi mola (khususnya berisiko
tinggi) atau bila tidak tersedia pemeriksaan hCG sensitif di tempat di sekitar pasien.16
BAB V
33
Kesimpulan
Perdarahan trimester pertama hingga saat ini merupakan salah satu keluhan
yang membawa pasien obstetri datang berobat ke unit gawat darurat.
Daftar Pustaka
34
1. Yoseph. Perdarahan Selama Kehamilan. Cermin Dunia Kedokteran 1996;
112:32-5
2. Vardhan S, Bhattacharyya TK, Kochar SPS, Sodhi B. Bleeding in Early
Pregnancy. MJAFI 2007;53:64-66
3. Schauberger CW, Mathiason MA, Rooney BL. Ultrasound Assessment of
First Trimester Bleeding. Obstet Gynecol 2005;105:333-8
4. Dogra V, Paspulati RM, Bhatt S. First Trimester Bleeding Evaluation.
Ultrasoundd Quaterly 2005;21(2):69-82
5. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Gilstrap LC, Wenstrom
KD. Williams Obstetrics. Edisi ke22. New York: McGraw-Hill.2005.h.231-
52
6. Jones DC. Bleeding in Pregnancy. Dalam : Benrubi GI, penyunting.
Handbook of Obstetric and Gynecologic Emergencies. Philadelphia:
Lippincott Williams& Wilkins.2005.h.114-8
7. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL,Hauth JC, Gilstrap LC, Wenstrom
KD. Williams Obstetrics . Edisi 22. New York : McGraw Hill. 2005.h.253-63
8. Tenore JL. Ectopic Pregnancy. American Family Physcian 2000;61:1080-8
9. Egger M, Low N, Smith GD, Lindblom B, Herrmann B. Screening for
Chlamydial Infection and The Risk of Ectopic Pregnancy in a County in
Sweden : Ecological Analysis. BMJ 1998;316:1776-80
10. Thonneau P, Hijazi Y, Goyaux N, Calvez T, Keita N. Ectopic Pregnancy in
Conakry, Guinea. Bulletin of the World Health Organization 2002;80:365-
370
11. Hieu DT, Luong TT. The Reate of Ectopic Pregnancy for 24,589 Quinacrine
Sterilization (QS) Users Compared to Users of Other Methods and No
Method in 4 provinces in Vietnam, 1994-1996. International Journal of
Gynecology and Obstetrics 2003;2:S35-43
12. Phupong V, Ultchaswadi P. Primary Ovarian Pregnancy. J Med Assoc Thai
2005; 88(4):527-9
13. Lipscomb GH. Stovall T, Ling FW. Non Surgical Treatment of Ectopic
Pregnancy. N Eng J Med 2000;343:1325-28
14. Feltmare CM, Batorfi J, Fulop V, Goldstein DP, Doszpod J, Berkowitz RS.
Human Chorionic Gonadotropin Follow up in Patients with Molar
35
Pregnancy: A Time for Reevaluation. Obstetrics & Gynecology
2003;101(4):732-6
15. Gerulath AH, Ehlen TG, Bessette P, Jolicoeur L, Savoie R. Gestational
Trophoblastic Disease. J Obstet Gynecol Can 2002;24(5):434-9
16. Ilancheran A. Optimal Treatment in Gestational Trophoblastic Disease. Ann
Acad Med Singapore 1998;27:698-704
17. Pongcharoen S. Hydatidiform Mole Pregnancy : Genetics and Immunology.
Siriraj Hosp Gaz 2004;56(7):382-7
18. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstrom
KD. Williams Obstetrics. Edisi ke-21. New York : McGraw-Hill.2001.h.836-
42
19. Shozu M, Akimoto K, Kasai T, Inoue M, Michikura Y. Hydatidiform Moles
Associated with Multiple Gestations After Assisted Reproduction ; A
Diagnosis By Analysis of DNA fingerprint. Molecular Human Reproduction
1998;4(9):877-80
20. Mochtar R, Lutan D. Sinopsis Obstetri : Obstetri Fisiologi, Obstetri patologi.
Jilid 1 Edisi 2. Jakarta:EGC.h.238-41
36