Anda di halaman 1dari 13

Referat

Karsinoma
Serviks

Pembimbing

Penyusun

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kebidanan dan Kandungan


Rumah Sakit Umum Daerah Karawang
Periode 2009
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
Jakarta

1
LEMBAR PERSETUJUAN
Referat Karsinoma Serviks
telah diterima dan disetujui oleh pembimbing
pada tanggal
sebagai salah satu syarat menyelesaikan
kepaniteraan klinik Ilmu Kebidanan dan Kandungan
di RSUD Karawang Periode 2009

Karawang, Oktober 2009

dr., SpOG

2
Pendahuluan

Karsinoma serviks merupakan penyebab kematian utama kanker pada wanita


di negara-negara sedang berkembang.1

Setiap tahun diperkirakan terdapat 500.000 kasus karsinoma serviks baru di


seluruh dunia, 77 % di antaranya ada di negara-negara sedang berkembang. Di
Indonesia diperkirakan sekitar 90-100 kanker baru di antara 100.000 penduduk
pertahunnya, atau sekitar 180.000 kasus baru pertahun, dengan karsinoma serviks
menempati urutan pertama di antara kanker pada wanita. 1 Insidens karsinoma serviks
meningkat sejak usia 25-34 tahun dan menunjukkan puncaknya pada usia 35-44 tahun
di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Ciptomangunkusumo, dan 45-54 tahun di
Indonesia Laporan FIGO pada tahun 1998 menunjukkan kelompok usia 30-39 tahun
dan 60-69 tahun terbagi sama banyaknya.1,2

Lebih dari separuh penderita karsinoma serviks berada dalam stadium lanjut
yang memerlukan fasilitas khusus untuk pengobatan seperti peralatan radioterapi yang
hanya tersedia di beberapa kota besar saja. Di samping mahal, pengobatan terhadap
kanker stadium lanjut memberikan hasil yang tidak memuaskan dengan harapan hidup
5 tahun yang rendah.

Mengingat beratnya akibat yang ditimbulkan oleh karsinoma serviks


dipandang dari segi harapan hidup, lamanya penderitaan, serta tingginya biaya
pengobatan, sudah sepatutnya apabila kita memberikan perhatian yang lebih besar
mengenai latar belakang dari penyakit yang sudah terlalu banyak meminta korban itu,
dan segala aspek yang berkaitan dengan penyakit tersebut serta upaya-upaya preventif
yang dapat dilakukan.

Faktor Risiko
Studi epidemiologik menunjukkan bahwa faktor-faktor risiko terjadinya
karsinoma serviks meliputi hubungan seksual pada usia dini (<20 tahun), berganti-
ganti pasangan seksual, merokok, trauma kronis pada serviks uteri dan higiene
genitalia.1
1. Perilaku seksual. Banyak faktor yang disebut-sebut mempengaruhi terjadinya
karsinoma serviks. Telaah pada berbagai penelitian epidemiologi
menunjukkan bahwa golongan wanita yang mulai melakukan hubungan
seksual pada usia < 20 tahun atau mempunyai pasangan seksual yang berganti-
ganti lebih berisiko untuk menderita karsinoma serviks. Tinjauan kepustakaan

3
mengenaietiologi kanker leher rahim menunjukkan bahwa faktor risiko lain
yang penting adalah hubungan seksual suami dengan wanita tuna susila
(WTS) dan dari sumber itu membawa penyebab kanker (karsinogen) kepada
isterinya. Data epidemiologi yang tersusun sampai akhir abad 20, menyingkap
kemungkinan adanya hubungan antara kanker serviks dengan agen yang dapat
menimbulkan infeksi. Karsinogen ini bekerja di daerah transformasi,
menghasilkan suatu gradasi kelainan permulaan keganasan, dan paling
berbahaya bila terpapar dalam waktu 10 tahun setelah menarche.
Keterlibatan peranan pria terlihat dari adanya kolerasi antara kejadian
karsinoma serviks dengan kanker penis di wilayah tertentu. Lebih jauh
meningkatnya kejadian tumor pada wanita monogami yang suaminya sering
berhubungan seksual dengan banyak wanita lain menimbulkan konsep “Pria
Berisiko Tinggi” sebagaivektor dari agen yang dapat menimbulkan infeksi.
Banyak penyebab yang dapat menimbulkan karsinoma serviks,tetapi penyakit
ini sebaiknya digolongkan ke dalampenyakit akibat hubungan seksual (PHS).
Penyakit kelamin dan keganasan serviks keduanya saling berkaitan secara
bebas, dan diduga terdapat korelasi non-kausal antara beberapa penyakit
akibat hubungan seksual dengan karsinoma serviks.
2. Kontrasepsi. Kondom dan diafragma dapat memberikan perlindungan.
Kontrasepsi oral yang dipakai dalam jangka panjang yaitu lebih dari 5 tahun
dapat meningkatkan risiko relatif 1,53 kali. WHO melaporkan risiko relatif
pada pemakaian kontrasepsi oral sebesar 1,19 kali dan meningkat sesuai
dengan lamanya pemakaian.
3. MerokokTembakau mengandung bahan-bahan karsinogen baikyang dihisap
sebagai rokok/sigaret atau dikunyah. Asap rokokmenghasilkan polycyclic
aromatic hydrocarbon heterocyclic nitrosamines. Pada wanita perokok
konsentrasi nikotin pada getah serviks 56 kali lebih tinggi dibandingkan di
dalam serum.Efek langsung bahan-bahan tersebut pada serviks adalah
menurunkan status imun lokal sehingga dapat menjadi kokarsinogen infeksi
virus.
4. Nutrisi. Banyak sayur dan buah mengandung bahan-bahan antioksidan dan
berkhasiat mencegah kanker misalnya advokat,brokoli, kol, wortel, jeruk,
anggur, bawang, bayam, tomat.Dari beberapa penelitian ternyata defisiensi
asam folat (folic acid), vitamin C, vitamin E, beta karoten/retinol dihubungkan
dengan peningkatan risiko karsinoma serviks. Vitamin E, vitamin C dan beta
karoten mempunyai khasiat antioksidan yang kuat. Antioksidan dapat
melindungi DNA/RNA terhadap pengaruh buruk radikal bebas yang terbentuk

4
akibat oksidasi karsinogen bahan kimia. Vitamin E banyak terdapat dalam
minyak nabati (kedelai, jagung, biji-bijian dan kacang-kacangan). Vitamin C
banyak terdapat dalam sayur-sayuran dan buah-buahan.

Etiologi
Infeksi bakteri, protozoa,dan jamur ternyata tidak potensial onkogenik
sehingga penelitian lebih difokuskan pada virus sebagai penyebab yang penting.
Tidak semua virus dikatakan onkogenik, tetapi paling tidak, dikenal kurang lebih 150
juta jenis virus yang diduga memegang peranan atas kejadian kanker pada binatang,
dan sepertiga di antaranya adalah golongan virus DNA.

Pada proses karsinogenesis asam nukleat virus tersebut dapat bersatu ke dalam
gen dan DNA sel tuan rumah sehingga menyebabkan terjadinya mutasi sel.

1. Herpes Simpleks Virus (HSV) tipe 2. Pada awal tahun 1970 virus herpes
simpleks tipe 2 merupakan virus yang paling banyak didiskusikan sebagai
penyebab timbulnya karsinoma serviks; tetapi saat ini tidak ada bukti yang
menunjukkan bahwa virus ini berperan besar, oleh karena itu diduga hanya
sebagai ko-faktor atau dapat dianggap sama dengan karsinogen kimia atau
fisik.
2. Human papillomavirus (HPV). Sejak 15 tahun yang lalu, virus HPV ini telah
banyak diperbincangkan sebagai salah satu agen yang berperan. HPV adalah
anggota famili Papovirida.Saat ini telah diidentifikasi sekitar 70 tipe HPV dan
mungkin akan lebih banyak lagi di masa mendatang. Masing-masing tipe
mempunyai sifat tertentu pada kerusakan epitel dan perubahan morfologi lesi
yang ditimbulkan. Ada 3 golongan tipe HPV dalam hubungannya dengan
karsinoma serviks, yaitu :
o HPV risiko rendah, yaitu HPV tipe 6 dan 11, 46 jarang
ditemukan pada karsinoma invasif;
o HPV risiko sedang, yaitu HPV 33, 35, 40, 43, 51, 56, dan 58;
o HPV risiko tinggi, yaitu HPV tipe 16, 18, 31.

Keterlibatan HPV pada kejadian karsinoma dilandasi oleh beberapa faktor,


yaitu :
o Timbulnya keganasan pada hewan yang diinduksi virus papilloma;
o Dalam pengamatan, tampak perkembangan menjadi karsinoma pada
kondiloma akuminata;
o Pada studi epidemiologik infeksi HPV ditemukan angka kejadian
karsinoma serviks yang meningkat;

5
o DNA HPV sering ditemukan pada LIS (lesi intraepitel serviks)

Walaupun terdapat hubungan yang erat antara HPV dan karsinoma


serviks, tetapi belum ada bukti-bukti yang mendukung bahwa HPV adalah
penyebab tunggal. Perubahan keganasan dari epitel normal membutuhkan
faktor lain, hal ini didukung oleh berbagai pengamatan, yaitu
o perkembangan suatu infeksi HPV untuk menjadi karsinoma serviks
berlangsung lambat dan membutuhkan waktu lama;
o survei epidemiologi menunjukkan prevalensi infeksi HPV adalah 10-
30 %, sedangkan risiko wanita mendapatkan karsinoma serviks < 1 %;
o penyakit karsinoma adalah monoklonal yang berkembang dari satu sel.

Oleh karena itu, hanya satu atau beberapa saja dari sel-sel epitel yang
terinfeksi HPV mampu lepas dari kontrol pertumbuhan sel normal.

Patofisiologi
Epitel serviks terdiri dari 2 jenis, yaitu epitel skuamosa dan epitel kolumnar;
kedua epitel tersebut dibatasi oleh sambungan skuamosa-kolumnar (SSK) yang
letaknya tergantung pada umur, aktivitas seksual dan paritas. Pada wanita dengan
aktivitas seksual tinggi, SSK terletak di ostium eksternum karena trauma atau retraksi
otot oleh prostaglandin.

Pada masa kehidupan wanita terjadi perubahan fisiologis pada epitel serviks;
epitel kolumnar akan digantikan oleh epitel skuamosa yang diduga berasal dari
cadangan epitel kolumnar. Proses pergantian epitel kolumnar menjadi epitel skuamosa
disebut proses metaplasia dan terjadi akibat pengaruh pH vagina yang rendah.
Aktivitas metaplasia yang tinggi sering dijumpai pada masa pubertas. Akibat proses
metaplasia ini maka secara morfogenetik terdapat 2 SSK, yaitu SSK asli dan SSK
baru yang menjadi tempat pertemuan antara epitel skuamosa baru dengan epitel
kolumnar. Daerah di antara kedua SSK ini disebut daerah transformasi.

Proses terjadinya karsinoma serviks sangat erat hubungannya dengan proses


metaplasia. Masuknya mutagen atau bahan-bahan yang dapat mengubah perangai sel
secara genetik pada saat fase aktif metaplasia dapat menimbulkan sel-sel yang
berpotensi ganas. Perubahan ini biasanya terjadi di SSK atau daerah transformasi.
Mutagen tersebut berasal dari agen-agen yang ditularkan secara hubungan seksual dan
diduga bahwa human papilloma virus (HPV) memegang peranan penting. Sel yang
mengalami mutasi tersebut dapat berkembang menjadi sel displastik sehingga terjadi

6
kelainan epitel yang disebut displasia. Dimulai dari displasia ringan, displasia sedang,
displasia berat dan karsinoma in-situ dan kemudian berkembang menjadi karsinoma
invasif. Tingkat displasia dan karsinoma in-situ dikenal juga sebagai tingkat pra-
kanker.

Displasia mencakup pengertian berbagai gangguan maturasi epitel skuamosa


yang secara sitologik dan histologik berbeda dari epitel normal, tetapi tidak memenuhi
persyaratan sel karsinoma. Perbedaan derajat displasia didasarkan atas tebal epitel
yang mengalami kelainan dan berat ringannya kelainan pada sel. Sedangkan
karsinoma in-situ adalah gangguan maturasi epitel skuamosa yang menyerupai
karsinoma invasif tetapi membrana basalis masih utuh.

Manifestasi Klinis
Sebelum terjadinya kanker, akan didahului oleh keadaan yang disebut lesi
prakanker atau neoplasia intraepitel serviks. Sebagian besar lesi prakanker tidak
menimbulkan gejala seperti terlihat pada data dari the Leiden Cytology and Pathology
Laboratory pada 1975-1976 (tabel 3) , sedang data Boon dan Suurmeijer pada tahun
1985 menunjukkan 92% tidak ada gejala sama sekali dan kalaupun ada berupa:
perdarahan sesudah bersanggama, perdarahan di luar masa haid, perdarahan pada
pascamenopause, keluar cairan dari vagina berwarna kemerahan, rasa berat di perut
bawah dan rasa kering di vagina.

Tabel 3. Data gejala lesi prekanker the Leiden Cytology and Pathology Laboratory

Bila sudah terjadi kanker maka akan timbul gejala yang sesuai dengan tingkat
penyakitnya yaitu dapat lokal atau tersebar. Gejala yang timbul dapat berupa
perdarahan sesudah bersanggama (seksual aktif), atau dapat juga terjadi perdarahan di
luar masa haid, pascamenopause. Bila tumornya besar dapat terjadi infeksi dan
menimbulkan cairan berbau yang mengalir keluar dari vagina. Bila penyakitnya sudah
lanjut maka akan timbul nyeri panggul, gejala yang berkaitan dengan kandung kemih
dan usus besar.

7
Gejala lain yang ditimbulkan dapat berupa gangguan organ yang terkena
misalnya otak (nyeri kepala, gangguan kesadaran), paru (sesak atau batuk darah),
tulang (nyeri atau patah tulang), hati (nyeri perut kanan atas, kuning atau
pembengkakan) dan lain-lain.

Diagnosis
Tes Pap bermanfaat untuk menapis kanker ini pada stadium prakanker dan
kemudian dikonfirmasi dengan pemeriksaan biopsi jaringan dengan atau tanpa alat
bantu seperti kolposkopi. Sedang pada yang invasif selain pemeriksaan fisik dan
biopsi juga perlu periksaan penunjang lainnya seperti sistoskopi (buli-buli),
rektoskopi (rektum), foto paru, ginjal, USG dan tambahan CT-scan atau MRI.

Pemeriksaan MRI bermanfaat untuk menentukan ukuran tumor, derajat


penetrasi stromal, keterlibatan corpus uteri, penyebaran parametrial dan status nodus
limfe termasuk penyebaran ke struktur didekatnya (misal kandung kemih dan
rektum). 2

Gambar 3. Pemeriksaan serviks dengan menggunakan spekulum

8
Karsinoma serviks di”staging” berdasarkan sistem staging FIGO (Federation
Internationale des Gynaecologistes et Obstetristes) yang pada awalnya berdasarkan
sistem yang dikembangkan oleh Radiological Sub-Commission of the Cancer
Commission of the Health Organisation of the League of Nations. Staging FIGO
sangat mempengaruhi pengambilan keputusan tatalaksana. 2

9
Penatalaksanaan
Wanita yang didiagnosis dengan karsinoma servikal invasif harus ditangani
secara multidisplin yang melibatkan onkologi ginekologi, onkologi radiasi dan
patologi. Penilaian awal meliputi penyebaran dan staging penyakit merupakan
langkah penting untuk mempertimbangkan penatalaksanaan sesuai dengan
stadiumnya. Karsinoma serviks diklasifikasikan menurut sistem staging FIGO
(Federation Internationale des Gynaecologistes et Obstetristes)yang berdasarkan
sistem yang dikembangkan oleh Radiological Sub-Commission of the Cancer
Commission of the Health Organisation of the League of Nations. Untuk lesi yang
mikroinvasif, staging berdasarkan pada dimensi dari komponen invasifnya.

Gambar 4. Luasnya penyebaran keganasan menurut stadium FIGO

Pengobatan prakanker atau kanker tergantung dari tingkat penyakitnya. Pada


prakanker pengobatan dari sekadar destruksi lokal misalnya kauterisasi sampai
dengan pengangkatan rahim sederhana (histerektomia) sedangkan pada kanker invasif
umumnya pengobatan adalah operasi, radiasi, kemoterapi atau kombinasi.

10
Pada karsinoma serviks awal dapat ditatalaksana dengan tindakan bedah atau
radiasi dengan efikasi yang sama, walaupun tindakan bedah memungkinkan untuk
mencegah penyebaran penyakit tetapi dapat mempersingkat komplikasi bowel,
kandung kemih dan vagina jangka pnajng dan memungkinkan pemeliharaan fungsi
ovarium. Penyakit mikroinvasif (<3 mm kedalaman invasi tanpa invasi ruang vaskular
limfe) dapat ditatalaksana dengan histerektomi sederhana atau dengan cone biopsy
jika dimungkinkan. Pada karsinoma invasif kurang dari 5 mm invasi stromal servikal,
penilaian bedah pada nodus limfe pelvis perlu dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinana metastasis. Pada stadium Ia , angka harapan hidup lima tahun
mencapai sempurna yaitu 95%. (gambar 5)

Gambar 5. Angka harapan hidup pasien karsinoma serviks berdasarkan stadium FIGO

Perkembangan Tatalaksana Karsinoma Serviks


1. Trachelectomy radikal. Salah satu kemajuan penting akhir akhir ini ialah
perkembangan pemeliharaan fertilitas pada wanita dengan karsinoma serviks
dini. Trachelectomy radikal meliputi deseksi nodus limfe pelvis dapat
dilakukan melalui rute laparoskopik, pengangkatan radikal vagina atas dan
sebagian besar serviks dan parametrium tetapi tetap menjaga preservasi uterus.
2. Pendekatan bedah terbaru. Tindakan bedah invasif minimal juga memberi
manfaat kosmetik dan waktu penyembuhan yang lebih singkat bagi pasien.
Pendekatan laparoskopi terhadap bedah kanker radikal sedang dalam
perkembangan dengan tingkat efikasi dan keamanan pendekatan yang
bervariasi. Limfadenektomi pelvis dan para-aortik laparoskopik telah
dilakukan melalui pendekatan transperitoneal atau ekstraperitoneal dan

11
berhasil dilakukan dengan aman di tangan pada ahli yang berpengalaman. Hal
ini memungkinkan perkembangan pendekatan alternatif terhadap histerektomi
radikal seperti histerektomi vaginal radikal dan histerektomi radikal
laparoskopi.

Penatalaksanaan penyakit lanjut dan rekuren


Wanita penderita karsinoma serviks dengan metastasis jauh (FIGO stadium
IV) memerlukan tatalaksana paliatif. Kemoterapi hanya dipertimbangkan untuk
kendali gejala saja. Sebagian besar wanita dengan penyakit rekuren juga melakukan
hal yang sama dalam kurun waktu 2 tahun sejak diagnosis ditegakkan dan dengan
prognosis yang jelek dimana sebagian besar pasien akan meninggal akibat penyakit
yang tak terkendali. Kondisi yang tidak terkontrol ini dapat memicu nyeri neuropatik,
fistula dan gagal ginjal.

Pencegahan
Berbagai upaya penelitian telah banyak menghasilkan pengetahuan tentang
penyakit kanker. Dewasa ini WHO menyatakan bahwa sepertiga dari seluruh kanker
sebenarnya dapat dicegah, sepertiga dapat disembuhkan dan pada sepertiga lagi
sisanya pasien dapat dibebaskan dari rasa nyeri jika dapat diberikan obat yang tersedia
untuk itu. Mencegah timbulnya kanker merupakan satu upaya penting dalam kegiatan
penanggulangan kanker karena dapat berdampak positif terhadap penggalangan
sumber daya manusia yang sehat dan produktif serta perbaikan keadaan sosial
ekonominya.

Pencegahan kanker didefinisikan sebagai pengidentifikasian faktor-faktor


yang menyebabkan timbulnya kanker pada manusia dan membuat sebab-sebab ini
tidak efektif dengan cara-cara apapun yang mungkin. Pencegahan kanker ini dapat
bersifat primer atau sekunder.

Pencegahan primer merujuk pada kegiatan/langkah yang dapat dilakukan oleh


setiap orang untuk menghindarkan diri dari faktor-faktor yang dapat menyebabkan
tumbuhnya kanker. Sedangkan pencegahan sekunder merupakan istilah yang lebih
umum dipakai oleh para petugas kesehatan yang berminat dalam penelitian
pnanggulangan kanker. Penerapannya pada pengidentifikasian kelompok populasi
berisiko tinggi terhadap kanker, skrining populasi tertentu, deteksi dini kanker pada
individu tanpa gejala (asimtomatik) dan pengubahan perilaku manusia. Masyarakat
awam dan masyarakat profesi kedua-duanya terlibat dalam kegiatan pencegahan dini.

12
Daftar Pustaka

1. Pecorelli S. Revised FIGO staging for carcinoma of the vulva, cervix, and
endometrium. International Journal of Gynecology and Obstetrics 2009;105:103-
104
2. Toita T, Kodaira T, Uno T, Shinoda A, Akino Y, Mitsumori M.Patterns of
Pretreatment Diagnostic Assessment and Staging for Patients with Cervical
Cancer (1999–2001): Patterns of Care Study in Japan. Jpn J Clin Oncol 2007
3. Blomfield P. Management of cervical cancer. Australian Family Physician
2007;36(3):
4. Mivaljeviae M, Vujov T, Nineiae D, Mandiae A, Zikice D Mastiloviae K.
Microinvasive carcinoma of the cervix. Arch Oncol 2004;12(3):142-4.
5. Farnsworth A, Mitchell HS. Prevention of cervical cancer. MJA 2003; 178: 653–
654
6. Narayan K. Arguments for a magnetic resonance imaging assisted FIGO staging
system for cervical cancer. Int J Gynecol Cancer 2005;15:573–82.
7. Landoni F, Maneo A, Colombo A, et al. Randomised study of radical surgery
versus radiotherapy for stage Ib-IIa cervical cancer. Lancet 1997;350:535–40.
8. Rose PG, Bundy BN, Watkins EB, et al. Concurrent cisplatin based radiotherapy
and chemotherapy for locally advanced cervical cancer. N Engl J Med
1999;340:1144–53. Erratum in: N Engl J Med 1999;341:708.
9. Morris M, Eifel PJ, Lu J, et al. Pelvic radiation with concurrent chemotherapy
compared with pelvic and para-aortic radiation for high risk cervical cancer. N
Engl J Med 1999;340:1137–43.
10. Whitney CW, Sause W, Bundy BN, et al. Randomised comparison of fluorouracil
plus cisplatin versus hydroxyurea as an adjunct to radiation therapy in stage IIB–
IVA carcinoma of the cervix with negative para-aortic lymph nodes: a
Gynecologic Oncology Group and Southwest Oncology Group study. J Clin Oncol
1999;17:1339–48.
11. Grant P. Radical trachelectomy. Aust N Z J Obstet Gynaecol 2006;46:372–4.
12. Querleu D, Leblanc E, Carton G, Narducci F, Ferron G, Martel P. Audit of
preoperative and early complications of laparoscopic lymph node dissection in
1000 gynaecological cancer patients. Am J Obstet Gynecol 2006;195:1287–92.
13. Lai CH, Huang KG, Hong JH, et al. Randomised trial of surgical staging
(extraperitoneal or laparoscopic) versus clinical staging in locally advanced
cervical cancer. Gynecol Oncol 2003;89:160–7.
14. Quinn M, Benedet J, Odicino F, et al. Carcinoma of the cervix uteri. Int J Gynaecol
Obstet 2006;(Suppl 1)95:S43–1
15. Dickinson J. Cervical screening: time to change the policy. MJA 2002; 176: 547–
550
16. Sawaya GF, Brown AD, Washington AE, Garber AM. Current Approaches to
Cervical Cancer Screening. Engl J Med 2001;344 (21):1603-6

13

Anda mungkin juga menyukai