Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT CIDERA KEPALA

A. KONSEP TEORI
1. Definisi
Cidera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan
bentuk atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan
(accelerasi) dan perlambatan (decelerasi) yang merupakan perubahan
bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan faktor
dan penurunan kecepatan, serta rotasi yaitu pergerakan pada kepala
dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan
pencegahan (Doenges, 2002). Kasan (2000) mengatakan cidera kepala
adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa
disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak.
Cidera kepala menurut Suriadi & Rita (2001) adalah suatu trauma
yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang
terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada
kepala. Sedangkan menurut Satya (2008), cidera kepala adalah keadaan
dimana struktur lapisan otak dari lapisan kulit kepala tulang tengkorak,
durameter, pembuluh darah serta otaknya mengalami cidera baik yang
trauma tumpul maupun trauma tembus. Berdasarkan pengertian di atas
dapat disimpulkan bahwa cidera kepala adalah trauma yang mengenai
struktur otak lapisan kulit kepala dan tulang tengkorak yang bisa
disebabkan oleh trauma tumpul maupun trauma tembus.

2. Klasifikasi
Cidera kepala dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Berdasarkan Mekanisme
a. Trauma Tumpul
Trauma tumpul adalah trauma yang terjadi akibat kecelakaan
kendaraan bermotor, kecelakaan saat olahraga, kecelakaan saat
bekerja, jatuh, maupun cedera akibat kekerasaan (pukulan).
b. Trauma Tembus
Trauma yang terjadi karena tembakan maupun tusukan benda-benda
tajam/runcing.
2. Berdasarkan Beratnya Cidera
Cidera kepala berdasarkan beratnya cedera didasarkan pada penilaian
Glasgow Scala Coma (GCS) dibagi menjadi 3, yaitu :
a. Cedera kepala ringan
 GCS 13 - 15
 Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari
30 menit.
 Tidak ada fraktur tengkorak, kontusio serebral dan hematoma
b. Cedera kepala sedang
 GCS 9 - 12
 Saturasi oksigen > 90 %
 Tekanan darah systole > 100 mmHg
 Lama kejadian < 8 jam
 Kehilangan kesedaran dan atau amnesia > 30 menit tetapi < 24 jam
 Dapat mengalami fraktur tengkorak
c. Cedera kepala berat
 GCS 3 – 8
 Kehilangan kesadaran dan atau amnesia >24 jam
 Meliputi hematoma serebral, kontusio serebral
Pada penderita yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan misal oleh karena
aphasia, maka reaksi verbal diberi tanda “X”, atau oleh karena kedua mata
edema berat sehingga tidak dapat di nilai reaksi membuka matanya maka
reaksi membuka mata diberi nilai “X”, sedangkan jika penderita dilakukan
traheostomy ataupun dilakukan intubasi maka reaksi verbal diberi nilai
“T”.
3. Berdasarkan Morfologi
a. Cedera kulit kepala
Cedera yang hanya mengenai kulit kepala. Cedera kulit kepala dapat
menjadi pintu masuk infeksi intrakranial.
b. Fraktur Tengkorak
Fraktur yang terjadi pada tulang tengkorak. Fraktur basis cranii secara
anatomis ada perbedaan struktur didaerah basis cranii dan kalvaria
yang meliputi pada basis caranii tulangnya lebih tipis dibandingkan
daerah kalvaria, durameter daerah basis lebih tipis dibandingkan
daerah kalvaria, durameter daerah basis lebih melekat erat pada tulang
dibandingkan daerah kalvaria. Sehingga bila terjadi fraktur daerah
basis mengakibatkan robekan durameter klinis ditandai dengan bloody
otorrhea, bloody rhinorrhea, liquorrhea, brill hematom, batle’s sign,
lesi nervus cranialis yang paling sering n i, nvii dan nviii (Kasan,
2000).
Sedangkan penanganan dari fraktur basis cranii meliputi :
1. Cegah peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak, misal
cegah batuk, mengejan, makanan yang tidak menyebabkan
sembelit.
2. Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan lubang telinga, jika
perlu dilakukan tampon steril (consul ahli tht) pada bloody
otorrhea/otoliquorrhea.
3. Pada penderita dengan tanda-tanda bloody otorrhea/otoliquorrhea
penderita tidur dengan posisi terlentang dan kepala miring keposisi
yang sehat (Kasan : 2000).
c. Cedera Otak
1) Commotio Cerebri (Gegar Otak)
Commotio Cerebri (Gegar Otak) adalah cidera otak ringan
karena terkenanya benda tumpul berat ke kepala dimana terjadi
pingsan < 10 menit. Dapat terjadi gangguan yang timbul dengan
tiba-tiba dan cepat berupa sakit kepala, mual, muntah, dan pusing.
Pada waktu sadar kembali, pada umumnya kejadian cidera tidak
diingat (amnezia antegrad), tetapi biasanya korban/pasien tidak
diingatnya pula sebelum dan sesudah cidera (amnezia retrograd
dan antegrad).
Menurut dokter ahli spesialis penyakit syaraf dan dokter ahli
bedah syaraf, gegar otak terjadi jika coma berlangsung tidak lebih
dari 1 jam. Kalau lebih dari 1 jam, dapat diperkirakan lebih berat
dan mungkin terjadi komplikasi kerusakan jaringan otak yang
berkepanjangan.
2) Contusio Cerebri (Memar Otak)
Merupakan perdarahan kecil jaringan akibat pecahnya
pembuluh darah kapiler. Hal ini terjadi bersama-sama dengan
rusaknya jaringan saraf/otak di daerah sekitarnya. Di antara yang
paling sering terjadi adalah kelumpuhan N. Facialis atau N.
Hypoglossus, gangguan bicara, yang tergantung pada lokalisasi
kejadian cidera kepala.
Contusio pada kepala adalah bentuk paling berat, disertai
dengan gegar otak encephalon dengan timbulnya tanda-tanda
koma, sindrom gegar otak pusat encephalon dengan tanda-tanda
gangguan pernapasan, gangguan sirkulasi paru - jantung yang
mulai dengan bradikardia, kemudian takikardia, meningginya suhu
badan, muka merah, keringat profus, serta kekejangan tengkuk
yang tidak dapat dikendalikan (decebracio rigiditas).
3) Perdarahan Intrakranial
a) Epiduralis haematoma
Adalah terjadinya perdarahan antara tengkorak dan durameter
akibat robeknya arteri meningen media atau cabang-cabangnya.
Epiduralis haematoma dapat juga terjadi di tempat lain, seperti
pada frontal, parietal, occipital dan fossa posterior.
b) Subduralis haematoma
Subduralis haematoma adalah kejadian haematoma di antara
durameter dan corteks, dimana pembuluh darah kecil vena pecah
atau terjadi perdarahan. Kejadiannya keras dan cepat, karena
tekanan jaringan otak ke arteri meninggia sehingga darah cepat
tertuangkan dan memenuhi rongga antara durameter dan corteks.
Kejadian dengan cepat memberi tanda-tanda meningginya
tekanan dalam jaringan otak (TIK = Tekanan Intra Kranial).
c) Subrachnoidalis Haematoma
Kejadiannya karena perdarahan pada pembuluh darah otak, yaitu
perdarahan pada permukaan dalam duramater. Bentuk paling
sering dan berarti pada praktik sehari-hari adalah perdarahan
pada permukaan dasar jaringan otak, karena bawaan lahir
aneurysna (pelebaran pembuluh darah). Ini sering menyebabkan
pecahnya pembuluh darah otak.
d) Intracerebralis Haematoma
Terjadi karena pukulan benda tumpul di daerah korteks dan
subkorteks yang mengakibatkan pecahnya vena yang besar atau
arteri pada jaringan otak. Paling sering terjadi dalam subkorteks.
Selaput otak menjadi pecah juga karena tekanan pada durameter
bagian bawah melebar sehingga terjadilah subduralis
haematoma.
4. Berdasarkan Patofisiologi
a. Cidera kepala primer
Akibat langsung pada mekanisme dinamik (acelerasi-decelerasi rotasi)
yang menyebabkan gangguan pada jaringan. Pada cedera primer dapat
terjadi gegar kepala ringan, memar otak dan laserasi.

b. Cidera kepala sekunder


Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, seperti hipotensi
sistemik, hipoksia, hiperkapnea, edema otak, komplikasi pernapasan,
dan infeksi / komplikasi pada organ tubuh yang lain.

3. Etiologi
Menurut Hudak dan Gallo (2006 : 108) mendiskripsikan bahwa penyebab
cidera kepala adalah karena adanya trauma yang dibedakan menjadi 2
faktor yaitu :
a. Trauma primer
Terjadi karena benturan langsung atau tidak langsung (akselerasi dan
deselerasi)
b. Trauma sekunder
Terjadi akibat dari trauma saraf (melalui akson) yang meluas,
hipertensi intrakranial, hipoksia, hiperkapnea, atau hipotensi sistemik.
1) Trauma akibat persalinan
2) Kecelakaan, kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil,
kecelakaan pada saat olahraga.
3) Jatuh
4) cidera akibat kekerasan.

4. PATOFISIOLOGI
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa
dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan di dalam sel-sel saraf hampir
seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen,
jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan
gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan
bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan
menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh
kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70
% akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi
kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat
menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau
kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme
anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik. Dalam keadaan
normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml/menit/100 gr. jaringan
otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output dan akibat adanya perdarahan
otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan
vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi
Menurut Long (1996) trauma kepala terjadi karena cidera kepala, kulit
kepala, tulang kepala, jaringan otak. Trauma langsung bila kepala langsung
terluka. Semua itu berakibat terjadinya akselerasi, deselerasi dan pembentukan
rongga. Trauma langsung juga menyebabkan rotasi tengkorak dan isinya,
kekuatan itu bisa seketika/menyusul rusaknya otak dan kompresi,
goresan/tekanan. Cidera akselerasi terjadi bila kepala kena benturan dari
obyek yang bergerak dan menimbulkan gerakan. Akibat dari akselerasi,
kikisan/konstusio pada lobus oksipital dan frontal batang otak dan cerebellum
dapat terjadi. Sedangkan cidera deselerasi terjadi bila kepala membentur
bahan padat yang tidak bergerak dengan deselerasi yang cepat dari tulang
tengkorak.
Pengaruh umum cidera kepala dari tengkorak ringan sampai tingkat
berat ialah edema otak, deficit sensorik dan motorik. Peningkatan TIK terjadi
dalam rongga tengkorak (TIK normal 4-15 mmHg). Kerusakan selanjutnya
timbul masa lesi, pergeseran otot. Cidera primer, yang terjadi pada waktu
benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi
alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat
terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada
area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah)
pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua
menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan
intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak
sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.
Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala “fokal”
dan “menyebar” sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk
menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari
kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom intraserebral,
serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa lesi,
pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan
kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu:
cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak
menyebar, hemoragi kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini
menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang otak tetapi karena
cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak, atau dua-duanya.
Sedangkan patofisiologi menurut Markum (2003) trauma pada kepala
menyebabkan tengkorak beserta isinya bergetar, kerusakan yang terjadi
tergantung pada besarnya getaran makin besar getaran makin besar kerusakan
yang timbul, getaran dari benturan akan diteruskan menuju Galia aponeurotika
sehingga banyak energi yang diserap oleh perlindungan otak, hal itu
menyebabkan pembuluh darah robek sehingga akan menyebabkan haematoma
epidural, subdural, maupun intracranial, perdarahan tersebut juga akan
mempengaruhi pada sirkulasi darah ke otak menurun sehingga suplay oksigen
berkurang dan terjadi hipoksia jaringan akan menyebabkan odema cerebral.
Akibat dari haematoma diatas akan menyebabkan distorsi pada otak, karena isi
otak terdorong ke arah yang berlawanan yang berakibat pada kenaikan T.I.K
(Tekanan Intra Kranial) merangsang kelenjar pituitari dan steroid adrenal
sehingga sekresi asam lambung meningkat akibatnya timbul rasa mual dan
muntah dan anaroksia sehingga masukan nutrisi kurang (Satya, 1998).
6. Manifestasi Klinik
1. Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
2. Kebingungan
3. Iritabel
4. Pucat
5. Mual dan muntah
6. Pusing
7. Nyeri kepala hebat
8. Terdapat hematoma
9. Kecemasan
10. Sukar untuk dibangunkan
11. Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari
hidung (rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal

7. Pemeriksaan Diagnostik
1. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan
perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya
infark/iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.
2. MRI
Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
3. Cerebral Angiography
Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan otak
sekunder menjadi edema, perdarahan dan trauma.
4. EEG (Elektroencepalograf)
Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
5. X-Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
6. BAER
Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
7. PET
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
8. CSF, Lumbal Pungsi
Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid dan untuk
mengevaluasi/mencatat peningkatan tekanan cairan serebrospinal.
9. ABGs
Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi)
jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial
10. Kadar Elektrolit
Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan
tekanan intrkranial
11. Screen Toxicologi
Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan
kesadaran.

8. Penatalaksanaan
Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala
adalah sebagai berikut:
1. Observasi 24 jam
2. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
Makanan atau cairan, pada trauma ringan bila muntah-muntah, hanya
cairan infus dextrosa 5 %, amnifusin, aminofel (18 jam pertama dari
terjadinya kecelakaan), 2 - 3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
4. Pada anak diistirahatkan atau tirah baring.
5. Terapi obat-obatan.
a. Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral,
dosis sesuai dengan berat ringanya trauma.
b. Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi
vasodilatasi.
c. Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20 %
atau glukosa 40 % atau gliserol 10 %.
d. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin) atau
untuk infeksi anaerob diberikan metronidasol.
e. Pada trauma berat. karena hari-hari pertama didapat penderita
mengalami penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium
dan elektrolit maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak
cairan. Dextosa 5 % 8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua dan
dextrosa 5 % 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah
makanan diberikan melalui nasogastric tube (2500 - 3000 TKTP).
6. Pembedahan bila ada indikasi.

9. Komplikasi
1. Hemorrhagie
2. Infeksi
3. Edema serebral dan herniasi
B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
1. Pengkajian Primer
Adapun data pengkajian primer menurut Rab, Tabrani. 2007 :
 Airway
Ada tidaknya sumbatan jalan nafas
 Breathing
Ada tidaknya dispnea, takipnea, bradipnea, sesak, kedalaman nafas.
 Circulation
Ada tidaknya peningkatan tekanan darah, takikardi, bradikardi, sianosis,
capilarrefil.
 Disability
Ada tidaknya penurunan kesadaran, kehilangan sensasi dan refleks,
pupil anisokor dan nilai GCS. Menurut Arif Mansjoer. Et all.
2000 penilaian GCS berdasarkan pada tingkat keparahan cidera :
- Cidera kepala ringan/minor (kelompok resiko rendah)
 Skor skala koma Glasglow 15 (sadar penuh,atentif,dan
orientatif)
 Tidak ada kehilangan kesadaran(misalnya konkusi)
 Tidak ada intoksikasi alkohaolatau obat terlarang
 Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
 Pasien dapat menderita abrasi,laserasi,atau hematoma kulit
kepala
 Tidak adanya kriteria cedera sedang-berat.
- Cidera kepala sedang (kelompok resiko sedang)
 Skor skala koma glasgow 9-14 (konfusi, letargi atau stupor)
 Konkusi
 Amnesia pasca trauma
 Muntah
 Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle,mata rabun,
hemotimpanum, otorhea atau rinorhea cairan serebrospinal).
- Cidera kepala berat (kelompok resiko berat)
 Skor skala koma glasglow 3-8 (koma)
 Penurunan derajat kesadaran secara progresif
 Tanda neurologis fokal
 Cidera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresikranium.
 Exposure of extermitas
Ada tidaknya peningkatan suhu, ruangan yang cukup hangat.

2) Pengkajian Sekunder
Data pengkajian secara umum tergantung pada tipe, lokasi dan keparahan
cedera dan mungkin diperlukan oleh cedera tambahan pada organ-organ
vital (Marilyn, E Doengoes. 2000)
 Aktivitas/ Istirahat
Gejala : Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.
Tanda :
 Perubahan kesehatan, letargi
 Hemiparase, quadrepelgia
 Ataksia cara berjalan tak tegap
 Masalah dalam keseimbangan
 Cedera (trauma) ortopedi
 Kehilangan tonus otot, otot spastik
 Sirkulasi
Gejala :
 Perubahan darah atau normal (hipertensi)
 Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi
bradikardia disritmia).
 Integritas Ego
Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau
dramatis)
Tanda : Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung
depresi dan impulsif.
 Eliminasi
Gejala : Inkontenensia kandung kemih/ usus atau mengalami
gangguan fungsi.
 Makanan/ cairan
Gejala : Mual, muntah dan mengalami perubahan selera.
Tanda : Muntah (mungkin proyektil), Gangguan menelan (batuk, air
liur keluar, disfagia).
 Neurosensoris
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian,
vertigo, sinkope, tinitus kehilangan pendengaran, fingking, baal pada
ekstremitas.
Tanda :
 Perubahan kesadaran bisa sampai koma
 Perubahan status mental
 Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri)
 Wajah tidak simetri
 Genggaman lemah, tidak seimbang
 Refleks tendon dalam tidak ada atau lemah
 Apraksia, hemiparese, Quadreplegia
 Nyeri/ Kenyamanan
Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda
biasanya koma.
Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangangan nyeri
yang hebat, gelisah tidak bisa beristirahat, merintih.
 Pernapasan
Tanda :
 Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi).
Nafas berbunyi stridor, terdesak
 Ronki, mengi positif
 Keamanan
Gejala : Trauma baru/ trauma karena kecelakaan
Tanda : Fraktur/ dislokasi
 Gangguan penglihatan
 Gangguan kognitif
 Gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekutan secara umum
mengalami paralisis
 Demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh
 Interaksi Sosial
Tanda : Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara
berulang-ulang.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL


1) Bersihan jalan napas tidak efektif b.d akumulasi cairan
2) Pola napas tidak efektif b.d kerusakan pusat pernapasan di medula
oblongata
3) Perubahan perfusi jaringan serebral b.d hiposksia
4) Perubahan persepsi sensori b.d defisit neorologis
5) Gangguan rasa nyaman nyeri b.d peningkatan TIK
3. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
NO. DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI RASIONAL
1. Bersihan jalan napas Setelah dilakukan 1. Kaji kepatenen jalan napas - Ronki, mengi menunjukan
tidak efektif b.d asuhan keperawatan aktivitas sekret yang dapat

akumulasi cairan selama 3X24 jam, menimbulkan penggunaan


diharapkan klien dapat otot-otot asesoris dan
mempertahanakan meningkatkan kerja
patensi napas dengan pernapasan.
kriteria hasil :
2. Beri posisi semifowler. - Membantu memaksimalkan
a. Bunyi napas
ekspansi paru dan
vesikuler
menurunkan upaya pernapasan
b. Tidak ada spuntum
- Pengisapan dan membersihkan
c. Masukan cairan 3. Lakukan penghisapan lendir dengan
jalan napas dan akumulasi dari
adekuat. hati-hati selama 10-15 menit. Catat
sekret. Dilakukan dengan hati-
sifat-sifat, warna dan bau sekret.
hati untuk menghindari
Lakukan bila tidak ada retak pada
terjadinya iritasi saluran dan
tulang basal dan robekan dural.
reflek vagal.

4. Berikan posisi semi pronelateral/miring - Posisi semi prone dapat


atau terlentang setiap dua jam. membantu keluarnya sekret
dan mencegah aspirasi.
Mengubah posisi untuk
merangsang mobilisi sekret
dari saluran pernapasan
5. Pertahankan masukan cairan sesuai - Membantu mengencerkan
kemampuan klien sekret, meningkatkan
pengeluaran sekret.
6. Berikan bronkodilator IV dan aerosol
- Meningkatkan ventilasi dan
sesuai indikasi.
membuang sekret serta
relaksasi otot halus/spsponsne
bronkus.

2. Pola napas tidak Setelah dilakukan 1. Pantau frekuensi, irama dan kedalaman - Perubahan dapat menandakan
efektif b.d kerusakan asuhan keperawatan pernapasan. Catat ketidakteraturan awitan komplikasi pulmo atau
pusat pernapasan di selama 3X24 jam, pernapasan.Catat kompetensi reflek menandakan luasnya
medula oblongata diharapkan klien GAG dan kemampuan untuk keterlibatan otak. Pernapasan
mempunyai pola melindungi jalan napas sendiri. lambat, periode aprea dapat
pernapasan yang efektif menandakan perlunya
dengan kriteria hasil: ventilasi mekanis.
a. Pola napas nomal 2. Tinggikan kepala tempat tidur sesuai
- Kemampuan mobilisasi
(irama teratur, RR = indikasi.
penting untuk pemeliharaaan
16-24 x/menit).
jalan napas. Kehilangan reflek
b. Tidak ada
batuk menandakan perlunya
pernapasan cuping
jalan napas buatan/intubasi.
hidung.
3. Anjurkan kllien untuk bernapas dalam - Untuk memudahkan ekspansi
c. Pergerakan dada
dan batuk efektif. paru dan menurunkan adanya
simetris.
kemugkinan lidah jatuh
menutupi jalan napas.

4. Beri terapi O2 tambahan. - Mencegah atau menurunkan


atelektasis.

5. Pantau analisa gas darah, tekanan - Memaksimalkan O2 pada


oksimetri. darah arteri dan membantu
dalam mencegah hipoksia.

- Menentukan kecukupan
pernapasan, keseimbangan
asam basa
3. Perubahan perfusi Setelah dilakukan 1. Kaji status neurologis yang - Hasil dari pengkajian dapat
jaringan serebral b.d asuhan keperawatan berhubungan dengan tanda-tanda diketahui secara dini adanya
hiposksia selama 3X24 jam, peningkatan TIK, terutama CGS tanda-tanda peningkatan TIK
diharapkan klien sehingga dapat menentukn
mempunyai perfusi arah tindakan selanjutnya
jaringan adekuat serta manfaat untuk
dengan kriteria hasil: menentukan lokasi, perluasan
a. Tingkat kesadaran dan perkembangan kerusakan
normal SSP.
(composmetis). 2. Monitor TTV TD, denyut nadi, suhu,
- Dapat mendeteksi secara dini
b. TTV Normal. minimal setiap jam sampai klien stabil
tanda-anda peningkatan TIK,
120
(TD: /80 mmHg,
misalnya hilangnya
suhu: 36,5-37,50C,
autoregulasidapat mengikuti
Nadi: 80-100
kerusakan vaskularisasi
x/menit, RR: 16-24
selenral lokal. Napas yang
x/m)
tidak teratur dapat
menunjukkan lokasi adanya
gangguan serebral.
3. Tingggikan posisi kepala dengan
- Posisi kepala dengan sudut
o
sudut 15-45 tanpa bantal dan posisi
15-450 dari kaki akan
netral
meningkatkan dan
memperlancar aliran balik
vena kepala sehingga
mengurangi kongesti
cerebrum, dan mencegah
penekanan pada saraf medula
spinalis yang menambah TIK.

- Deman menandakan adanya


4. Monitor suhu dan atur suhu
gangguan hipotalamus:
lingkungan sesuai indikasi. Batasi
peningkatan kebutuhan
pemakaian selimut dan kompres bila
metabolik akan meningkatkan
demam.
TIK.

5. Monitor asupan dan keluaran setiap - Mencegah kelibahan cairan


delapan jam sekali. yang dapat menambah edema
serebri sehingga terjadi
peningkatan TIK.
6. Berikan O2 tambahan sesuai indikasi.
- Mengurangi hipokremia yang
dapat meningkatkan
vasoditoksi cerebri, volume
darah dan TIK.
7. Berikan obat-obatan antiedema seperti
- Manitol/gliserol merupakan
manito, gliserol dan losix sesuai
cairan hipertonis yang
indikasi.
berguna untuk menarik cairan
dari intreseluler dan
ekstraseluler. Lasix untuk
meningkatkan ekskresi
natrium dan air yang berguna
untuk mengurangi edema
otak.

4. Perubahan persepsi Setelah dilakukan 1. Kaji respon sensori terhadap panas atau - Informasi yang penting untuk
sensori b.d defisit asuhan keperawatan dingin, raba atau sentuhan. Catat keamanan kllien, semua
neorologis selama 3X24 jam, perubahan-perubahan yang terjadi. sistem sensori dapat
diharapkan klien terpengaruh dengan adanya
mengalami perubahan perubahan yang melibatkan
persepsi sensori dengan kemampuan untuk menerima
kriteria hasil: dan berespon sesuai stimulus.
a. Tingkat kesadaran
- Hasil pengkajian dapat
2. Kaji persepsi klien, baik respon balik
normal. E4 M6V5.
menginformasikan susunan
dan koneksi kemampuan klien
b. Fungsi alat-alat
fungsi otak yang terkena dan
beroerientasi terhadap orang, tempat
indera baik.
membantu intervensi
dan waktu.
c. Klien kooperatif
sempurna
kembali dan dapat
- Merangsang kembali
berorientasi pada 3. Berikan stimulus yang berarti saat
kemampuan persepsi-sensori
orang, waktu dan penurunan kesadaran
tempat. - Gangguan persepsi sensori
4. Berikan keamanan klien dengan
dan buruknya keseimbangan
pengamanan sisi tempat tidur, bantu
dapat meningkatkan resiko
latihan jalan dan lindungi dari cidera.
terjadinya injury.

5. Rujuk pada ahli fisioterapi , terapi - Pendekatan antar disiplin


deuposi, wicara, terapi kognitif. dapat menciptakan rencana
penatalaksanaan terintregasi
yang berfokus pada
peningkatan evaluasi, dan
fungsi fisik, kognitif dan
ketrampilan perseptual.
5. Gangguan rasa Setelah dilakukan 1. Tentukan riwayat nyeri, lokasi, - Informasi akan memberikan
nyaman nyeri b.d asuhan keperawatan intensitas, keluhan dan durasi data dasar untuk membantu

peningkatan TIK selama 3X24 jam, nyeri dalam menentukan


berkurang atau pilihan/keeferktifan intervensi.
terkendali dengan 2. Monitor TTV. - Perubahan TTV merupakan
kriteria hasil: indikator nyeri.
a. Pelaporan nyeri
3. Buat posisi kepala lebih tinggi (15-45o) - Meningkatkan dan
terkontrol.
melancarkan aliran balik
b. Pasien tenang, tidak
darah vena dari kepala
gelisah.
sehingga dapat mengurangi
c. Pasien dapat cukup
edema dan TIK.
istirahat. 4. Ajarkan latihan teknik relaksasi seperti
- Latihan napas dapat
latihan napas dalam.
membantu pemasukan O2
kebih banyak , terutama untuk
oksigenasi otot.
5. Kurangi stimulus yang
tidak - Respon yang tidak
menyenangkan dari luas dan berikan menyenangkan menambah
tindakan yang menyenangkan seperti
ketegagngan saraf dan
masase. mamase akan mengalihkan
rengsang terhadap nyeri.
5.WOC

Kecelakaan, jatuh

CEDERA KEPALA

Ekstra kranial Tulang kranial Intrakranial

Terputusnya kontinuitas Terputusnya Jaringan otak rusak


jaringan kulit, otot dan kontinuitas jaringan (kontusio, laserasi)
vaskuler tulang

Perubahan
outoregulasi
-Perdarahan Gangguan MK :
-Hematoma suplai darah Resti
infeksi Kejang

Peningkatan Iskemia
TIK Penurunan
Hipoksia kesadaran

Peregangan Kompresi
duramen dan batang otak MK :
Perubahan Bedrest Akumulasi
pembuluh total cairan
darah perfusi jaringan
serebral

MK : MK :
Nyeri Bersihan
jalan napas
tidak efektif

MK :
Gangguan
mobilisasi
fisik
DAFTAR PUSTAKA

Asikin, Z. 1991. Simposium Keperawatan Penderita Cedera Kepala.


Panatalaksanaan Penderita dengan Alat Bantu Napas. Jakarta.

Cecily, L & Linda A. 2000. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi 3. Jakarta:
EGC.

Doenges, M. 2002. Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Car. 2 nd
ed. Philadelpia : F.A. Davis Company

Harsono. 1993. Kapita Selekta Neurologi. Jogjakarta : Gadjah Mada University


Press

Hudak & Gallo. 1996. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik, Volume II.
Jakarta: EGC.

Iskandar. 2004. Cedera Kepala. Jakarta Barat: PT. Bhuana Ilmu Populer.

Suriadi & Rita Yuliani. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Edisi I. Jakarta:
CV Sagung Seto

Suzanne CS & Brenda GB. 1999. Buku Ajar Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 3.
Jakarta: EGC

Umar, K. 1998. Peran Ilmu Bedah Saraf Dalam Penanganan Cidera Kepala
Surabaya : Airlangga Univ. Press.

Umar, K. 2000. Penanganan Cidera Kepala Simposium. Tretes : IKABI.

Anda mungkin juga menyukai