Anda di halaman 1dari 6

REFLEKSI KASUS

DEMAM DENGUE

Diajukan Kepada Yth

dr. H. Agus Widyatmoko, Sp.PD., M.Sc

Disusun Oleh

Yudhi Sulistya Nugraha

NIM 20110310061/ NIPP 20154012017

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

FKIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2016
A. RANGKUMAN KASUS
Status pasien
Nama : Sdr. T.S.
Usia : 21 th
Jenis Kelamin : Laki-laki
Anamnesis
 Keluhan Utama : demam
 Riwayat penyakit sekarang :
Pasien mengeluh demam sejak 4 SMRS, keluhan disertai nyeri kepala, mual,
tanpa muntah. Batuk (-), pilek (-), BAB dan BAK tidak ada kelainan
 Riwayat penyakit dahulu
Riwayat DM, hipertensi, alergi disangkal.
Pemeriksaan fisik
 Keadaan Umum : Cukup
 Kesadaran : CM
 Vital sign
Tekanan darah : 144/80 mmHg
Nadi : 78 kali/ menit
Pernapasan : 21 kali/ menit
Temperatur : 37,2 C
 Kepala : CA (-/-), SI (-/-), pupil isokor
 Leher : JVP tidak meningkat, Limfonodi tidak teraba
 Thorax
Pulmo : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Cor : Suara regular
 Abdomen : Distensi (-), BU(+)N, Ascites (-), NTE (-), Hepar, lien ttb.
 Ekstremitas : akral hangat, edema (-)
Pemeriksaan laboratorium
Hb 17,8 gr/dl
AL 3,6 Rb/mmk
Hitung jenis
Eosinofil 0 %
Basofil 0 %
Netrofil 58 %
Limfosit 27 %
Monosit 15 %
Eritrosit 6,23 Juta/µL
Hematokrit 52 %
MCV 84,1 fl
MCH 28,3 pg
MCHC 33,6 g/dl
Trombosit 88 Rb/mmk

 Diagnosis kerja
Obs febris H-4 dengan trombositopenia suspek DF
 Terapi :
IVFD RL loading 500 cc
Inj. Antrain 2x1 amp
Inj. tomit 2x1 amp.

B. MASALAH YANG DIKAJI


Pemeriksaan apa sajakah yang diperlukan pada kasus Demam Berdarah Dengue?
C. ANALISIS MASALAH

Diagnosis
Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal ini
terpenuhi:
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik.
2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bending positif;
petekie, ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa; hematemesis dan melena.
3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml).
4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sbb:
• Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai umur dan jenis
kelamin.
• Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan
dengan nilai hematokrit sebelumnya.
• Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia,
hiponatremia.
Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu:
 Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah uji torniquet.
 Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan perdaran
lain.
 Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan
nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut
kulit dingin dan lembab, tampak gelisah.
 Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah
trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif
disertai gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke 3). Trombositopenia
umumnya dijumpai pada hari ke 3-8 sejak timbulnya demam. Hemokonsentrasi
dapat mulai dijumpai mulai hari ke 3 demam.5
Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan terjadinya
gangguan koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis (PT, APTT,
Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP). Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan adalah
albumin, SGOT/SGPT, ureum/ kreatinin.
Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostik melalui
pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Di antara
tiga jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai baku emas adalah metode isolasi
virus. Namun, metode ini membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu
yang lama (lebih dari 1–2 minggu), serta biaya yang relatif mahal. Oleh karena
keterbatasan ini, seringkali yang dipilih adalah metode diagnosis molekuler
dengan deteksi materi genetik virus melalui pemeriksaan reverse
transcriptionpolymerase chain reaction (RT-PCR). Pemeriksaan RT-PCR
memberikan hasil yang lebih sensitif dan lebih cepat bila dibandingkan dengan
isolasi virus, tapi pemeriksaan ini juga relatif mahal serta mudah mengalami
kontaminasi yang dapat menyebabkan timbulnya hasil positif semu. Pemeriksaan
yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi, yaitu dengan
mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue.
Imunoserologi berupa IgM terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai
minggu ke 3 dan menghilang setelah 60-90 hari. Pada infeksi primer, IgG mulai
terdeteksi pada hari ke 14 dan dapat bertahan hingga 10 bulan, sedangkan pada
infeksi sekunder dapat terdeteksi mulai hari ke 2.
Salah satu metode pemeriksaan terbaru yang sedang berkembang adalah
pemeriksaan antigen spesifik virus Dengue, yaitu antigen nonstructural protein 1
(NS1). Antigen NS1 diekspresikan di permukaan sel yang terinfeksi virus
Dengue. Masih terdapat perbedaan dalam berbagai literatur mengenai berapa lama
antigen NS1 dapat terdeteksi dalam darah. Sebuah kepustakaan mencatat dengan
metode ELISA, antigen NS1 dapat terdeteksi dalam kadar tinggi sejak hari
pertama sampai hari ke 12 demam pada infeksi primer Dengue atau sampai hari
ke 5 pada infeksi sekunder Dengue. Pemeriksaan antigen NS1 dengan metode
ELISA juga dikatakan memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (berkisar
63%-93,4% dan 100%). Oleh karena berbagai keunggulan tersebut, WHO
menyebutkan pemeriksaan deteksi antigen NS1 sebagai uji dini terbaik untuk
pelayanan primer.
Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak dan lateral dekubitus kanan) dapat
dilakukan untuk melihat ada tidaknya efusi pleura, terutama pada hemitoraks
kanan dan pada keadaan perembesan plasma hebat, efusi dapat ditemukan pada
kedua hemitoraks. Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan USG.
Pustaka
Ditjen P2PL Kemenkes RI. Modul Pengendalian Demam Berdarah Dengue.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI, 2011.
Sudoyo, Aru W., Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K, and
Siti Setiati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing,
2009.
WHO. Dengue: Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention and Control-
New Edition. World Health Organization, 2009.

Anda mungkin juga menyukai