Anda di halaman 1dari 29

LESI ULSERATIF, VESIKULAR, DAN BULOSA

MAKALAH

disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah DSP 5

Dosen Pembimbing

Vita Mulya Passa Novianti, drg.

Disusun oleh

Neilah Nurjannah 160110130086 Dewi Amalia 160110130095


Rima Fidayani Rizki 160110130087 Binar Barlian 160110130096
Inviolita Annisa M. 160110130088 Deivh Naufal Z.R. 160110130097
Catherine Gitta M. 160110130090 Sashya Adriana M. 160110130098
Novri Firmansyah 160110130091 Calista Halim 160110130099
Syifa Nurrahman 160110130092 Erki Ramadhani F 160110130100
Claudia Aurora S.W. 160110130093 Siola Mayshitta 160110130101
Nisa Nadiah Okviannas 160110130094

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS PADJADJARAN

BANDUNG

2015
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah swt. karena makalah ini dapat diselesaikan
dengan tepat waktu. Makalah ini berjudul “Lesi Ulseratif, Vesikular, dan Bulosa”.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah DSP 5 di Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran. Dalam penyelesaian makalah ini,
penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran, Dr. Nina
Djustina, drg., M.Kes
2. Pembimbing mata kuliah DSP 5
3. Orangtua
4. Teman-teman mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Padjadjaran.

Penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat dalam


menambah informasi dan wawasan mengenai Lesi Ulseratif, Vesikular, dan
Bulosa yang merupakan salah satu materi dalam Non-Infectious Oral Diseases.
Penulis telah berusaha sebaik-baiknuya dalam menulis makalah ini. Jika masih
terdapat kesalahan, penulis bersedia menerima kritik dan saran yang bersifat
membangun.

Jatinangor, 20 Februari 2015

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... i

DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii

BAB. I PENDAHULUAN ................................................................................... 1


1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 1
1.3 Tujuan ............................................................................................................ 1

BAB. II STUDI KEPUSTAKAAN .................................................................... 2


2.1 Overview Case ............................................................................................... 2
2.2 Kerangka Konsep ........................................................................................... 4
2.3 Ilmu Kedokteran Dasar Terkait Kasus ........................................................... 6
2.4 Klasifikasi Lesi Ulseratif, Vesikular, dan Bulosa dalam Rongga Mulut ....... 8
2.5 Perbedaan Tanda dan Gejala Klinis Kasus dengan Diagnosis Banding ...... 11
2.6 Etiopatofisiologi Kasus Terkait Tanda dan Gejala pada Kasus ................... 13
2.7 Tatalaksana Sesuai Konsep Patofisiologi Penyakit secara Umum .............. 16
2.8 Rujukan yang Tepat Terkait Kasus .............................................................. 17
2.9 Konsep Bioetika Humaniora dan Profesionalisme, serta Epidemiologi ...... 18

BAB. III PEMBAHASAN ................................................................................ 22


3.1 Kerangka Konsep Analisa Kasus ................................................................. 22
3.2 Treatment Kasus .......................................................................................... 24

BAB. IV PENUTUP .......................................................................................... 25


4.1 Kesimpulan .................................................................................................. 25
4.2 Saran ............................................................................................................ 25

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 26


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Lesi ulseratif, vesikular, dan bulosa merupakan salah satu dari penyakit
mulut non-infectious. Lesi tersebut dibagi menjadi 4 tipe yaitu akut multipel,
kronik multipel, ulser oral rekuren, dan ulser tunggal. Dalam kasus yang
dibahas kali ini, masing-masing dari tipe lesi akan dibandingkan dengan
anamnesa awal kasus dan kemudian akan didapatkan diagnosa yang tepat
dalam penyembuhan penyakit yang ada dalam kasus.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa saja klasifikasi lesi ulseratif, vesicular, dan bulosa?


2. Apa itu penyakit RAS?
3. Bagaiman mekanisme kasus dalam modul kelainan mukosa mulut?
4. Bagaimana etiologi, diagnosis banding, patofisiologi, dan tatalaksana dari
kasus mengenai lesi ulseratif, vesicular, dan bulosa tersebut?
5. Bagaiman aplikasi konsep bioetika humaniora dan profesionalisme serta
epidemiologi kasus tersebut?

1.3 Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi serta penjelasan
mengenai kasus yang telah diberikan. Informasi tersebut mencakup
bagaimana gejala klinis, etiologi, patofisiologi, epidemiologi,
penatalaksanaan, rujukan, serta konsep bioetika dalam aplikasi terhadap
kasus.
BAB II

STUDI KEPUSTAKAAN

2.1 Overview Case

2.1.1 Identitas Pasien


Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 28 tahun
2.1.2 Keluhan
 Sariawan sejak 3 hari yang lalu, perih da sulit makan
 Sariawan sering diderita, 1-3 bulan sekali dan berpindah-
pindah
2.1.3 Anamnesis
 Sariawann di rongga mulut terasa perih yang menyebabkan
sulit makan
 Sariawan muncul 1-3 bulan sekali dan berpindh-pindah
 Sering menggunakan obat kumur yang beredar di pasaran
 Ditemukan riwayat pasien yang sama dengan orang tua
 Wajah pucat
 Oral hygiene buruk
2.1.4 Gejala Klinis
Ektraoral : -
Intraoral :
 Banyak ulser putih
 Ulser berbentuk oval dan irregular
 Diameter ulser 1-4 mm
 Ulser ditemukan pada mukosa labial, bukal, lateral lidah dan dasar
mulut
 Oral hygiene buruk
2.1.5 Faktor Etiologi / Predisposisi Penyakit
1. Ditemukannya oral hygiene yang buruk
2. Herediter, terkait riwayat penyakit yang sama dengan orangtua
3. Riwayat gangguan saluran pencernaan dan wajah pucat ->
hematologic deficiency
2.1.6 Diagnosa Banding
1. Behcet’s Syndrome
2. Pemphigus

Resume Kasus

Dari anamnesis, ditemukan manifestasi oral pasien yang sama dengan


pada penderita penyakit Recurent Aphitous Stomatitis (RAS), yaitu:

1. Ditemukan ulser putih diameter 1-4mm, berulang 1-3 bulan sekali.


Pada pasien RAS ditemukan ciri-ciri yang sama yaitu pada mukosa oral
pasien akan ditemukan ulser, apabila diameternya 1 mm disebut RAS
minor dan >1 mm disebut RAS major. Ulser ini akan muncul berulang kali
pada mukosa oral pasien.
2. Ulser ditemukan banyak, dangkal dengan dikelilingi eritema dan
ditemukan pada mukosa labial, bukal, laterl lidah dan dasar mulut.
Pemeriksaan oral pasien RAS awalnya akan ditemukan papula putih,
ulcerats, kemudian akan membesar, berbentuk oval dan dangkal. Pada
pasien RAS, ulcer lama-lama diameter akan membesar dan menjadi dalam
berlangsung berbulan-bulan. Sebagian besar mukosa oral akan tertutupi
oleh ulcer, kondisi ini menyebabkan aktivitas mulut terganggu sehingga
pasien susah bicara dan makan karena timbulnya rasa sakit.

Selain dari kesamaan anamnesis pasien dengan paasien RAS, etiologinya


pun sama. Pada pasien RAS ditemukan bahwa faktor genetik merupakan
etiologi utama penyebab RAS. Berdasarkan anamnesis pasien, ditemukan
bahwa orangtua pasien memiliki riwayat penyakit yang sama. Selain itu wajah
pasien yang terlihat pucat menunjukkan bahwa pasien mengalami kekurangan
darah yang merupakan etiologi lain dari penyakit RAS ini.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pasien menderita penyakit ‘Reccurent
Aphitous Stomatitis’.

2.2 Kerangka Konsep dalam Analisa Kasus

Recurrent Apthous Stomatitis (RAS) pada pasien dapat berasal dari faktor
herediter, keadaan ini biasa dipicu oleh adanya suatu infeksi minor ataupun
trauma yang mengakibatkan adanya ulcerasi pada mulut pasien yang
diakibatkan oleh defisiensi imun yang disebabkan faktor herediter tadi.
Keadaan ini diperparah oleh oral hygiene yang buruk serta penggunaan
sembarang obat kumur oleh pasien.
Ulserasi yang pasien idap mengakibatkan perih ketika makan sehingga
pasien menjadi sulit makan yang mengakibatkan pasien kemudian terjangkit
radang pencernaan kronis. Ulser yang diidap pasien rutin terjadi 1-3 bulan
sekali yang dalam ilmu penyakit mulut termasuk kategori recurring oral
ulcers.
Ketika dilakukan pemeriksaan terhadap ulser pasien, terlihat karakteristik
seperti ulser banyak dan dangkal, bentuknya oval dan irregular, kedalaman
ulser 1-4mm serta dikelilingi oleh erithematous, dan ulser berada pada daerah
non-keratin. Dari karakteristik diatas maka dapa didiagnosa pasien mengidap
Reccurent Apthous Stomatitic (RAS).
ANAMNESIS
 Sariawan usia produktif
 Terjadi berulang-ulang Etiologi/Faktor Predisposisi
 Idopatik

Tanda dan Gejala Klinis  Faktor genetic


ILMU KEDOKTERAN DASAR
 Tanda gejala klinis intra oral,  Defisiensi hematologi
 Anatomi & Histologi  Trauma
sariawan terasa sakit, sangat
rongga mulut
tidak nyaman, sulit makan dan  Alergi makanan
minum. Gambaran ulser intra  Psikis
oral tampak ulser irregular.
 Tanda dan gejala klinis umum
bebebrapa hari sebelumnya
pasien menderita sakit kepala
dan demam. Lesi tampak
erythematous.

Diagnosis Banding Patogenesis


 Herpes simplex virus  Respon Sel T dan Produksi Pemeriksaan penunjang
 Pemphigus vulgaris TNF-alpha  Pemeriksaan hematologi
 Bechet’s syndrome dasar
 Pemeriksaan apus
Diagnosis
mukosa
Reccurent Apthous Stomatitis
EPIDEMIOLOGI SAR

Penatakalsanaan
 Farmakologi
 Non farmakologi

RUJUKAN
2.3 Ilmu Kedokteran Dasar Terkait dengan Kasus

2.3.1 Definisi Mukosa Oral


Lapisan mukosa adalah lapisan basah yang berkontak dengan
lingkungan eksternal yang terdapat pada saluran pencernaan, rongga
hidung, dan rongga tubuh lainnya. Pada rongga mulut, lapisan ini
dikenal dengan oral mucous membrane atau oral mukosa.
2.3.2 Fungsi Mukosa Oral
1. Proteksi.
Sebagai suatu lapisan permukaan, mukosa oral memisahkan
dan memproteksi jaringan yang lebih dalam di regio oral dari
lingkungan rongga mulut. Aktivitas normal dari menggigit dan
mengunyah makanan menghadapkan jaringan lunak mulut kepada
kekuatan mekanik (kompresi, meregang, memotong) dan abrasi
permukaan (dari partikel keras dalam diet). Di rongga mulut dalam
keadaan normal terdapat populasi mikroorganisme yang dapat
menyebabkan infeksi bila mikroorganisme tersebut mempunyai
akses ke jaringan. Banyak diantaranya ada yang menimbulkan
efeks toksis ke jaringan
2. Sensoris.
Fungsi sensori mukosa oral penting karena memberikan
informasi kejadian di rongga mulut. Di mulut, faring dan epiglotis
terdapat reseptor yang bereaksi terhadap suhu, sentuhan, dan nyeri;
ada pula taste bud untuk sensasi rasa baik manis, asam, dan pahit.
3. Sekresi.
Sekresi utama yang berkaitan dengan mukosa oral adalah
saliva yang diproduksi oleh kelenjar saliva yang berkontribusi
untuk mempertahankan kelembaban permukaan. Kelenjar saliva
utama, terletak jauh dari mukosa namun sekresinya melewati
mukosa melalui duktus-duktusnya, sedangkan kelenjar saliva
minor langsung berhubungan dengan mukosa oral.
4. Estetika
Warna, tekstur, dan tampilan kulit memegang peran penting
sebagai tanda karakteristik tiap individu seperti usia, kesehatan,
etnik, dan lain-lain. Mukosa oral dalam keadaan normal tidak
kelihatan, kecuali di regio dimana terajdi pertemuan dengan kulit,
yaitu tepi vermilion bibir yang memberikan komponen estetik
terutama pada wanita.
2.3.3 Klasifikasi Mukosa Mulut

Rongga mulut terdiri dua bagian yaitu bagian luar dari vestibula,
yang dikelilingi oleh bibir dan pipi, dan rongga mulut itu sendiri yang
dipisah dari vestibula dengan tulang alveolar dengan gigi geliginya dan
gingiva. Bagian superior rongga mulut dibatasi oleh palatum keras dan
lunak, bagian inferior dibatasi oleh dasar mulut dan basis lidah, dan
bagian posterior dibatasi oleh pilar fausia dan tonsil.
Menurut fungsi utamanya mukosa oral dibagi menjadi 3 tipe:
1. Mukosa mastikasi (25% total mukosa).
Menyelimuti gingiva (free, attached, dan interdental) dan palatum
durum. Mukosa ini berkontak dengan dengan makanan ketika
mastikasi. Mukosa mastikasi biasanya berkeratin
2. Mukosa lining (60% total mukosa).
Menyelimuti dasar mulut, ventral lidah, mukosa alveolar, pipi,
bibir dan palatum lunak. Tidak berfungsi dalam mastikasi dan oleh
karenanya mengalami atrisi yang minim. Mukosa ini tidak
berkeratin, lunak dan lentur.
3. Mukosa Khusus (15 % total mukosa).
Menyelimuti dorsal lidah dan komposisinya adalah papila epitelial
yang berkornifikasi.
2.3.4 Epitelium Mukosa Mulut
Mukosa mulut terdiri dari epitel skuamosa bertingkat yang menutupi
jaringan ikat atau lamina propria. Membran dasar berada diantara
epitel dan jaringan ikat di mukosa mulut. Hasil studi menunjukkan
bahwa membran dasar ini bukan bertindak sebagai pemisah antara
kedua jaringan melainkan suatu struktur kontinyu yang
menghubungkan keduanya. Terdapat 3 tipe epitel skuamosa bertingkat
yang ditemukan di rongga mulut, yaitu:
1. Non-keratin
epitel ini merupakan bentuk paling umum dari epitel di rongga
mulut. Epitel ini ditemukan di lapisan superficial mukosa pelapis,
seperti mukosa labial, mukosa bukal, mukosa alveolar, mukosa
yang melapisi dasar mulut, permukaan ventral lidah, dan palatum
lunak.
2. Ortokeratin
epitel ini merupakan bentuk paling jarang dari epitel yang
ditemukan di rongga mulut. Epitel ini menunjukkan adanya
keratinisasi sel-sel epitel sepanjang lapisan paling superficial.
Epitel ini dikaitkan dengan mukosa mastikasi, palatum keras, dan
gingiva cekat serta dikaitkan pula dengan mukosa khusus papilla
lingua pada permukaan dorsal lidah.
3. Parakeratin
epitel ini dikaitkan dengan mukosa mastikasi gingival cekat, pada
tingkat yang lebih tinggi daripada ortokeratin, dan juga permukaan
dorsal lidah. Epitel ini dikaitkan juga dengan mukosa khusus
papilla lingual di permukaan dorsal lidah.

2.4 Klasifikasi Lesi Ulseratif, Vesikular, dan Bulosa dalam Rongga Mulut

2.4.1 The Patient with Acute Multiple Lession


1. Erythema Multiforme
Erythema Multiforme adalah penyakit inflamasi akut pada kulit
dan membran mukosa yang mengakibatkan berbagai lesi pada kulit
sehingga disebut multiform. Etiologi penyakit ini adalah penyakit
immune-mediated (imunitas yang dihasilkan dari respon yang tidak
melibatkan antibodi, tetapi melibatkan aktivasi makrofag, sel
pembunuh alami (NK dan K) dan sel T. ) yang dapat diinisiasi baik
oleh deposisi kompleks imun pada mikrovaskulatur superfisial,
kulit dan mukosa / imunitas cell-mediated.
2. Contact Allergic Stomatitis
Penyakit ini dihasilkan dari reaksi hipersensitifitas tertentu
yang terjadi ketika antigen dengan berat molekul rendah
mempenetrasi kulit atau mukosa individu yang rentan. Etiologi
penyakit ini adalah kontak dengan material kedokteran gigi seperti
merkuri dalam amalgam, emas pada crown, monomer bebas pada
akrilik dan nikel padaa kawat ortodonti, produk oral hygiene
seperti pasta gigi, obat jamur dan dental floss dan makanan seperti
kayu manis dana peppermint.
3. Oral Ulcer Secondary to Cancer Chemotherapy
Obat anti kanker bisa menyebabkan multiple oral ulcer. Obat
tertentu menyebabkan infeksi bakteri, virus, atau jamur pada oral
mukosa.
2.4.2 The Patient with Recurring Oral Ulcer
1. Recurrent Aphtous Stomatitis
Ciri khas penyakit ini adalah penampilan ulcer yang khas dan
seringnya terjadi rekuren.
2. Behcet’s Syndrome
Penyakit ini digambarkan dengan trias gejala yaitu Recurring
Oral Ulcers, Recurring Genital Ulcers, dan Lesi Mata. Etiologi
penyakit ini adalah immunokompleks (sebuah kluster / koloni yang
dibentuk oleh sekelompok antigen yang berikatan dengan
sekelompok antibodi. ) yang menyebabkan vasculitis (peradangan
pada pembuluh darah) pada pembuluh darah kecil dan sedang serta
inflamasi epitel yang disebabkan immunocompetent (kemampuan
tubuh untuk mengembangkan respon kekebalan terhadap infeksi
atau penyakit.) -T Limfosit dan sel plasma.
2.4.3 The Patient with Chronic Multiple Lesions
1. Pemphigus
Penyakit yang menyebabkan melepuh dan erosinya kulit serta
membran mukosa. Etiologi penyakit in adalah autoimun yang
bereaksi dengan glikoprotein desmosomal yang hadir pada
permukaan sel keratinosit.
Terbagi menjadi beberapa :
a. Pemphigus Vulgaris (PV) , disebabkan oleh pertemuan IgG +
desmoglein 3.
b. Pemphigus Paraneoplastic (PPN) , merupakan pemphigus parah
yang berhubungan dengan plasma darah.
c. Pemphigus Vegetans , merupakan varian dari PV, pemphigus
jinak, mampu sembuh sendiri.
2. Subepithelial Bullous Dermatoses
Penyakit ini termasuk kelompok penyakit autoimun yang
menyerang mucocutaneous dikarakteristikan dengan sebuah lesi di
zona dasar membran.
Terbagi menjadi :
a. Bullous Pemphigoid (BP), penyakit ini menyerang orang lansia
60 tahun ke atas
b. Mucous Membrane Pemphigoid / Creatical Pemphigoid,
penyakit ini menyerang orang 50 tahun ke atas
c. Penyakit linear IgA , disebabkan kekurangan IgA daripada IgG
pada zona membran manifestasi klinisnya dermatitis
herpetiform / pemphigoid.
d. Chronic Bullous Disease of Childhood (CDBC), penyakit
inimenyerang balita
e. Erosive lichen Planus, penyakit ini ditandai dengan white
lession yaitu ulcer pada mukosa mulut kronis.
2.5 Perbedaan Tanda dan Gejala Klinis Kasus dengan Diagnosis Banding

Differential Diagnosis Tanda Klinis Oral Tanda & Gejala lain

Recurrent Aphtous Ulser tunggal atau ganda Ulser pada orofaring


Stomatitis pada mukosa tak cekat dan gastrointestinal
Ulser ganda pada Malaise dan demam
Herpangina palatum durum, palatum
mole, dan orofaring
Hand-foot-and-mouth Ulser yang diawali Lesi pada kulit, demam
disease dengan vesikula ringan, dan malaise
Lesi pada mukosa cekat Muncul macula dan
dan tak cekat, krusta pada papula pada kulit serta
Erythema Multiforme
bibir, dan dapat diawali adanya lesi target
dengan infeksi herpes
Prodromal: nyeri dan
Ulser ekstraoral dan rasa terbakar serta dapat
Varicella Zoster Virus intraoral dengan menyebabkan adanya
distribusi unilateral jaringan parut dan
neuralgia
Ulser tunggal dan ganda Diawali dengan
pada mukosa cekat dan munculnya vesikula
Herpes Simplex Virus
eritema gingival yang pada mukosa dan
menyebar demam
Lesi vesikobulosa pada Berpengaruh pada mata
Cicatrical Pemphigoid mukosa cekat dan dan genitalia serta lesi
mukosa tak cekat dapat muncul pada kulit
Lesi vesikobulosa pada Lesi dapat muncul pada
mukosa cekat dan kulit
Pemphigus Vulgaris
mukosa tak cekat dan
tanda Nikolsky positif
Lesi reticular dan erosive Dapat bersifat
pada mukosa bukal, asimtomatik serta lesi
Lichen Planus Oral gingival, palatum, dan dapat muncul pada kulit
lidah serta adanya White
(Wickham’s) Striae
Aphtous Oral

Pemeriksaan fisik dan anamnesis

Recurrent Episodes with less Adanya ulser oral dan genital yang
than 3 ulcers jumlahnya lebih dari 3 secara
konstan

Simple oral aphtosis Kriteria diagnosis untuk Behcet’s disease

Aphtosis oral rekuren


Tidak Ya

Aphtosis Behcet’s Disease


Kompleks

Differential
Diagnosis
+ -

Aphtosis Sekunder Kompleks Aphtosis Primer


Kompleks
2.6 Etiopatofisiologi Kasus Terkait Gejala dan Tanda Kasus

Adapun etiologi dari RAS belum diketahui dengan pasti, tetapi terdapat beberapa
faktor yang turut berperan dalam timbulnya RAS, yaitu herediter, penyakit
gastrointestinal, stress, gangguan imun, gangguan hormone, defisiensi
hematological, merokok, infeksi bakteri, trauma, dan obat-obatan.
2.6.1 Herediter
Memiliki peranan yang besar terhadap timbulnya RAS. Apabila salah sau
keluarga memiliki RAS atau kedua orang tua, maka tidak menutup
kemungkinan anak akan mengidap RAS positif. Pada kembar identic lebih
sering terjadi disbanding denga kembar non identic.
2.6.2 Trauma
Ulser dapat terbentuk pada daerah bekas terjadinya luka penetrasi akibat
trauma. Pendapat ini didukung oleh hasil pemeriksaan klinis, bahwa
sekelompok ulser terjadi setelah adanya trauma ringan pada mukosa mulut.
Umumnya ulser terjadi karena tergigit saat berbicara atau saat mengunyah,
local anastetion injection, dan sikat gigi. Trauma bukan merupakan faktor
yang berhubungan dengan berkembangnya SAR pada semua penderita tetapi
trauma dapat dipertimbangkan sebagai faktor pendukung. Trauma menentuka
lokasi dari ulcer pada pasien yang terkena penyakit ini..
2.6.3 Infeksi bakteri
Belum ada bukti langsung bahwa bakteri streptococcus merupakan agen
mikroba penyebab RAS.
2.6.4 Defisiensi Hematologi
Kekurangan vitamin B12, folate, dan besi telah dilaporkan terjadi pada 20%
pasien yang mengidap apthae (ulkus kecil).
2.6.5 Tobacco
Pada beberapa kasus, pasien yang mengidap RAS tidak merokok, dan
ssRAS timbul ketika setelah berhenti dari merokok. Penjelasan yang
mungkin diberikan meliputi peningkatan keratinisasi mukosa; yang
berfungsi sebagai penghalang mekanik dan pelindung terhadap trauma
dan mikroba. Nikotin dianggap menjadi faktor protektif karena
merangsang produksi steroid adrenal oleh aksinya di hipotalamus
sumbu adrenal dan mengurangi produksi tumor necrosis factor alpha
(TNF-α) dan interleukin 1 dan 6.
2.6.6 Stress
Stres dapat menyebabkan trauma pada jaringan lunak mulut dengan
kebiasaan parafungsional seperti menggigit pipi atau bibir dan trauma
ini bisa menyebabkan rentan terhadap ulkus. Stres psikologis dapat
bertindak sebagai faktor pemicu.
2.6.7 Gangguan hormonal
Dalam suatu penelitian dikatakan bahwa wanita yang memiliki kadar
hormonal progerteron yang rendah, memiliki resiko tinggi menghidap
RAS. Efek progesterone dalam jaringan periodonsium yaitu
meingkatkan kadar prostaglandin ( self limiting process). ),
meningkatkan polymorphonuclear leukocytes, mengurangi efek anti-
inflamasi dari glukokortikoid, mengubah sintesis protein kolagen dan
nonkolagen serta metabolism fibroblast, dan meningkatkan
permeabilitas vaskuler. Pada penderita RAS oleh karena progesteron
rendah maka efek self limiting process berkurang, polimorphonuclear
leucocytes menurun, permeabilitas vaskuler menurun. Hal-ha1 tersebut
diduga akan menyebabkan lesi yang berbentuk sebagai Apthae atau
Recurrent Apthae Stomatitis (RAS) yang muncul secara periodik
sesuai siklus haid. Seperti kita ketahui hasil ini menunjukkan adanya
indikasi ke arah patologis, karena selama ini pada beberapa wanita
dengan periode pre-meno ause banyak juga mengalami RAS, hal
tersebut sering dikaitkan dengan penurunan produksi hormon
Estrogen, sebagai proses fisiologis, Ternyata pada wanita usia subur
penderita RAS kadar Progesteron menurun dan rendahnya kadar
Progesteron dapat dikaitkan dengan beberapa kemungkinan keadaan
patologis seperti delay ovulasi, kista ovarii, infertilitas dan beberapa
gangguan fungsi ovarium lainnya, Mengingat Ovarium adalah organ
endokrin yang memproduksi Estrogen dan Progesteron maka gangguan
Ovarium dapat dideteksi dari gangguan mukosa mulut karena maturasi
epitel mukosa mulut dipengaruhi oleh Estrogen dan Progesteron,
2.6.8 Penyakit Gastrointestinal
Aphthae sebelumnya dikenal sebagai 'dyspeptic ulcers' tetapi jarang
berhubungan dengan penyakit gastrointestinal. Adapun hubungannya
biasanya dikarenakan kekurangan, vitamin B12 atau asam folat
sekunder untuk malabsorpsi. Adapun hubungan dengan penyakit celiac
(kadang-kadang tanpa gejala) telah ditemukan di pasien sekitar 5%
dengan aphthae.
2.6.9 Gangguan Immunologi
Faktor gangguan sistem imun telah banyak dihubungkan sebagai salah satu
faktor yang sangat berperan sebagai faktor predisposisi RAS.
Imunopatogenesis RAS dapat melibatkan semua komponen sistem imun baik
seluler maupun humoral. Pada sistem imun seluler yaitu Sel T dan sitokin,
sedangkan pada sistem imun humoral yaitu IgA, IgM dan IgG.
2.6.10 Obat-obatan
Penggunaan obat nonsteroidal anti-inflamatori (NSAID), angiotensin
converting enzyme inhibitor captopril, gold salts, nicorandil, phenindione,
phenobarbital, and sodium hypochloride telah dinyatakan berkemungkinan
dalam terjadinya RAS.

Patologis dari RAS

Diperkirakan adanya infiltrasi awal limfosit yang diikuti dengan hancurnya


epitel dan infiltrasi oleh neutrofi ke dalam jaringan. Sel mononuklear dapat juga
mengelilingi pembuluh darah. Vaskulitis tidak terlihat.
2.7 Tatalaksana sesuai Konsep Patofisiologi Penyakit serta Kompetensi
Dokter Gigi Umum
Obat yang diresepkan harus sesuai dengan tingkat keparahan
penyakit. Dalam kasus ringan dengan dua atau tiga lesi kecil, hanya
diperlukan penggunaan emolien pelindung seperti Orabase (Bristol-Myers
Squibb, Princeton, NJ) atau Zilactin (Zila Farmasi, Phoenix, AZ), anestesi
topikal.
Penghilang rasa sakit pada lesi minor dapat diperoleh dengan
menggunakan agen anestesi topikal atau diklofenak topikal, sebuah
NSAID sering digunakan secara topikal setelah operasi mata. Dalam kasus
yang lebih parah, penggunaan high-potency topical steroid preparation,
seperti fluocinonide, betametason, atau clobetasol, ditempatkan langsung
pada lesi, sehingga proses penyembuhan semakin cepat dan mengurangi
ukuran ulser. Efektivitas steroid topikal sebagian didasarkan pada instruksi
yang baik dan kepatuhan pasien mengenai penggunaan yang tepat. Gel
steroid dapat diaplikasikan secara langsung pada lesi setelah makan dan
sebelum tidur dua sampai tiga kali sehari atau dicampur dengan adhesif
seperti Orabase sebelum aplikasi. Lesi yang lebih besar dapat diobati
dengan menempatkan spons kasa yang mengandung steroid topikal pada
ulser dan biarkan selama 15 sampai 30 menit.
Sediaan topikal lain yang telah terbukti mempercepat
penyembuhan lesi RAS diantaranya pasta amlexanox dan tetrasiklin
topikal, yang dapat digunakan baik sebagai obat kumur atau diaplikasikan
pada spons kasa. Steroid intralesi dapat digunakan untuk mengobati lesi
RAS yang lebih besar. Perlu ditekankan bahwa tidak ada terapi topikal
yang mengurangi frekuensi lesi baru.
Ketika pasien dengan aphthae besar atau kasus yang parah dimana
terdapat beberapa aphthae kecil (multiple minor aphtae) tidak membaik
dengan terapi topikal, penggunaan terapi sistemik harus dipertimbangkan.
Obat-obatan yang dapat mengurangi jumlah ulser pada kasus tertentu dari
major aphthae termasuk colchicine, pentoxifylline, dapson, steroid
sistemik, dan thalidomide. Setiap obat ini memiliki potensi efek samping,
dan dokter harus mempertimbangkan manfaat potensial terhadap risiko.

2.8 Rujukan yang Tepat Terkait Kasus

Menurut kasus, pasien mempunyai keluhan sariawan di dalam rongga


mulut sejak 3 hari yang lalu, sangat perih serta sulit makan. Menurut
keterangan dari pasien, letak sariawan berpindah-pindah, tidak demam
sebelumnya, sering menggunakan obat kumur, riwayat sariawan juga dijumpai
pada ibu pasien. Wajah pasien tampak pucat. Selain itu, pasien juga
mempunyai riwayat gangguan saluran pencernaan kronis.

Menurut keluhan dan keterangan pasien diatas, dapat disimpulkan bahwa


pasien sebaiknya dirujuk ke dokter gigi spesialis penyakit mulut, serta dokter
spesialis penyakit dalam. Pasien perlu dirujuk ke dokter spesialis penyakit
dalam dikarenakan pasien memiliki riwayat gangguan saluran pencernaan
yang kronis, jadi penyakit tersebut harus diatasi terlebih dahulu, karena ada
kemungkinan dari gangguan saluran pencernaan tersebut menyebabkan
abnormalitas dari kadar serum iron, folate, vitamin B12, dan ferritin yang merupakan
salah satu penyebab dari RAS (Recurrent Aphtous Stomatitis). Dan pasien juga
perlu dirujuk ke dokter gigi spesialis penyakit mulut karena salah satu tugas
dari spesialis penyakit mulut adalah melakukan perawatan sariawan yang tak
kunjung sembuh, manifestasi penyakit sistemik di rongga mulut, serta
kelainan atau penyakit yang mengenai regio mulut dan sekitarnya.

2.9 Konsep Bioetika Humaniora dan Profesionalisme, serta Epidemiologi


Kasus

2.9.1 Konsep Bioetika Humaniora dan Profesionalisme


Bioetika menurut F. Abel merupakan studi interdisipliner tentang
masalah-masalah yang ditimbulkan oleh perkembangan biologi dan
kedokteran, tidak hanya memperhatikan masalah-masalah yang terjadi
pada masa sekarang, tetapi juga memperhitungkan timbulnya masalah
pada masa yang akan datang. Bioetika berasal dari kata bios yang
berarti kehidupan dan ethos yang berarti norma-norma atau nilai-nilai
moral.
Humaniora merupakan pemikiran yang berkaitan dengan martabat
dan kodrat manusia, seperti yang terdapat dalam sejarah, filsafat, etika,
agama, bahasa, dan sastra.
Konsil Kedokteran Indonesia, dengan mengadopsi prinsip etika
kedokteran barat, menetapkan bahwa, praktik kedokteran Indonesia
mengacu kepada 4 kaidah dasar moral yang sering disebut kaidah
dasar etika kedokteran atau bioetika, antara lain:
 Beneficence
 Non-maleficence
 Justice
 Autonomy
Kaidah bioetik harus dipegang teguh olah seorang dokter dalam
proses pengobatan pasien, sampai pada tahap pasien tersebut tidak
mempunyai ikatan lagi dengan dokter yang bersangkutan.
Dalam memberikan penanganan pada kasus yang dialami oleh
pasien, dokter-dokter gigi terkait hendaknya memperhatikan empat (4)
kadiah bioetika tersebut, dan realisasinya sebagai berikut.
 Beneficence.
Dokter yang menangani pasien dalam kasus ini harus
mengusahakan agar pasien tersebut mendapat perawatan dan
penanganan yang baik dan manfaatnya besar bagi pasien. Selain
itu, dalam pemberian resep obat, dokter-dokter gigi hendaknya
memberikan obat yang berkhasiat yang harganya terjangkau oleh
pasien.
Aplikasi: Dokter gigi mampu menegakkan diagnosis RAS melalui
anamnesis, tanda dan gejala klinis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjangnya.
 Non-maleficence.
Dokter gigi umum yang didatangi oleh pasien dalam kasus
ini harus menjalankan prinsip "first, do no harm" yang berarti tidak
boleh memberikan tindakan atau penanganan melebihi
kewenangannya.
Aplikasi: Perawatan lanjutan terhadap dugaan RAS yang dialami
oleh pasien hendaknya diserahkan/dirujuk kepada dokter gigi
spesialis Penyakit Mulut (Sp. PM.).
 Justice.
Dokter yang menangani pasien dalam kasus ini haruslah
memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya tanpa memandang
status ekonomi, sosial, dan atribut yang melekat pada pasien
tersebut.
Aplikasi: Dokter gigi mampu memberikan edukasi dalam bahasa
yang dapat dipahami dan diterima oleh pasien mengenai faktor
predisposisi RAS.
 Autonomy.
Dokter yang menangani pasien dalam kasus ini hendaknya
memberikan penjelasan selengkap mungkin mengenai kondisi
pasien dan tindakan maupun perawatan yang akan diberikan.
Dokter juga harus mendengarkan dan menghormati pendapat
pasien. Selain itu, hendaknya dokter yang menangani memberikan
kesempatan bagi pasien untuk membuat keputusan setelah
mendengarkan penjelasan dari dokter yang menangani.
Aplikasi: Dokter gigi wajib menghormati hak pasien, memberikan
informasi mengenai RAS dan tindakan medis yang akan dilakukan
dan meminta izin pasien sebelum melakukan tindakan melalui
informed consent
2.9.2 Epidemiologi Kasus
Prevalensi SAR bervariasi tergantung pada daerah populasi yang di
teliti. Angka prevalensi SAR berkisar 15-25% dari populasi penduduk
di seluruh dunia. Penelitian telah menemukan terjadinya SAR pada
dewasa sekitar 2% di Swedia (1985), 1,9% di Spanyol (2002) dan
0,5% di Malaysia (2000). SAR tampaknya jarang terjadi di Bedouins
Kuwaiti yaitu sekitar 5% dan ditemukan 0,1% pada masyarakat India
di Malaysia. Namun, SAR sangat sering terjadi di Amerika Utara.9 Di
Indonesia belum diketahui berapa prevalensi SAR di masyarakat,
tetapi dari data klinik penyakit mulut di rumah sakit Ciptomangun
Kusumo tahun 1988 sampai dengan 1990 dijumpai kasus SAR
sebanyak 26,6%, periode 2003-2004 didapatkan prevalensi SAR dari
101 pasien terdapat kasus SAR 17,3%.Untuk penyebab, dari
penelitiaan telah ditemukan pula bahwa 90 % orang yang memiliki
riwayat keluarga dengan penyakit SAR ini memiliki penyakit RAS,
dan hanya 20 % orang yang tidak memiliki riwayat keluarga yang
mengidap penyakit ini.
SAR lebih sering dijumpai pada wanita daripada pria, pada orang
dibawah 40 tahun, orang kulit putih, tidak merokok, dan pada anak-
anak. Menurut Smith dan Wray (1999), SAR dapat terjadi pada semua
kelompok umur tetapi lebih sering ditemukan pada masa dewasa
muda. SAR paling sering dimulai selama dekade kedua dari kehidupan
seseorang. Pada sebagian besar keadaan, ulser akan makin jarang
terjadi pada pasien yang memasuki dekade keempat dan tidak pernah
terjadi pada pasien yang memasuki dekade kelima dan keenam.
BAB III

PEMBAHASAN

Seorang wanita berusia 28 tahun datang dengan muka pucat dan keluhan
sariawan di mulutnya sejak 3 hari yang lalu. Sariawan ini sering diderita pasie,
letaknya berpindah-pindah, dan sangat sakit sehingga ia sulit makan. Ternyata ibu
pasien juga memiliki riwayat sariawan yang sama. Pasien diketahui memiliki
riwayat gangguan saluran pencernaan kronis dan sering menggunakan obat kumur
yang beredar di pasaran untuk mengobati sendiri sariawannya itu.

Pada pemeriksaan ekstra oral tidak ditemukan adanya kelainan. Pada


pemeriksaan intra oral diketahui bahwa oral hygiene pasien buruk dan ditemukan
ulser putih yang banyak, dangkal dan dikelilingi daerah eritema, berbentuk oval
dan ireguler dengan diameter 1-4 mm, pada mukosa labial dan buccal, lateral
lidah, serta dasar mulut.

3.1 Kerangka Konsep dalam Analisa Kasus

Recurrent Apthous Stomatitis (RAS) pada pasien dapat berasal dari faktor
herediter, keadaan ini biasa dipicu oleh adanya suatu infeksi minor ataupun
trauma yang mengakibatkan adanya ulcerasi pada mulut pasien yang
diakibatkan oleh defisiensi imun yang disebabkan faktor herediter tadi.
Keadaan ini diperparah oleh oral hygiene yang buruk serta penggunaan
sembarang obat kumur oleh pasien.
Ulcerasi yang pasien idap mengakibatkan perih ketika makan sehingga
pasien menjadi sulit makan yang mengakibatkan pasien kemudian terjangkit
radang pencernaan kronis. Ulcer yang diidap pasien rutin terjadi 1-3 bulan
sekali yang dalam ilmu penyakit mulut termasuk kategori recurring oral
ulcers.
Ketika dilakukan pemeriksaan terhadap ulcer pasien, terlihat karakteristik
seperti ulcer banyak dan dangkal, bentuknya oval dan irregular, kedalaman
ulcer 1-4mm serta dikelilingi oleh erithematous, dan ulcer berada pada daerah
non-keratin. Dari karakteristik diatas maka dapa didiagnosa pasien mengidap
Reccurent Apthous Stomatitic (RAS).

ANAMNESIS
 Sariawan usia produktif
 Terjadi berulang-ulang Etiologi/Faktor Predisposisi
 Idopatik

Tanda dan Gejala Klinis  Faktor genetic


ILMU KEDOKTERAN DASAR
 Tanda gejala klinis intra oral,  Defisiensi hematologi
 Anatomi & Histologi  Trauma
sariawan terasa sakit, sangat
rongga mulut
tidak nyaman, sulit makan dan  Alergi makanan
minum. Gambaran ulser intra  Psikis
oral tampak ulser irregular.
 Tanda dan gejala klinis umum
bebebrapa hari sebelumnya
pasien menderita sakit kepala
dan demam. Lesi tampak
erythematous.

Diagnosis Banding Patogenesis


 Herpes simplex virus  Respon Sel T dan Produksi Pemeriksaan penunjang
 Pemphigus vulgaris TNF-alpha  Pemeriksaan hematologi
 Bechet’s syndrome dasar
 Pemeriksaan apus
Diagnosis
mukosa
Reccurent Apthous Stomatitis
EPIDEMIOLOGI SAR

Penatakalsanaan
 Farmakologi
 Non farmakologi

RUJUKAN
3.2 Tatalaksana Sesuai Konsep Patofisiologi & Kompetensi drg. Umum

Obat yang diresepkan harus sesuai dengan tingkat keparahan penyakit.


Dalam kasus ringan dengan dua atau tiga lesi kecil, hanya diperlukan
penggunaan emolien pelindung seperti Orabase (Bristol-Myers Squibb,
Princeton, NJ) atau Zilactin (Zila Farmasi, Phoenix, AZ), anestesi topikal.
Penghilang rasa sakit pada lesi minor dapat diperoleh dengan
menggunakan agen anestesi topikal atau diklofenak topikal, sebuah NSAID
sering digunakan secara topikal setelah operasi mata. Dalam kasus yang lebih
parah, penggunaan high-potency topical steroid preparation, seperti
fluocinonide, betametason, atau clobetasol, ditempatkan langsung pada lesi,
sehingga proses penyembuhan semakin cepat dan mengurangi ukuran ulser.
Efektivitas steroid topikal sebagian didasarkan pada instruksi yang baik dan
kepatuhan pasien mengenai penggunaan yang tepat. Gel steroid dapat
diaplikasikan secara langsung pada lesi setelah makan dan sebelum tidur dua
sampai tiga kali sehari atau dicampur dengan adhesif seperti Orabase sebelum
aplikasi. Lesi yang lebih besar dapat diobati dengan menempatkan spons kasa
yang mengandung steroid topikal pada ulser dan biarkan selama 15 sampai 30
menit.
Sediaan topikal lain yang telah terbukti mempercepat penyembuhan lesi
RAS diantaranya pasta amlexanox dan tetrasiklin topikal, yang dapat
digunakan baik sebagai obat kumur atau diaplikasikan pada spons kasa.
Steroid intralesi dapat digunakan untuk mengobati lesi RAS yang lebih besar.
Perlu ditekankan bahwa tidak ada terapi topikal yang mengurangi frekuensi
lesi baru.
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Kesimpulan

Setelah dilihat dari keluhan, gejala, hasil pemeriksaan lab, dan teori yang
mendukung, pasien positif terkena penyakit Recurrent Aphthous Stomatitis
(RAS) yang disebabkan oleh factor genetic dari orangtua pasien, dan keadaan
tersebut didukung dengan oral hygiene pasien yang buruk dan riwayat
gangguan saluran pencernaan kronis pasien.

4.2 Saran

Sebaiknya pasien segera melakukan perawatan sebelum penyakit


Recurrent Aphthous Stomatitis semakin parah.
DAFTAR PUSTAKA

Zain, Rosnah Binti.1999. Classification,epidemiology,and etiology of oral


recurrent aphtous ulceration/stomatitis. Annal Dental University Malaya, 6(1):7-
34
Burket, Lester William, Martin S. Greenberg, Michael Glick, Jonathan A.
Ship. 2008. Burket's Oral Medicine. Tenth Edition. Ontario: BC Decker Inc.

Mappaware, Nasrodin A., dr. Sp.OG, Buku Pengantar Bioetika, Hukum


Kedokteran, dan Hak Asasi Manusia

Regezi. 2003. Oral Pathology Clinical Pathologic Correlations. 4th Edition

http://www.academia.edu/7245584/BIOETIKA_KEDOKTERAN

Anda mungkin juga menyukai