Anda di halaman 1dari 53

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ginjal adalah sepasang organ retroperitoneal yang integral dengan

homestatis tubuh dalam mempertahankan keseimbangan, termasuk

keseimbangan fisika dan kimia. Ginjal menyekresi hormon dan enzim yang

membantu pengaturan produksi eritrosit, tekanan darah, serta metabolisme

kalsium dan fosfor. Ginjal membuang metabolisme dan menyesuaikan

ekskresi air dan pelarut. Ginjal mengatur volume cairan tubuh, asiditas, dan

elektrolit sehingga mempertahankan komposisi cairan yang normal

(Notoatmodjo, 2010).
Penyakit gagal ginjal kronik atau chronic kidney disease (CKD)

merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana

kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan

keseimbangan cairan dan elektrolit dimana pada ahirnya menyebabkan

uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). Chronic

Kidney Disease (CKD) atau penyakit ginjal kronis merupakan kegagalan

fungsi ginjal (unit nefron) yang berlangsung perlahan-lahan karena

penyebab berlangsung lama dan menetap yang mengakibatkan penumpukan

sisa metabolik (toksik uremik) sehingga ginjal tidak dapat memenuhi

kebutuhan biasa lagi dan menimbulkan gejala sakit (Handayani &

Rahmawati, 2013).
Menurut WHO Penyakit Ginjal dikaitkan dengan sekitar 188 juta

kasus pengeluaran kesehatan katastropik di Negara-negara berpenghasilan


rendah dan menengah. Skala beban yang terkait dengan kondisi di negara-

negara ini menuntut tindakan. Penyakit ginjal secara tidak proposional

mempengaruhi populasi yang kurang beruntung dan mengurangi jumlah

tahun produktif kehidupan. Selanjutnya, prospek beban keuangan

menghambat banyak pasien menjalani perawatan, sehingga menyebabkan

morbiditas dan kematian yang dapat di cegah (Palihawadana, 2017).


Prevalensi gagal ginjal kronik di Indonesia pada tahun 2013 sekitar

2,0 % dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 menjadi 3,8 %.

Prevalensi gagal ginjal di Kalimantan meningkat pada tahun 2018 mencapai

6,4 % dan di Sulawesi Barat pada tahun 2013 sekitar 2,0 %. Namun pada

tahun 2018 mengalami penurunan menjadi 1,8 %. Prevalensi gagal ginjal

kronis di Jawa Tengah pada tahun 2013 sebanyak 3,0 % dan meningkat pada

tahun 2018 menjadi 3,8 % (Riskesdas, 2018).

Penyakit gagal ginjal kronik harus mendapat penanganan yang baik

agar tidak terjadi peningkatan. Penyakit gagal ginjal kronik atau Chronic

Kidney Disease (CKD) mengalami penurunan fungsi ginjal yang

berlangsung lama dan bertahap, bersifat progresif dengan kreatinin klirens.

Fungsi ginjal mengalami gangguan dan tidak bisa berfungsi dengan normal.

Oleh karena itu diperlukan terapi pengganti untuk membawa sisa-sisa

metabolisme tubuh. Terapi pengganti ini dilakukan untuk membantu pasien

mempertahankan hidup sampai beberapa tahun lamanya. Salah satu

terapinya adalah dengan melakukan hemodialisis (HD). Hemodialisis (HD)

bertujuan menggantikan fungsi ginjal sehingga dapat memperpanjang

kelangsungan hidup dan memperbaiki kualitas hidup pada penderita gagal


ginjal dengan menggunakan selaput membrane semi permeable (dializer),

yang berfungsi seperti nefron sehingga dapat mengeluarkan produk sisa

metabolisme dan mengoreksi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit

pada pasien gagal ginjal (Hayani, 2014).

Hemodialisis dapat memperpanjang usia, namun tindakan ini tidak

akan bisa mengembalikan fungsi ginjal. Hemodialisis ini digunakan bagi

pasien tahap akhir gagal ginjal atau pasien dengan penyakit akut yang

membutuhkan dialisis waktu singkat. Pasien gagal ginjal kronik harus

menjalani terapi dialisis sepanjang hidupnya, biasanya tiga kali seminggu

selama paling sedikit 3 atau 4 jam per 1 kali terapi, atau sampai mendapat

ginjal baru melalui transplantasi ginjal (Mutaqqin dan Sari, 2011).

Pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis jangka

panjang akan mengalami kecemasan yang disebabkan beberapa stressor,

diantaranya pengalaman nyeri pada daerah penusukan saat memulai

hemodialisis, masalah finansial, kesulitan dalam mempertahankan masalah

pekerjaan, dorongan sosial yang menghilang, depresi akibat penyakit kronis

serta ketakutan terhadap kematian (Brunner dan Suddarth, 2014).

Kecemasan adalah suatu sinyal yang menyadarkan, memperingatkan

adanya bahaya yang mengancam dan memungkinkan seseorang mengambil

tindakan mengatasi ancaman (Kaplan, 2015). Menurut Kusumawati dan

Hartono (2011) menyebutkan cemas adalah emosi dan pengalaman

subyektif dari seseorang yang membuat dirinya tidak aman. Cemas


merupakan suatu sikap alamiah yang dialami oleh setiap manusia sebagai

bentuk respon dalam menghadapi ancaman.

Nuraeni (2015) menjelaskan bahwa jika kecemasan tidak ditangani

dengan baik akan menimbulkan beberapa dampak diantaranya seseorang

cenderung mempunyai penilaian negatif tentang makna hidup, perubahan

emosional seperti depresi kronis serta gangguan psikososial. Maka dari itu

dibutuhkan terapi untuk mengatasi kecemasan. Terapi yang dapat digunakan

untuk mengatasi kecemasan terdiri dari terapi farmakologi dan non

farmakologi. Terapi non farmakologi yang dapat dilakukan untuk mengatasi

kecemasan yaitu pengaturan diri, terapi psikologi, dan terapi relaksasi. Salah

satu terapi relaksasi yang dapat dilakukan adalah terapi musik.


Musik pada hakekatnya dapat melampaui kondisi kesehatan

seseorang setiap saat menghantar ke tempat-tempat yang sama sekali tidak

terbayangkan. Bila seseorang menggunakan terapi musik sebagai relaksasi,

maka pikiran abstraknya akan menurunkan kekondisi normal dari

kecemasan yang dihadapinya. Ketika proses terus berlanjut, ia akan

bergerak memperluas ambang sensori, kondisi mediatif dan kondisi

terpesona. Seringkali terapi musik akan menghilangkan kesadaran waktu,

yang pada gilirannya membantu mereka mengurangi perasaan stress,

kecemasan, rasa takut dan rasa sakit (Djohan, 2010).

Terapi musik terbukti efektif untuk menurunkan tingkat kecemasan

pasien sebelum hemodialisis. Larasati (2012) mengatakan bahwa pasien

diberi musik “ayun ambing’, menghasilkan menciptakan perasaan bahagia,

merangsang saraf simpatis, sehingga mempercepat pemulihan atas


kecemasan pasien. Kecemasan yang dialami oleh pasien dapat

meningkatkan stimulasi terhadap sistem saraf simpatik, memperbaiki sistem

pernafasan, menjaga kebutuhan oksigen dan stimulasi miokard melalui

musik tradisional. Dipercaya bahwa musik semacam itu sinkron dengan

baik dengan mesin hemodialisis, menghasilkan keadaan pikiran yang tenang

(Firman, 2010).

Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Firman (2010) ada

pengaruh yang signifikan dari musik sunda “ayun ambing” sebagai terapi

untuk menurunkan tingkat kecemasan pasien penyakit ginjal kronik yang

menjalani hemodialisis. Hasilnya terbukti bahwa ada perubahan pada

tingkat kecemasan mengunakan terapi musik dari pada terapi standar.

Terapi musik digunakan sebagai salah satu media pengobatan atau

alternative terapy, mengetahui bahwa terapi itu memiliki kekuatan untuk

menyembuhkan penyakit dan meningkatkan kemampuan berpikir seseorang.


Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka penulis tertarik

untuk mengambil judul Karya Tulis Ilmiah tentang “Asuhan keperawatan

klien yang mengalami gagal ginjal kronik atau Chronic Kidney Disease

(CKD) dengan kecemasan diruang HCU Melati 1 rumah sakit Dr.

Moewardi, Surakarta, Jawa Tengah.


1.2 Rumusan Masalah
Dalam penulisan KTI ini penulis mengambil rumusan masalah

yaitu“Bagaimana Asuhan Keperawatan pada pasien dengan Chronic kidney

Disease (CKD) yang mengalami kecemasan dirumah sakit.


1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui dan mendapatkan pengalaman yang nyata

tentang “Asuhan Keperawatan yang tepat pada pasien dengan

Chronic Kidney Disease (CKD) yang mengalami kecemasan

dirumah sakit.
1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini :

1. Melakukan pengkajian keperawatan pada pasien gagal

ginjal kronik dengan pemenuhan kebutuhan rasa aman dan

nyaman.
2. Menetapkan diagnosa keperawatan pada pasien gagal ginjal

kronik dengan pemenuhan kebutuhan rasa aman dan nyaman.


3. Menyususn perencanaan keperawatan pada pasien gagal

ginjal konik dengan pemenuhan kebutuhan rasa aman dan

nyaman.
4. Melaksanakan tindakan keperawatan pada pasien gagal

ginjal kronik dengan pemenuhan kebutuhan rasa aman dan

nyaman.
5. Melak

ukan evaluasi keperawatan pada pasien gagal ginjal kronik

dengan pemenuhan kebutuhan rasa aman dan nyaman.

1.4 Manfaat
Penulisan karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi

beberapa pihak diantaranya :


1.4.1 Teoritis
1. Sebagai wacana untuk mengetahui sejauh mana

pelaksanaan asuhan keperawatan pasien yang mengalami gagal

ginjal kronik dengan kecemasan.


2. Sebagai wacana untuk studi kasus terutama salam asuhan

keperawatan pasien yang mengalami gagal ginjal kronik

dengan kecemasan.
1.4.2 Praktis
1. Bagi Penulis

Menambah wawasan dan dapat mengaplikasikan pemberian

terapi musik ”Ayun Ambing’’ berdasarkan Evidence Based

Practice terhadap kecemasan pasien gagal ginjal kronik yang

menjalani hemodialisa.

2. Bagi klien

Membantu klien yang mengalami gagal ginjal kronik dengan

pemenuhan kebutuhan rasa aman dan nyaman dirumah sakit

melalui proses keperawatan secara komprehensif.

3. Bagi praktisi keperawatan

Diharapkan penulisan karya tulis ilmiah ini dapat menambah

pengetahuan perawat dan dapat mengaplikasikan tindakan

terapi musik untuk merawat pasien gagal ginjal kronik dengan

kecemasan.

4. Bagi Institusi Pendidikan


Menambah wacana dan pengetahuan tentang perkembangan

ilmu keperawatan, terutama tentang asuhan keperawatan pada

pasien gagal ginjal kronik dengan kecemasan.

5. Bagi Rumah Sakit

Dapat memberikan masukan pada rumah sakit dalam rangka

meningkatkan mutu pelayanan kesehatan terutama penanganan

kecemasan pada pasien gagal ginjal kronik.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Teori


2.1.1 Konsep CKD
1. Definisi

Gagal ginjal kronik atau Chronic Kidney Disease (CKD)

adalah suatu gangguan pada ginjal yang ditandai dengan

abnormalitas struktur ataupun fungsi ginjal yang berlangsung lebih

dari 3 bulan. Gagal ginjal kronis ini ditandai dengan satu atau lebih

tanda kerusakan ginjal yaitu albuminuria, abnormalitas sedimen

urin, elektrolit, histologi, struktur ginjal, ataupun adanya riwayat

transplantasi ginjal, juga disertai penurunan laju filtrasi (Jurnal

Kesehatan Andalas, 2018).

Penyakit ginjal kronik atau Chronic Kidney Disease (CKD)

merupakan suatu proses patologis dengan etiologi yang beragam,

mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang irreversible dan

progresif dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan

metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga

menyebabkan uremia (Smeltzer, Bare & Hinkle, 2008).

Gagal ginjal kronik atau Chronic Kidney Disease (CKD)

yaitu suatu kondisi dimana ginjal rusak dan tidak dapat menyaring

darah serta sebagaimana mestinya. CKD (Chronic Kidney Disease)


memiliki berbagai tingkat keseriusan. Biasanya memburuk dari

waktu ke waktu meskipun pengobatan telah memperlambat

perkembangan. Jika tidak di tangani, gagal ginjal kronik dapat

berkembang menjadi gagal ginjal dan penyakit kardiovaskuler dini.

Ketika ginjal berhenti bekerja, dialysis atau transplantasi ginjal di

perlukan untuk mempertahankan hidup (National Chronic Kidney

Disease Fact Sheet, 2017).

2. Etiologi
Menurut Hadi Purwanto (2016) etiologi gagal ginjal kronik sebagai

berikut :
a. Diabetes Mellitus
b. Glumerulonefritis kronis
c. Pielonefritis
d. Hipertensi tak terkontrol
e. Obstruksi saluran kemih
f. Penyakit ginjal polikistik
g. Gangguan vaskuler
h. Lesi herediter
i. Agen toksik (timah, cadmium, dan merkuri)
3. Klasifikasi

Dibawah ini terdapat 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis

menurut Husna (2010) sebagai berikut :

a. Stadium 1 (glomerulo filtrasi rate/GFR normal > 90

ml/min)
Seorang perlu waspada akan kondisi ginjalnya berada pada

stadium 1 apabila kadar ureum atau kreatinin berada di atas

normal.
b. Stadium 2 (penurunan GFR ringan atau 60-89 ml/min)
Seorang perlu waspada akan kondisi ginjalnya berada pada

stadium 2 apabila kadar ureum atau kreatinin berada diatas


normal, didapati darah atau protein dalam urin, adanya bukti

visual kerusakan ginjal melalui pemeriksaan Magnetic

Resonance Imaging (MRI), CT scan, ultrasound atau contrast x-

ray, dan salah satu keluarga menderita penyakit ginjal polikistik.


c. Stadium 3 (penurunan GFR moderat atau GFR 30-59

ml/min)
Seseorang yang menderita gagal ginjal kronik stadium 3

mengalami penurunan GFR moderat yaitu diantara 30-59

ml/min. Penurunan pada tingkat ini akumulasi sisa-sisa

metabolisme akan menumpuk dalam darah yang disebut uremia.

Pada stadium ini muncul komplikasi seperti tekanan darah tinggi

(hipertensi), anemia atau keluhan pada tulang. Gejala-gejala

juga terkadang mulai dirasakan seperti :


1) Fatique : rasa lemah leleah yang biasanya

diakibatkan oleh anemia.


2) Kelebihan cairan : seiring dengan menurunnya

fungsi ginjal membuat ginjal tidak dapat lagi mengatur

komposisi cairan yang berada dalam tubuh. Hal ini membuat

penderita akan mengalami pembengkakan sekitar kaki bagian

bawah, sekitar wajah atau tangan. Penderita juga dapat

mengalami sesak nafas akibat terlalu banyak cairan yang

berada dalam tubuh.


3) Perubahan pada urin : urin yang keluar dapat

berbusa yang menandakan adanya protein di urin, selain itu

warna urin juga mengalami perubahan menjadi coklat,

orange tua, atau merah apabila bercampur darah. Kuantitas


urin bisa bertambah atau berkurang dan terkadang penderita

sering terbangun untuk buang air kecil di tengah malam.


4) Rasa sakit pada ginjal : rasa sakit sekitar pinggang

tempat ginjal berada dapat dialami oleh sebagian penderita

yang mempunyai masalah ginjal seperti polikistik dan

infeksi.
5) Sulit tidur : sebagian penderita akan mengalami

kesulitan untuk tidur disebabkan munculnya rasa gatal dan

kram otot.
d. Stadium 4 (penurunan GFR parah atau 15-29 ml/min)
Pada stadium ini fungsi ginjal hanya sekitar 15-30 % saja

dan apabila seseorang berada pada stadium ini maka sangat

mungkin dalam waktu dekat diharuskan menjalani terapi

pengganti ginjal/dialisis atau melakukan transplantasi ginjal.

Kondisi dimana terjadi penumpukan racun dalam darah atau

uremia biasanya muncul pada stadium ini. Selain itu besar

kemungkinan muncul komplikasi seperti tekanan darah tinggi

(hipertensi), anemia, penyakit tulang, masalah pada jantung dan

penyakit kardiovaskuler lainnya. Gejala yang mungkn dirasakan

pada stadium 4 adalah : fatique : rasa lemah/lelah yang biasanya

diakibatkan oleh anemia, kelebihan cairan, perubahan pada

urin : urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan adanya

kandungan protein di urin, rasa sakit pada ginjal, sulit tidur,

nause : muntah atau rasa ingin muntah, perubahan cita rasa

makanan, bau mulut uremic : ureum yang menumpuk dalam


darah dapat di deteksi melalui bau pernafasan yang tidak enak,

dan sulit berkonsentrasi. Rekomendasi untuk memulai terapi

pengganti ginjal adalah upaya-upaya dilakukan untuk

memperpanjang fungsi ginjal serta menunda terapi dialisis atau

transplantasi selama mungkin.


e. Stadium 5 (penyakit ginjal stadium akhir/terminal atau

GFR < 15 ml/min)


Pada level ini ginjal kehilangan hampir seluruh

kemampuannya untuk bekerja secara optimal. Untuk itu

diperukan suatu terapi pengganti ginjal (dialisis) atau

transplantasi agar penderita dapat bertahan hidup. Gejala yang

dapat timbul pada stadium 5 antara lain, kehilangan nafsu

makan, nausea, sakit kepala, merasa lelah, tidak mampu

berkonsentrasi, gatal-gatal, urin tidak hanya sedikit sekali,

bengkak terutama disekitar wajah, mata dan pergelengan kaki,

kram otot, dan perubahan warna kulit. Seseorang yang

menderita gagal ginjal terminal disarankan untuk melakukan

hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.


4. Patofisiologi
Secara ringkas patofisiologi gagal ginjal kronik dimulai

pada fase awal gangguan, keseimbangan cairan, penanganan

garam, serta penimbunan zat-zat sisa masih bervariasi dan

bergantung pada bagian ginjal yang sakit. Sampai fungsi ginjal

turun kurang dari 25% normal, manifestasi gagal ginjal kronik

mungkin minimal karena nefron-nefron sisa yang sehat mengambil


alih fungsi nefron yang rusak. Nefron yang tersisa meningkatkan

kecepatan filtrasi, reabsorpsi, dan sekresinya, serta mengalami

hipertrofi. Seiring banyaknya nefron yang mati, maka nefron yang

tersisa menghadapi tugas yang semakin berat sehingga nefron-

nefron itu ikut rusak dan akhirnya mati. Sebagian dari siklus

kematian ini tampaknya berkaitan dengan tuntutan pada nefron-

nefron yang ada untuk meningkatkan reabsorpsi protein. Pada saat

penyusutan progresif nefron-nefron, terjadi pembentukan jaringan

parut dan aliran darah ke ginjal akan berkurang. Pelepasan renin

akan menuigkat bersama dengan kelebihan beban cairan sehingga

mengakibatkan hipertensi. Hipertensi akan memperburuk kondisi

gagal ginjal (Arif dan Kumala 2010).

5. Manifestasi klinis
Tanda dan gejala klinis pada gagal ginjal kronik

dikarenakan gangguan yang bersifat sistemik. Gagal sebagai organ

koordinasi dalam peran sirkulasi memiliki fungsi yang banyak

(organ multifungsi), sehingga kerusakan klinis secara fisiologis

ginjal akan mengakibatkan gangguan keseimbangan sirkulasi dan

vasomotor. Berikut ini ada tanda dan gejala gagal ginjal kronik

(Robinson, 2013):
a. Ginjal dan gastrointestinal
Sebagai akibat dari hiponatremia maka timbul hipotensi, mulut

kering penurunan turgor kulit, kelemahan, fatigue, dan mual.

Kemudian terjadi penurunan kesadaran (somnolen) dan nyeri


kepala berat. Dampak dari peningkatan kalium adalah

peningkatan iritabilitas otot dan akhirnya otot mengalami

kelemahan. Kelebihan cairan yang tidak terkompensasi akan

mengakibatkan asidosis metabolik. Tanda paling khas adalah

terjadinya penurunan urine output dengan sedimentasi yang

tinggi.
b. Kardiovaskuler
Biasanya terjadi hipertensi,aritmia, kardiomiopati, uremia

perikarditis, effuse pericardial (kemungkinan bisa terjadi

temponade jantung), gagal jantung, edema periorbital dan edema

perifer.
c. Gastrointestinal
Biasanya menunjukan adanya inflamasi dan ulserasi pada

mukosa gastrointestinal karena stomatitis, ulserasi, perdarahan

gusi dan kemungkinan juga disertai parotitis, caofagotis,

gastritis, ulserasi, lesi pada usus halus/usus besar, dan

pancreatitis. Kejadian sekunder biasanya mengikuti seperti

anoreksia, nausea, dan vomiting.


d. Respiratory system
Biasanya terjadi edema pulmonal, nyeri pleura, friction rub dan

efusi pleura, cracles, sputum yang kental, uremia pleuritis dan

uremia lung, dan sesak nafas.


e. Integument
Kulit pucat, kekuning-kuningan, kecoklatan, kering ada sclap.

Selain itu biasanya juga menunjukan adanya purpura, ekimosis,

petechiae, dan timbunan urea pada kulit.


f. Neurologis
Biasanya ditunjukan dengan adanya neurophati perifer, nyeri,

gatal pada lengan dan kaki. Selain itu juga adanya kram pada

otot reflek kedutan, daya memori menurun, apatis, rasa kantuk

meningkat, pusing, koma, kejang. Dari hasil elektroensefalografi

(EEG) menunjukkan adanya perubahan metabolik

enchepalophaty.

g. Endokrin
Biasa terjadi infertilisasi dan penurunan libido, amenhorea dan

gangguan siklus menstruasi pada wanita, impoten, penurunan

sekresi sperma, peningkatan sekresi aldosteron, dan kerusakan

metabolisme karbohidrat.
h. Hematopolitiec
Terjadi anemia, penurunan waktu hidup sel darah merah,

trombositopenia (dampak dari dialisis) dan kerusakan platelet.

Biasanya masalah yang serius pada sistem hematologik

ditunjukkan dengan adanya perdarahan (pupura, ekimosis, dan

petechiae).
i. Musculoskeletal
Nyeri pada sendi dan tulang, demineralisasi tulang, fraktur

patologis dan klasifikasi (otak, mata, gusi, dan miokard).


6. Komplikasi
Komplikasi penyakit gagal ginjal kronik menurut Suharyanto dan

Majdid (2009), diantaranya adalah :


a. Anemia
Anemia pada penyakit gagal ginjal kronik disebabkan oleh

produksi eritropoietin yang tidak adekuat oleh ginjal dan diobati

dengan pemberian eritropoietin subkutan atau intravena.

Pemberian eritropoitein subkutan atau intravena bisa bekerja


dengan baik apabila kadar besi, fosfat, dan vit B12 adekuat dan

keadaan pasien baik.


b. Hipertensi

Penyakit vaskuler merupakan penyebab utama kematian pada

gagal ginjal kronik. Sebagian besar penyakit hipertensi pada

gagal ginjal kronik disebakan oleh hipervolemia akibat retensi

natrium dan air. Jika fungsi ginjal memadai, pemberian

furosemide dapat bermanfaat.

c. Dehidrasi

Hilangnya fungsi ginjal biasanya menyebabkan retensi natium

dan air akibat hilangnya nefron. Ginjal tetap mempertahankan

filtrasi namun kehilangan fungus tubulus sehingga

mengekskresikan urin yang sangat encer yang menyebabkan

dehidrasi.

d. Gastrointestinal

Gejala mual, muntah, anoreksia, dan dada terasa terbakar sering

dirasakan pasien gagal ginjal kronik. Esophagitis, angiodisplasia

dan pankreatitis juga tinggi terjadi pada pasien gagal ginjal

kronik.

e. Endokrin

Pada pria, gagal ginjal kronik dapat menyebabakan kehilangan

libido, impotensi, dan penurunan jumlah serta mortilitas sperma,

pada wanita, sering terjadi kehilangan libido, berkurangnya

ovulasi dan infertilitas.


f. Penyakit jantung

Perikarditis dapat terjadi dan lebih besar kemungkinan terjadinya

jika kadar ureum, fosfat tinggi atau terdapat hiperparatirodisme

sekunder yang berat. Kelebihan cairan dan hipertensi dapat

menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri atau kardiomiopati dilatasi.

7. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan klien gagal ginjal kronik untuk

mengoptimalkan fungsi ginjal yang ada dan mempertahankan

keseimbangan secara maksimal untuk memperpanjang kehidupan

klien. Sebagai penyakit yang komplek, gagal ginjal kronik

membutuhkan penatalaksanaan yang terpadu dan serius, sehingga

akan meminimalisir komplikasi dan meningkatkan angka harapan

hidup. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan

penatalaksanaan pada gagal ginjal kronik (Robinson, 2013).

a. Perawatan kulit yang baik


Perhatikan hygiene pasien dengan baik melalui personal hygiene

(mandi) secara rutin. Gunakan sabun yang mengandung lemak

dan lotion tanpa alkohol untuk mengurangi rasa gatal. Jangan

gunakan gliserin/sabun yang mengandung gliserin karena akan

mengakibatkan kulit menjadi tambah kering.

b. Jaga kebersihan
Lakukan perawatan oral hygiene melalui sikat gigi dengan bulu

sikat yang lembut. Kurangi konsumsi gula (bahan makan dan

minum) untuk mengurangi rasa tidak nyaman di mulut.


c. Beri dukungan nutrisi
Kolaborasi dengan nutritionist untuk menyediakan menu

makanan favorit sesuai diet. Beri dukungan intake tinggi kalori,

rendah natrium dan kalium.


d. Pantau adanya hiperkalemia
Hiperkalemia biasanya ditunjukkan dengan adanya kejang/kram

pada lengan dan abdomen, dan diare. Selain itu pemantauan

hiperkalemia dengan hasil (elektrokardigram) atau EKG.

Hiperkalemia bisa diatasi dengan dialisis.


e. Atasi hiperfosfatemia dan hipokalsemia
Kondisi hiperfosfatemia dan hipokalsemia biasa diatasi dengan

pemberian antasida (kandungan aluminium/kalsium karbonat).


f. Kaji status dehidrasi dengan hati-hati
Dilakukan dengan memeriksa ada/tindakannya disertai vena

jugularis, ada/tidaknya crackles pada auskultasi paru. Selain itu,

status dehidrasi bisa dilihat dari keringat berlebih pada aksila,

lidah yang kering, hipertensi dan edema perifer. Cairan hidrasi

yang berlebihan adalah 500-600 ml atau lebih dari kandungan

urin 24 jam.
g. Kontrol tekanan darah
Tekanan darah dapat diupayakan dalam kondisi normal.

Hipertensi dicegah dengan mengontrol volume intravaskuler dan

obat-obatan antihipertensi.
h. Latih klien nafas dalam untuk mencegah terjadinya

kegagalan nafas akibat obstruksi.


i. Jaga kondisi septik dan aseptik setiap prosedur perawatan
j. Observasi ginjal adanya tanda-tanda perdarahan
Pantau kadar hemoglobin dan hematokrit klien. Pemberian

heparin selama klien menjalani dialisis harus sesuai dengan

kebutuhan.
k. Observasi adanya gejala neurologi
Pantau kadar-kadar haemoglobin dan hematokrit klien.

Pemberian heparin selama klien menjalani dialisis harus sesuai

dengan kebutuhan.
l. Tatalaksana dialisis/transplantasi ginjal
Untuk membantu mengoptimalkan fungsi ginjal maka dilakukan

dialisis/cuci darah karena ginjal yang seharusnya menyaring

racun-racun sisa metabolisme tidak sanggup melakukan

tugasnya. Imbasnya, racun sisa metabolisme tidak bisa keluar

dalam tubuh dan bercampur dalam darah. Jika darah yang berisi

racun ini diedarkan ke seluruh tubuh, maka akan mengganggu

organ lainnya. Mesin yang digunakan untuk mencuci darah

adalah hemodialisa. Cara kerjanya, yakni dengan mengalirkan

dari tubuh menuju mesin, lalu dalam mesin darah di saring, racun

dalam darah dibuang, lalu darah bersih kembali dialirkan dalam

tubuh. Jika memungkinkan koordinasikan untuk dilakukan

transplantasi ginjal.
8. Pemeriksaan penunjang
Menurut Mutaqqin dan Sari (2014) pemeriksaan penunjang

yang dilakukan pada penderita gagal ginjal kronik Antara lain :


a. Pemeriksaan laboratorium
1) Laju endap darah, meningkat yang diperberat oleh adanya

anemia, dan hipoalbuminemia, dan jumlah retikulosit yang

rendah.
2) Ureum dan kreatinin, meningkat biasanya perbandingan

Antara ureum dan kreatinin kurang lebih 2 : 1. Perbandingan

ini bisa meningkat oleh karena perdarahan saluran cerna,


demam, luka bakar luas, pengobatan steroid dan obstruksi

saluran kemih. Perbandingan ini berkurang ureum lebih kecil

dari kreatinin, pada diet rendah protein, dan tes klirens

kreatinin yang menurun.


3) Hiponatremi umumnya dikarenakan kelebihan cairan.

Hiperkalemia ; biasanya terjadi pada gagal ginjal lanjut

bersama dengan menurunnya diuresis.


4) Hipokalsemia dan hiperfosfatemia : terjadi karena

berkurangnya sintesis vitamin D3 pada gagal ginjal kronik.


5) Phosphate alkaline meningkat akibat gangguan

metabolisme tulang, terutama isoenzim fosfatase tulang.


6) Pemeriksaan urin
a) Volume : biasanya kurang dari 400 ml/24 jam atau

tidak ada urin.


b) Warna : secara abnormal urin keruh kemungkinan

disebabkan oleh pus, bakteri, lemak, fosfat atau urat

sedimen kotor, kecoklatan menunjukan adanya darah, Hb,

mioglobin, porfirin.
c) Berat jenis kurang dari 1,010 menunjukkan

kerusakan ginjal berat.


d) Osmoalitas : kurang dari 350 mOsm/kg,

menunjukkan kerusakan ginjal tubular dan rasio

urin/serum sering 1:1.


e) Natrium : lebih besar dari 40 mEq/L karena ginjal

tidak mampu mereabsorpsi natrium.


b. Pemeriksaan diagnostik lain
1) Foto polos abdomen untuk menilai bentuk dan besar ginjal

(adanya batu atau adanya suatu obstruksi)


2) Intra Vena pielografi (IVP) untuk menilai system

pelviokalises dan ureter. Pemeriksaan ini mempunyai resiko

penurunan faal ginjal pada keadaan tertentu, misalnya : usia

lanjut, diabetes mellitus dan nefropati asam urat.


3) USG untuk menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkim

ginjal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi sistem

pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih dan prostat.


4) Renogram untuk menilai fungsi ginjal kanan dan kiri,

lokasi gangguan (vaskuler, parenkim, eskresi), serta sisa

fungsi ginjal.
5) EKG untuk melihat kemungkinan hipertrofi ventrikel kiri,

tanda-tanda perikarditis, aritmia, gangguan elektrolit

(hiperkalemia).
6) Endoskopi ginjal untuk menentukan pelvis ginjal, keluar

batu, hematuria, dan pengangkatan tumor selektif.


7) Arteriogram ginjal untuk mengkaji sirkulasi ginjal dan

mengidentifikasi ekstravaskuler, masa ginjal.

2.2 Konsep Asuhan Keperawatan


Menurut Mutaqqin dan Sari (2014) penatalaksanaan asuhan keperawatan

pada pasien gagal ginjal kronik adalah :


2.2.1 Pengkajian
1. Identitas
2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama dan riwayat kesehatan sekarang
1) Aktivitas/istirahat : kelelahan yang ekstrim,

kelemahan, malaise.
2) Sirkulasi : riwayat hipertensi lama adalah berat,

palpasi, nyeri dada.


3) Integritas ego : faktor stress, contohnya finansial,

hubungan dan sebagainya, perasaan tidak berdaya, tidak ada

harapan, tidak ada kekuatan.


4) Eliminasi : penurunan frekuensi urine, oliguria,

anuria, abdomen kembung, diare/konstipasi.


5) Makanan/cairan : berat badan naik (edema), berat

badan turun (malnutrisi), anoreksia, nyeri ulu hati,

mual/muntah, rasa metalik mulut yang tidak sedap (nafas

amoniak), dan gangguan diuretik.


6) Neurosensori : sakit kepala, penglihatan kabur, kram

otot/kejang, sindrom kaki, gelisah,kebas rasa terbakar pada

telapak kaki, kebas/kesemutan dan kelemahan, terutama

ekstremitas bawah (neuropati perifer).


7) Pernafasan : nafas pendek, dypsnea nocturnal

paraksismal, batuk dengan/tanpa sputum kental dan banyak.


8) Nyeri/kenyamanan : nyeri panggul, sakit kepala,

kram otot/nyeri kaki (memburuk pada malam hari).


9) Keamanan : kulit gatal, ada/berulangnya infeksi.
b. Riwayat kesehatan masa lalu
Kaji adanya riwayat penyakit gagal ginjal kronik, infeksi saluran

kemih, payah jantung, penggunaaan obat-obat nefrotoksik,

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) dan prostatektomi, kaji

adanya riwayat penyakit batu saluran kemih, infeksi saluran


kemih berulang, penyakit diabetes mellitus, dan penyakit

hipertensi pada masa sebelumnya yang menjadi predisposisi

penyebabnya. Penting untuk dikaji mengenai riwayat

pemakaian obat-obatan masa lalu dan adanya riwayat alergi

terhadap jenis obat kemudian dokumentasikan.


c. Psikososial
Adanya perubahan fungsi struktur tubuh dan adanya tindakan

dialisis akan menyebabkan klien mengalami kecemasan,

gangguan konsep diri (gambaran diri) dan gangguan peran

keluarga (self esteem).

3. Pengkajian fokus
Menurut Mutaqqin dan Sari (2014) pengkajian fokus pada pasien

gagal ginjal kronik adalah sebagai berikut :


a. B1 (Breathing) : klien bernafas dengan bau urin (fetor

uremik) sering didapatkan pada fase ini. Respon uremia

didapatkan adanya pernafasan kusmaul. Pola nafas cepat dan

dalam, merupakan pembuangan karbondioksida yang

menumpuk di sirkulasi.
b. B2 (Blood) : Pada kondisi uremia berat, tindakan auskultasi

perawat akan menemukan adanya Friction Rub yang merupakan

tanda khas efusi perikardial. Didapatkan tanda gagal jantung

kongesif, TD meningkat, akral dingin, CRT>3 detik, palpitasi,

nyeri dada/angina dan sesak nafas, gangguan irama jantung,

edema penurunan perfusi perifer sekunder dari penurunan curah

jantung akibat hiperkalemia, dan gangguan konduksi elektrikal

otot ventrikel.
c. B3 (Brain) : didapatkan penurunan tingkst kesadaran,

disfungsi serebral (perubahan proses pikir dan disorientasi),

klien sering kejang, adanya neuropati perifer, burning feet

perifer, restless leg syndrome, kram otot, dan nyeri otot.


d. B4 (Bladeer) : penurunan urin output <400ml/hari, terjadi

penurunan libido berat.


e. B5 (Bowel) : didapatkan adanya mual muntah, anoreksia

dan diare sekunder dari bau mulut ammonia, peradangan

mukosa mulut, ulkus saluran cerna sehingga sering didapatkan

penurunan intake nutrisi dari kebutuhan.


f. B6 (Bone) : Didapatkan adanya nyeri panggul, sakit kepala,

kram otot, nyeri kaki, kulit gatal, pruritus, demam (sepsis,

dehidrasi), petekie, area ekimosis pada kulit, fraktur tulang,

defosit, fosfat, kalsium pada kulit, dan terjadi keterbatasan

gerak sendi.
2.2.2 Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respon manusia

terhadap gangguan kesehatan atau proses kehidupan atau kerentanan

respon dari seseorang invidu (Herdman, 2018)


1. Kelebihan volume cairan (00026)
a. Definisi
Peningkatan asupan dan/atau retensi cairan.
b. Batasan karakteristik
1) Bunyi nafas tambahan
2) Gangguan tekanan darah
3) Perubahan status mental
4) Perubahan tekanan arteri pulmonal
5) Gangguan pola nafas
6) Perubahan berat jenis urin
7) Anasarka
8) Ansietas
9) Azotemia
10) Penurunan hematokrit
11) Penurunan haemoglobin
12) Dispnea
13) Edema
14) Ketidakseimbangan elektrolit
15) Hepatomegaly
16) Peningkatan tekanan vena sentral
17) Asupan melebihi haluaran
18) Distensi vena jugularis
19) Oliguria
20) Ortopnea
21) Dispnea nokturnal paroksimal
22) Efusi pleura
23) Reflex hepatojugular positif
24) Ada bunyi jantung S3
25) Kongesti pulmonal
26) Gelisah, dan Penambahan berat badan dalam waktu

singkat
c. Faktor berhubungan
1) Kelebihan asupan ciran
2) Kelebihan asupan natrium
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari tubuh (00002).
a) Definisi
Asupan nutrisi tidak cukup memenuhi kebutuhan metabolik.
b) Batasan karakteristik
1) Kram abdomen
2) Nyeri abdomen
3) Gangguan sensasi rasa
4) Berat badan 20% atau dibawah rentang berat badan

ideal
5) Kerapuhan kapiler
6) Diare
7) Kehilangan rambut berlebihan
8) Enggan makan
9) Asupan makanan kurang dari recommended daily

allowance (RDA)
10) Bising usus hiperaktif
11) Kurang informasi
12) Kurang minat pada makanan
13) Tonus otot menurun
14) Kesalahan informasi
15) Kesalahan persepsi
16) Membrane mukosa pucat
17) Ketidakmampuan memakan makanan
18) Cepat kenyang setelah makan
19) Sariawan rongga mulut
20) Kelemahan otot pengunyah
21) Kelemahan otot untuk mengunyah
22) Penurunan berat badan dengan asupan makan

adekuat
c) Faktor berhubungan
1) Asupan diet kurang
3. Intoleransi aktivitas berhubungan (900092).
a. Definisi
Ketidakcukupan energi psikologis atau fisiologis untuk

mempertahankan atau menyelesaikan aktivitas kehidupan

sehari-hari yang harus atau yang ingin dilakukan.


b. Batasan karakteristik
1) Respon tekanan darah abnormal terhadap aktivitas
2) Respon frekuensi jantung abnormal terhadap

akivitas
3) Perubahan elektrokardiogram (EKG)
4) Ketidaknyamanan setelah beraktivitas
5) Dispnea setelah beraktivitas
6) Keletihan
7) Kelemahan umum
c. Faktor berhubungan
1) Ketidakseimbanagn antara suplai dan kebutuhan

oksigen
2) Imobilitas
3) Tidak pengalaman dengan suatu aktivitas
4) Fisik tidak bugar
5) Gaya hidup kurang gerak
4. Gangguan pola tidur (00198).
a. Definisi
Interupsi jumlah waktu dan kualitas tidur akibat faktor

eksternal.
b. Batasan karakteristik
1) Kesulitan berfungsi sehari-hari
2) Kesulitan memulai tidur
3) Kesulitan mempertahankan tetap tidur
4) Ketidakpuasan tidur
5) Tidak merasa cukup istirahat
6) Terjaga tanpa jelas penyebabnya
c. Faktor berhubungan
1) Gangguan karena cara tidur pasangan tidur
2) Kendala lingkungan
3) Kurang privasi
4) Pola tidur tidak menyehatkan
5. Ansietas berhubungan (00146).
a. Definisi
Perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang samar disertai

respon otonom (sumber sering kali tidak spesifik atau tidak

diketahui oleh individu); perasaan takut yang disebabkan oleh

antisipasi terhadap bahaya. Hal ini merupakan isyarat

kewaspadaan yang memperingatkan individu akan adanya

bahaya dan memampukan individu untuk bertindak

menghadapi ancaman.
b. Batasan karakteristik
1) Perilaku
a) Penurunan produktivitas
b) Gerakan ekstra
c) Melihat sepintas
d) Tampak waspada
e) Agitasi
f) Insomnia
g) Kontak mata yang buruk
h) Gelisah
i) Perilaku mengintai
j) Khawatir tentang perubahan dalam peristiwa hidup
k) Kesedihan yang mendalam
l) Gelisah
m) Distress
n) Ketakutan
o) Perasaan tidak adekuat
p) Putus asa
q) Sangat khawatir
r) Peka
s) Gugup
t) Senang berlebihan
u) Menggemerutukkan gigi
v) Menyesal
w) Berfokus pada diri sendiri
x) Ragu
2) Fisiologis
a) Wajah tegang
b) Tremor tangan
c) Peningkatan keringat
d) Peningkatan ketegangan
e) Gemetar
f) Tremor
g) Suara bergetar
3) Simpatis
a) Gangguan pola pernafasan
b) Anoreksia
c) Peningkatan refleks
d) Eksitasi kardiovaskuler
e) Diare
f) Mulut kering
g) Wajah memerah
h) Palpitasi jantung
i) Peningkatan tekanan darah
j) Peningkatan denyut nadi
k) Peningkatan frekuensi pernafasan
l) Dilatasi pupil
m) Vasokontriksi superfisial
n) Kedutan otot
o) Lemah
4) Parasimpatis
a) Nyeri abdomen
b) Perubahan pola tidur
c) Penurunan tekanan darah
d) Penurunan denyut nadi
e) Diare
f) Pusing
g) Keletihan
h) Mual
i) Kesemutan pada ekstremitas
j) Sering berkemih
k) Anyang-anyangan
l) Dorongan segera berkemih
5) Kognitif
a) Gangguan perhatian
b) Gangguan konsentrasi
c) Menyadari gejala fisiologis
d) Bloking pemikiran
e) Konfusi
f) Penurunan lapang persepsi
g) Penurunan kemampuan untuk belajar
h) Penurunan kemampuan untuk memecahkan masalah
i) Lupa
j) Preokupasi
k) Melamun
l) Cenderung menyalahkan orang lan
c. Faktor berhubungan
1) Konflik tentang tujuan hidup
2) Hubungan interpersonal
3) Penularan interpersonal
4) Stresor
5) Penyalahgunaan zat
6) Ancaman kematian
7) Ancaman pada status terkini
8) Kebutuhan yang tidak terpenuhi
9) Konflik nilai

2.2.3 Intervensi keperawatan


Intervensi keperawatan adalah tindakan yang dirancang untuk

membantu klien dalam beralih dari tingkat kesehatan saat ini ke tingkat

yang diinginkan dalam hasil yang diharapkan (Apriyani, 2012).


1. Kelebihan volume cairan berhubungan (00026).
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam

diharapkan volume cairan dalam rentan normal.


Nursing Outcome Classification (NOC)
a. Keseimbangan cairan (0601)
1) Tekanan darah dipertahankan pada 3 ditingkatkan

ke 4 (060101).
2) Keseimbangan intake dan output dalam 24 jam

dipertahankan pada 3 ditingkatkan ke 4 (060107).


b. Berat badan : massa tubuh (1006)
1) Berat badan dipertahankan pada 3 ditingkatka ke 4

(100601).

Nursing Intervention Classification (NIC)

a. Monitor cairan (4130)


1) Monitor asupan dan pengeluaran.
2) Berikan cairan yang tepat.
3) Cek grafik asupan dan pengeluaran secara berkala

untuk memastikan pemberian layanan yang baik.

b. Manajemen cairan (4120)


1) Monitor tanda-tanda vital pasien.
2) Berikan terapi IV, seperti yang ditentukan.
3) Dukung pasien dan keluarga untuk membantu

dalam pemberian makan dengan baik.


4) Konsultasikan dengan dokter jika tanda-tanda dan

gejala kelebihan volume cairan menetap atau memburuk.


2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari tubuh (00002).
Tujuan : setelah dilakukan tindakan selama 3x24 jam diharapkan

kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi.

Nursing Outcome Classification (NOC)

a. Nafsu makan (1014)


1) Hasrat/keinginan untuk makan dipertahankan pada

3 ditingkatkan ke 4 (101401).
2) Intake makanan dipertahankan pada 4 ditingkatkan

ke 5 (101406).
3) Intake nutrisi dipertahankan pada 3 ditingkatkan ke

5 (101407).
b. Status nutrisi : asupan makanan dan cairan (1008)
1) Asupan makanan secara oral dipertahankan pada 3

ditingkatkan ke 4 (100801).

Nursing Intervention Classification (NIC)


a. Manajemen nutrisi (1100)
1) Monitor kalori dan asupan makanan.
2) Anjurkan pasien untuk memantau kalori dan intake

makanan (misalnya, buku harian makanan).


3) Tawarkan makanan yang padat gizi.
4) Pastikan diet mencakup makanan tinggi kandungan

serat untuk mencegah konstipasi.


b. Konseling nutrisi (5246)
1) Kaji asupan makanan dan kebiasaan makan pasien.
2) Bantu pasien untuk mempertimbangkan factor-

faktor seperti umur, tahap pertumbuhan dan

perkembangan, pengalaman makan sebelumnya, cedera,

penyakit, budaya dan keuangan dalam merencanakan

cara-cara untuk memenuhi kebutuhan nutrisi.


3) Berikan informasi sesuai kebutuhan mengenai

perlunya modifikasi diet bagi kesehatan, penurunan

berat badan, pembatasan garam, pengurangan kolestrol,

pembatasan cairan dan seterusnya.


3. Intoleransi aktivitas (900092).
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien

bisa aktivitas secara mandiri dan normal.


Nursing Outcome Classification (NOC)
a. Tingkat ketidaknyamanan (2109)
1) Cemas dipertahankan pada 3 ditingkatkan ke 4

(210902).
2) Rasa takut dipertahankan pada 3 ditingkatkan ke 4

(210907).
b. Konservasi energi (0002)
1) Menyeimbangkan aktivitas dan istirahat di

pertahankan pada 4 ditingkatkan ke 5 (000201).


2) Mempertahankan intake nutrisi yang cukup di

pertahankan pada 3 ditingkatkan ke 4 (000206).

Nursing Intervention Classification (NIC)


a. Terapi aktivitas (4310)
1) Monitor respon emosi, fisik, sosial dan spiritual

terhadap aktivitas.
2) Berikan kesempatan keluarga untuk terlibat dalam

aktivitas dengan cara yang tepat.


3) Bantu klien untuk meningkatkan motivasi dan

penguatan.
b. Manajemen energi (0180)
1) Monitor asupan nutrisi untuk mengetahui sumber

energi yang adekuat.


2) Anjurkan aktivitas fisik (misalnya ambulasi, ADL)

sesuai dengan kemampuan (energi) pasien.


3) Ajarkan pasien mengenai pengelolaan kegiatan dan

tekhnik manajemen waktu untuk mencegah kelelahan.

4. Gangguan pola tidur (00198).


Tujuan : setelah dilakukan tindakan selama 3x24 jam diharapkan

kebutuhan tidur dapat terpenuhi.


Nursing Outcome Classification (NOC)
a. Tidur (0004)
1) Jam tidur dipertahankan pada 4 ditingkatkan ke 5

(000401).
2) Pola tidur dipertahankan pada 3 ditingkatkan ke 4

(000403).
3) Tempat tidur yang nyaman dipertahankan pada 4

ditingkatkatkan ke 5 (000419).
b. Status kenyamanan : lingkungan (2009)
1) Suhu ruangan dipertahankan pada 4 ditingkatkan ke

5 (200902).
2) Privasi dipertahankan pada 4 ditingkatkan ke 5

(200910).
3) Tempat tidur yang nyaman dipertahankan pada 4

ditingkatkan ke 5 (200912).
4) Kontrol terhadap suara ribut dipertahankan pada 4

ditingkatkan ke 5 (200916).

Nursing Intervention Classification (NIC)

a. Manajemen lingkungan (6480)


1) Ciptakan lingkungan yang aman bagi pasien.
2) Batasi pengunjung.
3) Edukasi pasien dan pengunjung mengenai

perubahan/tindakan pencegahan, sehingga mereka tidak

akan dengan sengaja mengganggu lingkungan yang

direncanakan.
b. Pengurangan kecemasan (5820)
1) Kaji untuk tanda verbal dan non verbal kecemasan.
2) Berikan aktivitas pengganti yang bertujuan untuk

mengurangi tekanan.
3) Dorong verbalisasi perasaan, persepsi dan

ketakutan.
4) Dorong keluarga untuk mendampingi klien dengan

cara yang tepat.


5. Ansietas (00146)
Tujuan : setelah dilakukan tindakan selama 3x24 jam diharapkan

cemas dapat berkurang.


Nursing Outcome Classification (NOC)
a. Kontrol kecemasan diri (1402)
1) Mengurangi penyebab kecemasan dipertahankan

pada 3 ditingkatkan ke 4 (140202).


2) Merencanakan strategi koping untuk situasi yang

menimbulkan stress dipertahankan pada 3 ditingkatkan ke 4

(140205).
3) Menggunakan teknik relaksasi untuk mengurangi

kecemasan dipertahankan pada 3 ditingkatkan ke 4

(140207).
b. Koping (1302)
1) Menyatakan perasaan akan kontrol diri

dipertahankan pada 4 ditingkatkan ke 3 (130203).


2) Melaporkan pengurangan stress dipertahankan pada

4 ditingkatkan ke 3 (130204).
3) Menggunakan perilaku untuk mengurangi stress

dipertahankan pada 4 ditingkatkan ke 2 (130210).


4) Menggunakan strategi koing yang efektif

dipertahankan pada 4 ditingkatkan ke 3 (130212).


Nursing Intervention Classification (NIC)
a. Peningkatan keamanan (5380)
1) Fasilitasi untuk mempertahankan kebiasaan tidur

pasien.
2) Jawablah semua pertanyaan mengenai status

kesehatan dengan perilaku jujur.


3) Bantu pasien/keluarga mengidentifikasi faktor apa

yang meningkatkan rasa keamanan.


b. Terapi relaksasi (6040)
1) Ciptakan lingkungan yang tenang dan tanpa

distraksi dengan lampuyang redup dan suhu lingkungan

yang nyaman, jika memungkinkan.


2) Tunjukkan dan praktikan teknik relaksasi pada

klien.
3) Deorong klien untuk mengulang praktik teknik

relaksasi, jika memungkinkan.


2.2.4 Implementasi
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana

keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan (Apriyani,

2011).
2.2.5 Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses

keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan,

rencana tindakan keperawatan dan pelaksanaannya sudah berhasil

dicapai (Ghofur, 2009).


2.3 Kebutuhan rasa aman dan nyaman
2.3.1 Definisi

Kebutuhan rasa aman dan nyaman adalah kebutuhan untuk

melindungi diri dari bahaya fisik. Ancaman terhadap keselamatan

seseorang dapat dikategorikan sebagai ancaman mekanis, kimiawi,

retmal dan bakteriologis. Kebutuhan akan keamanan terkait dengan

konteks fisiologis dan hubungan interpersonal. Keamanan fisiologis

berkaitan dengan sesuatu yang mengancam tubuh dan kehidupan

seseorang. Ancaman itu bisa nyata atau hanya imajinasi (misalnya

penyakit, nyeri, cemas dan sebagainya). Dalam konteks hubungan

interpersonal bergantung pada banyak faktor, seperti kemampuan

berkomunikasi, kemampuan memahami orang-orang disekitarnya dan

lingkungannya. Ketidaktahuan akan sesuatu kadang membuat perasaan

cemas dan tidak aman (Asmadi, 2010).

2.3.2 Faktor – faktor yang Mempengaruhi Keseimbangan Suhu

Tubuh
Menurut Mubarak, Lilis dan Joko (2015) faktor yang mempengaruhi

keseimbangan suhu tubuh antara lain :


1. Emosi
Kecemasan, depresi dan marah akan mudah terjadi dan

mempengaruhi keamanan dan kenyamanan.


2. Status mobilisasi
Keterbatasan aktivitas, paralisis, kelemahan otot dan kesadaran

menurun memudahkan terjadinya resiko injury.


3. Gangguan persepsi sensori
Mempengaruhi adaptasi terhadap rangsangan yang berbahaya sepeti

gangguan penciuman dan penglihatan.


4. Keadaan imunitas
Gangguan ini akan menimbulkan daya tahan tubuh kurang sehingga

mudah terserang penyakit.


5. Tingkat kesadaran
Pada pasien koma, respon akan menurun terhadap rangsangan,

paralisis, disorientasi dan kurang tidur.


6. Informasi dan komunikasi
Gangguan komunikasi seperti aphasia atau tidak dapat membaca

dapat menimbulkan kecelakaan.


7. Gangguan tingkat pengetahuan
Kesadaran akan terjadi gangguan keselamatan dan keamanan dapat

diprediksi sebelumnya.
8. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional
Antibiotik dapat menimbulkan resisten dan anafilaktik syok.
9. Status nutrisi
Keadaan kurang nutrisi dapat menimbulkan kelemahan dan mudah

menimbulkan penyakit, demikian sebaliknya dapat beresiko

terhadap penyakit tertentu.


10. Usia
Pembedaan perkembangan yang ditemukan diantara kelompok usia

anak-anak dan lansia mempengaruhi reaksi terhadap nyeri.


11. Jenis kelamin
Secara umum pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna dalam

merespon nyeri dan tingkat kenyamanannya.


12. Kebudayaan
Keyakinan dan nilai-nilai kebudayaan mempengaruhi cara individu

mengatasi nyeri dan tingkat kenyamanan yang mereka punyai.


2.3.3 Mengukur kecemasan
Kecemasan dapat diukur dengan pengukuran tingkat kecemasan

menurut alat ukur kecemasan yang disebut HARS (Hamilton Anxiety

Rating Scale). Skala HARS merupakan pengukuran kecemasan yang

didasarkan pada munculnya symptom pada individu yang mengalami

kecemasan. Menurut skala HARS terdapat 14 syptoms yang nampak

pada individu yang mengalami kecemasan. Setiap item yang

diobservasi diberi 5 tingkatan skor (skala likert) antara 0 (Nol Present)

sampai dengan 4 (severe).


Skala HARS pertama kali digunakan pada tahun 1959, yang

diperkenalkan oleh Max Hamilton dan sekarang telah menjadi standar

dalam pengukuran kecemasan terutama pada penelitian trial clinic.

Skala HARS telah dibuktikan memiliki validitas dan reliabilitas cukup

tinggi untuk melakukan pengukuran kecemasan pada penelitian trial

clinic yaitu 0,93 dan 0,97. Kondisi ini menunjukkan bahwa pengukuran

kecemasan dengan menggunakan skala HARS akan diperoleh hasil

yang valid dan reliable.


Skala HARS Menurut Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS)

penilaian kecemasan terdiri dan 14 item, meliputi:

No Gejala Kecemasan Nilai Angka ( score )

1 Perasaan cemas 0 1 2 3 4
Firasat buruk
Mudah tersinggung
Takut akan pikiran sendiri
 Cemas
2 Ketegangan 0 1 2 3 4
Merasa tegang
 Lesu
Mudah terkejut
Tidak dapat istirahat dengan tenang
Mudah menangis
 Gemetar
 Gelisah
3 Ketakutan 0 1 2 3 4
Pada gelap
Ditinggal sendiri
Pada orang asing
Pada kerumunan banyak orang
Pada keramaian lalu lintas
Pada binatang besar
4 Gangguan Tidur 0 1 2 3 4
Sukar memulai tidur
Terbangun malam hari
Mimpi buruk
Tidur tidak nyenyak
Bangun dengan lesu
Banyak bermimpi
Mimpi menakutkan

5 Gangguan kecerdasan 0 1 2 3 4
Daya ingat buruk
Sulit berkonsentrasi
Daya ingat menurun
6 Perasaan depresi 0 1 2 3 4
Kehilangan minat
Sedih
Berkurangnya kesukaan pada hobi
Perasaan berubah-ubah
Bangun dini hari
7 Gejala somatik (otot-otot) 0 1 2 3 4
Nyeri otot
Kaku
Kedutan otot
Gigi gemertak
Suara tak stabil
8 Gejala sensorik 0 1 2 3 4
Telinga berdengung
Penglihatan kabur
Muka merah dan pucat
Merasa lemah
Perasaan ditusuk-tusuk
9 Gejala kardiovaskuler 0 1 2 3 4
Denyut nadi cepat
Berdebar-debar
Nyeri dada
Rasa lemah seperti mau pingsan
Denyut nadi mengeras
Detak jantung menghilang
(berhenti sekejap)
10 Gejala pernafasan 0 1 2 3 4
Rasa tertekan di dada
Perasaan tercekik
Merasa nafas pendek/sesak
Sering menarik nafas panjang
11 Gejala gastrointestinal 0 1 2 3 4
Sulit menelan
Mual
Muntah
Perut terasa penuh dan kembung
Nyeri lambung sebelum makan
dan sesudah
Perut melilit
Gangguan pencernaan
Perasaan terbakar diperut
Buang air besar lembek
Konstipasi
Kehilangan berat badan
12 Gejala urogenitalia 0 1 2 3 4
(perkemihan dan kelamin)
Sering kencing
Tidak dapat menahan kencing
Tidak datang bulan
 Darah haid berlebihan
 Darah haid amat sedikit
 Masa haid berkepanjangan
 Masa haid amat pendek
 Haid beberapa kali dalam sebulan
 Menjadi dingin (frigid)
 Ejakulasi dini
 Ereksi lemah
 Ereksi hilang
 Impotensi
13 Gejala otonom 0 1 2 3 4
Mulut kering
Muka merah
Mudah berkeringat
Sakit kepala
Bulu roma berdiri
Kepala terasa berat
Kepala terasa sakit
14 Tingkah laku (sikap) pada 0 1 2 3 4
wawancara
Gelisah
Tidak terang
Mengerutkan dahi
Muka tegang
Nafas pendek dan cepat
Muka merah
Jari gemetar
Otot tegang/mengeras
Total Skor

Tabel 2.1 Skala HARS

Cara Penilaian kecemasan adalah dengan memberikan nilai dengan


kategori:
0 = tidak ada gejala sama sekali
1 = Satu dari gejala yang ada
2 = Sedang/ separuh dari gejala yang ada
3 = berat/lebih dari ½ gejala yang ada
4 = sangat berat semua gejala ada
Penentuan derajat kecemasan dengan cara menjumlah nilai skor dan
item 1-14 dengan hasil:
1. Skor kurang dari 6 = tidak ada kecemasan.
2. Skor 7 – 14 = kecemasan ringan.
3. Skur 15 – 27 = kecemasan sedang.
4. Skor lebih dari 27 = kecemasan berat.
2.4 Terapi musik
2.4.1 Definisi
Terapi musik adalah usaha meningkatkan kualitas fisik dan mental

dengan rangsangan suara yang terdiri dari melodi, ritme, harmoni,

timbre, bentuk dan gaya yang di organisir sedemikian rupa sehingga

mencipta musik yang bermanfaat untuk kesehatan fisik dan mental

(Asmadi, 2008).
2.4.2 Tujuan
Menurut Dayat Suryana (2012) tujuan terapi musik adalah

meningkatkan intelegensia refresing , menenangkan, menyegarkan,

motivasi, sebagai terapi pada penderita gangguan jiwa. Selain itu terapi

musik juga berguna untuk mengurangi prasaan dan pikiran yang kurang

menyenangkankan serta menimbulkan rasa aman dan mengurangi rasa

cemas.

Musik dapat menstimulasi system saraf pusat untuk memproduksi

endorphin, dimana endorphin ini dapat menurunkan tekanan darah,

heart rate dan respiratory rate dan menciptakan suasana yang

menyenangkan sehingga dapat meminimalkan rasa takut dan cemas.

Selain itu music dapat memberikan perasaan yang positif dan

meningkatkan mood sehingga secara otomatis dapat meningkatkan

kemampuan memperbaiki diri secara klinis seperti nyeri dan kecemasan

(Forooghy, 2015).

2.4.3 Peralatan
Menurut Salgado, Ludmila, Priscila, Tania (2016) peralatan yang

dapat digunakan antara lain:


1. Tape musik/ Radio
2. CD Musik
3. Headset

2.4.4 Prosedur

Menurut Bunker (2014) langkah-langkah yang dapat dilakukan

antara lain:

1. Pra interaksi
a. Cek catatan keperawatan atau catatan medis klien (jika ada)
b. Siapkan alat-alat
c. Identifikasi faktor atau kondisi yang dapat menyebabkan

kontra indikasi
d. Cuci tangan
2. Tahap orientasi
a. Beri salam dan panggil klien dengan namanya
b. Jelaskan tujuan, prosedur, dan lamanya tindakan pada

klien/keluarga
3. Tahap kerja
a. Berikan kesempatan klien bertanya sebelum kegiatan

dilakukan
b. Menanyakan keluhan utama klien
c. Jaga privasi klien. Memulai kegiatan dengan cara yang baik
d. Menetapkan perubahan pada perilaku dan/atau fisiologi

yang diinginkan seperti relaksasi,


e. stimulasi, konsentrasi, dan mengurangi rasa sakit.
f. Menetapkan ketertarikan klien terhadap musik.
g. Identifikasi pilihan musik klien.
h. Berdiskusi dengan klien dengan tujuan berbagi pengalaman

dalam musik.
i. Pilih pilihan musik yang mewakili pilihan musik klien
j. Bantu klien untuk memilih posisi yang nyaman.
k. Batasi stimulasi eksternal seperti cahaya, suara,

pengunjung, panggilan telepon selama


l. mendengarkan music
4. Tahap Terminasi
a. Mengevaluasi hasil tindakan.
b. Menyampaikan rencana tindak lanjut dan berpamitan.
c. Dokumentasikan kegiatan dalam lembar catatan

keperawatan.
2.3 Kerangka Konsep

Pemenuhan kebutuhan rasa aman Pemberian terapi


dan nyaman : Kecemasan musik

2.3 Kerangka konsep


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Studi Kasus

Studi kasus merupakan salah satu jenis penelitian yang meneliti

permasalahan melalui suatu kasus itu sendiri, faktor-faktor yang

mempengaruhi kejadian-kejadian khusus yang muncul sehubungan dengan

kasus maupun tindakan dan reaksi kasus terhadap suatu perlakuan atau

pemaparan tertentu. Meskipun didalam studi kasus ini yang dieliti hanya

berbentuk unit tunggal namun dianalisis mendalam mencakup berbagai

aspek yang cukup luas (Notoatmodjo, 2010).

Studi kasus ini adalah untuk mengeksplorasikan masalah asuhan

keperawatan pada pasien yang mengalami gagal ginjal kronik dengan

pemenuhan rasa aman dan nyaman.

3.2 Subjek Studi Kasus


Subyek penelitian adalah sumber darimana data dapat diperoleh

(Arikunto, 2009). Subyek studi kasus ini adalah 1 orang dengan diagnosa

medis dan masalah keperawatan gagal ginjal kronik dengan pemenuhan rasa

aman dan nyaman.


3.3 Fokus Studi

Terapi musik dengan pemenuhan kecemasan pada asuhan

keperawatan pada pasien gagal ginjal kronik dalam pemenuhan kebutuhan

rasa aman dan nyaman.


3.4 Definisi Operasional

Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang

diamati dari suatu yang didefinisikan tersebut yaitu karakteristik yang dapat

diamati (diukur) memungkinkan peneliti melakukan observasi atau

pengukuran secara cermat dan fenomena (Nursalam, 2008).

3.4.1 Kebutuhan rasa aman dan nyaman adalah kebutuhan untuk

melindungi diri dari bahaya fisik. Ancaman terhadap keselamatan

seseorang dapat dikategorikan sebagai ancaman mekanis, kimiawi,

retmal dan bakteriologis. Kebutuhan akan keamanan terkait dengan

konteks fisiologis dan hubungan interpersonal. Keamanan fisiologis

berkaitan dengan sesuatu yang mengancam tubuh dan kehidupan

seseorang. Ancaman itu bisa nyata atau hanya imajinasi (misalnya

penyakit, nyeri, cemas dan sebagainya). Dalam konteks hubungan

interpersonal bergantung pada banyak faktor, seperti kemampuan

berkomunikasi, kemampuan memahami orang-orang disekitarnya dan

lingkungannya. Ketidaktahuan akan sesuatu kadang membuat

perasaan cemas dan tidak aman (Asmadi, 2010).


3.4.2 Terapi musik adalah penggunaan musik sebagai peralatan

terapis untuk memperbaiki, memelihara, mengembangkan mental,

fisik untuk menerapi klien/penderita dengan kebutuhan kecemasan

(Wigram, 2010).

3.5 Tempat dan Waktu Penelitian


3.5.1 Tempat Studi Kasus
Tempat penelitian menjelaskan tempat atau lokasi tersebut

dilakukan. Tempat studi kasus ini sekaligus membatasi ruang

lingkup penelitian tersebut (Notoatmojo, 2010).


Studi kasus ini dilakukan di ruang HCU Melati 1 RSUD

Dr.Moewardi.
3.5.2 Waktu Studi Kasus
Waktu penelitian yang diberikan institusi selama 1 minggu di RSUD

Dr.Moewardi Surakarta sejak 18 Februari 2019 sampai 2 Maret

2019.
3.6 Pengumpulan Data
Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subyek dan

proses pengumpulan karakteristik subyek yang diberlakukan dalam suatu

penelitian (Nursalam, 2008).


3.6.1 Wawancara
Metode ini dilakukan dengan melakukan wawancara kepada

sumber data klien, keluarga maupun perawat lainnya. Hasil anamnesis

berisi tentang identitas klien, keluhan utama, riwayat penyakit

sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, dan

riwayat kesehatan lingkungan. Pola kesehatan fungsional yang

meliputi 11 pola Gordon (pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan,

pola nutrisi dan metabolik, pola eliminasi, pola aktivitas dan latihan,

pola istirahat tidur, pola kognitif-perseptual, pola persepsi konsep diri,

pola hubungan peran, pola mekanisme koping, serta pola nilai dan

keyakinan (Notoatmodjo, 2010).


3.6.2 Observasi dan Pemeriksaan Fisik
Observasi merupakan teknik pengumpulan data, dimana peneliti

melakukan pengamatan secara langsung ke objek penelitian untuk

melihat dari dekat kegiatan yang dilakukan (Ridwan, 2004).

Pemeriksaan fisik pada sistem tubuh pasien menggunakan

pendekatan IPPA :
1. Inspeksi
Inspeksi adalah proses observasi dengan menggunakan mata,

inspeksi dilakukan untuk mendeteksi tanda-tanda fisik yang

berhubungan dengan status fisik (Dewi, 2010).


2. Palpasi
Palpasi adalah suatu teknik yang dilakukan dengan menggunakan

sentuhan atau rabaan, metode ini dilakukan untuk mendeterminasi

ciri-ciri jaringan atau organ (Dewi, 2010).


3. Perkusi
Perkusi merupakan teknik teknik pemeriksaan dengan mengetuk-

ketukan jari perawat (sebagai alat untuk menghasilkan suara)

kebagian tubuh pasien yang akan dikaji untuk membandingkan

bagian yang kiri dengan yang kanan (Sugiyono, 2009).

4. Auskultasi
Auskultasi merupakan teknik pemeriksaan dengan menggunakan

stetoskop untuk mendengarkan bunyi yang dihasilkan oleh tubuh.

Hal-hal yang bisa didengarkan adalah suara jantung, suara nafas,

suara bising usus (Sugiyono, 2009).


3.6.3 Studi Dokumentasi
Suatu dokumentasi atau catatan yang berisi data tentang keadaan

pasien yang dilihat tidak saja dari tingkat kesakitan akan tetapi juga

dilihat dari jenis, kualitas dan kuantitas dari layanan yang telah

diberikan perawat dalam memenuhi kenutuhan pasien (Ali, 2010).


1. Metode penelitian ini mengunakan pretest posttest

yaitu sebelum diberikan terapi musik dan sesudah diberikan terapi

musik.
2. Pengukuran tingkat kecemasan sebelum di lakukan

tindakan terapi musik dan setelah dilakukan terapi musik dengan

menggunakan skala HARS.


3. Melakukan evaluasi tindakan dan

mendokumentasikan hasil dari tindakan.


3.6 Penyajian Data
Penyajian data dapat dilakukan dengan tabel, gambar, bagan, maupun

teks naratif. Kerahasiaan dari klien dijamin dengan jalan mengaburkan

identitas dari klien (Sugiyono, 2009).


Dalam studi kasus ini penulis menggunakan penyajian data dalam

bentuk teks naratif.


3.7 Etika Studi Kasus
Etika sebagai ilmu pengetahuan mengenai asas-asas atau dasar-dasar

moral dan akhlak. Dalam melakukan studi kasus, penulis memandang perlu

adanya rekomendasi dari pihak institusi dengan mengajukan permohonan ijin

kepada instansi tempat penelitian. Setelah mendapat persetujuan barulah

dilakukannya studi kasus dengan menekankan masalah etika studi kasus

meliputi :
3.7.1 Informent Consent (Persetujuan Menjadi Klien)
Lembar persetujuan yang akan digunakan responden akan di

tulis dan memenuhi kriteria di sertai judul studi kasus serta manfaat

studi kasus. Informent Consent dalam hal ini diberikan sebelum

melakukan studi kasus atau sebelum memberikan asuhan kepada

subjek penelitian (pasien).


3.7.2 Anonimity (Tanpa Nama)
Anonimity dilakukan untuk menjaga kerahasiaan, penulis

tidak mencantumkan nama responden melainkan hanya menggunakan

kode.

3.7.3 Confidentiality ( Kerahasiaan)


Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh penulis dan

hanya data tertentu yang, mendukung studi kasus yang akan

dilaporkan. Misalnya data-data yang tidak menunjang, kasus yang di

gunakan sebagai studi kasus tidak disebarkan kepada pihak yang

tidak berkepentingan dan tidak akan dilaporkan.


DAFTAR PUSTAKA

Ali Asmadi. 2010. Manajemen Stress, Cemas dan Depresi. Jakarta : EGC

Arikunto. 2006. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Interna


Publishing.

Arosa, F., Asro; Jumaini; Rismadefi Woferst (2014). “Hubungan Tingkat


Pengetahuan Keluarga Tentng Hemodialisa Dengan Tingkat Kecemasan
Keluarg Yang Anggota Keluarganya Menjalani Terapi Hemodialisa.” Jom
Psik 1.

Asmadi. 2010. At Glance Sistem Ginjal. Jakarta : Erlangga.

Cukor et al (2008). Kecemasan Pada Pasien Gagal Ginjal Kronis yang Menjalani
Hemodialisis. Jakarta : Salemba Medika

Dewi. 2010. Fisiologi & Anatomi Modern Untuk Perawat. Jakarta : EGC.

Djohan (2010). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Gramedia Pustaka


Utama : Jakarta

Firman. (2010). Kebutuhan dasar manusia dan proses keperawatannya. Edisi III.
Jakarta: Salemba Medika.

Gullich et al. (2013). “Pola Makan Pasien Hipertensi Dengan Gagal Ginjal Kronik
Rawat Inap Di Rsup Prof.Dr.R.D.Kandou Manado.” Gizido7.

Handayani & Rahmawati. (2013). Askep Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem
Perkemihan”. Salemba : Jakarta.

Hayani. (2014). “Keperawatan Kritis”. EGC : Jakarta.

Kaplan (2015). Manajemen Stress, Cemas dan Depresi. Jakarta : EGC

Kusumawati dan Hartono (2011). Jurnal Hubungan Pendidikan Ilmiah. Jakarta


larasati. (2012). “Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan DietPada
Pasien Gagal Ginjal Kronik Di Irina C2 Dan C4 Rsup Prof. Dr. R. D.
Kandou Manado.” Ejournal Keperawatan (e-Kep) 3.

Marry et al. (2009). “Pengaruh Stimulasi Pemberian Tablet Hisap Vitamin C


Terhadap Peningkatan Sekresi Saliva Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik
Yang Menjalani Terapi Hemodialisa Rs Pku Muhammadiyah Gombang.”
Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan 12.

Muttaqin dan Kumala. (2012). “Ilmu Penyakit Dalam”. FKUI : Jakarta

Notoatmodjo. 2010. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapis : Jakarta.

Notoatmodjo. 2010. Konsep Penyakit Gagal Ginjal Kronik. Jakarta : EGC.

Nursalam. 2008. Panduan Pelayanan Medik. Jakarta : Asdi Mahasatya.

Prihantanto. (2010). Fisiologi & Anatomi Modern Untuk Perawat. EGC : Jakarta

Ridwan. 2004. Terapi Musik untuk Relaksasi. FKUI : Jakarta.

Sabbatini, M., Minale, B., Crispo, A., et al. (2002). Insomnia in mainteance
hemodialysis patients. Nephrology Dialysis Transplantation 17:852-856.

Senanayake SSJ, Gunawardena NS, P Palihawadana. (2017). Out of saku


pengeluaran dalam mengakses layanan kesehatan di antara pasien
Penyakit Ginjal Kronis : Ceylon Med J

Smeltzer, S., & Bare, B.2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Jakarta: EGC

Sugiyono. 2009. Kecemasan Pada Pasien Gagal Ginjal Kronis yang Menjalani
Hemodialisis.

Sukriswati (2010). Kebutuhan dasar manusia dan proses keperawatannya. Edisi


III. Jakarta: Salemba Medika.

Suyanto. 2009. Buku Saku Dasar Patologi Penyakit. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai