Anda di halaman 1dari 10

KONFERENSI DAN KONVENSI LINGKUNGAN INTERNASIONAL SERTA

PENERAPANNYA DALAM PERATURAN YANG BERLAKU DI INDONESIA

Mata Kuliah :

Wawasan Teknologi Lingkungan

Dosen Pengampu :

Cut Keumala Banaget, S.T., M.T

Disusun Oleh :

Desy Ariyani 08161020

M. Hafiz Anshari 08161049

Novita Putri S. 08161057

Wahyu Dewantoro 08161089

Angga Trihatma 10161015

Adi Wisaka 06171006

Ihwal Dian Rifaldi 06171036

Jurusan Ilmu Kebumian dan Lingkungan

Institut Teknologi Kalimantan

Balikpapan

2019
1. Konferensi Perubahan Iklim oleh PBB di Bali Tahun 2007
Konferensi Perubahan Iklim PBB 2007 diselenggarakan di Bali International
Convention Center (BICC), Hotel The Westin Resort, Nusa Dua, Bali, Indonesia yang
dilaksanakan pada tanggal 3 Desember hingga 14 Desember 2007 yang akan membahas
terkait dampak dari adanya pemanasan global. Konferensi yang diadakan oleh PBB atau
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC) ini merupakan kali ke-
13 dan diikuti oleh sekitar sembilan ribu peserta dari 186 negara. Selain itu ada sekitar tiga
ratus LSM internasional yang terlibat. Selain itu, konferensi internasional ini diliput oleh lebih
dari tiga ratus media internasional dengan jumlah wartawan lebih dari seribu orang.
Pertemuan ini merupakan pertemuan lanjutan untuk mendiskusikan persiapan
negara-negara di dunia untuk mengurangi efek gas rumah kaca yang
menyebabkan pemanasan global serta membahas mengenai cara membantu negara-
negara miskin dalam mengatasi pemanasan dunia setelah Protokol Kyoto kedaluwarsa pada
tahun 2012. Konferensi kali ini mendapat tekanan untuk segera dapat mencari persetujuan
global baru untuk memotong tingkat gas rumah kaca yang terus bertambah. Dari negara-
negara maju emiten karbon utama dunia yang menolak menjadi bagian dari Protokol Kyoto,
hanya Australia dan Amerika Serikat yang menolak menandatangani Protokol Kyoto, namun
dalam konferensi kali ini, delegasi Australia di bawah kepemimpinan Perdana Menteri yang
baru, Kevin Rudd, berjanji untuk meratifikasi Protokol Kyoto, yang akan menjadikan Amerika
Serikat sebagai negara maju tunggal yang menolak ratifikasi tersebut.
Dalam diskusi konferensi, terdapat dua pihak yang menentukan yakni penghasil
emisi dan penyerap emisi. Permasalahan yang sedang ditengahi adalah memberi nilai
pada karbon. Selama ini pembangkit listrik tenaga batu bara dinilai lebih murah dibanding
pembangkit listrik tenaga geothermal, karena karbon yang dihasilkan oleh pembangkit listrik
tenaga batu bara tidak dihitung sebagai biaya yang harus ditanggung. Sementara untuk
para pemilik lahan (hutan) yang menjadi penyerap karbon akibatnya harus bertanggung
jawab terhadap keberlangsungan lahannya. Maka diperlukan pendapatan bagi pemilik lahan
untuk memelihara lahannya. Pemilik lahan biasanya negara-negara berkembang,
sedangkan penghasil karbon adalah negara-negara industri maju. Jadi negara-negara
berkembang bisa memelihara hutannya dengan kompensasi dari negara-negara maju,
sehingga semua pihak bertanggung jawab untuk pengelolaan karbon di bumi. Inilah logika
berpikir di belakang kebijakan REDD, reforestation dan CDM. Tentunya hasil dari konferensi
tersebut dituangkan kedalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2011
Tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca.
2. Konvensi Ratterdam Mengeni Perdagangan Internasional Serta Bahan
Berbahaya, Beracun Dan Pestisida
Konvensi Rotterdam yang dilaksanakan pada tanggal 24 April sampai dengan 25
May 2017 ini merupakan perjanjian internasional yang memiliki sifat antar negara-negara di
dunia (Internasional) mengenai perdagangan internasional atas bahan berbaya dan beracun
serta pestisida. Konvensi ini diikuti oleh sebanyak 156 negara yang pada saat ini telah
menandatangani perjanjian dalam konvensi tersebut. Dari 56 negara tersebut dilakukan
pertemuan rutin setiap 2 tahun sekali yang dinamakan ‘Conference of the Parties’ atau
disingkat sebagai COP . Konvensi Rotterdam sendiri tidak bertujuan untuk melarang suatu
jenis zat kimia atau memberikan wewenang untuk melarangnya melainkan untuk
memastikan bahwa seluruh negara yang ikut menandatangani perjanian ini memiliki akses
informasi serta penelitian yang relevan dan ilmiah mengenai bahaya dari zat kimia
berbahaya.
Hasil dari konvensi ini yaitu memberlakukan 4 prinsip diantaranya :
1. PIC, yaitu prinsip dimana konvensi ini memberlakukan bahan-bahan kimia yang
tercantum dari hasil konvensi hanya dapat diekspor setelah adanya persetujuan
dari pengimpor;
2. Prinsip Perlindungan (Protection Principle), dimana berdasarkan hasil konvensi
ini bahwa setiap Negara yang mengikuti konvensi ini mengikuti prinsip dimana
melarang adanya aktivitas berbahaya dan menindaklanjuti secara afirmatif agar
tidak terjadin adanya kerusakan lingkungan;
3. Prinsip Kehati-Hatian (Procautionary Principle), pada prinsip ini Negara yang
mengikuti konvensi ini dibekali pengetahuan agar ‘masyarakat sebaiknya
mencegah kerusakan lingkungan dengan perencanaan yang hati-hati agar
terhindar dari kegiatan yang memiliki otensi membahayakan;
4. Prinsip Pencegahan (Preventive Principle), pada prinsip ini Negara-negara yang
mengikuti konvensi ini diwajibkan untuk melaksanakan uji tuntas (due diligence)
terhadap bahan kimia maupun pestisida berbahaya yang akan diekspor maupun
di impor.
Berdasarkan dari 4 prinsip yang dibahas pada Konvensi Rotterdam diatas, dapat
diketahui bahwa konvensi tersebut memperhatikan baik adanya informasi yang tepat terkait
dengan kegiatan ekspor dan impor bahan kimia berbahaya maupun pestisida untuk
mencegah terjadinya kerusakan lingkungan. Tujuan dari konvensi ini juga untuk memberikan
rasa tanggung jawab bersama serta adanya kerjasama antar Negara yang mengikuti
konvensi ini dalam hal perdagangan internasional serta bahan kimia tertentu untuk
melindungi kesehatan manusia maupun lingkungan.
Negara Indonesia sendiri sebagai salah satu dari 156 negara yang mengikuti
konvensi ini telah melakukan ratifikasi terhadap hasil dari Konvensi Rotterdam. Hal tersebut
dikarenakan meningkatnya angka kebutuhan akan bahan kimia dan pestisida yang
diperlukan dalam bidang pertanian dan kehutanan yang mencapai 1702 produk sampai
dengan tahun 2008. Negara Indonesia juga meratifikasikan Konvensi Ratterdam ini kedalam
perundang-undangan antara lain Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun
1973 tentang Pengawasan atas Pengedaran, Penyimpanan, dan Penggunaan Pestisida,
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbaya dan
Beracun. Dimana regulasi-regulasi diatas berdasarkan atas peredaran distribusi pestisida
yang bertujuan untuk mencegah distribusi pestisida illegal beserta kegiatan ekspor maupun
impor ke Indonesia untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan.

3. Konferensi Lingkungan Hidup Di Swedia


Konferensi internasional lingkungan hidup pertama kali diselanggarakan oleh PBB
pada tanggal 5 Juni 1972. Sesuai dengan moto yang dikemukan yaitu “Only One Earth”
pembahasan dalam konferensi tersebut adalah konsep pembangunan dengan pengelolaan
lingkungan hidup, yang dimana terkait persoalan lingkungan hidup lebih membahas terkait
kemiskinan yang indikasikan sebagai penyebab utama kerusakan lingkungan hidup di dunia
pada saat itu. Terdapat beberapa pembahasan yang dihasil menjadi aksi nyata untuk
menanggulangi persoalan lingkungan, yaitu :
1. Pembentukan badan khusus PBB untuk masalah lingkungan United Nations
Environmental Programme (UNEP). Salah satu hasil pembentukan UNEP adalah
konsep pembangunan berkelanjutan atau yang dikenal Sustainable
Development.
2. Melaksanakan Convention on International Trade in Endangered Species
(CITES) mengenai perdagangan Internasional Jenis-Jenis Flora dan Fauna
Terancam Punah, yang bertujuan menjaga jenis-jenis tumbuhan dan satwa
langka di alam dari status kepunahan secara internasional.
3. Meminta General Agreement on Tariffs and Trade (Persetujuan Umum tentang
Tarif dan Perdagangan) untuk meninjau kembali kebijakannya agar tidak
menimbulkan diskriminasi terhadap Negara berkembang.
Negara Indonesia sendiri terpengaruh oleh Konferensi Stockholm pada tahun 1972 ,
hal tersebut terbukti dengan adanya sikap penanganan oleh pemerintah terhadap kegiatan
pengelolaan lingkungan. Sikap penanganan yang ditunjukkan oleh pemerintah Indonesia
yaitu sebagai berikut :
1. Membentuk Komite Nasional Lingungan Hidup, komite tersebut bertusgas untuk
merumuskan konsep pembangunan yang berkelanjutan untuk dituangkan dalam
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) periode 1973-1976. Pembentukan
komite tersebut berdasarkan Keputusan Presiden No.16 Tahun 1972.
2. Membentuk panitia yang bertugas menyusun, membuat investarisasi dan
rencana kerja bagi Pemerintah dibidang pengembangan lingkungan hidup.
Pembentukan panitia tersebut berdasarkan Keputusan Presiden No. 60 Tahun
1972 tentang Pembentukan Panitia Perumus dan Rencana Kerja Bagi
Pemerintah di Bidang pengembangan Lingkungan Hidup.
3. Membentuk panitia yang menjadi tempat bagi penyelenggara koordinasi,
sinkronisasi dan integrasi untuk mempersiapkan kebijaksanaan umum
Pemerintah di bidang Inventarisasi, evaluasi, pengelolaan, pengembangan dan
pengamanan kekayaan alam. Pembentukan panitia tersebut berdasarkan
Keputusan Presiden No.27 Tahun 1975 tentang Pembentukan Panitia
Inventarisasi dan Evaluasi Kekayaan Alam.
4. Membentuk 2 (dua) kelompok yaitu berdasarakan Keputusan Menteri Negara
Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup Nomor KEP-
006/MNPPLH/3/1979 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Dalam Bidang
Pembinaan Hukum dan Aparatur Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan
Lingkungan Hidup, hasil dari kerja kelompok tersebut adalah UU Lingkungan
Hidup (Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982) dan Peraturan Pemerintah
mengenai AMDAL (PP No. 29 Tahun 1986). Sedangkan berdasarakan
Keputusan Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup
RI Nomor KEP-21/MNPPLH/11/1982 tentang Pembentukan Kelompok Kerja
Pembinaan Hukum dan Aparatur dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan
Lingkungan Hidup, menghasilkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP)
tentang analisis Mengenai Dampak Lingkungan.
5. Pada tanggal 17 Februari dan 31 Maret 1975 membentuk “Tim Teknis
Penyusunan RUU Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran Laut,
khusunya di Selat Malaka dan Selat Singapura”. Pada tanggal 17 Februari
dibentuklah satuan-satuan tugas (task porce) di tingkat pusat secara
interdepartemental.
Selain sikap penangganan, pemerintah juga memngeluarkan kebijakan yang
mendukung hasil kesepakatan dari United Nations Conference on Human Environment
(UNCHE), yaitu sebagai berikut :
1. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1974 tentang Rencana
Pembangunan Lima Tahun (Repelita) II, pada Bab 4 tentang pengelongaan
sumber sumber alam dan lingkungan hidup selain itu pokok pokok sumber
sumber alam dan lingkungan hidup.
2. Ketetapan MPR RI Nomor IV Tahun 1978 tentang GBHN yang khusus memuat
butir 13 sumber daya alam dan ekonomi. Penjabaran lebih rinci dituangkan
dalam Keputusan Presiden Ri Nomor 7 Tahun 1979 tentang REPELITA III.
Keppres No. 7 Tahun 1979 tersebut mengatur langkah-langkah pengelolaan
sumber-sumber alam dan lingkungan hidup dalam proses pelaksanaan
pembangunan yang lebih luas daripada dalam Keppres Nomor 11 Tahun 1974
tentang REPELITA II.
4. Konvensi Mengenai Keanekaragaman Hayati (CBD)
CBD, juga dikenal sebagai Konvensi Keanekaragaman Hayati, merupakan salah
satu perjanjian internasional terpenting mengenai pembangunan berkelanjutan. Konvensi ini
diadopsi dan terbuka untuk penandatanganan pada KTT Bumi 1992 di Rio de Janeiro.Istilah
‘pembangunan berkelanjutan’ pertama kali muncul dalam KTT ini. Konvensi
Keanekaragaman Hayati, dalam bahasa Inggris Convention on Biological Diversity (CBD),
merupakan sebuah perjanjian antar negara untuk melestarikan sumber daya hayati. Berlaku
mengikat kepada para pihak yang menandatanginya, dalam hal ini negara yang diwakili
pemerintahnya masing-masing. Konvensi mulai diadopsi sebagai kesepakatan
internasional pada tahun 1992 dalam forum KTT Bumi di Rio de Jeneiro, Brasil. Saat ini
telah ditandatangani oleh 168 negara dan diratifikasi oleh 157 negara, dari 198 negara yang
menjadi anggotanya. Amerika Serikat menjadi satu-satunya negara besar yang belum
meratifikasi.
Konvensi Keanekaragaman Hayati tercetus karena kekhawatiran terhadap laju
pembangunan yang di sisi lain menyebabkan kepunahan berbagai spesies kehidupan.
Untuk menghentikan kerusakan yang semakin parah diperlukan sebuah kesepakatan yang
mengatur penggunaan sumber daya hayati. Hal tersebut diwujudkan dalam bentuk Konvensi
Keanekaragaman Hayati. Konvensi ini memiliki tiga tujuan utama yaitu, melestarikan
keanekaragaman hayati, memanfaatkan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati, dan
memastikan pembagian keuntungan yang adil dari hasil pemanfaatan sumber-sumber
genetik. Adapun hasil dari konvensi tersebut telah dituangkan kedalam Undang – Undang
Nomor 5 Tahun 1994 tentang ratifikasi Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati.
5. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro, Brazil
Tahun 1992
Environmentalist semakin menajam. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi (Earth
Summit) di Rio de Janeiro, Brazil, pada 1992, merupakan upaya global untuk
mengkompromikan kepentingan pembangunan dan lingkungan. Jargon “Think globally, act
locally”, yang menjadi tema KTT Bumi menjadi populer untuk mengekspresikan kehendak
berlaku ramah terhadap lingkungan.
Topik yang diangkat dalam konferensi ini adalah permasalahan polusi, perubahan
iklim, penipisan ozon, penggunaan dan pengelolaan sumber daya laut dan air, meluasnya
penggundulan hutan, penggurunan dan degradasi tanah, limbah-limbah berbahaya serta
penipisan keanekaragaman hayati. Berikut sejumlah hasil dan rekomendasi dalam KTT
tersebut:
1. Deklarasi Rio: Satu rangkaian dari 27 prinsip universal yang bisa membantu
mengarahkan tanggung jawab dasar gerakan internasional terhadap lingkungan
dan ekonomi.
2. Konvensi Perubahan Iklim (FCCC): Kesepakatan Hukum yang telah mengikat
telah ditandatangani oleh 152 pemerintah pada saat komperensi berlangsung.
Tujuan pokok Konvensi ini adalah “Stabilisasi konsentrasi gas rumah kaca di
atmosfir pada tingkat yang telah mencegah terjadinya intervensi yang
membahayakan oleh manusia terhadap sistem Iklim”.
3. Konvensi Keanekaragaman Hayati: Kesepakatan hukum yang mengikat telah
ditandatangani sejauh ini oleh 168 negara. Menguraikan langkah – langkah ke
depan dalam pelestarian keragaman hayati dan pemanfaatan berkelanjutan
komponen – komponennya, serta pembagian keuntungan yang adil dan pantas
dari penggunaan sumber daya genetik.
4. Pernyataan Prinsip – Prinsip Kehutanan: Prinsip – prinsip yang telah mengatur
kebijakan nasional dan internasional dalam bidang kehutanan. Dirancang untuk
menjaga dan melakukan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya hutan
global secara berkelanjutan. Prinsip – prinsip ini seharusnya mewakili konsesi
pertama secara internasional mengenai pemanfaatan secara lestari berbagai
jenis hutan.
5. Komisi Pembangunan Berkelanjutan Commission on Sustainable Development
(CSD): Komisi ini di bentuk pada bulan desember 1992. Tujuan CSD adalah
untuk memastikan keefektifan tindak-lanjut KTT bumi. Mengawasi serta
melaporkan pelaksanaan kesepakatan Konferensi Bumi baik di tingkat lokal,
nasional, maupun internasional. CSD adalah komisi Fungsional Dewan Ekonomi
dan Sosial PBB (ECOSOC) yang beranggotakan 53 negara.
6. Agenda 21: Merupakan sebuah program luas mengenai gerakan yang
mengupayakan cara – cara baru dalam berinvestasi di masa depan untuk
mencapai pembangunan berkelanjutan Global di abad 21. Rekomendasi –
rekomendasi Agenda 21 ini meliputi cara – cara baru dalam mendidik,
memelihara sumber daya alam, dan berpartisipasi untuk merancang sebuah
ekonomi yangberkelanjutan. Tujuan keseluruhan Agenda 21 ini adalah untuk
menciptakan keselamatan, keamanan, dan hidup yang bermartabat.

6. Konferensi Iklim PBB Di Bonn Dan Komitmen Indonesia


Konferensi di Bonn yang berlangsung 6-17 November ini merupakan pertemuan
badan lingkungan PBB yang pertama sejak Presiden Donald Trump mundur dari
Kesepakatan Iklim Paris 2015, yang ikut diperjuangkan pendahulunya, Presiden Barack
Obama. Pertemuan ini digelar setiap tahun dengan dihadiri para penandatangan Kerangka
Konvensi mengenai Perubahan Iklim PBB (United Nations Framework Convention on
Climate Change (UNFCCC) yaitu kesepakatan untuk menetapkan batasan emisi Gas
Rumah Kaca (GRK) ke atmosfir bagi tiap negara. Digelar secara bergiliran, Indonesia yang
meratifikasi konvensi sejak awal- terpilih sebagai presiden COP menjadi tuan rumah tahun
2007 dengan menggelar COP 13 di Bali. Pada saat itu lahirlah konsep REDD atau reduksi
emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan perusakan hutan, yang terus bergulir dan
berkembang sampai saat ini. Sebanyak 196 negara peserta menyepakati naskah akhir dari
sebuah pakta global untuk mengurangi emisi sebagai bagian dari metode pengurangan gas
rumah kaca. Dalam 12 halaman Persetujuan Paris, para negara anggota sepakat untuk
mengurangi produksi karbon mereka secepat mungkin dan melakukan yang terbaik untuk
mempertahankan pemanasan global agar berada jauh di bawah 2 derajat C. Laurent Fabius,
Menteri Luar Negeri Prancis, mengatakan bahwa rencana yang ambisius dan seimbang ini
merupakan suatu titik balik bersejarah dengan tujuan mengurangi pemanasan global.
Namun beberapa kalangan mengkritik kenyataan bahwa bagian-bagian yang penting
merupakan janji-janji atau berbagai tujuan, dan bukanlah komitmen tegas oleh negara-
negara tersebut.
Komitmen tanpa ikatan, kurangnya mekanisme pemberlakuan
Persetujuan tersebut diberlakukan dan karenanya mengikat secara hukum pada negara-
negara anggotanya setelah 55 pihak yang menghasilkan lebih dari 55% gas rumah kaca di
seluruh dunia masuk menjadi pihak dalam Persetujuan tersebut. Ada keraguan apakah
beberapa negara, seperti Amerika Serikat dengan kongresnya yang didominasi Partai
Republik, akan menyepakati untuk melakukannya. Setiap negara yang meratifikasi
kesepakatan tersebut akan diminta untuk menetapkan target pengurangan emisi, tetapi
berapa besarnya terserah masing-masing negara. Akan ada mekanisme untuk memaksa
negara-negara untuk menetapkan target pada suatu tanggal tertentu dan tidak ada sanksi
jika target yang ditetapkan tidak terpenuhi. Yang ada hanyalah suatu sistem sebut dan
permalukan atau sebagaimana dikatakan oleh Janos Pasztor, asisten sekretaris jenderal
PBB bidang perubahan iklim, kepada CBS News (AS) yaitu suatu rencana "sebut dan
dorong"
Indonesia sudah mendukung kesepakatan lingkungan global ini sejak dari awal,
mulai dari Konferensi Stockholm tahun 1972, dengan hari pertama konferensi tersebut -
tanggal 5 Juni- ditetapkan sebagai Hari Lingkungan Hidup dunia. Di dalam negeri,
Indonesia mulai menyusun peraturan perundangan lingkungan pertama pada tahun 1982
dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup atau UULH 1982. Perangkat hukum itu kemudian diganti
dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UUPPLH), yang memasukan unsur 'perlindungan' dan juga sanksi berat
bagi pelanggarnya. Adapun komitmen Indonesia cukup ambisius. Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono pada pertemuan G20 di Pittsburg tahun 2009, menyatakan sasaran pada tahun
2020 untuk menurunkan emisi GRK Indonesia sebesar 26% dari tingkat 'business as usual'
atau tanpa 'rencana aksi' dengan kemampuan sendiri dan 41% dengan bantuan
internasional. Komitmen Indonesia ini diperkuat pada tahun 2016 dengan meningkatkan
komitmennya menjadi penurunan emisi GRK sebesar 29%.

7. Deklarasi Stockholm 1972, Konferensi PBB Tentang Lingkungan Manusia


Deklarasi Stockholm 1972 yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
pada dasarnya mengandung 26 prinsip/kaidah yang dapat dikategorikan menjadi beberapa
topik utama. Topik-topik utama tersebut sebagaimana dikutip dari Nancy K. Kubasek - Gary
S. Silverman, dalam buku Environmental Law (hal. 259), yaitu hak asasi manusia (Prinsip 1);
pengelolaan sumber daya manusia (Prinsip 2 sampai dengan Prinsip 7); hubungan antara
pembangunan dan lingkungan (Prinsip 8 sampai dengan Prinsip 12); kebijakan perencanaan
pembangunan dan demografi (Prinsip 13 sampai dengan Prinsip 17); ilmu pengetahuan dan
teknologi (Prinsip 18 sampai dengan Prinsip 20); tanggung jawab negara (Prinsip 21 sampai
dengan 22); kepatuhan terhadap standar lingkungan nasional dan semangat kerjasama
antar negara (Prinsip 23 sampai dengan Prinsip 25); dan ancaman senjata nuklir terhadap
lingkungan (Prinsip 26).
Setelah berlangsungnya Deklarasi Stockholm 1972, Indonesia mengambil beberapa
langkah untuk memperbaiki sistem pengelolaan lingkungan hidup, termasuk dengan
menerbitkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UU Nomor 4 Tahun 1982”), yang kemudian digantikan oleh
Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UU Nomor 23
Tahun 1997”). Demikian sebagaimana dikutip dari Takdir Rahmadi, dalam buku Hukum
Lingkungan di Indonesia (hal. 48-49).
UU Nomor 4 tahun 1982 dan UU Nomor 23 Tahun 1997 pada dasarnya memuat
konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang sama dengan Deklarasi Stockholm 1972, misalnya
kewenangan negara, hak dan kewajiban masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup
dan konsep lainnnya. Hal ini dapat dilihat dari pasal yang tercantum dalam UU Nomor 23
Tahun 1997, yaitu Pasal 4 yang berbunyi:
“Pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab
negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.”
Selain itu, ada juga Pasal 5 yang berbunyi:
(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat.
(2) Setiap orang mempunyai ha katas informasi lingkungan hidup yang berkaitan
dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup.
(3) Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan
lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Atas dasar tersebut, dapat dikatakan bahwa Indonesia telah menerapkan asas-asas
yang tercantum dalam Deklarasi Stockholm 1972.

Anda mungkin juga menyukai