Tugas1 - Wawasan Teknologi Lingkungan PDF
Tugas1 - Wawasan Teknologi Lingkungan PDF
Mata Kuliah :
Dosen Pengampu :
Disusun Oleh :
Balikpapan
2019
1. Konferensi Perubahan Iklim oleh PBB di Bali Tahun 2007
Konferensi Perubahan Iklim PBB 2007 diselenggarakan di Bali International
Convention Center (BICC), Hotel The Westin Resort, Nusa Dua, Bali, Indonesia yang
dilaksanakan pada tanggal 3 Desember hingga 14 Desember 2007 yang akan membahas
terkait dampak dari adanya pemanasan global. Konferensi yang diadakan oleh PBB atau
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC) ini merupakan kali ke-
13 dan diikuti oleh sekitar sembilan ribu peserta dari 186 negara. Selain itu ada sekitar tiga
ratus LSM internasional yang terlibat. Selain itu, konferensi internasional ini diliput oleh lebih
dari tiga ratus media internasional dengan jumlah wartawan lebih dari seribu orang.
Pertemuan ini merupakan pertemuan lanjutan untuk mendiskusikan persiapan
negara-negara di dunia untuk mengurangi efek gas rumah kaca yang
menyebabkan pemanasan global serta membahas mengenai cara membantu negara-
negara miskin dalam mengatasi pemanasan dunia setelah Protokol Kyoto kedaluwarsa pada
tahun 2012. Konferensi kali ini mendapat tekanan untuk segera dapat mencari persetujuan
global baru untuk memotong tingkat gas rumah kaca yang terus bertambah. Dari negara-
negara maju emiten karbon utama dunia yang menolak menjadi bagian dari Protokol Kyoto,
hanya Australia dan Amerika Serikat yang menolak menandatangani Protokol Kyoto, namun
dalam konferensi kali ini, delegasi Australia di bawah kepemimpinan Perdana Menteri yang
baru, Kevin Rudd, berjanji untuk meratifikasi Protokol Kyoto, yang akan menjadikan Amerika
Serikat sebagai negara maju tunggal yang menolak ratifikasi tersebut.
Dalam diskusi konferensi, terdapat dua pihak yang menentukan yakni penghasil
emisi dan penyerap emisi. Permasalahan yang sedang ditengahi adalah memberi nilai
pada karbon. Selama ini pembangkit listrik tenaga batu bara dinilai lebih murah dibanding
pembangkit listrik tenaga geothermal, karena karbon yang dihasilkan oleh pembangkit listrik
tenaga batu bara tidak dihitung sebagai biaya yang harus ditanggung. Sementara untuk
para pemilik lahan (hutan) yang menjadi penyerap karbon akibatnya harus bertanggung
jawab terhadap keberlangsungan lahannya. Maka diperlukan pendapatan bagi pemilik lahan
untuk memelihara lahannya. Pemilik lahan biasanya negara-negara berkembang,
sedangkan penghasil karbon adalah negara-negara industri maju. Jadi negara-negara
berkembang bisa memelihara hutannya dengan kompensasi dari negara-negara maju,
sehingga semua pihak bertanggung jawab untuk pengelolaan karbon di bumi. Inilah logika
berpikir di belakang kebijakan REDD, reforestation dan CDM. Tentunya hasil dari konferensi
tersebut dituangkan kedalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2011
Tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca.
2. Konvensi Ratterdam Mengeni Perdagangan Internasional Serta Bahan
Berbahaya, Beracun Dan Pestisida
Konvensi Rotterdam yang dilaksanakan pada tanggal 24 April sampai dengan 25
May 2017 ini merupakan perjanjian internasional yang memiliki sifat antar negara-negara di
dunia (Internasional) mengenai perdagangan internasional atas bahan berbaya dan beracun
serta pestisida. Konvensi ini diikuti oleh sebanyak 156 negara yang pada saat ini telah
menandatangani perjanjian dalam konvensi tersebut. Dari 56 negara tersebut dilakukan
pertemuan rutin setiap 2 tahun sekali yang dinamakan ‘Conference of the Parties’ atau
disingkat sebagai COP . Konvensi Rotterdam sendiri tidak bertujuan untuk melarang suatu
jenis zat kimia atau memberikan wewenang untuk melarangnya melainkan untuk
memastikan bahwa seluruh negara yang ikut menandatangani perjanian ini memiliki akses
informasi serta penelitian yang relevan dan ilmiah mengenai bahaya dari zat kimia
berbahaya.
Hasil dari konvensi ini yaitu memberlakukan 4 prinsip diantaranya :
1. PIC, yaitu prinsip dimana konvensi ini memberlakukan bahan-bahan kimia yang
tercantum dari hasil konvensi hanya dapat diekspor setelah adanya persetujuan
dari pengimpor;
2. Prinsip Perlindungan (Protection Principle), dimana berdasarkan hasil konvensi
ini bahwa setiap Negara yang mengikuti konvensi ini mengikuti prinsip dimana
melarang adanya aktivitas berbahaya dan menindaklanjuti secara afirmatif agar
tidak terjadin adanya kerusakan lingkungan;
3. Prinsip Kehati-Hatian (Procautionary Principle), pada prinsip ini Negara yang
mengikuti konvensi ini dibekali pengetahuan agar ‘masyarakat sebaiknya
mencegah kerusakan lingkungan dengan perencanaan yang hati-hati agar
terhindar dari kegiatan yang memiliki otensi membahayakan;
4. Prinsip Pencegahan (Preventive Principle), pada prinsip ini Negara-negara yang
mengikuti konvensi ini diwajibkan untuk melaksanakan uji tuntas (due diligence)
terhadap bahan kimia maupun pestisida berbahaya yang akan diekspor maupun
di impor.
Berdasarkan dari 4 prinsip yang dibahas pada Konvensi Rotterdam diatas, dapat
diketahui bahwa konvensi tersebut memperhatikan baik adanya informasi yang tepat terkait
dengan kegiatan ekspor dan impor bahan kimia berbahaya maupun pestisida untuk
mencegah terjadinya kerusakan lingkungan. Tujuan dari konvensi ini juga untuk memberikan
rasa tanggung jawab bersama serta adanya kerjasama antar Negara yang mengikuti
konvensi ini dalam hal perdagangan internasional serta bahan kimia tertentu untuk
melindungi kesehatan manusia maupun lingkungan.
Negara Indonesia sendiri sebagai salah satu dari 156 negara yang mengikuti
konvensi ini telah melakukan ratifikasi terhadap hasil dari Konvensi Rotterdam. Hal tersebut
dikarenakan meningkatnya angka kebutuhan akan bahan kimia dan pestisida yang
diperlukan dalam bidang pertanian dan kehutanan yang mencapai 1702 produk sampai
dengan tahun 2008. Negara Indonesia juga meratifikasikan Konvensi Ratterdam ini kedalam
perundang-undangan antara lain Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun
1973 tentang Pengawasan atas Pengedaran, Penyimpanan, dan Penggunaan Pestisida,
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbaya dan
Beracun. Dimana regulasi-regulasi diatas berdasarkan atas peredaran distribusi pestisida
yang bertujuan untuk mencegah distribusi pestisida illegal beserta kegiatan ekspor maupun
impor ke Indonesia untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan.