Makalah Tasawuf Dalam Islam
Makalah Tasawuf Dalam Islam
MAKALAH
TASAWUF DALAM ISLAM
Disusun Oleh :
Abdullah Al Faruq
Fardianto
Elma Sya’bani
Fahriza Rizki Amalia
Istiqomah Nur Aqilah
Nurrafika Adha
Guru Pembimbing :
Dra. Hj. Commeng Sada
KATA PENGANTAR
Penyusun
iii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................
B. Identifikasi Masalah ...............................................................................
C. Rumusan Masalah ..................................................................................
D. Tujuan .....................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Tasawuf Secara Lughawi ......................................................
B. Fungsi Tasawuf dalam Kehidupan Manusia ...........................................
C. Sejarah Perkembangan Tasawuf ............................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini, kajian tentang tasawuf semakin banyak diminati orang sebagai
buktinya adalah misalnya, semakin banyaknya buku yang membahas tasawuf disejumlah
perpustakaan, dinegara-negara yang berpenduduk muslim, juga Negara – Negara barat
sekalipun yang mayoritas masyarakatnya non muslim, ini dapat menjadi salah satu
alasan betapa tingginya ketertarikannya mereka terhadap tasawuf.
Hanya saja, tingkat ketertarikan mereka tidak dapat diklaim sebagai sebuah
penerimaan bulat-bulat terhadap tasawuf, jika diteliti lebih mendalam, ketertarikan
mereka terhadap tasawuf dapat dilihat pada dua kecenderungan terhadap kebutuhan
fitrah atau naluriah dan kedua karena kecenderungan pada persoalan akademis.
Kecenderungan pertama mengisyaratkan bahwa manusia sesungguhnya
membutuhkan sentuhan-sentuhan spiritual atau rohani, kesejukan dan kedamaian hati
merupakan salah satu kebutuhan yang ingin mereka penuhi melalui sentuhan spiritual
ini. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Barmawie Umarie bahwa setiap rohani
manusia senantiasa rindu untuk kembali ketempat asal, selalu rindu kepada kekasihnya
yang tunggal.
Adapun kecenderungan yang kedua mengisyaratkan bahwa tasawuf memang
menarik untuk dikaji secara akademis-keilmuan. Boleh jadi, dengan kecenderungan yang
kedua ini, kajian tasawuf hanya berfungsi sebagai pengayaan keilmuan ditengah
keilmuan-keilmuan lain yang berkembang di dunia.
Kedua kecenderungan diatas menuntut keharusan adanya pengkajian tasawuf
dalam kemasan yang proposional dan fundamental. Hal ini dimaksudkan agar tasawuf
yang kian banyak menarik peminat itu dapat dipahami dalam kerangka ideologis yang
kuat, disamping untuk memagari tasawuf dalam jalur yang benar. Jika tulisa ini dapat
diterima jelas dipandang perlu untuk merumuskan tasawuf dalam islam dalam kemasan
yang dilengkapi dengan dasar-dasar atau landasan yang kuat tentang keberadaan
tasawuf itu sendiri.
2
B. Identifikasi Masalah
Dengan terbukanya era globalisasi membawa pengaruh budaya dan
pemikiran-pemikiran salah yang meracuni otak orang Islam, oleh karena itu diperlukan
keharusan adanya pengkajian tasawuf dalam kemasan yang proporsional dan
fundamental agar generasi muslim pengembangan tasawuf dalam islam yang benar
sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits.
C. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian tasawuf secara Lighawi dan berdasarkan istilah ?
2. Apa fungsi tasawuf dalam kehidupan manusia ?
3. Bagaimanakah sejarah dan kedudukan tasawuf dalam islam ?
D. Tujuan
- Mewujudkan kepribadian manusia yang makriyah, Mahabbah (cinta) kepada Allah,
Tawakkal, Tawadhu, kasih saying terhadap sesama makhluk dan akhlak-akhlak mulia
para sufi.
- Untuk membimbing mental spiritual manusia dalam rangka mencapai derajat insane
kamil.
- Menjadikan manusia lebih dekat dengan Allah dan berhati-hati dalam menjalani
kehidupan di dunia ini
- Agar masyarakat islam mengetahui dan memahami sejarah dan kedudukan tasawuf
dalam islam.
3
BAB II
PEMBAHASAN
1
Rosihan Anwar , Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung, 2004, Hal : 9
2
Moch. Djamaludin Ahmad, Dua Figur Tokoh Agung, Pustaka Al-Muhibbin, Hal : 86
3
Moch. Djamaludin Ahmad, Dua Figur Tokoh Agung, Pustaka Al-Muhibbin, Hal : 99
4
Rosihan Anwar, Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung, 2004, Hal : 12
5
Rasihan Anwar, Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia, Hal : 13
4
5. Menurun Syamnun, tasawuf adalah bahwa engkau memiliki sesuatu yang tidak
dimiliki sesuatu.
6. Menurut Al-Karakhi, tasawuf adalah mengambil hakikat, dan berputus asa pada
apa yang ada di tangan makhluk.
Dari ungkapan-ungkapan diatas, lebih utama bila kita memperhatikan
kesimpulan yang dibuat oleh Al-Junaedi sebagai berikut :
Tasawuf adalah membersihkan hati dari apa yang mengganggu perasaan
kebanyakan makhluk, berjuang menanggalkan pengaruh budi yang asal (instrinsik)
kita, memadamkan sifat-sifat kelemahan kita sebagai manusia, menjauhi segala
seruan dari hawa nafsu, mendekati sifat-sifat suci kerohanian, dan bergantung pada
ilmu-ilmu hakikat, memakai barang yang penting dan terlebih kekal, menaburkan
nasihat kepada semua umat manusia, memegang teguh janji dengan Allah dalam hal
hakikat dan mengikuti contoh Rasulullah dalam hal syari’at. 6
Definisi lain mengatakan, bahwa tasawuf adalah usaha mengisi hati dengan
hanya ingat kepada Allah, yang merupakan landasan lahirnya ajaran Al-hubb atau
cintah Illahi.7
Tasawuf dipahami sebagai Al-Ma’rifatul Haqq, yakni ilmu tentang hakikat
realitas – realitas intuitif yang terbuka bagi seorang sufi.8
Jadi kalau kita simpulkan dari berbagai pengertian dapat kita ringkas sebagai
berikut, tasawuf adalah usaha membersihkan diri, berjuang memerangi hawa nafsu,
mencari jalan kesucian dengan ma’rifat menuju keabadian, saling mengingatkan
antara manusia, serta berpegang teguh pada janji Allah dan mengikuti syari’at
Rasulullah dalam mendekatkan diri dan mencapai keridla’an-Nya.
6
Ahmad, Op. At.Him.96-98
7
Ibrahim Basuni, nas-ah Al Tasawuf Al Islam, Per Al-Ma’arif, Kairo, 1969 ; 17-27
8
A Rivary Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik Ke ne-Sufisme, PT. Raja Grafinda Persada, 2002, Hlm 35
5
9
Al-Qusyairi, Op Cit ; 138
6
10
Abu Al-Wafa’ Al-Ghanimi Al-Taftazani, Op Cit, 80-82
11
A. Rivary Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2002, hlm :
37-38
7
1) Hasan Al-Bashri
a) Riwayat Hidup
Hasan Al-Bashri, yang nama lengkapnya Abu Sa’id Al-Hasan bin Yasar,
adalah seoran Zahid yang sangat mashur dikalangan tabi’in, ia dilahirkan di
Madinah pada tahun 21 H (632 M) dan wafat pada hari Kamis bulan Rajab
tanggal 10 tahun 110 H (728 H) ia dilahirkan dua malam sebelum khalifah Umar
bin Khatab wafat, ia di kabarkan berytemu dengan 70 orang sahabat yang turut
menyaksikan peperangan Badar dan 300 sahabat lainnya.12
Dialah yang mula-mula menyediakan waktunya untuk
memperbincangkan ilmu-ilmu kebatinan, kemurniana akhlak, dan usaha
menyucikan pada sunnah Nabi sahabat Nabi yang masih hidup pada zaman itu
pun mengakui kebesaranya. Suatu ketika seseorang datang kepada Anas Bin
malik-Sahabat nabi yang utama-untuk menanyakan persoalan agama, Anas
memerintahkan orang itu agar menghubungi Hasan. Mengenai kelebihan lain
dalam diri Hasan, Abu Qatadah pernah berkata, “Bergurulah kepada syekh ini,
saya sudah saksikan sendiri (keistimewaanya, tidak ada seorang Tabi’in pun yang
menyerupai sahabat nabi selainnya. 13
Karir pendidikan hasa Al-Bashri dimulai dari Hijaz, ia berguru hamper
kepada seluruh ulama disana. Bersama ayahnya, ia kemudian pindah ke Bashrah,
tempat yang membuatnya masyhur dengan nama Hasan Al-Bashri, puncak
keilmuannya ia peroleh disana. 14
b) Ajaran-Ajaran Tasawufnya
Abu Nai’im Al-Ashbahani menyimpulkan pandangan tasawuf Hasan Al-
Bashri sebagai berikut, “Takut (khauf) dan pengharapan (raja’) tidak akan
dirundung kemuraman dan keluhan; tidak pernah tidur senang karena selalu
mengingat Allah, “Pandangan yang lain tasawufnya yang lain adalah anjuran
kepada setiap orang untuk senantiasa bersedih hati dan takut kalau tidak mampu
melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi seluruh larang-Nya.
12
Hamka, Tasawuf : PErkembangan dan Pemurniannya, Pustaka Panji Mas, Jakarta, 1986, hlm : 76
13
Ibid
14
Umar Farukh, Tarikh Al Fikr Al-A’rabi. Dar Al-‘Ilm li Al-Malayin, Bairut, 1983, hlm 216
8
15
Hamka, op Cit, hlm 77
16
Ibid, hlm 77-78
9
dirinnya yang mendasari tasawufnya itu. Sikapnya itu senada dengan sabda nabi
yang berbunyi “Orang beriman yang selalu mengingat dosa-dosa yang pernah
dilakukannya adalah laksana orang duduk dibawah sebuah gunung besar yang
senantiasa merasa takut gunung itu akan menimpa dirinya.17
Diantara ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri dan senantiasa menjadi buah
bibir kaum Sufi adalah :
“ Anak adam !
Dirimu, diriku !
Dirimu hanya satu,
Kalau ia binasa, binasalah engkau
Dan orang yang telah selamat tak dapat menolongmu
Tiap-tiap nikmat yang buka surge, adalah hina
Dan tiap-tiap bala bencana yang bukan neraka ada mudah”18
2) Rabi’ah Al-Adawiah
a) Riwayat hidup
Nama lengkap Rabi’ah adalah Rabi’ah bin Ismail Al-Adawiyah Al-
Bashriyah Al-Qaisiyah, ia diperkirakan lahir pada tahun 95 H / 713 M / 99 H / 717
M disuatu perkampungan dekat Kota Bashrah (Irak) dan wafat dikota itu pada
tahun 185 H / 801 M. ia dilahirkan sebagai putrid keempat dari keluarga yang
sangat miskin. Itulah sebabnya, orang tuanya menamakanya Rabi’ah kedua
orantuannya meninggal ketika ia masih kecil. Konon pada saat terjadinya
bencana perang diBashrah, ia dilahirkan penjahat dan dijual kepada Keluarga Atik
dari Suku Qais banu Adwah. Dari sini ia dikenal dengan Al-Qoisiyah atau Al-
‘Adawiyah. Pada keluarga ini ia bekerja keras, namun kemudian dibebaskan
karena tuannya melihat cahaya yang memancar diatas kepala Rabi’ah dan
menerangi seluruh ruangan rumah pada saat ia sedang beribadah. 19
17
Ibid, hlm 79
18
Rosihan Anwar, Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung , 2004, hlm : 100
19
Rosihan Anwar, Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung , 2004, hlm : 119-120
10
b) Ajaran Tasawufnya
Dalam perkembanganya mistisisme dalam islam tercatat sebagai
peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah. Hal ini karena generasi
sebelumnya merintis aliran asketisme dalam islam berdasarkan rasa takut dan
pengharapan kepada Allah. Rabi’ah pula yang pertama-tama mengajukan
pengertian rasa tulus, ikhlas dengan cinta yang berdasarkan permintaa ganti dari
Allah. Sikap dan pandanganya tentang cinta dapat dipahami dari kata-katanya,
baik yang langsung maupun yang disandarkan kepadanya.
Diantara syair cinta Rabi’ah yang paling mashur adalah :
“Aku mencitaimu dengan dua cinta,
Cinta karena diriku dan karena dirimu
Cinta karena diriku adalah keadaan senantiasa mengingat-Mu
Cinta karena diri-Mu
Adalah keadaanku mengungkapkan tabir sehingga engkau kulihat
Baik ini maupun untuk itu, pujian bukanlah bagiku
20
Badawi, Op Cit, hlm 20-21
11
21
Abu Bakar Muhammad Al-Kalabzi, At-Ta’arruf li Madzhab Ahl At-Tashawwuf, Isa Al Bab Al Halabi, 1960, Hlm
131
22
Al-Ghazali, Ihya’, ‘Ulum ad Dhin. Musthafa bab Al-Halab, Kairo, 1334, hlm, juid 111
23
R.A. Micho Ison, Cit ; 4
24
Fazlur Rahman, Islam. Tej. Ahsin Muhammad, Bandung, 1984 185
12
baru, reliatas baru yang penuh dengan salju cinta. Factor ketiga, Nampaknya adalah
karena corak kadifikasi hukum islam dan perumusan ilmu kalam yang rasional
sehingga kurang bermotivasi etikal yang menyebabkan kehilangan moralitasnya,
mejadi semcam wahana tiada isi atau semacam bentuk tanpa jiwa foralitas paham
keagamaan dirasakan semakin kering dan menyesakkan ruhuddin yang
menyebabkan terputusnya komunikasi langsung suasana keakraban personal antara
hamba dan penciptanya. Kondisi hukum dan teologi yang kering tanpa jiwa itu,
karena dominannya posisi moral dalam agama, para Zuhhad tergugah untuk
mencurahkan perhatian terhadap moralitas, sehingga memacu pergeseran
asketisme kesalehan kepada tasawuf. Doktrin Al-Zuhd misalya, yang tadinya sebagai
dorongan untuk meningkatkan ibadah semata-mata karena rasa takut kepada siksa
neraka, bergeser kepada demi kecintaan dan semata-mata karena Allah agar selalu
dapat berkomunikasi dengan-Nya. Konsep tawakal yang tadinya berkonotasi
kesalehan yang etis, kemudian secara diametral dihadapkan kepada pengingkaran
kehidupan yang profanistik disatu pihak dan konsep sentral tentang hubungan
manusia dengan Tuhan, yang kemudian populer dnegan doktrin Al-Hubb. Doktrin AL-
Hubb adalah tingkat konsep sentral tentang hubungan Ma’rifat yang berarti
mengenal Allah secara langsung melalui pandangan batin. Menurut sebagian sufi,
Ma’rifat Allah adalah tujuan akhir dan sekaligus merupakan tingkat kebahagiaan
paripurna yang mungkin dicapai oleh manusia didunia ini. Kondisi yang demikian
dapat dicapai hanya sesudah mencitau (Al-Hubb) Allah dengan segenap ekspresinya.
Berdasarkan kualitas-kualitas yang demikian, maka gerakan ini dikatakan sebagai
gerakan gnotisisme (ilmu ladunni, Al Ma’rifat) atau baangkali dapat disejajarkan
dengan maniplationist dalam filsafat kelompok ini kemudian mengklaim memiliki
ilmu yang khusus dan tidak dapat diberikan kepada sembarang orang untuk
memeiliki kualitas ilmu yang seperti itu, harus melalui proses inisiasi yang panjang
dan bertingkat-tingkat. 25
Pada abad itu juga, tampil Dzu al-nun Al-Mishri (W 246H) nama
lengkapnya Abu Al-Faidz Tsauban bin Ibrahim. Ia dilahirkan di Ikhmim, dataran tinggi
Mesir, pada tahun 180 H / 796 M. Julukan Dzu An-nun diberikan kepadanya
25
Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002. Hlm ;
38-40
13
26
Abd. Al-Mun’in Al Hafani, Al-Mausu’ah Ash-Shuffiyyah, Dar Ar-Rasyad, Kairo, 1992 : hlm 165
27
Andul Qodir Mahmud, Faisafatu Ash-Shufiyyah fi Al- Islam, 1996 : hlm 306
14
28
Ibid ; 186
29
Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme klasik ke Neo-Sufisme, Rajawali Pers, Jakartam 2002, hlm 41
30
Moch. Djamaluddin Ahmad, dua figure tokoh agung, Pustaka Al-Muhibbin, hlm : 67 - 70
15
masyarakat, mengikuti mafzhab Abu Tsaur, yaitu murid Al-Imam Asy-Syafi’I dan yang
meriwayatkan madzab Asy-Syafi’i Qaul Qadim. Disamping beliau belajar
menjadimurid Sirri As-Siqthi, beliau juga menjadi Asy-Syaikh Al-Harits Al Muhabisi
dan Asy –Syaikh Muhammad bin Ali Al-Qashshab. Beliau adalah termasuk pembesar
imam – imam kauh shufi dan pemimpin mereka. Perkataanya dapat diterima dalam
semua bahasa. Beliau wafat pada hari sabtu 297 H). menawarkan konsep-konsep
tasawuf yang kompromistis antara sufisme dan ortodoksi. Tujuan gerakan ini adalah
untuk menjembatani dan atau bila dapat untuk mengintegrasikan antara kesadaran
mistik dengan syari’at islam. Jasa mereka yang paling bernilai adalah lahirnya doktrin
Al-Baqa atau subsistensi sebagai imbangan dan legalitas Al-Fana. Hasil keseluruhan
dari usaha pemaduan itu, doktrin sufi membuahkan sejumlah besar pasangan-
pasangan kategori dengan tujuan memadukan kesadaran mistik dengan syari’at
sebagai suatu lembaga. Upaya tajdid itu mendapatkan sambutan luas dengan
tampilannya penulis. Penulis tasawuf tipologi ini, seperti Al-Sarraj dengan Al-Luma,
Al Kalabazi dengan Al Ta’aruf Li Madzab ahl Al Tasawuf dan Al Qusyairi dengan Al
Risalah. 31
Sesudah masanya ketiha tokoh sufi ini, muncul jenis jenis tasawuf yang
berbeda, yaitu Ibn Masarrah (memiliki nama lengkap Muhammad bin Abdullah bin
Masarrah (269-319 H). ia merupakan salah seorang sufi sekaligus filosoft dari
Andalusia. Ia memberikan pengaruh yang besar terhadap esoteric Mazhab Al
Mariyyah lebih jauh Ibn Hazm mengatakan bahwa Ibn Masarrah memiliki
kecenderungan yang besar terhadap filsafat, sedangkan dalam kacamata Mushthafa
Abdul Raziq, Ibn Masarrah termasuk sufi aliran Ittihadiyyah berbarengan dengan
masa Ibn Masarrah, di Andalusia telah muncul tasawuf filosof. Ia lebih banyak
disebut –sebut sebagai filosof ketimbangan seorang sufi Namun, pandangan
pandanganya tentang filsafat tertutupi oleh kezahidannya. Pada mulanya, Ibn
Masarrah merupakan penganut sejati aliran Mu’tazillah, lalu berpaling pada Madzab
neo-Platonisme. Oleh karena itu, ia dituduh mencoba menghidupkan kembali filsafat
Yunani Kuno).32 Gagasan Ibn Masarrah ini, sesudah masa Al-Ghazali dikembangkan
31
Ibid ; 187
32
Ibrahim Hilal, At-Tashawwuf Al islami bain Ad Din Wa Al-Falsasfahm dar Al –Nahdhah Al Arabiyyah, hlm 123-
124
16
33
Moch. Dhamaluddin Ahmad, dua figure tokog Agung, Pustaka Al Muhibbin, hlm 14-15
34
Al-Ghazali, Al – Munqidz min al-Dhalal, 1316 H ; 76
17
35
Ibn. Arabi, Futurat Al Makiyah, Vol. I, 1977 ; 90
36
Ibrahim Basuni, Op, Cit : 115
18
Dari uraian ringkas ini terlihat bahwa lima ciri atau karakteristik tasawuf
yang dikemukakan terdahulu, ternyata tidak pernah tampil secara utuh pada satu
fase dan disemua kawasan barangkali kemunculan tasawuf yang hamper utuh
dengan kelima cirinya itu hanyalah pada abad tiga Hijriyah, pada periode tasawuf
meningkat menjadi ilmu tentang moralitas. Fase kejayaan dan kematangan tasawuf
berlangsung sampai abad ketujuh hijriyah , sebab sejak abad delapan, nampaknya
tasawuf mulai mengalami kemunduran dan bahkan stagnasi karena sejak abad ini
tidak ada lagi konsep-konsep tasawuf yang baru, yang tertinggal hanyalah sekedar
komentar-komentar dan resensi-resensi terhadap karya-karya lama disisi lain, para
pengikut tasawuf sudah lebih cenderung kepada penakanan perhatian terhadap
berbagai bentuk ritus dan formalisme yang tidak terdapat dalam substansi ajaran.
Kemandikan tasawuf sebagai ilmu moralitas, nampaknya seiring dengan situasi
global yang menyelimuti dunia pemikiran islam pada masa itu perkembangan
tasawuf selanjutnya sudah berganti baju, yaitu dalam bentuk tarikat sufi, yang lebih
menonjolkan perkembangan pada aspek ritus dan pengalamanya, bukan pada aspek
subtansi ajarannya. Namun bagaimanapun tasawuf bukanlah ilmu yang statis dan
penampilannya adalah dalam cara-cara tertentu yang mencerminkan masanya.
Dalam tulisan Abdul Karim Al-Jilli (W 832 H) dalam bukunya Al-Insan Al Kamil yang
cukup popular, ternyata ajaranya sudah mengalami perubahan-perubahan tertentu.
Demikian pula dengan konsep-konsep tasawuf di Indonesia. Sebagaimana terlihat
dalam tasawuf Al Raruri adalah pemaduan antara tasawuf Al-Ghazali dengan Al
Fansyuri, atau antara paham kesatuan wujud dengan transentalisme. Hal ini berarti,
tasawuf selalu dalam kesejahteraannya, karena memang ia bersifat dinamik bukan
statis. Akan tetapi satu hal perlu diingat, bahwa tidak setiap orang yang mengerti
tasawuf disebut sufi, karena seseorang tidak mungkin dapat mengetahui bahwa ia
benar-benar memahami dan merasakan ap ayang dilihat dan dirasakan oleh sufi
dalam mi’raj Spiritualnya. Menjadi seorang sufi berarti menjadikan ajaran itu sebagai
penggerak hidupnya. It is to become and not to learn second hand. Manusia
sempurna adalah idola Sufi, manusia yang telah dapat melepaskan ke – aku – an –
nya sehingga ia adalah cermin yang merefleksikan setiap aspek realitas Absolut. 37
37
Rivay Siregar, tasawuf dari sufisme klasik ke Neo-sufisme, rajawali per, hlm : 45-46
19
Dasar – dasar Tasawuf sudah ada sejak datangnya agama Islam, hal ini dapat
diketahui dari kehidupan Nabi Muhammad SAW, cara hidup beliau yang
kemudian diteladani dan diteruskan oleh para sahabat selama periode makiyah,
kesadaran spiritual Rasulullah SAW. Adalah berdasarkan atas pengalaman-
pengalaman mistik yang jelas dan pasti, sebagaimana dilukiskan dalam Al-Qur’an
surat An Najm : 11 -13, surat At Takwir, 22-23. Kemudian ayat-ayat yang
menyangkut aspek moralitas dan asketisme, sebagai salah satu masalah prinsip
dalam tasawuf, para sufi merujuk kepada Al-Qur’an sebagai landasan utama
karena manusia memiliki sifat baik dan sifat jahat, sebagaimana dinyatakan 38 “
Allah mengilhami (jiwa manusia) kejahatan dan kebaikan : maka harus dilakukan
pengikisan terhadap sifat yang jelek dan pengembangan sifat-sifat yang baik.
Dalam tasawuf dikonsepkan untuk penyucian jiwa. Proses penyucian jiwa itu
melalui dua tahap, yakni pembersihan jiwa dari sifat-sifat jelek yang disebut
takhalli. Tahap awal dimulai dari pengendalian dan penguasaan hawa nafsu.
Sesuai dengan firman Allah “ ...sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada
kejahatan, kecuali nafsu yang diberi oleh Tuhanmu …”39 “ dan Adapaun orang-
orang yang takut pada kebesaran tuhannya dan menahan diri dari hawa
nafsunya, maka surgalah tempat tinggalnya.” Sedangkan tasawuf memiliki
kedudukan yang tinggi dalam islam ajaran pokok dalam tasawuf adalah konsel Al-
Hubb dan Ma’rifat yang merupakan perintah Allah melalui firman-Nya : “kami
lebih dekat kepada manusia dari pada urat lehernya sendiri” 40
38
Al-Qur’an, Surat Al-Syams ; 8
39
Al-Qur’an, Surat Yusuf, 53
40
Al-Qur’an, Surat Al-Qaff ; 16
20
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengertian tasawuf secara lughawi adalah Ahlu Suffah yang berarti sekelompok
orang imasa Rasulullah yang hidupnya hanya berdiam diserambi-serambi masjid, dan
mereka mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Allah. Sedangkan pengertian
tasawuf berdasarkan istilah adalah ilmu yang mempelajari usaha membersihkan diri,
berjuang memerangi hawa nafsu, mencari jalan kesucian dengan ma’rifat menuju
keabadian, saling mengingatkan antara manusia, serta berpegang teguh pada janji Allah
dan mengikuti syari’at Rasulullah dalam mendekatkan diri dan mencapai keridaan-Nya.
Fungsi tasawuf dalam kehidupan manusia adalah menjadikan manusia berada
sedekat mungkin dengan Allah dan menjauhkan diri dari kehidupan duniawi.
Perkembangan tasawuf mengalami kejayaan yaitu pada abad ke-3 hijriah
dengan munculnya tokoh monumental Al-Ghazali, tetapi ketika memasuki abad ke-8
tasawuf mengalami kemunduran karena tidak ada lagi konsep-konsep tasawuf yang
baru.
21
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihan dan Mukhtar Slihin, 2004. Ilmu Tasawuf. Bandung : “Pustaka Setia”
Siregar, A. Rivay. 2002. Tasawuf dari Sufisme Klasik ke NCO. Sufisme. Jakarta : Rajawali Pers
Djamaluddin Ahmad, Moch. 2013. Dua figur tokoh agung, Jombang : Pustaka Al-Muhibbin
Zaki Ibrahim, Muhammad. 2004. Tasawuf Hitam Putih. Solo : Tiga Serangkai
Qoyyinm Al Jauziyah, Ibn dan Haris bin Asad Al-Muhasibi. 1990. Tasawuf Murni. Surabaya :
Al-Ihsan
Abdul Khaliq, Dr. Abdurrahman dan Ihsan Ilahi Zhahir. 2001
Abdirrahman Al-Sulami, Abu. 2007. Tasawuf. Jakarta : Erlangga
AL-Ghazali. 1961. Ihya’ Ulum Ad-Din, Dar Tsawafah Islamiyah, Kairo. Mesir
Umari, Barmawi. 1966. Systematika Tasawuf , Solo : Penerbit Siti Syamsiyah
Hamka. 1986. Tasawuf : Perkembangan dan pemurniannya Jakarta : Pustaka Panjimas
Nasution, Harun. 1978. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam Jakarta : Bulan Bintang
Al-Hafani, Abd. Al-Munin, 1992. Al Mausu’ah Ash-Shufiyah. Kairo. Dar Ar-Rasyad
Mahmud, Abdul Qodir. 1966. Falsasafah Ash-Shufiyyah fi Al-Islam. Kairo : Dar Al-Fikr Al-Arab