Anda di halaman 1dari 8

Blok 10 Palu, APRIL, 2015

TUTORIAL I

YOGI SETIAWAN
N 101 13 050

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHTAN
UNIVERSITAS TADULAKO
2014
LEARNING OBJECTIVE

1. Diagnosis , pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang fraktur pada skenario ?


2. Komplikasi dari fraktur ?
3. Tahap pemulihan fraktur tulang ?
4. Terapi medikamentosa dan nonmedikamentosa pada fraktur dan dislokasi ?
5. Klasifikasi dari dislokasi ?
6. Bagaimana proses rujukan ?
7. Penanganan pada komplikasi neurofaskuler ?

Jawab :
1. Diagnosis , pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang fraktur pada skenario
 DIAGNOSIS FRAKTUR

Gejala klasik fraktur adalah adanya riwayat trauma, rasa nyeri dan bengkak di bagian
tulang yang patah, deformitas (angulasi, rotasi, diskrepansi), gangguan fungsi
muskuloskeletal akibat nyeri, putusnya kontinuitas tulang, dan gangguan neurovaskuler.
Apabila gejala klasik tersebut ada, secara klinis diagnose fraktur dapat ditegakkan
walaupun jenis konfigurasinya belum dapat ditentukan.
Anamnesis dilakukan untuk menggali riwayat mekanisme cedera (posisi kejadian) dan
kejadian-kejadian yang berhubungan dengan cedera tersebut. riwayat cedera atau
fraktur sebelumnya, riwayat sosial ekonomi, pekerjaan, obat-obatan yang dia konsumsi,
merokok, riwayat alergi dan riwayat osteoporosis serta penyakit lain.

 Pada pemeriksaan fisik


dilakukan tiga hal penting, yakni inspeksi / look: deformitas (angulasi, rotasi,
pemendekan, pemanjangan), bengkak. Palpasi / feel (nyeri tekan, krepitasi). Status
neurologis dan vaskuler di bagian distalnya perlu diperiksa. Lakukan palpasi pada daerah
ekstremitas tempat fraktur tersebut, meliputi persendian diatas dan dibawah cedera,
daerah yang mengalami nyeri, efusi, dan krepitasi 4,5 Neurovaskularisasi bagian distal
fraktur meliputi : pulsasi aretri, warna kulit, pengembalian cairan kapler, sensasi. 4,5
Pemeriksaan gerakan / moving dinilai apakah adanya keterbatasan pada pergerakan
sendi yang berdekatan dengan lokasi fraktur.4,5 Pemeriksaan trauma di tempat lain
meliputi kepala, toraks, abdomen, pelvis. Sedangkan pada pasien dengan politrauma,
pemeriksaan awal dilakukan menurut protokol ATLS. Langkah pertama adalah menilai
airway, breathing, dan circulation. Perlindungan pada vertebra dilakukan sampai cedera
vertebra dapat disingkirkan dengan pemeriksaan klinis dan radiologis.

 Pemeriksaan penunjang yang diperlukan antara lain :


laboratorium meliputi darah rutin, faktor pembekuan darah, golongan darah, cross-test,
dan urinalisa , Pemeriksaan radiologis untuk lokasi fraktur harus menurut rule of two:
dua gambaran, anteroposterior (AP) dan lateral, memuat dua sendi di proksimal dan
distal fraktur, memuat gambaran foto dua ekstremitas, yaitu ekstremitas yang cedera
dan yang tidak terkena cedera (pada anak) dan dua kali, yaitu sebelum tindakan dan
sesudah tindakan.
Sumber : . Sjamsuhidayat, de Jong. BUKU AJAR ILMU BEDAH EDISI 3. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran ECG. 2011. p959-1083

2. Komplikasi fraktur
dapat meliputi kerusakan jaringan lunak sehingga dapat menimbulkan perdarahan, hypovolemic
shock, infection, gangguan keseimbangan elektrolit, kerusakan protein dan gangguan
metabolisme akibat trauma. Perdarahan juga menimbulkan pembekuan dan dapat ikut aliran
darah. Bila sampai ke paru-paru akan terjadi gannguan pemafasan. Oteh sebab itu perlu dicegah
terjadi thrombus dengan memberi anti-koagulan. Perdarahan juga dapat menimbulkan
peningkatan tekanan intra kompartemen sehingga terjadi sindrom kompartemen

Komplikasi juga dapat disebabkan perawatan yang lama seperti pneumonia hypostatic, luka
lecet akibat penekanan (decubitus), kencing batu dan infeksi saluran kencing. Demikian juga
komplikasi dapat diakibatkan karena pembedahan dan anastesi atau komplikasi akibat fraktur
itu sendiri seperti kekakuan sendi, sudeck atrophy, nekrosis avaskular, emboli lemak dan
komplikasi dari implant yang dipakai untuk fiksasi. Gangguan proses penyambungan fraktur
dapat berupa penyambungan yang lambat (slow union), delayed union dan nonunion.
Perbedaan antara slow union dengan delayed union tertetak pada gambaran radiograph.
 Pada delayed union terdapat perubahan tulang yang abnormal terutama di daerah
fraktur sedangkan pada stow union radiograph masih menunjukkan proses
penyambungan.
 Adapun nonunion sama sekali tidak ada proses penyambungan dengan tertutupnya
kanalis medularis pada tulang panjang. Ada 2 macam nonunion yaitu :
a. hypertrophic nonunion atau juga disebut elephant foot appearance artinya
vaskularisasinya masih baik,
b. sedangkan atrophic nonunion tidak ada aktivitas seluler pada daerah fraktur.
Ujung fragmen kelihatan menyempit, bundar dan osteoporotik dengan sering
avaskuler.

Sumber : Nayagam S. Principles of Fractures. Dalam: Solomon L, Warwick D, Nayagam S. Apley’s


System of Orthopaedics and Fractures Ninth Edition. London: Hodder Education. 2010. p687-
732

3. PENYEMBUHAN FRAKTUR
Pada kasus fraktur untuk mengembalikan struktur dan fungsi tulang secara cepat maka perlu
tindakan operasi dengan imobilisasi.4 Imobilisasi yang sering digunakan yaitu plate and screw.
Pada kondisi fraktur fisiologis akan diikuti proses penyambungan.
Proses penyambungan tulang menurut Apley dibagi dalam 5 fase.
 Fase hematoma terjadi selama 1- 3 hari. Pembuluh darah robek dan terbentuk
hematoma di sekitar dan di dalam fraktur. Tulang pada permukaan fraktur, yang tidak
mendapat pesediaan darah akan mati sepanjang satu atau dua milimeter.
 Fase proliferasi terjadi selama 3 hari sampai 2 minggu. Dalam 8 jam setelah fraktur
terdapat reaksi radang akut disertai proliferasi dibawah periosteum dan didalam
saluran medula yang tertembus ujung fragmen dikelilingi jaringan sel yang
menghubungkan tempat fraktur. Hematoma yang membeku perlahan-lahan diabsorbsi
dan kapiler baru yang halus berkembang dalam daerah fraktur.
 Fase pembentukan kalus terjadi selama 2-6 minggu. Pada sel yang berkembangbiak
memiliki potensi untuk menjadi kondrogenik dan osteogenik jika diberikan tindakan
yang tepat selain itu akan membentuk tulang kartilago dan osteoklas. Massa tulang
akan menjadi tebal dengan adanya tulang dan kartilago juga osteoklas yang disebut
dengan kalus. Kalus terletak pada permukaan periosteum dan endosteom. Terjadi
selama 4 minggu, tulang mati akan dibersihkan.
 Fase konsolidasi terjadi dalam waktu 3 minggu – 6 bulan. Tulang fibrosa atau anyaman
tulang menjadi padat jika aktivitas osteoklas dan osteoblastik masih berlanjut maka
anyaman tulang berubah menjadi tulang lamelar. Pada saat ini osteoblast tidak
memungkinkan untuk menerobos melalui reruntuhan garis fraktur karena sistem ini
cukup kaku. Celah-celah diantara fragmen dengan tulang baru akan diisi oleh osteoblas.
Perlu beberapa bulan sebelum tulang cukup untuk menumpu berat badan normal.
 Fase remodelling terjadi selama 6 minggu hingga 1 tahun. Fraktur telah dihubungkan
oleh tulang yang padat, tulang yang padat tersebut akan diresorbsi dan pembentukan
tulang yang terus menerus lamelar akan menjadi lebih tebal, dinding-dinding yang tidak
dikehendaki dibuang, dibentuk rongga sumsum dan akhirnya akan memperoleh bentuk
tulang seperti normalnya. Terjadi dalam beberapa bulan bahkan sampai beberapa
tahun.4,5
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan fraktur antara lain: usia pasien,
banyaknya displacement fraktur, jenis fraktur, lokasi fraktur, pasokan darah pada
fraktur, dan kondisi medis yang menyertainya
Sumber : Helmi ZN. Buku Ajar GANGGUAN MUSKULOSKELETAL. Jakarta: Salemba
Medika. 2011. p411-55

4. Non Operatif

1. Reduksi : Reduksi adalah terapi fraktur dengan cara mengantungkan kaki dengan tarikan atau
traksi.

2. Imobilisasi : Imobilisasi dengan menggunakan bidai. Bidai dapat dirubah dengan gips dalam 7-
10 hari, atau dibiarkan selama 3-4 minggu.

3. Pemeriksaan dalam masa penyembuhan : Dalam penyembuhan, pasien harus di evaluasi


dengan pemeriksaan rontgen tiap 6 atau 8 minggu. Program penyembuhan dengan latihan
berjalan, rehabilitasi ankle, memperkuat otot kuadrisef yang nantinya diharapkan dapat
mengembalikan ke fungsi normal

Operatif

Penatalaksanaan Fraktur dengan operasi, memiliki 2 indikasi, yaitu:

a. Absolut

 Fraktur terbuka yang merusak jaringan lunak, sehingga memerlukan operasi dalam
penyembuhan dan perawatan lukanya.

 Cidera vaskuler sehingga memerlukan operasi untuk memperbaiki jalannya darah di


tungkai.

 Fraktur dengan sindroma kompartemen.

 Cidera multipel, yang diindikasikan untuk memperbaiki mobilitas pasien, juga


mengurangi nyeri.

b. Relatif, jika adanya:


 Pemendekan

 Fraktur tibia dengan fibula intak

 Fraktur tibia dan fibula dengan level yang sama

Adapun jenis-jenis operasi yang dilakukan pada fraktur tibia diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Fiksasi eksternal

a. Standar : Fiksasi eksternal standar dilakukan pada pasien dengan cidera multipel yang
hemodinamiknya tidak stabil, dan dapat juga digunakan pada fraktur terbuka dengan luka
terkontaminasi. Dengan cara ini, luka operasi yang dibuat bisa lebih kecil, sehingga menghindari
kemungkinan trauma tambahan yang dapat memperlambat kemungkinan penyembuhan. Di
bawah ini merupakan gambar dari fiksasi eksternal tipe standar.

b. Ring Fixators : Ring fixators dilengkapi dengan fiksator ilizarov yang menggunakan sejenis cincin
dan kawat yang dipasang pada tulang. Keuntungannya adalah dapat digunakan untuk fraktur ke
arah proksimal atau distal. Cara ini baik digunakan pada fraktur tertutup tipe kompleks. Di bawah
ini merupakan gambar pemasangan ring fixators pada fraktur diafisis tibia.

c. Open reduction with internal fixation (ORIF) : Cara ini biasanya digunakan pada fraktur diafisis
tibia yang mencapai ke metafisis. Keuntungan penatalaksanaan fraktur dengan cara ini yaitu
gerakan sendinya menjadi lebih stabil. Kerugian cara ini adalah mudahnya terjadi komplikasi pada
penyembuhan luka operasi. Berikut ini merupakan gambar penatalaksanaan fraktur dengan ORIF.

d. Intramedullary nailing : Cara ini baik digunakan pada fraktur displased, baik pada fraktur
terbuka atau tertutup. Keuntungan cara ini adalah mudah untuk meluruskan tulang yang cidera
dan menghindarkan trauma pada jaringan lunak.

2. Amputasi

Amputasi dilakukan pada fraktur yang mengalami iskemia, putusnya nervus tibia dan pada crush
injury dari tibia.

Sumber : Ekawati, Indriana Dani. 2008. Penatalaksanaan Terapi Latihan Pada Kasus Post Fraktur
Cruris 1/3 Tengah Dextra Dengan Pemasangan Plate and Screw Di Bangsal Bougenville Rumah
Sakit Orthopedi Prof. Dr. Soeharso Surakarta. Karya Tulis Ilmiah. Diakses pada tangal 8 Mei 2011.

5. klasifikasi Dislokasi (luxation) Kontak tulang-tulang yang membentuk sentuk sendi tersebut
hilang secara komplit . Bila kedudukan tulang tersebut kembali seperti semula maka pada
radiograph Anda tidak akan melihat kelainan tersebut. Tetapi bila dislokasi tersebut disertai
dengan fraktur intraartikular atau fraktur ekstraartikular maka disebut fraktur-dislokasi Sendi
yang rawan terhadap kelainan ini adalah sendi bahu, siku, interphalanx( IP), panggul dan
pergelangan kaki.
1. Dislokasi Sendi bahu ( shoulder dislocation)
Sendi bahu secara anatomis terdiri dari kaput humerus yang besar dengan kedangkalan kavitas
glenoidalis sehingga stabilitas sendi itu tergantung dari kekuatan otot-otot rotator (otot supra
spinatus, infra supinatus, teresminor dan sub skapularis), kapsul sendi dan ligamen (gleno
humeralis, korako humeralis dan labrurn yang memperdalam kavitas glenoidalis) daiam
mempertahankan kedudukannya
2. Dislokasi Sendi Panggul (hip dislocation)
Sendi panggul lebih stabil dibanding sendi bahu karena mangkok asetabulum sangat dalam
disamping adanya ligamentum (Gb.27). Untuk terjadinya dislokasi sendi panggul membutuhkan
energi trauma yang berat seperti MVA (Motor Vehicle Accident), contoh dislokasi posterior
terjadi pada posisi sendi panggul dan lutut fleksi seperti trauma dashboard (dashboard injury).
Ligamentum anterior lebih kuat daripada ligamentum posterior akibatnya kejadian dislokasi
posterior lebih tinggi dibanding ke anterior (> 85% ) (Gb.28).
3. Dislokasi Sendi Lutut
Dislokasi sendi lutut (anterior, posterior, lateral, medial atau rotasi, Gb.30) sangat jarang karena
ligamen di sekitar sendi sangat kuat dan bila terjadi dislokasi membutuhkan energi besar maka
ligamentum dan jaringan lunak sekitar sendi akan terputus, demikian juga kerusakan sendi itu
sendiri (Gb.31).

4. Dislokasi Sendi Siku ( elbow dislocation) Sendi siku mempunyai tiga sendi, yaitu sendi ulno -
humeralis, sendi kapitulo - radialis dan sendi radio - ulnaris proksimalis, yang distabilkan dengan
ligamentum kolateral lateral (radialis), ligamentum kolateral medialis (ulna), ligamentum anularis
dan kapsul sendi.

Sumber : Mangku G, Senapathi T.G.A. eds Wiryana I.M.W, Sinardja K, Sujana I.B.G, Budiarta I.G.
Penatalaksanaan Nyeri. Dalam : Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta Barat : Indeks.
2010

6.
1. Pelayanan gawat darurat yang dapat dijamin adalah sesuai dengan kriteria gawat darurat yang
berlaku.
2. Cakupan pelayanan gawat darurat diberikan sesuai dengan kewenangan dan kompetensi Faskes
sesuai tingkatannya, yaitu:
a. administrasi pelayanan;
b. pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi medis
c. tindakan medis baik non operatif maupun operatif;

d. pelayanan obat dan bahan medis habis pakai;

e. pelayanan alat kesehatan;


f. pelayanan penunjang diagnostik sesuai dengan indikasi medis;
g. pelayanan darah;
h. akomodasi sesuai indikasi medis jika diperlukan; dan
i. pelayanan ambulan antar Faskes untuk rujukan pasien dengan kondisi yang telah teratasi
kegawatdauratannya dan dapat dipindahkan ke Faskes yang bekerjasama dengan BPJS
Kesehatan.

Prosedur pelayanan kesehatan

1. Dalam keadaan gawat darurat, maka:


a. Peserta dapat dilayani di Faskes tingkat pertama maupun Faskes tingkat lanjutan
yang bekerjasama maupun yang tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan
b. Pelayanan harus segera diberikan tanpa diperlukan surat rujukan
c. . Peserta yang mendapat pelayanan di Fasilitas kesehatan yang tidak bekerjasama
dengan BPJS Kesehatan harus segera dirujuk ke Fasilitas kesehatan yang
bekerjasama dengan BPJS Kesehatan setelah keadaan gawat daruratnya teratasi dan
pasien dalam kondisi dapat dipindahkan
d. Pengecekan validitas peserta maupun diagnosa penyakit yang termasuk dalam
kriteria gawat darurat dilakukan oleh Fasilitas kesehatan
e. Fasilitas kesehatan tidak diperkenankan menarik biaya pelayanan kesehatan kepada
peserta

2. Prosedur Pelayanan Gawat Darurat di Faskes yang Bekerjasama dengan BPJS Kesehatan
a. Pada keadaan gawat darurat (emergency), seluruh Fasilitas kesehatan baik yang
bekerjasama maupun yang tidak bekerjasama dengan dengan BPJS Kesehatan, wajib
memberikan pelayanan kegawatdaruratan sesuai indikasi medis
b. Pelayanan kegawatdaruratan di Faskes tingkat pertama dapat diberikan pada Faskes
tempat peserta terdaftar maupun bukan tempat peserta terdaftar
c. Pelayanan kegawatdaruratan di Faskes tingkat pertama maupun lanjutan mengikuti
prosedur pelayanan yang berlaku

3. Prosedur Pelayanan Gawat Darurat di Faskes Tingkat pertama dan Faskes Rujukan yang tidak
bekerjasama dengan BPJS Kesehatan
a. Pada kasus gawat darurat peserta BPJS dapat langsung mendapatkan pelayanan di
Faskes terdekat meskipun Faskes tersebut tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
b. Pelayanan gawat darurat di Faskes rujukan dapat langsung diberikan tanpa surat
rujukan dari Faskes tingkat pertama.
c. .Peserta melaporkan status kepesertaan BPJS Kesehatan-nya kepada Fasilitas
kesehatan dalam jangka waktu:
 Pelayanan rawat jalan: pada saat diberikan pelayan gawat darurat
 Pelayanan rawat inap: pada saat diberikan pelayan gawat darurat atau sebelum
pasien dirujuk ke Faskes yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan
d. Faskes memastikan status kepesertaan BPJS Kesehatan dengan cara:
1 . Faskes mengakses master file kepesertaan melalui:
a. website BPJS Kesehatan yaitu www.bpjs-kesehatan.go.id;
b. sms gateway; dan
c. media elektronik lainnya.
2. Apabila poin (1) tidak dapat dilakukan maka Faskes menghubungi petugas BPJS
Kesehatan melalui telepon atau mendatangi kantor BPJS Kesehatan

e. Jika kondisi kegawatdaruratan peserta telah teratasi dan dapat dipindahkan, maka harus
segera dirujuk ke Fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan
f. Apabila kondisi kegawatdaruratan pasien sudah teratasi dan pasien dalam kondisi dapat
dipindahkan, tetapi pasien tidak bersedia untuk dirujuk ke fasilitas kesehatan yang
bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, maka biaya pelayanan selanjutnya tidak dijamin oleh
BPJS Kesehatan. Faskes harus menjelaskan hal ini kepada peserta dan peserta harus
menandatangani surat pernyataan bersedia menanggung biaya pelayanan selanjutnya
g. Penanganan kondisi kegawatdaruratan di Faskes yang tidak bekerjasama ditanggung
sebagai pelayanan rawat jalan kecuali kondisi tertentu yang mengharuskan pasien dirawat
inap.
h. Kondisi tertentu yang dimaksud diatas adalah sebagai berikut:
1) Tidak ada sarana transportasi untuk evakuasi pasien.

2) Sarana transportasi yang tersedia tidak memenuhi syarat medis untuk evakuasi

3) Kondisi pasien yang tidak memungkinkan secara medis untuk dievakuasi, yang
dibuktikan dengan surat keterangan medis dari dokter yang merawat.
4. Bagi pasien dengan kondisi kegawatdaruratan sudah teratasi serta dapat
dipindahkan akan tetapi masih memerlukan perawatan lanjutan, maka pasien dapat
dirujuk ke Faskes yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan menggunakan ambulan
yang telah bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.
Sumber : Dr. dr. Fachmi Idris, M.Kes.
7.

Segera setelah cedera perlu untuk me- imobilisasi bagian yang cedera apabila klien akan
dipindhkan perlu disangga bagian bawah dan atas tubuh yang mengalami cedera tersebut untuk
mencegah terjadinya rotasi atau angulasi.

Prinsip penanganan fraktur meliputi : Reduksi Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen
tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis Reduksi tertutup, mengembalikan fragmen tulang
ke posisinya ( ujung ujungnya saling berhubungan ) dengan manipulasi dan traksi manual. Alat
yang digunakan biasanya traksi, bidai dan alat yang lainnya. Reduksi terbuka, dengan pendekatan
bedah. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kaawat, sekrup, plat, paku. Iimobilisasi Imobilisasi
dapat dilakukan dengan metode eksterna dan interna Mempertahankan dan mengembalikan
fungsi Status neurovaskuler selalu dipantau meliputi peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan.
Perkiraan waktu imobilisasi yang dibutuhkan untuk penyatuan tulang yang mengalami fraktur
adalah krg lbh 3 bln.
Sumber : American College of Surgeons Comittee on Trauma. Advanced Trauma Life Support
for Doctors (ATLS) Student Course Manual. 8th ed. Chicago, IL : American College of
Surgeons ; 2008

Anda mungkin juga menyukai