Anda di halaman 1dari 32

THALASEMA

a. Definisi
Thalasemia adalah salah satu dari penyakit genetik yang diwariskan dari
orang tua kepada anaknya dimana terjadi kelainan sintesis hemoglobin yang
heterogen akibat pengurangan produksi satu atau lebih rantai globin yang
menyebabkan ketidakseimbangan produksi rantai globin. Penyakit genetik
ini memiliki jenis dan frekuensi terbanyak di dunia. Manifestasi klinis yang
ditimbulkan bervariasi mulai dari asimtomatik hingga gejala yang berat.1

b. Sejarah
Sejarah thalasemia dimulai di eropa, dimana seorang peneliti bernama
Riettedan Wintrobe mendeskripsikan mengenai adanya anemia mikrositik
hipokrom yang tak terjelaskan pada anak-anak keturunan itali dan dilaporkan
adanya anemia ringan pada kedua orangtua dari anak-anak yang mengidap
anemia tersebut. Pada saat yang bersamaan, seorang dokter spesialis anak,
Thomas Cooley juga mendeskripsikan suatu tipe anemia berat pada anak-
anak yang berasal dari italia dimana beliau menemukan adanya nukleasi sel
darah merah yang masif pada sapuan apus darah tepi yang semula diduga
anemia eritroblastik. Namun tak lama, Cooley menyadari bahwa eritoblastik
tidak spesifik pada temuan ini dan temuan ini sangat mirip dengan kelainan
darah yang ditemukan oleh Riettedan. Sehingga kelainan darah ini dinyatakan
sebagai bentuk homozigot dari anemia hipokrom mikrositik yang kemudian
diberi labelisasi sebagai thalassemia mayor sedangkan bentuk ringannya
dinamakan thalassemia minor. Kata thalassemia berasal dari bahasa yunani
yaitu thalassa yang berarti “laut” dan emia yang berarti “berhubungan dengan
darah”.1,3

c. Epidemiologi
WHO (2006) meneliti kira-kira 5% penduduk dunia adalah carrier dari
300-400 ribu bayi thalassemia yang baru lahir pertahunnya. Frekuensi gen
thalassemia di Indonesia berkisar 3-10%. Berdasarkan angka ini, diperkirakan
lebih 2000 penderita baru dilahirkan setiap tahunnya di Indonesia. Salah satu
RS di Jakarta, sampai dengan akhir tahun 2003 terdapat 1060 pasien
thalassemia mayor yang berobat jalan di Pusat Thalassemia Departemen
Anak FKUI-RSCM yang terdiri dari 52,5 % pasien thalassemia β homozigot,
46,2 % pasien thalassemia HbE, serta thalassemia α 1,3%. Sekitar 70-80
pasien baru, datang tiap tahunnya. Fakta ini mendukung thalasemia sebagai
salah satu penyakit turunan yang terbanyak dan menyerang hampir semua
golongan etnik dan terdapat di seluruh negara di dunia termasuk Indonesia. 4,9

d. Patofisiologi
Talasemia merupakan salah satu bentuk kelainan genetik hemoglobin yang
ditandai dengan kurangnya atau tidak adanya sintesis satu rantai globin atau
lebih, sehingga terjadi ketidak seimbangan jumlah rantai globin yang
terbentuk. Mutasi gen pada globin alfa akan menyebabkan penyakit alfa-
thalassemia dan jika itu terjadi pada globin beta maka akan menyebabkan
penyakit beta-thalassemia.12
Secara genetik, gangguan pembentukan protein globin dapat disebabkan
karena kerusakan gen yang terdapat pada kromosom 11 atau 16 yang
ditempati lokus gen globin. Kerusakan pada salah satu kromosom homolog
menimbulkan terjadinya keadaan heterozigot, sedangkan kerusakan pada
kedua kromosom homolog menimbulkan keadaan homozigot (-/-).12
I. Thalasemia beta
Secara biokimia kelainan yang paling mendasar adalah
menurunnya biosintesis dari unit  globin pada Hb A. Pada thalasemia
β heterozigot, sintesis β globin kurang lebih separuh dari nilai
normalnya. Pada thalasemia β homozigot, sintesis β globin dapat
mencapai nol.2,12
Karena adanya defisiensi yang berat pada rantai β, sintesis Hb A
total menurun dengan sangat jelas atau bahkan tidak ada, sehingga
pasien dengan thalasemia β homozigot mengalami anemia berat.
Sebagai respon kompensasi, maka sintesis rantai γ menjadi teraktifasi
sehingga hemoglobin pasien mengandung proporsi Hb F yang
meningkat. Namun sintesis rantai γ ini tidak efektif dan secara
kuantitas tidak mencukupi.12
Pada thalasemia β homozigot, sintesis rantai α tidak mengalami
perubahan dan tidak mampu membentuk Hb tetramer. Ketidak-
seimbangan sintesis dari rantai polipeptida ini mengakibatkan
kelebihan adanya rantai α bebas di dalam sel darah merah yang berinti
dan retikulosit. Rantai α bebas ini mudah teroksidasi. Mereka dapat
beragregasi menjadi suatu inklusi protein (haeinz bodys),
menyebabkan kerusakan membran pada sel darah merah dan destruksi
dari sel darah merah imatur dalam sumsum tulang sehingga jumlah sel
darah merah matur yang diproduksi menjadi berkurang sehingga sel
darah merah yang beredar menjadi kecil, terdistorsi, dipenuhi oleh
inklusi α globin, dan mengandung komplemen hemoglobin yang
menurun dan memberikan gambaran dari Anemia Cooley/anemia
mikrositik hipokrom yaitu hipokromik, mikrosisitk dan poikilositik. 12
Sel darah merah yang sudah rusak tersebut akan dihancurkan oleh
limpa, hepar, dan sumsum tulang, menggambarkan komponen
hemolitik dari penyakit ini. Sel darah merah yang mengandung jumlah
Hb F yang lebih tinggi mempunyai umur yang lebih panjang. 12
Anemia yang berat terjadi akibat adanya penurunan oksigen
carrying capacity dari setiap eritrosit dan tendensi dari sel darah merah
matur (yang jumlahnya sedikit) mengalami hemolisa secara
prematur.12
Eritropoetin meningkat sebagai respon adanya anemia, sehingga
sumsum-sumsum tulang dipacu untuk memproduksi eritroid prekusor
yang lebih banyak. Namun mekanisme kompensasi ini tidak efektif
karena adanya kematian yang prematur dari eritroblas. Hasilnya adalah
suatu ekspansi sumsum tulang yang masif yang memproduksi sel
darah merah baru. 1,12
Sumsum tulang mengalami ekspansi secara masif, menginvasi
bagian kortikal dari tulang, menghabiskan sumber kalori yang sangat
besar pada umur-umur yang kritis pada pertumbuhan dan
perkembangan, mengalihkan sumber-sumber biokimia yang vital dari
tempat-tempat yang membutuhkannya dan menempatkan suatu stress
yang sangat besar pada jantung. Secara klinis terlihat sebagai kegalan
dari pertumbuhan dan perkembangan, kegagalan jantung high output,
kerentanan terhadap infeksi, deformitas dari tulang, fraktur patologis,
dan kematian di usia muda tanpa adanya terapi transfusi.10
Jika seseorang memiliki 1 gen beta globin normal, dan satu lagi
gen yang sudah termutasi, maka orang itu disebut carier/trait. 10,12

Gambar diatas menunjukkan bahwa kedua orangtua merupakan carier/trait.


Maka anaknya 25% normal, 50% carier/trait, 25% mewarisi 2 gen yang termutasi
(thalasemia mayor).
II. Thalasemia alpha
Rantai globin yang berlebihan pada thalasemia α adalah rantai γ
dan yang kurang atau hilang sintesisnya dalah rantai α. Rantai γ
bersifat larut sehingga mampu membentuk hemotetramer yang
meskipun relatif tidak stabil, mampu bertahan dan memproduksi
molekul Hb yang lain seperti Hb Bart (γ4) dan Hb H (β4). Perbedaan
dasar inilah yang mempengaruhi lebih ringannya manisfestasi klinis
dan tingkat keparahan penyakitnya dibandingkan dengan thalasemia
beta.10,12
Patofisiologi thalasemia α sebanding dengan jumlah gen yang
terkena. Pada thalasemia α homozigot (-/-) tidak ada rantai α yang
diproduksi. Pasiennya hanya memiliki Hb Bart’s yang tinggi dengan
Hb embrionik. Meskipun kadar Hb nya tinggi tapi hampir semuanya
adalah Hb Bart’s sehingga sangat hipoksik yang menyebabkan
sebagian besar pasien lahir mati dengan tanda hipoksia intrauterin.10,12
Bentuk thalasemia α heterozigot (α0 dan -α+) menghasilkan
ketidakseimbangan jumlah rantainya tetapi pasiennya dapat mampu
bertahan dengan HbH dimana kelainan ini ditandai dengan adanya
anemia hemolitik karena HbH tidak bisa berfungsi sebagai pembawa
oksigen. 12

Mutasi yang terjadi pada gen alpha globin disebut delesi.


Thalassemia alfa terjadi dimana satu atau lebih varian gen ini
hilang.12
 Orang dengan hanya satu gen mempengaruhi disebut silent carriers
dan tidak punya tanda penyakit.
 Orang dengan dua gen mempengaruhi disebut thalassemia trait atau
thalassemia alfa . akan menderita anemia ringan dan kemungkinan
menjadi carrier
 Orang dengan tiga gen yang yang dipengaruhi akan menderita
anemia sedang sampai anemia berat atau disebut penyakit
hemoglobin H.
 Bayi dengan empat gen dipengaruhi disebut thalassemia alfa mayor
atau hydrops fetalis. Pada umumnya mati sebelum atau tidak lama
sesudah kelahiran.12
Jika kedua orang menderita alfa thalassemia trait (carriers)
memiliki seorang anak, bayi bisa mempunyai suatu bentuk alfa
thalassemia atau bisa sehat.12

e. KLASIFIKASI THALASEMIA DAN PRESENTASI KLINISNYA

Thalassemia α / minor

Penghapusan 4 gen- hydrops fetalis

Penghapusan 3 gen- penyakit Hb H

Penghapusan 2 gen ( trait thalasemia α° )

Penghapusan 1 gen ( trait thalasemia α+ )

Thalassemia β

Homozigot – thalassemia mayor

Heterzigot- trait thalassemia


Thalassemia intermediate

Sindroma klinik yang disebabkan oleh sejenis lesi genetik

I. Thalasemia α
a. Thalasemia homozigot (α0)
Sindrom hidrops Hb Bart’s biasanya terjadi dalam rahim.
Bila hidup hanya dalam waktu pendek. Gambaran klinisnya
adalah hidrops fetalis dengan edema permagna dan
hepatosplenomegali. Kadar Hb 6-8 g/dl dengan eritrosit
hipokromik dan beberapa berinti. Kadar Hb Bart’s 80% dan
sisanya Hb portland. Biasanya keadaan ini disertai toksemia
gravidarum, perdarahan post partum dan masalah karena
hipertrofi plasenta. Pada pemeriksaan otopsi memperlihatkan
adanya peningkatan kelainan bawaan. Beberapa bayi berhasil
diselamatkan dengan transfusi tukar dan berulang serta
pertumbuhannya bisa mencapai normal. 4,6

Gambar Hidrops fetalis :


b. HbH disease
Ditandai anemia mikrositik hipokrom yang cukup berat (7-
11 g/dL) dan splenomegali sedang dimana Hb H (β4) dapat
dideteksi dalam sel darah merah dengan elektroforesis atau pada
sediaan retikulosit. Pada kehidupan janin ditemukan Hb Bart (γ4).
HbH bisa diketahui dengan bantuan brilian cresil blue yang akan
menyebabkan pengendapan dan pembentukkan badan inklusi.
Setelah splenektomi, umumnya bentukkan ini makin banyak di
eritrosit. Pada beberapa kasus, penderita bisa tergantung transfusi
sedangkan sebagian besar kasus umumnya penderita bisa tumbuh
normal tanpa transfusi.6
c. Karier thalasemia α
Bisa berasal dari thalasemia α0 (-/αα) atau thalasemia (-α/-
α). Biasanya asimptomatis, didapatkan anemia mikrositik
hipokrom ringan dengan penurunan MCH dan MCV yang
bermakna. Hb elektroforesisn normal dan pasien hanya bisa
didiagnosis dengan analisa DNA. Pada masa neonatus, Hb Bart’s
5-10 % tapi tidak didapatkan HbH pada masa dewasa dan kadang
bisa didapatkan inklusi pada eritrosit karier thalasemia α.6
d. Karier thalasemia α silent
Bentuk heterozigot karier thalasemia α+ (–α/αα). Memiliki
gambaran darah yang abnormal tetapi dengan elektroforesis
normal. Saat lahir 50% kasus memiliki Hb Bart’s 1-3% tapi tidak
adanya Hb Bart’s tidak menyingkirkan diagnosa kasus ini. 6
II. Thalasemia β
Hampir semua anak dengan thalasemia β homozigot dan
heterozigot memperlihatkan gejala klinis sejal lahir yaitu gagal
tumbuh, infeksi berulang, kesulitan makan, kelemahan umum. Bayi
tampak pucat dan terdapat splenomegali. Bila menerima transfusi
berulang, pertumbuhannya bisa normal hingga pubertas. 6,7
Pada anak yang mendapat transfusi dan terapi chelasi (pengikat
besi), anak bisa mencapai pubertas dan terus mencapai usia dewasa
dengan normal. Bila terapi chelasi tidak adekuat, secara bertahap
akan terjadi penumpukkan besi yang efeknya mulai nampak pada
dekade pertama. Adolscent growth spurt tidak akan tercapai,
komplikasi ke hati, endokrin, dan jantung.6,7,9
Gambaran klinis pada pasien yang tidak mendapat terapi adekuat
yaitu :
 Facies cooley
Terjadi keaktifan sumsum tulang yang luar biasa pada
tulang muka dan tulang tengkorak hingga nengakibatkan
perubahan perkembangan tulang tersebut dan umumnya
terjadi pada anak usia lebih dari 2 tahun 7

 Pucat yang berlangsung lama


Merupakan gejala umum pada penderita thalassemia, yang
berkaitan dengan anemia berat. Penyebab anemia pada
thalassemia bersifat primer dan sekunder. Primer adalah
berkurangnya sintesis Hb A dan eritropoesis yang tidak efektif
disertai penghancuran sel-sel eritrosit intramedular.
Sedangkan yang sekunder mengakibatkan hemodilusi, dan
destruksi eritrosit oleh sistem retikuloendotelial dalam limpa
dan hati.7
 Perut membuncit
Pada anak yang besar tampak perut yang membuncit akibat
pembesaran hati dan limpa. Hati dan limpa membesar akibat
dari hemopoisis ekstrameduler dan hemosiderosis. Dan akibat
dari penghancuran eritrosit yang berlebihan itu dapat
menyebabkan terjadinya peningkatan biliribin indirek,
sehingga menimbulkan kuning pada penderita thalassemia dan
kadang ditemui trombositopenia.7
 Gagal tumbuh dan mudah terkena infeksi
 Karena pendeknya umur eritrosit menyebabkan hiperurikemi
dan gout sekunder sering timbul
 Sering terjadi gangguan perdarahan akibat rombositopenia
maupun kegagalan hati akibat penimbunan besi, infeksi dan
hemapoiesis ekstramedular.
 Bila pasien ini mencapai pubertas, akan timbul komplikasi
akibat penimbunan besi yaitu Keterlambatan menarke (pada
anak perempuan) dan gangguan perkembangan sifat seks
sekunder akibat dari hemosiderosis yang terjadi pada kelenjar
endokrin. Selain pada kelenjar endokrin, hemosiderosis pada
pankreas dapat menyebabkan diabetes mellitus. Siderosis
miokardium menyebabkan komplikasi ke jantung. 8,9

Temuan Laboratorium

Kelainan morfologi eritrosit pada penderita thalassemia-β° yang


tidak ditransfusi adalah ekstrem. Disamping hipokromia dan
mikrositosis berat, banyak ditemukan poikilositosit yang
terfragmentasi, aneh (bizarre) dan sel target. Sejumlah besar eritrosit
yang berinti ada di darah tepi, terutama setelah splenektomi. Inklusi
intraeritrosit, yang merupakan presipitasi dari kelebihan rantai α, juga
terlihat pasca splenectomi. Kadar Hb turun secara cepat menjadi kurang
dari 5 g/dL kecuali jika transfusi diberikan. Kadar bilirubin serum tidak
terkonjugasi meningkat. Kadar serum besi tinggi, dengan saturasi
kapasitas pengikat besi. Gambaran biokimiawi yang nyata adalah
adanya kadar Hb F yang sangat tinggi dalam eritrosit. Senyawa
dipiridol menyebabkan urin berwarna coklat gelap, terutama pasca
splenektomi.11

a. Karier thalasemia β
Hampir tanpa gejala, umumnya dengan anemia ringan dan jarang
didapatkan splenomegali. Adanya penurunan ringan kadar Hb dengan
penurunan MCV dan MCH yang bermakna.hapusan darah memperlihatan
hiporomik makrositik dan basophilik stippling dalam berbagai
tingkatan.pada 4-6% kasus, memperlihatkan HbA2 meningkat 2 kali
normal, 50% kasus memperlihatkan peningkatan HbF.11
b. Intermedia thalasemia
Sindroma klinik yang disebabkan oleh sejenis lesi genetik. Anemia
hipokrom mikrositik ( Hb 7-10 gr/dl ), hepatomegali dan splenomegali,
deformitas menurun, kelebihan beban besi ( iron over load ).11
f. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang perlu untuk menegakkan diagnosis
thalasemia ialah:

1. Darah
Pemeriksaan darah yang dilakukan pada pasien yang
dicurigai menderita thalasemia adalah

 Darah rutin
Kadar hemoglobin menurun. Dapat ditemukan peningkatan
jumlah lekosit, ditemukan pula peningkatan dari sel PMN.
Bila terjadi hipersplenisme akan terjadi penurunan dari
jumlah trombosit.11

 Hitung retikulosit
Hitung retikulosit meningkat antara 2-8 %.11

 Gambaran darah tepi


Anemia pada thalassemia mayor mempunyai sifat
mikrositik hipokrom. Pada gambaran sediaan darah tepi
akan ditemukan retikulosit, poikilositosis, tear drops sel dan
target sel.11
 Serum Iron & Total Iron Binding Capacity
Kedua pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan anemia terjadi karena defisiensi besi. Pada
anemia defisiensi besi SI akan menurun, sedangkan TIBC
akan meningkat.11

 LFT
Kadar unconjugated bilirubin akan meningkat sampai 2-4
mg%. bila angka tersebut sudah terlampaui maka harus
dipikir adanya kemungkinan hepatitis, obstruksi batu
empedu dan cholangitis. Serum SGOT dan SGPT akan
meningkat dan menandakan adanya kerusakan hepar.
Akibat dari kerusakan ini akan berakibat juga terjadi
kelainan dalam faktor pembekuan darah.11

2. Elektroforesis Hb
Diagnosis definitif ditegakkan dengan pemeriksaan
eleltroforesis hemoglobin. Pemeriksaan ini tidak hanya ditujukan
pada penderita thalassemia saja, namun juga pada orang tua, dan
saudara sekandung jika ada. Pemeriksaan ini untuk melihat jenis
hemoglobin dan kadar Hb A2. petunjuk adanya thalassemia α
adalah ditemukannya Hb Barts dan Hb H. Pada thalassemia β
kadar Hb F bervariasi antara 10-90%, sedangkan dalam keadaan
normal kadarnya tidak melebihi 1%.12
3. Pemeriksaan sumsum tulang
Pada sumsum tulang akan tampak suatu proses eritropoesis
yang sangat aktif sekali. Ratio rata-rata antara myeloid dan eritroid
adalah 0,8. pada keadaan normal biasanya nilai perbandingannya
10 : 3.12
4. Pemeriksaan roentgen
Ada hubungan erat antara metabolisme tulang dan
eritropoesis. Bila tidak mendapat tranfusi dijumpai osteopeni,
resorbsi tulang meningkat, mineralisasi berkurang, dan dapat
diperbaiki dengan pemberian tranfusi darah secara berkala. Apabila
tranfusi tidak optimal terjadi ekspansi rongga sumsum dan
penipisan dari korteknya. Trabekulasi memberi gambaran mozaik
pada tulang. Tulang terngkorak memberikan gambaran yang khas,
disebut dengan “hair on end” yaitu menyerupai rambut berdiri
potongan pendek pada anak besar.12

g. Diagnosis Banding
Thalassemia sering kali didiagnosis salah sebagai anemia defisiensi Fe, hal
ini disebabkan oleh karena kemiripan gejala yang ditimbulkan, dan gambaran
eritrosit mikrositik hipokrom. Namun kedua penyakit ini dapat dibedakan,
karena pada anemia defisiensi Fe didapatkan : 12

- Pucat tanpa organomegali


- SI rendah
- TIBC meningkat
- Tidak tedapat besi dalam sumsum tulang
- Bereaksi baik dengan pengobatan dengan preparat besi.9

Gambar. Apusan darah tepi defisiensi besi

Anemia sideroblastik dimana didapatkan pula gambaran apusan darah tepi


mikrositik hipokrom dan gejala-gejala anemia, yang membedakan dengan
thalassemia adalah kadar besi dalam darah tinggi, kadar TIBC (Total Iron
Binding Capacity) normal atau meningkat sedangkan pada thalassemia kadar
besi dan TIBC normal.10,12
Dapat juga dibandingkan dengan anemia defisiensi G6PD, dimana enzim
ini bekerja untuk mencegah kerusakan eritrosit akibat oksidasi. Merupakan
salah satu anemia hemolitik juga. Dapat dibedakan dengan thalassemia dengan
gambaran apusan darah tepi dimana pada defisiensi G6PD nomositik-
normokrom dan pemeriksaan enzim G6PD.10,12

h. Tata Laksana
I. Transfusi darah
Tujuan transfusi darah pada pasien thalassemia adalah untuk
menekan hematopoiesis ekstramedular dan mengoptimalkan tumbuh
kembang anak. Keputusan untuk memulai transfusi darah sangat
individual pada setiap pasien. Transfusi dilakukan apabila dari
pemeriksaan laboratorium terbukti pasien menderita thalassemia
mayor, atau apabila Hb <7g/dL setelah 2x pemeriksaan dengan selang
waktu >2 minggu, tanpa adanya tanda infeksi atau didapatkan nilai Hb
>7gr/dL dan dijumpai, gagal tumbuh, dan/atau deformitas tulang
akibat thalassemia. (Level of evidence IV)9,12
Evaluasi sebelum transfusi
Pasien perlu menjalani pemeriksaan laboratorium berikut sebelum
memulai transfusi pertama:
a. Profil besi: feritin serum, serum iron (SI), total iron binding
capacity (TIBC)

b. Kimia darah berupa uji fungsi hati; SGOT, SGPT, PT, APTT,
albumin, bilirubin indirek, dan bilirubin direk.

c. Fungsi ginjal : ureum, kreatinin

d. Golongan darah: ABO, Rhesus

e. Marker virus yang dapat ditransmisikan melalui transfusi darah: e.


antigen permukaan Hepatitis B (HbsAg), antibodi Hepatitis C (anti-
HCV), dan antibodi HIV (anti-HIV).

f. Bone age.12
Keluarga atau pasien diinformasikan mengenai kegunaan dan
risiko transfusi, kemudian menandatangani persetujuan (informed
consent) sebelum transfusi dimulai. Identifikasi pasien dan kantong
darah perlu dilakukan pada setiap prosedur pemberian transfusi darah
sebagai bagian dari upaya patient safety.1,8

II. Kelasi besi


Kelebihan besi dapat menimbulkan komplikasi jangka panjang di
berbagai sistem organ. Pemberian terapi kelasi besi dapat mencegah
komplikasi kelebihan besi dan menurunkan angka kematian pada
pasien thalassemia. 10
Indikasi kelasi besi
Terapi kelasi besi bertujuan untuk detoksifikasi kelebihan besi
yaitu mengikat besi yang tidak terikat transferin di plasma dan
mengeluarkan besi dari tubuh. Kelasi dimulai setelah timbunan besi
dalam tubuh pasien signifikan, yang dapat dinilai dari beberapa
parameter seperti jumlah darah yang telah ditransfusikan, kadar feritin
serum, saturasi transferin, dan kadar besi hati/ liver iron concentration
– LIC (biopsi, MRI, atau feritometer).10
LIC minimal 3000 ug/g berat kering hati merupakan batasan untuk
memulai kelasi besi namun biopsi adalah tindakan yang invasif
sehingga beberapa parameter lain menjadi pilihan. Pemberian kelasi
besi dimulai bila kadar feritin serum darah sudah mencapai 1000
ng/mL, atau saturasi transferin >70%, atau apabila transfusi sudah
diberikan sebanyak 10-20 kali atau sekitar 3-5 liter. 10
Kelasi besi kombinasi diberikan jika kadar feritin serum >2500
ng/mL yang menetap minimal 3 bulan, apabila sudah terjadi
kardiomiopati, atau telah terjadi hemosiderosis jantung pada
pemeriksaan MRI T2* (<20 ms). 10
Terapi kelasi besi memerlukan komitmen yang tinggi dan
kepatuhan dari pasien dan keluarga. Jenis kelasi besi yang terbaik
adalah yang dapat digunakan pasien secara kontinu, dengan
mempertimbangkan efektifitas, efek samping, ketersediaan obat,
harga, dan kualitas hidup pasien. Tiga jenis kelasi besi yang saat ini
digunakan adalah desferoksamin, deferipron, dan deferasiroks. 10

III. Nutrisi dan Suplementasi


Pasien thalassemia umumnya mengalami defisiensi nutrisi akibat
proses hemolitik, peningkatan kebutuhan nutrisi, dan morbiditas yang
menyertainya seperti kelebihan besi, diabetes, dan penggunaan kelasi
besi. 10,,11
Idealnya pasien thalassemia menjalani analisis diet untuk
mengevaluasi asupan kalsium, vitamin D, folat, trace mineral
(kuprum/ tembaga, zink, dan selenium), dan antioksidan (vitamin C
dan E). Pemeriksaan laboratorium berkala mencakup glukosa darah
puasa, albumin, 25-hidroksi vitamin D, kadar zink plasma, tembaga,
selenium, alfa- dan gamma-tokoferol, askorbat, dan folat. Tidak
semua pemeriksaan ini didapatkan di fasilitas kesehatan.11
pemberian suplementasi zink memberikan manfaat yang bermakna
pada kecepatan tinggi tubuh dan densitas tulang. 9
Suplementasi vitamin D yang direkomendasikan adalah 50.000 IU
sekali seminggu pada pasien dengan kadar 25-hidroksi vitamin D di
bawah 20 mg/dL, diberikan hingga mencapai kadar normal. Suplemen
kalsium diberikan pada pasien dengan asupan kalsium yang
rendah.11,12
Rekomendasi diet berbeda pada tiap pasien bergantung pada
riwayat nutrisi, komplikasi penyakit, dan status tumbuh kembang.
Hindari suplementasi yang mengandung zat besi. Diet khusus
diberikan pada pasien dengan diabetes, intoleransi laktosa, wanita
hamil, dan pasien dalam kelasi besi. Konsumsi rokok dan alkohol
harus dihindari. Rokok dapat menyebabkan remodeling tulang
terganggu, dan dapat mengakibatkan osteoporosis. Konsumsi alkohol
menyebabkan proses oksidasi besi terganggu dan memperberat
gangguan fungsi hati. 11,12
Nutrien yang perlu diperhatikan pada pasien thalassemia adalah zat
besi. Makanan yang banyak mengandung zat besi atau dapat
membantu penyerapan zat besi harus dihindari, misalnya daging
merah, jeroan, dan alkohol. Makanan yang rendah zat besi, dapat
mengganggu penyerapan zat besi, atau banyak mengandung kalsium
dapat dikonsumsi lebih sering yaitu sereal dan gandum.49,50
Pendapat lain menyebutkan pasien dalam terapi kelasi besi tidak perlu
membatasi diet dari makanan tertentu, karena dikhawatirkan dapat
semakin mengurangi kualitas hidup pasien. 11,12
Stres oksidatif dan defisiensi anti-oksidan umum terjadi pada
thalassemia walaupun tanpa kondisi kelebihan besi. Rendahnya kadar
enzim superoksid dismutase (SOD) yang berperan untuk mengatasi
stres oksidatif dan tingginya radikal oksigen bebas dapat mengurangi
kadar vitamin E pada pasien thalassemia. Vitamin E berperan untuk
mengurangi aktifitas platelet dan mengurangi stres oksidatif. Vitamin
E dapat pula melindungi membran eritrosit sehingga tidak mudah lisis
dan secara bermakna meningkatkan kadar Hb. Suplementasi vitamin
E 10 mg/kg atau 2x200 IU/hari selama 4 minggu dipercaya dapat
meningkatkan kadar Hb dan askorbat plasma, dan dapat menjaga
enzim antioksidan pada eritrosit sehingga kadarnya mendekati nilai
normal. 11,12
Vitamin C berperan untuk memindahkan besi dari penyimpanan di
intraselular dan secara efektif meningkatkan kerja DFO. Vitamin C
dengan dosis tidak lebih dari 2-3 mg/kg/hari diberikan bersama
desferoksamin untuk meningkatkan ekskresi besi. 11,12
Pemberian asam folat direkomendasikan pula, karena defisiensi zat
ini umum terjadi. Pemberiannya terutama pada pasien yang
merencanakan kehamilan. Asam folat diberikan dengan dosis 1-5
mg/kg/hari atau 2x1 mg/hari. Folat dapat diberikan pada pasien
thalassemia sejak awal walau pasien belum mendapat transfusi rutin.
1,12

Penelitian lain menyebutkan asam folat hanya diberikan pada


pasien bila kadar Hb pratransfusinya <9 g/dL, karena belum terjadi
eritropoiesis hiperaktif sehingga tidak memerlukan asam folat untuk
pembentukan eritrosit.12

IV. Splenektomi
Transfusi yang optimal sesuai panduan saat ini biasanya dapat
menghindarkan pasien dari tindakan splenektomi, namun splenektomi
dapat dipertimbangkan pada beberapa indikasi di bawah ini:
a. Kebutuhan transfusi meningkat hingga lebih dari 200-250 mL PRC
/kg/tahun atau 1,5 kali lipat dibanding kebutuhan biasanya (kebutuhan
transfusi pasien thalassemia umumnya 180 mL/kg/tahun).
b. Kondisi hipersplenisme ditandai oleh splenomegali dan leukopenia
atau trombositopenia persisten, yang bukan disebabkan oleh penyakit
atau kondisi lain.
c. Splenektomi dapat mengurangi kebutuhan transfusi darah secara
signifikan hingga berkisar 30-50% dalam jangka waktu yang cukup
lama. Splenomegali masif yang menyebabkan perasaan tidak nyaman
dan berisiko untuk terjadinya infark dan ruptur bila terjadi trauma.8,10
Klinisi perlu mencermati kemungkinan splenomegali yang
disebabkan pemberian tranfusi darah yang tidak adekuat. Pada kondisi
tersebut ukuran limpa dapat mengecil dengan transfusi darah adekuat
dan kelasi besi yang intensif selama beberapa bulan kemudian
dilakukan evaluasi ulang apakah tindakan splenektomi dapat
dihindari. Mengingat risiko komplikasi splenektomi yang berat, maka
splenektomi sedapat mungkin dihindari dan hanya dilakukan dengan
indikasi yang kuat. Pasien yang terindikasi splenektomi sedapat
mungkin menunda splenektomi hingga pasien berusia 5 tahun untuk
mengurangi risiko terjadinya sepsis berat pasca tindakan.10

V. Transplantasi sumsum tulang


Hingga saat ini tata laksana kuratif pada thalassemia mayor hanya
transplantasi sumsum tulang (hematopoietic stem cell transplantation
/ HSCT). Tiga faktor risiko mayor yang memengaruhi luaran dari
transplantasi adalah pasien dengan terapi kelasi besi yang tidak
adekuat, hepatomegali, dan fibrosis portal. Pasien dengan
transplantasi HLA-matched related allogenic tanpa faktor risiko
memiliki tingkat harapan hidup/overall survival (OS) 93% dan
harapan hidup tanpa penyakit/disease-free survival (DFS) 91%.
Pasien dengan 1 atau 2 faktor risiko memiliki OS 87% dan DFS 83%,
sedangkan pasien dengan 3 faktor risiko memiliki OS 79% dan DFS
58%. Risiko kematian pada transplantasi sekitar 10%. Hasil terbaik
diperoleh pada anak yang berusia di bawah 3 tahun, sehingga
transplantasi dipertimbangkan pada usia muda sebelum pasien
mengalami komplikasi akibat kelebihan besi. Berbagai kemungkinan
komplikasi transplantasi hendaknya dipertimbangkan secara matang
karena akan memperberat komplikasi yang sudah ada akibat penyakit
dasarnya. 10
Penelitian yang dilakukan oleh Hongeng dkk melaporkan
keberhasilan penggunaan transplantasi stem sel dari donor yang tidak
memiliki kekerabatan dengan metode haplo identical macth. Tindakan
ini dapat dipertimbangkan apabila tidak tersedia donor yang
sama/related-donor. Transplantasi sebaiknya dilakukan sedini
mungkin apabila telah didapatkan donor yang sesuai dan tersedia
layanan pusat transplantasi. Saat ini luaran transplantasi cukup baik
bila dibandingkan dengan tahun 1980-an dan 1990-an. Angka harapan
hidup dapat mencapai 90% dan angka harapan hidup tanpa penyakit
sekitar 80%. 10

VI. Vaksinasi
Pasien thalassemia hendaknya mendapatkan vaksinasi secara
optimal karena pasien thalassemia merupakan kelompok risiko tinggi
akibat transfusi darah dan tindakan splenektomi. Status imunisasi
perlu dievaluasi secara teratur dan segera dilengkapi. Vaksin
pneumokokus diberikan sejak usia 2 bulan, kemudian di-booster pada
usia 24 bulan. Booster kembali dilakukan tiap 5 hingga 10 tahun. Bila
perlu dilakukan pemeriksaan kadar antibodi pneumokokus. Vaksinasi
hepatitis B wajib dilakukan karena pasien mendapatkan transfusi
rutin. Pemantauan dilakukan tiap tahun dengan memeriksakan status
hepatitis. Pasien dengan HIV positif ataupun dalam pengobatan
hepatitis C tidak diperkenankan mendapatkan vaksin hidup. Vaksin
influenza diberikan tiap tahun.9
Status vaksinasi perlu diperhatikan lebih serius pada pasien yang
hendak menjalani splenektomi. Vaksin merupakan upaya
imunoprofilaksis untuk mencegah komplikasi pasca-splenektomi.
a. Vaksinasi pneumokokus dilakukan mengunakan vaksin polisakarida
23-valent (PPV-23) minimal 2 minggu sebelum splenektomi.
Revaksinasi diulang setelah 5 tahun post splenektomi. 9

b. Vaksinasi Haemophilus influenzae B (Hib) diberikan 2 minggu


sebelum operasi jika tidak terdapat riwayat vaksinasi sebelumnya.

c. Vaksinasi meningokokus direkomendasikan di area endemis.9

i. Komplikasi Thalassemia
Komplikasi pada thalassemia dapat terjadi akibat penyakit dasarnya,
akibat pengobatan, dan akibat terapi kelasi besi, sehingga pemantauan
komplikasi yang terjadi perlu dilakukan terus-menerus. Komplikasi akibat
penyakit dasar meliputi anemia berat, komplikasi jantung yang berkaitan
dengan anemia, fraktur patologis, komplikasi endokrin, gagal tumbuh, gizi
kurang, perawakan pendek, dan pembesaran organ-organ abdomen yang
menekan organ sekitarnya. 11
Komplikasi pengobatan (akibat transfusi) yaitu penumpukan besi pada
organ jantung (kardiomiopati), hemosiderosis hati, paru, dan organ endokrin.
Transmisi berbagai virus melalui transfusi juga dapat terjadi, khususnya
hepatitis B, hepatitis C, malaria, dan HIV. Risiko saat transfusi seperti
kelebihan darah atau transfusi yang terlalu cepat dapat menimbulkan gagal
jantung, dan dapat terjadi reaksi hemolitik akibat ketidakcocokan darah yang
diberikan. Kelebihan besi yang telah terjadi dalam jaringan tubuh sangat sulit
diatasi karena hanya sedikit kelator besi yang dapat mengikat kelebihan besi
dalam jaringan dan memerlukan waktu yang lama untuk dapat
mengembalikan kadar besi tubuh ke tingkat yang aman. Komplikasi akibat
terapi kelasi besi bergantung dari kelator yang diberikan. Desferoksamin
dapat menyebabkan komplikasi pada pendengaran, gangguan penglihatan,
gangguan fungsi hati dan ginjal, serta menyebabkan gangguan pertumbuhan.
Deferipron terutama menyebabkan neutropenia, gangguan fungsi hati, dan
ginjal. Deferasiroks menyebabkan gangguan fungsi hati dan ginjal. 11
1. Komplikasi pada jantung
Komplikasi pada jantung akibat kelebihan besi umumnya terjadi
pada awal dekade kedua dan merupakan penyebab kematian (71%) dan
penyebab morbiditas utama pada thalassemia. Kematian akibat penyakit
jantung terjadi pada usia 15-30 tahun. Komplikasi ini dilaporkan pernah
terjadi pula pada pasien berusia 10 tahun, sehingga skrining awal
komplikasi jantung sudah dapat dimulai pada usia 8 tahun untuk
mengidentifikasi kelainan dini sebelum terjadi gangguan jantung
simtomatik.11
Tanda dan gejala
Gejala yang timbul dapat berupa nyeri dada dan palpitasi, aritmia,
dan tanda-tanda gagal jantung secara umum. Perlu disingkirkan
kemungkian etiologi penyakit jantung yang berasal akibat penyakit lain
terkait thalassemia seperti hipotiroid, hipokalsemia, diabetes yang tidak
terkontrol, infeksi akut, trombosis, dan hipertensi pulmoner. 11
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan untuk membantu mendeteksi komplikasi pada jantung
meliputi pemeriksaan profil besi, EKG, ekokardiografi, dan MRI T2*.
Penanganan jantung dilakukan bersama dengan divisi kardiologi anak.
Komplikasi ini timbul terutama pada pasien dengan kadar feritin serum di
bawah 2500 μg/L, namun pemeriksaan feritin serum sesungguhnya tidak
sensitif untuk menilai kelebihan besi dan kardiomiopati.42 Gagal jantung,
aritmia, dan kematian mendadak masih dapat timbul pada pasien
asimptomatik dengan kadar feritin dibawah 2500 μg/L. Komplikasi pada
jantung masih reversibel dengan pemberian kelasi besi yang intensif. 11
Pemeriksaan ekokardiografi
merupakan pemeriksaan yang relatif mudah, murah, dan dapat
dilakukan untuk memonitor fungsi jantung secara rutin. Pemeriksaan ini
dapat menilai fungsi sistolik jantung dengan mengukur fraksi ejeksi
dengan mengukur tinggi gelombang E, A dan rasio E/A serta mengukur
volume ventrikel.11
Pemeriksaan EKG
dapat mendeteksi aritmia. Pemeriksaan paling baik untuk deteksi
awal dan menilai kelebihan besi pada jantung adalah dengan pemeriksaan
MRI T2*. Hasil MRI T2* harus dipertahankan >20 ms. Di negara maju
pemeriksaan ini dilakukan pada semua pasien thalasemia sejak usia 8
tahun. Pemeriksaan ulang bergantung dari nilai T2*, bila >20 ms maka
MRI T2* diulang tiap 2 tahun, 10-20ms tiap tahun, <10 ms tiap 6 bulan,
atau tiap 3 bulan bila <10 ms dengan tanda gagal jantung jelas. 4,11
Tata laksana komplikasi jantung adalah dengan pemberian kelasi
besi secara intensif dengan menaikan dosis, pemakaian obat anti-gagal
jantung, dan antiaritmia. Transfusi dilakukan dengan kecepatan yang lebih
lambat, target Hb pratransfusi sekitar 10 g/dL, dan selama transfusi perlu
memperhatikan tanda-tanda overload cairan.4,11

2. Komplikasi Endokrin
Komplikasi endokrin meliputi gagal tumbuh, perawakan pendek,
pubertas terlambat, hipogonadisme, hipotiroid, diabetes melitus,
osteoporosis, osteopenia, hipoparatiroid, hipoadrenal, impotensi, dan
infertilitas. Klinisi hendaknya memahami bagaimana thalassemia
menyebabkan komplikasi endokrin sehingga dapat mengupayakan tumbuh
kembang optimal, termasuk perkembangan pubertas dan fertilitas,
mencegah komplikasi diabetes, tiroid, dan paratiroid terkait thalassemia,
serta menangani gangguan endokrin secara efektif dan benar.4,6,11
3. Komplikasi pada hati
Komplikasi hati umum terjadi pada thalassemia karena risiko
tinggi transmisi virus dari transfusi darah, toksisitas besi pada parenkim
hati, sistem bilier, dan toksisitas obat kelasi besi. Data Pusat Thalassemia
(2009) didapatkan hasil positif untuk HBsAg, anti HCV, dan keduanya
secara berturut-turut sebesar 0,7%, 15,5%, dan 0,7% dari 716 pasien. Usia
pasien termuda untuk hepatitis C adalah 8 tahun, dan hepatitis B adalah 3
tahun. Pemeriksaan MRI T2* hati yang dilakukan pada 122 subyek
dengan usia rerata 15 tahun diperoleh hasil derajat berat sebanyak 43,4%,
sedang 36,1%, ringan 11,5%, dan normal 9%.4,11
Data Pusat Thalassemia menyebutkan komplikasi infeksi merupakan
penyebab kematian kedua terbanyak (34%) setelah gagal jantung,
terutama infeksi akibat virus hepatitis. Sebanyak 85% kasus infeksi virus
hepatitis C akan mengalami penyakit hati kronis dan pada 2 hingga 3
dekade pascainfeksi dapat terjadi sirosis hepatis serta karsinoma
hepatoselular. Infeksi hepatitis B akan berlanjut menjadi infeksi kronis
pada 5-10% kasus sedangkan sirosis hepatis terjadi pada 1-2% kasus.
Infeksi yang berat juga dapat menyebabkan karsinoma hepatoselular.4,11
Manifestasi yang muncul dapat berupa tanda dan gejala hepatitis
kronik dan akut, gejala obstruksi pada sistem bilier, kolangitis, hipertensi
portal, dan keganasan. Kelasi besi deferipron memiliki efek toksik pada
hati. Kenaikan ringan nilai transaminase umum terjadi pada pasien yang
menggunakannya, terutama pada pasien dengan antibodi hepatitis C
positif, namun hal ini tidak bersifat progresif dan belum perlu untuk
menghentikan terapi.4,11

4. Komplikasi pada sistem muskuloskeletal


Thalassemia dapat menyebabkan komplikasi pada tulang, sehingga
diperlukan identifikasi dini dan penanganan yang tepat. Masyarakat Asia
umumnya mengalami komplikasi tulang lebih banyak karena transfusi
yang tidak adekuat, efek samping kelasi besi, diet rendah kalsium, vitamin
D, dan rikets. Osteopenia dan osteoporosis merupakan komplikasi tulang
tersering pada thalassemia.90 Etiologi berkurangnya densitas tulang
bersifat multifaktorial, yaitu anemia yang menyebabkan eksapansi
sumsum tulang, usia pasien, lama penyakit, penyakit hati kronik, defisiensi
vitamin B, hipogonadisme, hipotiroid, dan komplikasi endokrin lainnya.
Berkurangnya densitas tulang juga dapat terjadi pada pasien yang
mendapatkan transfusi dan kelasi besi yang adekuat.6,9,11
Data Pusat Thalassemia (2009) menunjukan komplikasi osteoporosis dan

osteopenia terjadi pada 50% subyek dari 70 subyek. Sebanyak


17,1% subyek mempunyai kadar Ca yang rendah (<8,5 mg/dL); 40,4%
mempunyai kadar fosfat inorganik meningkat ( >4,9 mg/dL).9

5. Komplikasi infeksi
Infeksi adalah penyebab kematian kedua terbanyak pada
thalassemia mayor, setelah kematian akibat komplikasi jantung. Pasien
thalassemia memiliki risiko lebih tinggi mengalami infeksi karena
beberapa aspek imunitas pada pasien thalassemia mengalami perubahan,
di antaranya adalah penurunan jumlah neutrofil, jumlah dan fungsi natural
killer cells, peningkatan jumlah dan fungsi sel T supresor CD8, makrofag,
dan produksi interferon gamma. Infeksi merupakan kondisi yang umum
terjadi pada thalassemia. Infeksi menjadi penyebab kematian kedua setelah
jantung. Organisme utama penyebab infeksi di Asia adalah Klebsiella spp,
sedangkan di negara barat adalah Yersinia enterolitica. Infeksi yang
ditransmisikan melalui transfusi terutama adalah hepatitis C yang dapat
menyebabkan sirosis hati dan karsinoma hepatoselular. Infeksi yang sering
pula di Asia adalah pitiosis, yang disebabkan oleh jamur, dengan angka
kematian yang cukup tinggi. Klinisi perlu menyadari risiko infeksi yang
tinggi pada pasien thalassemia dan pentingnya tata laksana yang tepat
untuk mengatasinya. Faktor predisposisi yang perlu dipikirkan pada pasien
thalassemia dengan infeksi adalah splenektomi, transmisi infeksi dari
transfusi darah, kelebihan besi, atau efek samping kelasi besi.9
j. Konseling Dan Skrining
Pencegahan thalassemia terutama ditujukan untuk menurunkan jumlah
bayi lahir dengan thalassemia mayor. Ada 2 pendekatan dalam pencegahan
thalassemia yaitu secara retrospektif dan prospektif. Pendekatan retrospektif
dilakukan dengan penelusuran terhadap anggota keluarga pasien thalassemia
mayor, sementara pendekatan prospektif dilakukan dengan skrining untuk
mengidentifikasi karier thalassemia pada populasi tertentu. Secara garis besar
bentuk pencegahan thalassemia dapat berupa edukasi tentang penyakit
thalassemia pada masyarakat, skrining (carrier testing), konseling genetika
pranikah, dan diagnosis pranatal. 1
1. Edukasi
Edukasi masyarakat tentang penyakit thalassemia memegang
peranan yang sangat penting dalam program pencegahan. Masyarakat
harus diberikan pengetahuan tentang penyakit yang bersifat genetik dan
diturunkan, terutama tentang thalassemia dengan frekuensi kariernya yang
cukup tinggi. Pendidikan genetika harus diajarkan di sekolah, demikian
pula pengetahuan tentang gejala awal thalassemia. Media massa dapat
berperan lebih aktif menyebarluaskan informasi tentang thalassemia,
meliputi gejala awal, cara penyakit diturunkan dan cara pencegahannya.
Program pencegahan thalassemia harus melibatkan pihak terkait. Sekitar
10% dari total anggaran program harus dialokasikan untuk penyediaan
materi edukasi dan pelatihan tenaga kesehatan. 1
2. Konseling genetika
Informasi dan konseling genetika harus tersedia ditempat skrining
karier dilakukan. Tenaga kesehatan tidak boleh memaksa orang untuk
menjalani skrining dan harus mampu menginformasikan pada peserta
skirining bila mereka teridentifikasi karier dan implikasinya. Prinsip dasar
dalam konseling adalah bahwa masing-masing individu atau pasangan
memiliki hak untuk menentukan pilihan, hak untuk mendapat informasi
akurat secara utuh, dan kerahasiaan mereka terjamin penuh. Hal yang
harus diinformasikan berhubungan dengan kelainan genetik secara detil,
prosedur obstetri yang mungkin dijalani dan kemungkinan kesalahan
diagnosis pranatal. Informasi tertulis harus tersedia dan catatan medis
untuk pilihan konseling harus tersimpan. Pemberian informasi pada
pasangan ini sangat penting karena memiliki implikasi moral dan
psikologi ketika pasangan karier dihadapkan pada pilihan setelah
dilakukan diagnosis pranatal. Pilihan yang tersedia tidak mudah dan
mungkin tiap pasangan memiliki pilihan yang berbeda-beda. Tanggung
jawab utama seorang konselor adalah memberikan informasi yang akurat
dan komprehensif yang memungkinkan pasangan karier menentukan
pilihan yang paling mungkin mereka jalani sesuai kondisi masing-
masng.1,5

3. Skrining karier
Skrining massal dan konseling genetika telah berhasil di Italia,
Yunani, dan tempat yang memiliki fekuensi gen thalassemia tinggi.
Skrining pada populasi (skrining prospektif) dikombinasikan dengan
diagnostik pranatal telah menurunkan insidens thalassemia secara
dramatis. Skrining thalassemia ditujukan untuk menjaring karier
thalassemia pada suatu populasi, idealnya dilakukan sebelum memiliki
anak. Skrining ini bertujuan untuk mengidentifikasi individu dan pasangan
karier, dan menginformasikan kemungkinan mendapat anak dengan
thalassemia dan pilihan yang dapat dilakukan untuk menghindarinya.
Target utama skrining adalah penemuan -β- dan α° thalassemia, serta Hb
S, C, D, E. Skrining dapat dilakukan di sekolah, klinik dokter keluarga,
klinik keluarga berencana, klinik antenatal, saat bimbingan pranikah, atau
pada saat bayi baru lahir. Pada daerah dengan risiko tinggi dapat dilakukan
program skrining khusus pranikah atau sebelum memiliki anak. 1,5
Pendekatan genetik klasik dalam mendeteksi karier berdasarka
penelusuran silsilah keluarga dianggap kurang efektif dibanding dengan
skrining populasi. Bila ada individu yang teridentifikasi sebagai karier,
maka skrining pada anggota keluarga yang lain dapat dilakukan. Skrining
silsilah genetik khususnya efektif pada daerah yang sering terjadi
perkawinan antar kerabat dekat.5
DAFTAR PUSTAKA

1. Behrman Richard E., Kliegman Robert, Arvin Ann M., et al. Kelainan
Hemoglobin: Sindrom Thalassemia. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Volume
2. Edisi ke-15. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001. Hal 1708-
1712.
2. Yaish Hassan M. Thalassemia. April 30, 2010. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/958850-overview. Accessed on: July 05,
2014.
3. Permono, Bambang H., Sutaryo, Ugrasena, IDG. Sel darah merah:
Eritropoisis. Buku Ajar Hematologi- Onkologi Anak. Cetakan ketiga. Ikatan
Dokter Indonesia. Jakarta : 2010. Hal 1-6, 16-23.
4. Permono, Bambang H., Sutaryo, Ugrasena, IDG. Hemoglobin Abnormal:
Talasemia. Buku Ajar Hematologi- Onkologi Anak.. Cetakan ketiga. Ikatan
Dokter Indonesia. Jakarta : 2010. Hal 64-84.
5. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Hematologi. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas
Kedokteran Universita Indonesia: Bagian Ilmu Kesehatan Anak.
6. U.S Department of Health & Human Services. Thalassemias. Available at:
http://www.nhlbi.nih.gov/health/dci/Diseases/Thalassemia/Thalassemia_Causes.ht
ml. Accessed on: July 05, 2014.
7. Bleibel, SA. Thalassemia Alpha. August 26, 2009. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/206397-overview Accessed on: July 07,
2014.
8. Takeshita, K. Thalassemia Beta. September 27, 2010. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/206490-overview Accessed on: July 07,
2014.
9. Yaish Hassan M. Thalassemia: Differential diagnoses & Workup. April 30,
2010. Available at : http://emedicine.medscape.com/article/958850-diagnosis
10. Hay WW, Levin MJ. Hematologic Disorders. Current Diagnosis and
Treatment in Pediatrics. 18th Edition. New York : Lange Medical Books/
McGraw Hill Publishing Division ; 2007. Hal 841-845.
11. Haut, A., Wintrobe MM. The hemoglobinopathies and thalassemias. Forfar
and Arneil’s Textbook of Paediatrics. Edisi 7. Chruchill Livingstone. 2010.
Hal 1621-1632.
12. Hoffbrand A.V., Pettit J.E., Moss P.A.H., Kelainan Genetik Pada
Hemoglobin. In: Kapita Selekta Hematologi. Edisi 4. Jakarta: EGC,2005.
p.72-3

Anda mungkin juga menyukai