Anda di halaman 1dari 19

MEMBANGUN BANGSA DARI ETIKA DAN

MORAL

BANGSA
Istilah bangsa adalah terjemahan dari kata
nation, dan nation berasal dari bahasa Latin:natio yang
artinya suatu yang lahir
Nationdalam istilah bahasa Indonesia artinya bangsa.
Dalam perkembangan selanjutnya konsep bangsa memiliki
pengertian dalam arti sosiologis antropologis dan politis.
Bangsa dalam arti sosiologis antropologis
Adalah perkumpulan orang yang saling membutuhkan dan
berinteraksi untuk mencapai tujuan bersama dalam suatu
wilayah. Persekutuan hidup dalam suatu negara bisa
merupakan persekutuan hidup mayoritas dan minoritas.
Bangsa dalam arti sosiologis antropologis diikat oleh ikatan -
ikatan seperti ras, tradisi, sejarah, adat istiadat, agama atau
kepercayaan, bahasa dan daerah. Ikatan ini disebut ikatan
primordial.
Bangsa dalam arti politis
Adalah suatu masyarakat dalam suatu daerah yang sama
dan tunduk pada kedaulatan negara sebagai satu kekuasaan
tertinggi ke luar dan ke dalam. Bangsa dan negara sudah
bernegara dan mengakui serta tunduk pada kekuasaan negara
yang bersangkutan. Bangsa dalam arti politik diikat oleh
sebuah organisasi kekuasaan yaitu negara dan
pemerintahannya. Mereka juga diikat oleh suatu kesatuan
wilayah nasional, hukum, dan perundangan yang berlaku di
negara tersebut.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian bangsa
adalah orang - orang yang bersamaan asal keturunan, adat,
bahasa, dan sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri.
Pengertian Pembangunan Bangsa Indonesia
Pembangunan Menurut Para ahli
Siagian (1994) memberikan pengertian tentang pembangunan
sebagai “Suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan
perubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh
suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernitas
dalam rangka pembinaan bangsa (nation
building)”. Sedangkan Ginanjar Kartasasmita (1994)
memberikan pengertian yang lebih sederhana, yaitu sebagai
“suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik melalui
upaya yang dilakukan secara terencana.
Menurut Deddy T. Tikson (2005) bahwa pembangunan
nasional dapat pula diartikan sebagai transformasi ekonomi,
sosial dan budaya secara sengaja melalui kebijakan dan
strategi menuju arah yang diinginkan. Transformasi dalam
struktur ekonomi, misalnya, dapat dilihat melalui peningkatan
atau pertumbuhan produksi yang cepat di sektor industri dan
jasa, sehingga kontribusinya terhadap pendapatan nasional
semakin besar. Sebaliknya, kontribusi sektor pertanian akan
menjadi semakin kecil dan berbanding terbalik dengan
pertumbuhan industrialisasi dan modernisasi ekonomi.
Transformasi sosial dapat dilihat melalui pendistribusian
kemakmuran melalui pemerataan memperoleh akses terhadap
sumber daya sosial-ekonomi, seperti pendidikan, kesehatan,
perumahan, air bersih,fasilitas rekreasi, dan partisipasi dalam
proses pembuatan keputusan politik. Sedangkan transformasi
budaya sering dikaitkan, antara lain, dengan bangkitnya
semangat kebangsaan dan nasionalisme, disamping
adanya perubahan nilai dan norma yang dianut masyarakat,
seperti perubahan dan spiritualisme ke
materialisme/sekularisme. Pergeseran dari penilaian yang
tinggi kepada penguasaan materi, dari kelembagaan
tradisional menjadi organisasi modern dan rasional.
Sebagaimana dikemukakan oleh para para ahli di
atas, pembangunan adalah sumua proses perubahan yang
dilakukan melalui upaya-upaya secara sadar dan terencana.
Sedangkan perkembangan adalah proses perubahan yang
terjadi secara alami sebagai dampak dari adanya pem-
bangunan.
Dengan semakin meningkatnya kompleksitas kehidupan ma-
syarakat yang menyangkut berbagai aspek, pemikiran tentang
modernisasi pun tidak lagi hanya mencakup bidang ekonomi
dan industri, melainkan telah merambah ke seluruh aspek
yang dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat. Oleh
karena itu, modernisasi diartikan sebagai proses trasformasi
dan perubahan dalam masyarakat yang meliputi segala
aspeknya, baik ekonomi, industri, sosial, budaya, dan
sebagainya.
Oleh karena dalam proses modernisasi itu terjadi suatu proses
perubahan yang mengarah pada perbaikan, para ahli
manajemen pembangunan menganggapnya sebagai suatu
proses pembangunan di mana terjadi proses perubahan dari
kehidupan tradisional menjadi modern, yang pada awal
mulanya ditandai dengan adanya penggunaan alat-alat
modern, menggantikan alat-alat yang tradisional
Berikut pendapat beberapa pakar mengenai bangsa :
1. Menurut Benedict Anderson, bangsa adlah suatu
komunitas politik yang terbayang dalam wilayah yang
jelas batasnya dan berdaulat.
2. Jadi ada tiga unsur pokok bangsa yaitu komunitas politik
yang terbayang, batas wilayah jelas, dan berdaulat.
3. Menurut Otto Bauer, bangsa adalah kelompok manusia
yang mempunyai kesamaan karakter yang tumbuh karena
adanya kesamaan nasib.

Menurut Hans Kohn, bangsa adalah buah hasil tenaga hidup


manusia dalam sejarah, suatu bangsa merupakan golongan
yang beraneka ragam dan tidak bisa dirumuskan secara eksak.
Sebagai ahli antropologi etnis, ia mengemukakan teori tentang
bangsa bahwa bangsa dibentuk karena persamaan bahasa, ras,
agama, peradaban, wilayah, negara, dan kewarganegaraan.
Namun, saat ini sepertinya teori kebangsaan yang
mendasarkan ras, bahasa, serta unsur lainnya yang sifatnya
primordial sudah tidak mendapat tempat di kalangan bangsa
dunia. Sebagai contoh, Serbia yang berupaya
untuk membangun bangsa berdasarkan kesamaan ras,
bahasa dan agama mengalami tantangan oleh
dunia.
4. Menurut Ernest Renan, bangsa adalah kelompok manusia
yang berada dalam suatu ikatan batin yang dipersatukan
karena memiliki persamaan sejarah dan cita - cita yang
sama.
5. Menurut Jalobsen dan Lipman, bangsa adalah suatu
kebudayaan (cultural unity ) dan kesatuan politik
( political unity ).
6. Menurut Frederich Ritzel, suatu teori kebangsaan baru
mengungkapkan hubungan antara wilayah geografis
dengan bangsa.

Teori itu dikembangkan oleh Frederich Ritzel dalam


bukunya "Political Geography". Teori tersebut
menyatakan bahwa negara merupakan suatu organisme
yang hidup. Agar suatu bangsa hidup dengan subur dan
kuat maka negara butuh suatu ruangan untuk hidup yang
dalam bahasa Jerman disebut Lebenstraum. Negara -
negara besar memiliki semangat ekspansi, militerisme,
serta optimisme.
Teori ini bagi negara modern disambut dengan hangat,
terutama Jerman. Namun sisi negatifnya menimbulkan
semangat kebangsaan chauvinisme.
Dewasa ini umumnya mengartikan bangsa sebagai rakyat
yang telah mempunyai kesatuan tekad untuk membangun
masa depan bersama dan dari segi politik bangsa
merupakan kelompok masyarakat yang mendiami suatu
wilayah teritorial tertentu yang tunduk pada ketentuan
hukum yang dibuat oleh kekuasaan negara
KETELADANAN
MORAL & ETIKA

Keteladanan adalah perilaku dan sikap guru dan tenaga


kependidikan yang lain dalam memberikan contoh terhadap
tindakan-tindakan yang baik sehingga diharapkan menjadi
panutan bagi peserta didik untuk mencontohnya. Jika guru
dan tenaga kependidikan yang lain menghendaki agar peserta
didik berperilaku dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai
budaya dan karakter bangsa maka guru dan tenaga
kependidikan yang lain adalah orang yang pertama dan utama
memberikan contoh berperilaku dan bersikap sesuai dengan
nilai-nilai itu. Misalnya, berpakaian rapi, datang tepat pada
waktunya, bekerja keras, bertutur kata sopan, kasih sayang,
perhatian terhadap peserta didik, jujur, menjaga kebersihan.
ETIKA
Etika Penyelenggara Negara Etika berasal dari bahasa Yunani
“Ethos” yang berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan.
Etika berkaitan erat dengan moral. Moral berasal dari bahasa
Latin “Mos” dalam bentuk jamak “Mores”
yang berarti adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan
melakukan perbuatan yang baik dan menghindari perbuatan
yang buruk. Meskipun definisi etika dan moral kurang lebih
sama, tetapi terdapat perbedaan yaitu moral digunakan untuk
penilaian terhadap perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika
digunakan untuk pengkajian sistem nilai yang berlaku. Etika
adalah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan
norma moral yang menentukan perilaku manusia dalam
hidupnya
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme,
“Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang
menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan
pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan
penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan yang berlaku.
” Penyelenggara negara mempunyai peran yang sangat
penting dalam penyelenggaraan negara untuk mewujudkan
tujuan negara sebagaimana termaktub dalam alinea keempat
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yaitu melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial.
Dengan demikian, etika tidak hanya berbicara mengenai
perilaku individu, tetapi juga terkait dengan
kepentingan kolektif masyarakat yang lebih luas.
Apabila etika dilekatkan kepada penyelenggara negara
maka etika harus dimaknai sebagai refleksi tentang
standar atau norma yang menentukan baik atau buruk
dan benar atau salah mengenai suatu perilaku, tindakan,
dan keputusan yang mengarahkan kebijakan publik
dalam menjalankan tanggung jawab untuk kepentingan
masyarakat. Perilaku dan etika penyelenggara negara
yang sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku
menjadi pangkal terwujudnya penyelenggaraan negara
yang bersih, transparan, nondiskriminasi, dan bebas dari
praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Peraturan Perundang-undangan yang mengatur
mengenai Etika Penyeleenggara Negara Pada awalnya
MPR mengeluarkan Ketetapan MPR No.X/MPR/1998
yang mengamanatkan penyiapan sarana dan prasarana,
program aksi, dan pembentukan peraturan
perudangundangan bagi tumbuh dan tegaknya
etika usaha, etika profesi, dan etika pemerintahan.
Selanjutnya MPR mengeluarkan Ketetapan
No.VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Bangsa
yang diantaranya mengamanatkan perlunya
mengaktualisasikan etika pemerintahan yang pada
intinya menjunjung tinggi integritas berbangsa dan
bernegara dengan mengedepankan nilai kejujuran,
amanah, keteladanan, sportivitas, disiplin, etos kerja,
kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggung
jawab, menjaga kehormatan, serta martabat diri sebagai
warga negara. Pelbagai tuntutan masyarakat pada masa
digulirkannya reformasi dicoba dipenuhi pemerintah
dan DPR pada masa itu dengan membentuk undang-
undang yang mengatur perilaku penyelenggara negara
seperti:
a. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
b. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
c. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pembentukan undang-undang tersebut tidak cukup, mengingat


dalam pelaksanaannya ada tindakan-tindakan penyelenggara
negara di luar ranah hukum yang masih menyebabkan krisis
kepercayaan masyarakat dalam penyelenggaraan negara
MORAL
Pengertian moral berasal dari kata mos (mores) yang sinonim
dengan kesusilaan, kelakuan. Moral adalah ajaran tentang hal
yang baik dan buruk, yang menyangkut tingkah laku dan
perbuatan manusia.
Seorang pribadi yang taat kepada aturan-aturan, kaidah-
kaidah dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakatnya,
dianggap sesuai dan bertindak secara moral. Jika sebaliknya
yang terjadi maka pribadi itu dianggap tidak bermoral. Moral
dalam perwujudannya dapat berupa peraturan dan atau
prinsip-prinsip yang benar, baik terpuji dan mulia. Moral
dapat berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan norma
yang mengikat kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Bagaimana pun krisis mentalitas, moral, dan karakter anak
didik berkaitan dengan krisis-krisis multidimensional lain,
yang di hadapi bangsa ini pada umumnya dan pendidikan
nasional pada khususnya. Oleh karena itu, jika di cermati dan
dinilai lebih adil dan objektif, makro krisis yang mentalitas
dan moral peserta didik merupakan cermin dari krisis yang
lebih luas, yang terdapat dan berakar kuat dalam masyarakat
pada umumnya. Dengan kata lain, krisis mentalitas dan
moralitas di antara peserta didik pada jenjang pendidikan
persekolahan, baik jenjang pendidikan dasar, menengah, dan
tinggi, merupakan cermin dari krisis mentalitas dan moralitas
dalam masyarakat yang lebih luas. Oleh karena itu, dapat di
asumsikan bahwa upaya mengatasi krisis seperti itu tidak
memadai jika hanya di lakukan secara persial di lingkungan
persekolahan saja. Harus ada kesatu paduan atau sinergisitas
ntuk mengatasi krisis moralitas dan mentalitas ini dalam
masyarakat yang lebih luas, dalam rumah tangga, dan
lingkungan lainnya
Namun demikian, sekolah bukan berarti tidak memiliki
kwajiban untuk memulai atau sebagai pioner dalam mengatasi
krisis mentalitas dan moralitas tersebut, setidaknya dengan
mencoba memulainya dari lingkungan sendiri yang terkecil,
lalu meluas dengan keluarga dan masyarakat yang lebih luas.
Walaupun nantinya upaya tersebut belum tentu
menyembuhkan semua krisis dan persoalan bangsa ini, tetapi
karena sekolah memiliki posisi yang sangat strategis dalam
masyarakat, upaya pihak sekolah dapat menjadi titik pusat dan
tonggak awal dari usaha mengatasi krisis yang melanda
bangsa ini secar menyeluruh.
Dalam konteks ini sangat relevan apa yang dikemukakan
dalam deklarasi UNESCO 1998, yang di rumuskamn pada
World Conference on Higher Education (Paris 5-9 Oktober
1998) yang menyangkut misi dan fungsi pendidikan, dalam
hal ini perguruan tinggi, dinyatakan bahwa perguruan tinggi
juga memiliki misi dan fungsi untuk membantu, untuk
melindungi, dan memperkuat nilai-nilai sosial dengan melatih
anak-anak muda dalam nilai-nilai yang membentuk dasar
kewarganegaraan demokratis; dengan memberi perspektif
kritis dan tidak bias guna membantu dalam pembahsan
tentang pilihan-pilihan strategis dan penguatan perspektif
humanistik.
Berdasarkan deklarasi UNESCO tersebut, lembaga-lembaga
pendidikan tinggi, personel pendidikan, dan para siswa dan
mahasiswa haruslah bersikap dan berperilaku sebagai berikut.

1. Menjaga dan mengembangkanfunsi-fungsi krusial


mereka dengan pelaksanaan etika.
2. Menjaga kelugasan ilmiah dan akademis dalam
berbagai kegiatan.
3. Mampu berbicara lantang tentang masalah etika,
budaya, dan sosial secara independen sepenuhnya
dan sadar akan tanggung jawab mereka.
4. Melaksanakan kapasitas intelektual dan perstise
moral mereka secara aktif, menyebarkan nilai-nilai
yang telah di terima secara universal, termasuk
perdamain, keadilan, kebebasan, kesetaraan, dan
solidaritas sosial yang tinggi.

Gagasan dan konsep yang terkandung dalam Deklarasi


UNESCO di atas, menurut Azyumardi Aza (2000), juga
selaras dengan kerangka dasar konsep “paradigma baru”
perguruan tinggi yang di rumuskan debdikbuddan para
pemikir dan praktisi pendidikan nasional setelah jatuhnya
Orde Baru.
Dalam paradigma baru pendidikan tersebut, pendidikan di
rumuskan sebagai proses pembudayaan (enkulturasi) peserta
didik sehingga mereka menjadi warga negara yang memiliki
“keadaban” (civility), yang pada giliranya menjadi pilar bagi
pembentukan masyarakat madani dalam Indonesia Baru.
Dalam konteks ini, apabila di cermati pendidikan tinggi dan
pendidikanpada umumnya bertugas mengembangkan setidak-
tidaknya lima bentuk kecerdasan, yaitu
1. kecerdasan intelektual;
2. kecerdasan emosional;
3. kecerdasan praktikal;
4. kecerdasan sosial;
5. kecerdasan spiritual dan moral.
Kelima bentuk kecerdasan di atas, harus di kembangkan secar
simultan. Jika berhasil di laksanakan dengan baik, akan
mampu menghasilkan mahasiswa dan peserta didik serta
lulusan yang bukan hanya cerdas secara intelektua, tetapi juga
cerdas secara emosionl, praktikal, sosial, spiritual, dan moral.
Disinilah fokus utama pendidikan, seperti di kemukakan
Deklarasi UNESCO dan paradigma pendidikan nasional
bahwa pendidikan harus berpusat pada peserta didik (student
centered education). Lebih lanjut menurut Azumardi Azra
(2000), dalam kerangka paradigma baru pendidikan nasional,
terdapat rumusan tentang nilai-nilai dasar pendidikan nasional
yang terdiri dari delapan butir, yaitu sebagai berikut.
1. Keimanan dan ketaqwaan, yakni bahwa pendidikan
harus memberikan atmosfer religiusitas kepada peserta
didik.
2. Kemerdekaan, yakni kebebasan dalam pengembangan
gagasan, pemikiran, dan kreatuvitas.
3. Kebangsaan, yakni komitmen kepada kesatua
kebangsaan dengan sekaligus menghormati pluralitas.
4. Keseimbangan, dalam perkembangan kepribadian dan
kecerdasan anak.
5. Pembudayaan, yakni memiliki ketahanan budaya dalam
ekspansi budaya global.
6. Kemandirian dalam pikiran, dalam tindakan, tidak
tergantung pada orang lain.
7. Kemanusiaan, yakni menghormati nilai-nilai
kemanusaan, akhlak, pekerti, dan keadapan.
8. Kekeluargaan, yakni ikatan yang erat antara komponen
sekolah, keluarga, dan masyarakat.

Selanjutnya dalam kerangka mikro, visi pendidikan


nasional adalah terwujudnya individ manusia Indonesia
baru yang memiliki sikap dan wawasan keimanan dan
akhlak tinggi dan mulia, kemerdekaan dan demokrasi,
toleransi dan menjunjung tinggi HAM, saling
pengertian dan berwawasan global. Sedangkan tujuan
makro pendidikan nasional adalah membentuk
organisasi pendidikan yang otonom sehingga mampu
melakukan inovasi dalam pendidikan untuk menuju
pembentukan lembaga yang beretika, selalu
menggunakan nalar, berkemampuan komunikasi sosial yang
positif dan memiliki SDM yang sehat dan tangguh.
Sedangkan tujuan mikro pendidikan nasional adalah
membentuk manusia dan beriman dan bertakwa kepada
Tuhan, beretika (beradap dan berwawasan bangsa Indonesia),
memiliki nalar (maju dan cakap, cerdas, kreatif dan inovatif,
serta bertanggung jawab), berkemampuan komunikasi sosial
(tertib dan dasar hukum, kooperatif dan kompetitif,
demokratis), dan berbadan sehat sehingga menjadi manusia
sendiri.

Anda mungkin juga menyukai