Anda di halaman 1dari 21

KELOMPOK XI

NAMA/NBI :
ARDIAN F HOWAY (1431502912)
( )
( )
BANGSA
Istilah bangsa adalah terjemahan dari kata nation, dan nation berasal dari
bahasa Latin:natio yang artinya suatu yang lahir. Nation dalam istilah bahasa Indonesia
artinya bangsa. Dalam perkembangan selanjutnya konsep bangsa memiliki pengertian
dalam arti sosiologis antropologis dan politis.

Bangsa dalam arti sosiologis antropologis


Adalah perkumpulan orang yang saling membutuhkan dan berinteraksi untuk mencapai tujuan
bersama dalam suatu wilayah. Persekutuan hidup dalam suatu negara bisa merupakan
persekutuan hidup mayoritas dan minoritas. Bangsa dalam arti sosiologis antropologis diikat
oleh ikatan - ikatan seperti ras, tradisi, sejarah, adat istiadat, agama atau kepercayaan, bahasa
dan daerah. Ikatan ini disebut ikatan primordial.
Bangsa dalam arti politis
Adalah suatu masyarakat dalam suatu daerah yang sama dan tunduk pada kedaulatan negara sebagai satu
kekuasaan tertinggi ke luar dan ke dalam. Bangsa dan negara sudah bernegara dan mengakui serta tunduk pada
kekuasaan negara yang bersangkutan. Bangsa dalam arti politik diikat oleh sebuah organisasi kekuasaan yaitu negara
dan pemerintahannya. Mereka juga diikat oleh suatu kesatuan wilayah nasional, hukum, dan perundangan yang
berlaku di negara tersebut.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian bangsa adalah orang - orang yang bersamaan asal
keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri.
Pengertian Pembangunan Bangsa Indonesia
Pembangunan Menurut Para ahli
Siagian (1994) memberikan pengertian tentang pembangunan sebagai “Suatu usaha atau rangkaian
usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa,
negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation
building)”. Sedangkan Ginanjar Kartasasmita (1994) memberikan pengertian yang lebih sederhana,
yaitu sebagai “suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara
terencana.
Menurut Deddy T. Tikson (2005) bahwa pembangunan nasional dapat pula diartikan sebagai
transformasi ekonomi, sosial dan budaya secara sengaja melalui kebijakan dan strategi menuju arah
yang diinginkan. Transformasi dalam struktur ekonomi, misalnya, dapat dilihat melalui peningkatan
atau pertumbuhan produksi yang cepat di sektor industri dan jasa, sehingga kontribusinya terhadap
pendapatan nasional semakin besar. Sebaliknya, kontribusi sektor pertanian akan menjadi semakin
kecil dan berbanding terbalik dengan pertumbuhan industrialisasi dan modernisasi ekonomi.
Transformasi sosial dapat dilihat melalui pendistribusian kemakmuran melalui pemerataan
memperoleh akses terhadap sumber daya sosial-ekonomi, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan,
air bersih,fasilitas rekreasi, dan partisipasi dalam proses pembuatan keputusan politik. Sedangkan
transformasi budaya sering dikaitkan, antara lain, dengan bangkitnya semangat kebangsaan dan
nasionalisme, disamping adanya perubahan nilai dan norma yang dianut masyarakat, seperti perubahan
dan spiritualisme ke materialisme/sekularisme. Pergeseran dari penilaian yang tinggi kepada
penguasaan materi, dari kelembagaan
tradisional menjadi organisasi modern dan rasional.
Sebagaimana dikemukakan oleh para para ahli di atas, pembangunan adalah sumua proses perubahan
yang dilakukan melalui upaya-upaya secara sadar dan terencana. Sedangkan perkembangan adalah
proses perubahan yang terjadi secara alami sebagai dampak dari adanya pembangunan.
Dengan semakin meningkatnya kompleksitas kehidupan masyarakat yang menyangkut berbagai
aspek, pemikiran tentang
modernisasi pun tidak lagi hanya mencakup bidang ekonomi dan industri, melainkan telah
. merambah ke seluruh aspek yang dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu,
modernisasi diartikan sebagai proses trasformasi dan perubahan dalam masyarakat yang meliputi
segala aspeknya, baik ekonomi, industri, sosial, budaya, dan sebagainya.
Oleh karena dalam proses modernisasi itu terjadi suatu proses perubahan yang mengarah pada
perbaikan, para ahli manajemen pembangunan menganggapnya sebagai suatu proses
pembangunan di mana terjadi proses perubahan dari kehidupan tradisional menjadi modern, yang
pada awal mulanya ditandai dengan adanya penggunaan alat-alat modern, menggantikan alat-alat
yang tradisional
Berikut pendapat beberapa pakar mengenai bangsa :

1. Menurut Benedict Anderson, bangsa adlah suatu komunitas politik yang terbayang dalam wilayah yang jelas
batasnya dan berdaulat.
2. Jadi ada tiga unsur pokok bangsa yaitu komunitas politik yang terbayang, batas wilayah jelas, dan berdaulat.
3. Menurut Otto Bauer, bangsa adalah kelompok manusia yang mempunyai kesamaan karakter yang tumbuh
karena adanya kesamaan nasib.
Menurut Hans Kohn, bangsa adalah buah hasil tenaga hidup manusia dalam sejarah, suatu bangsa
merupakan golongan yang beraneka ragam dan tidak bisa dirumuskan secara eksak. Sebagai ahli a
ntropologi etnis, ia mengemukakan teori tentang bangsa bahwa bangsa dibentuk karena persamaan bahasa,
ras, agama, peradaban, wilayah, negara, dan kewarganegaraan.
Namun, saat ini sepertinya teori kebangsaan yang mendasarkan ras, bahasa, serta unsur lainnya yang sifatnya
primordial sudah tidak mendapat tempat di kalangan bangsa dunia. Sebagai contoh, Serbia yang berupaya
untuk membangun bangsa berdasarkan kesamaan ras, bahasa dan agama mengalami tantangan oleh
dunia.
4. Menurut Ernest Renan, bangsa adalah kelompok manusia yang berada dalam suatu ikatan batin yang
dipersatukan karena memiliki persamaan sejarah dan cita - cita yang sama.
5. Menurut Jalobsen dan Lipman, bangsa adalah suatu kebudayaan (cultural unity ) dan kesatuan politik
( political unity ).
. 6. Menurut Frederich Ritzel, suatu teori kebangsaan baru mengungkapkan hubungan antara wilayah geografis
dengan bangsa. Teori itu dikembangkan oleh Frederich Ritzel dalam bukunya "Political Geography". Teori
tersebut menyatakan bahwa negara merupakan suatu organisme yang hidup. Agar suatu bangsa
hidup dengan subur dan kuat maka negara butuh suatu ruangan untuk hidup yang dalam bahasa
Jerman disebut Lebenstraum. Negara - negara besar memiliki semangat ekspansi, militerisme, serta
optimisme. Teori ini bagi negara modern disambut dengan hangat, terutama Jerman. Namun sisi negatifnya
menimbulkan semangat kebangsaan chauvinisme.
Dewasa ini umumnya mengartikan bangsa sebagai rakyat yang telah mempunyai kesatuan tekad untuk
membangun masa depan bersama dan dari segi politik bangsa merupakan kelompok masyarakat yang
mendiami suatu wilayah teritorial tertentu yang tunduk pada ketentuan hukum yang dibuat oleh
kekuasaan negara
KETELADANAN
MORAL & ETIKA

Keteladanan adalah perilaku dan sikap guru dan tenaga kependidikan yang lain dalam
memberikan contoh terhadap tindakan-tindakan yang baik sehingga diharapkan menjadi
panutan bagi peserta didik untuk mencontohnya. Jika guru dan tenaga kependidikan yang lain
menghendaki agar peserta didik berperilaku dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai budaya
dan karakter bangsa maka guru dan tenaga kependidikan yang lain adalah orang yang
pertama dan utama memberikan contoh berperilaku dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai
itu. Misalnya, berpakaian rapi, datang tepat pada waktunya, bekerja keras, bertutur kata
sopan, kasih sayang, perhatian terhadap peserta didik, jujur, menjaga kebersihan.
KETELADANAN
MORAL DAN ETIKA

Keteladanan adalah perilaku dan sikap guru dan tenaga kependidikan yang lain dalam
memberikan contoh terhadap tindakan-tindakan yang baik sehingga diharapkan menjadi
panutan bagi peserta didik untuk mencontohnya. Jika guru dan tenaga kependidikan yang lain
menghendaki agar peserta didik berperilaku dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai budaya dan
karakter bangsa maka guru dan tenaga kependidikan yang lain adalah orang yang pertama dan
utama memberikan contoh berperilaku dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai itu. Misalnya,
berpakaian rapi, datang tepat pada waktunya, bekerja keras, bertutur kata sopan, kasih sayang,
perhatian terhadap peserta didik, jujur, menjaga kebersihan.
KETELADANAN Dari MORAL DAN
ETIKA

Keteladanan adalah perilaku dan sikap guru dan tenaga kependidikan yang lain dalam memberikan
contoh terhadap tindakan-tindakan yang baik sehingga diharapkan menjadi panutan bagi peserta
didik untuk mencontohnya. Jika guru dan tenaga kependidikan yang lain menghendaki agar peserta
didik berperilaku dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa maka guru dan
tenaga kependidikan yang lain adalah orang yang pertama dan utama memberikan contoh
berperilaku dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai itu. Misalnya, berpakaian rapi, datang tepat pada
waktunya, bekerja keras, bertutur kata sopan, kasih sayang, perhatian terhadap peserta didik, jujur,
menjaga kebersihan.
ETIKA

Etika Penyelenggara Negara Etika berasal dari bahasa Yunani “Ethos” yang berarti watak kesusilaan
atau adat kebiasaan. Etika berkaitan erat dengan moral. Moral berasal dari bahasa Latin “Mos” dalam
bentuk jamak “Mores”
yang berarti adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik dan
menghindari perbuatan yang buruk. Meskipun definisi etika dan moral kurang lebih sama, tetapi
terdapat perbedaan yaitu moral digunakan untuk penilaian terhadap perbuatan yang dilakukan,
sedangkan etika digunakan untuk pengkajian sistem nilai yang berlaku. Etika adalah cabang filsafat
yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, “Penyelenggara Negara adalah
Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang
fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan yang berlaku.” Penyelenggara negara mempunyai peran yang sangat
penting dalam penyelenggaraan negara untuk mewujudkan tujuan negara sebagaimana termaktub
dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Dengan demikian, etika tidak hanya berbicara mengenai perilaku individu, tetapi juga terkait dengan
kepentingan kolektif masyarakat yang lebih luas. Apabila etika dilekatkan kepada penyelenggara negara
maka etika harus dimaknai sebagai refleksi tentang standar atau norma yang menentukan baik atau buruk
dan benar atau salah mengenai suatu perilaku, tindakan, dan keputusan yang mengarahkan kebijakan publik
dalam menjalankan tanggung jawab untuk kepentingan masyarakat. Perilaku dan etika penyelenggara negara
yang sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku menjadi pangkal terwujudnya penyelenggaraan negara
yang bersih, transparan, nondiskriminasi, dan bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Peraturan Perundang-undangan yang mengatur mengenai Etika Penyeleenggara Negara Pada awalnya MPR
mengeluarkan Ketetapan MPR No.X/MPR/1998 yang mengamanatkan penyiapan sarana dan prasarana,
program aksi, dan pembentukan peraturan perudangundangan bagi tumbuh dan tegaknya
etika usaha, etika profesi, dan etika pemerintahan. Selanjutnya MPR mengeluarkan Ketetapan
No.VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Bangsa yang diantaranya mengamanatkan perlunya
mengaktualisasikan etika pemerintahan yang pada intinya menjunjung tinggi integritas berbangsa dan
bernegara dengan mengedepankan nilai kejujuran, amanah, keteladanan, sportivitas, disiplin, etos kerja,
kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggung jawab, menjaga kehormatan, serta martabat diri sebagai
warga negara. Pelbagai tuntutan masyarakat pada masa digulirkannya reformasi dicoba dipenuhi pemerintah
dan DPR pada masa itu dengan membentuk undang-undang yang mengatur perilaku penyelenggara negara
seperti:
a. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas
dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
b. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
c. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pembentukan undang-undang tersebut tidak cukup, mengingat dalam pelaksanaannya ada tindakan-
tindakan penyelenggara negara di luar ranah hukum yang masih menyebabkan krisis kepercayaan
masyarakat dalam penyelenggaraan negara .
MORAL

Pengertian moral berasal dari kata mos (mores) yang sinonim dengan kesusilaan, kelakuan.
Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang menyangkut tingkah laku dan
perbuatan manusia.
Seorang pribadi yang taat kepada aturan-aturan, kaidah-kaidah dan norma-norma yang
berlaku dalam masyarakatnya, dianggap sesuai dan bertindak secara moral. Jika sebaliknya
yang terjadi maka pribadi itu dianggap tidak bermoral. Moral dalam perwujudannya dapat
berupa peraturan dan atau prinsip-prinsip yang benar, baik terpuji dan mulia. Moral dapat
berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan norma yang mengikat kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Bagaimana pun krisis mentalitas, moral, dan karakter anak didik berkaitan dengan krisis-krisis
multidimensional lain, yang di hadapi bangsa ini pada umumnya dan pendidikan nasional pada
khususnya. Oleh karena itu, jika di cermati dan dinilai lebih adil dan objektif, makro krisis yang
mentalitas dan moral peserta didik merupakan cermin dari krisis yang lebih luas, yang terdapat dan
berakar kuat dalam masyarakat pada umumnya. Dengan kata lain, krisis mentalitas dan moralitas di
antara peserta didik pada jenjang pendidikan
persekolahan, baik jenjang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi, merupakan cermin dari krisis
mentalitas dan moralitas dalam masyarakat yang lebih luas. Oleh karena itu, dapat di asumsikan
bahwa upaya mengatasi krisis seperti itu tidak memadai jika hanya di lakukan secara persial di
lingkungan persekolahan saja. Harus ada kesatu paduan atau sinergisitas ntuk mengatasi krisis
moralitas dan mentalitas ini dalam masyarakat yang lebih luas, dalam rumah tangga, dan lingkungan
lainnya
Namun demikian, sekolah bukan berarti tidak memiliki kwajiban untuk memulai atau sebagai pioner
dalam mengatasi krisis mentalitas dan moralitas tersebut, setidaknya dengan mencoba memulainya
dari lingkungan sendiri yang terkecil, lalu meluas dengan keluarga dan masyarakat yang lebih luas.
Walaupun nantinya upaya tersebut belum tentu menyembuhkan semua krisis dan persoalan bangsa ini,
tetapi karena sekolah memiliki posisi yang sangat strategis dalam masyarakat, upaya pihak sekolah
dapat menjadi titik pusat dan tonggak awal dari usaha mengatasi krisis yang melanda bangsa ini secar
menyeluruh.
Dalam konteks ini sangat relevan apa yang dikemukakan dalam deklarasi UNESCO 1998, yang
di rumuskamn pada World Conference on Higher Education (Paris 5-9 Oktober 1998) yang
menyangkut misi dan fungsi pendidikan, dalam hal ini perguruan tinggi, dinyatakan bahwa
perguruan tinggi juga memiliki misi dan fungsi untuk membantu, untuk melindungi, dan
memperkuat nilai-nilai sosial dengan melatih anak-anak muda dalam nilai-nilai yang membentuk
dasar kewarganegaraan demokratis; dengan memberi perspektif kritis dan tidak bias guna
membantu dalam pembahsan tentang pilihan-pilihan strategis dan penguatan perspektif
humanistik. Berdasarkan deklarasi UNESCO tersebut, lembaga-lembaga pendidikan tinggi,
personel pendidikan, dan para siswa dan mahasiswa haruslah bersikap dan berperilaku sebagai
berikut.
1. Menjaga dan mengembangkanfunsi-fungsi krusial mereka dengan pelaksanaan etika.
2. Menjaga kelugasan ilmiah dan akademis dalam berbagai kegiatan.
3. Mampu berbicara lantang tentang masalah etika, budaya, dan sosial secara independen
sepenuhnya dan sadar akan tanggung jawab mereka.
4. Melaksanakan kapasitas intelektual dan perstise moral mereka secara aktif, menyebarkan
nilai-nilai yang telah di terima secara universal, termasuk perdamain, keadilan, kebebasan,
kesetaraan, dan solidaritas sosial yang tinggi.
Gagasan dan konsep yang terkandung dalam Deklarasi UNESCO di atas, menurut Azyumardi Aza
(2000), juga selaras dengan kerangka dasar konsep “paradigma baru” perguruan tinggi yang di
rumuskan debdikbuddan para pemikir dan praktisi pendidikan nasional setelah jatuhnya Orde Baru.
Dalam paradigma baru pendidikan tersebut, pendidikan di rumuskan sebagai proses pembudayaan
(enkulturasi) peserta didik sehingga mereka menjadi warga negara yang memiliki “keadaban”
(civility), yang pada giliranya menjadi pilar bagi pembentukan masyarakat madani dalam Indonesia
Baru. Dalam konteks ini, apabila di cermati pendidikan tinggi dan pendidikanpada umumnya bertugas
mengembangkan setidak-tidaknya lima bentuk kecerdasan, yaitu
1. kecerdasan intelektual;
2. kecerdasan emosional;
3. kecerdasan praktikal;
4. kecerdasan sosial;
5. kecerdasan spiritual dan moral.
Kelima bentuk kecerdasan di atas, harus di kembangkan secar simultan. Jika berhasil di laksanakan dengan
baik, akan mampu menghasilkan mahasiswa dan peserta didik serta lulusan yang bukan hanya cerdas
secara intelektua, tetapi juga cerdas secara emosionl, praktikal, sosial, spiritual, dan moral. Disinilah fokus
utama pendidikan, seperti di kemukakan Deklarasi UNESCO dan paradigma pendidikan nasional bahwa
pendidikan harus berpusat pada peserta didik (student centered education). Lebih lanjut menurut Azumardi
Azra (2000), dalam kerangka paradigma baru pendidikan nasional, terdapat rumusan tentang nilai-nilai
dasar pendidikan nasional yang terdiri dari delapan butir, yaitu sebagai berikut.
1.Keimanan dan ketaqwaan, yakni bahwa pendidikan harus memberikan atmosfer religiusitas kepada
peserta didik.
2. Kemerdekaan, yakni kebebasan dalam pengembangan gagasan, pemikiran, dan kreatuvitas.
3. Kebangsaan, yakni komitmen kepada kesatua kebangsaan dengan sekaligus menghormati pluralitas.
4. Keseimbangan, dalam perkembangan kepribadian dan kecerdasan anak.
5. Pembudayaan, yakni memiliki ketahanan budaya dalam ekspansi budaya global.
6. Kemandirian dalam pikiran, dalam tindakan, tidak tergantung pada orang lain.
7. Kemanusiaan, yakni menghormati nilai-nilai kemanusaan, akhlak, pekerti, dan keadapan.
8. Kekeluargaan, yakni ikatan yang erat antara komponen sekolah, keluarga, dan masyarakat.
Selanjutnya dalam kerangka mikro, visi pendidikan nasional adalah terwujudnya individ manusia
Indonesia baru yang memiliki sikap dan wawasan keimanan dan akhlak tinggi dan mulia, kemerdekaan
dan demokrasi, toleransi dan menjunjung tinggi HAM, saling pengertian dan berwawasan global.
Sedangkan tujuan makro pendidikan nasional adalah membentuk organisasi pendidikan yang otonom
sehingga mampu melakukan inovasi dalam pendidikan untuk menuju pembentukan lembaga yang
beretika, selalu menggunakan nalar, berkemampuan komunikasi sosial yang positif dan memiliki SDM
yang sehat dan tangguh. Sedangkan tujuan mikro pendidikan nasional adalah membentuk manusia dan
beriman dan bertakwa kepada Tuhan, beretika (beradap dan berwawasan bangsa Indonesia), memiliki
nalar (maju dan cakap, cerdas, kreatif dan inovatif, serta bertanggung jawab), berkemampuan komunikasi
sosial (tertib dan dasar hukum, kooperatif dan kompetitif, demokratis), dan berbadan sehat sehingga
menjadi manusia sendiri.

Anda mungkin juga menyukai