I. Teori
The lazy company atau yang disebut juga sebagai the passive company adalah pengertian
dari sebuah perusahaan yang “malas” dalam melakukan investasi baik itu investasi fisik
maupun investasi non fisik, yang biasanya banyak perusahaan – perusahaan diluar sana
lakukan untuk mengekspansi bisnis mereka. Dalam upaya untuk meraih keuntungan demi
kelansungan dan stabilitas dari bisnis mereka.
Banyak factor yang menyebabkan sebuah perusahaan malas atau enggan melakukan
investasi, baik factor internal maupun factor external, apapun itu setiap perusahaan
memiliki pilihan nya sendiri dalam melakukan investasi dan setiap pilihan itu memiliki tingkat
resiko nya masing-masing.
Sentiment negative yang tercipta di tengah – tengah pasar dapat membuat laju sebuah
perusahaan melambat, semakin lambat bahkan dapat benar-benar berhenti / gulung tikar.
Pemerintah tentu play a major role dalam mendorong terciptanya iklim ekonomi yang
kondusive untuk menciptakan kegiatan ekonomi yang berkelanjutan .
Makalah ini membahas kenapa sebuah perusahaan cenderung malas dalam investasi dan
langkah – langkah apa yang dilakukannya untuk menyelamatkan kondisi keuangan
perusahaan untuk kelansungan bisnisnya di waktu yang akan datang.
II. Pembahasan
Dalam sub bab ke 2 ini, akan dipaparkan jenis-jenis perusahaan yang tergolong ke dalam
category “the lazy company” dari berbagai latar belakang dan bisnis model yang berbeda-
beda dilihat dari beberapa aspek keuangan mereka seperti :
Usaha jasa pos dan giro termasuk jasa keuangan secara tunai maupun berbasis giro
(account);
Usaha jasa komunikasi, jasa logistik, jasa ritel, jasa keagenan usaha jasa pos dan giro sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
Usaha pemanfaatan dan pengembangan sumber daya yang dimiliki untuk menunjang
kegiatan utama Perseroan.
Kepemilikan :
Pemerintah Republik Indonesia 100%
TANGGAL PENDIRIAN : 20 Juni 1995
Beberapa kesenjangan dan prioritas yang dihadapi dalam bisnis adalah sebagai berikut:
Bisnis Surat Paket; masih mengacu pada bisnis dan operasional surat, sedangkan dengan permintaan
pasar yang ada, seharusnya orientasi bisnis lebih kepada bisnis paket (barang) baik dari sisi
infrastruktur, sumber daya, maupun fasilitas.
Layanan Jasa Keuangan; inferior dibandingkan dengan Western Union dalam hal remitansi; network
yang luas terutilisasi secara baik; terdesaknya wesel dan remitansi oleh inklusi keuangan dan layanan
perbankan.
Bisnis Logistik; Kekuatan network dan last mile distribution yang belum dimanfaatkan dengan baik;
peningkatan kompetensi dibidang logistik.
Ritel dan Jaringan; sebaran kantor pos belum dimanfaatkan secara optimal dalam distribusi
komoditas yang dibutuhkan masyarakat.
Teknologi; Terlambat memasuki core-service mobility, infrastruktur teknologi dan aplikasi bisnis yang
kurang robust.
Di masa depan, melalui sebaran dan luasnya jaringan yang dimiliki, Pos Indonesia akan
memanfaatkan jaringan tersebut untuk mengembangkan keseluruhan portofolio bisnisnya sehingga
Pos Indonesia tidak hanya menjadi penyelenggara pos, tetapi mampu bertransformasi menjadi
perusahaan logistik yang andal dan terdepan.
i. Analisa
Dari laporan keuangan diatas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan diantaranya :
Nilai DER / Debt to Equity adalah ratio yang membandingkan ratio utang terhadap equitas ( modal )
dari PT Pos Indonesia selama 5 tahun terakir adalah sebagai berikut :
𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑙𝑖𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑎𝑠
DER =
𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑒𝑘𝑢𝑖𝑡𝑎𝑠
1. PT Pos Indonesia belum sepenuhnya mampu menyiasati kondisi pasar yang sangat
berbeda dengan apa yang berlaku setahun sebelumnya. Wake up call yang kesekian
kalinya terjadi kembali kepada PT Pos Indonesia, kali ini menyentuh sector jasa
keuangannya, ketika perbankan mulai bergerak masuk ke rural dan area suburban
melalui inisiatif branchless atau laku pandai. Layanan jasa keuangan POS juga
mengalami tekanan yang sangat serius dari kemunculan perusahaan-perusahaan
fintech yang semakin disukai oleh masyarakat pengguna Karena tiga hal penting:
kemudahan, kecepatan dan biaya murah.
2. Disisi lain jasa kurir dan logistic yang selama ini memberikan konstribusi utama bagi
pendapatan POS, menghadapi tantangan modrenisasi dan perubahan proses bisnis
dari industry e-comerce akibat dari kemajuan teknologi.
3. Digital distruption ini tidak hanya dialami oleh POS Indonesia tapi juga oleh beberapa
operator POS dinegara-negara lain. Sebagian dari mereka yang berhasil melakukan
transformasinya, berubah wujud menjadi bentuk dan focus membangun kekuatan
dalam bidang logistic melalui berbagai akuisisi, dimana DHL adalah salah satunya.
Japan post bertransfornmasi menjadi raksasa institusi keuangan dengan backbone
layanan postal saving dan asuransi sedangkan Singapore post bertransformasi
menjadi e-commerce platform, terlebih setelah terjadi penjualan saham signpost ke
Alibaba.
4. Jika kita melihat Nilai DER PT POS INDONESIA terbilang cukup besar namun jumlah
yang cukup besar tersebut mencerminkan perusahaan memiliki nilai hutang yang
jauh lebih besar dari pada nilai ekuitas ( modal ) yang dimilikinya, sebaiknya nilai DER
suatu perusahaan tidak melebihi dari 1,00.
5. Dalam rentang 5 tahun terakir PT Pos Indonesia meiliki nilai total hutang jangka
pendek yang lebih besar dari pada hutang jangka panjang, yang biasanya hutang
jangka pendek acap kali diperuntukan untuk aktivitas – aktivitas yang berhubungan
dengan kegiatan operasional dari suatu perusahaan itu sendiri. Dengan kata lain PT
Pos berhutang tidak untuk berinvestasi yang dapat me leverage atau mendongkrak
kinerja keuangannya sendiri melainkan menjadi kewalahan dalam urusan
operasional nya sendiri.
6. Jumlah Total Aset PT Pos Indonesia, yang dari tahun ke tahun cenderung tidak
banyak mengalami kenaikan, sebagai salah satu indicator bahwasannya perusahaan
ini tidak melakukan investasi
Gambar 2.3 total asset PT Pos 5 tahun terakir
2.2 PT
Bidang usaha :
Wismilak
mengelola usaha industri rokok, terutama Sigaret Kretek Tangan
(SKT ) dan Sigaret Kretek Mesin (SKM). Bidang usaha Perseroan
mencakup produksi bumbu rokok, filter dan kelengkapan
rokok lainnya