Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kota Mataram merupakan ibukota Provinsi NTB dengan kepadatan
penduduk yang sangat tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik NTB
tahun 2018, Kota Mataram yang terdiri dari sebelas kecamatan memiliki
jumlah penduduk 450.226 jiwa, dengan kepadatan penduduk sebesar 7.345
jiwa/km2. Adapun kecamatan di wilayah Kota Mataram dengan kepadatan
penduduk tertinggi yaitu Kecamatan Ampenan yang berjumlah 9.275
penduduk/km2. Kepadatan penduduk yang tinggi menyebabkan daerah ini
memiliki potensi masalah di bidang kesehatan. Salah satunya yaitu
memudahkan penyebaran penyakit yang ditularkan oleh nyamuk.
Kelurahan Pejarakan Karya merupakan salah satu dari sepuluh
Kelurahan di Kecamatan Ampenan dengan jumlah penduduk yang cukup
padat. Daerah ini terdiri atas atas 13,40 Ha wilayah pemukiman, sehingga
mobiltas penduduk cukup tinggi. Selain itu, daerah dengan luas sekitar 73,
942 Ha tesebut didominasi oleh areal persawahan (BPS Kota Mataram,
2018). Sebagian areal tersebut merupakan ruang terbuka hijau yang
berbatasan langsung dengan jalan Udayana. Padatnya jumlah dan pemukiman
penduduk, tingginya mobilitas serta adanya areal persawahan yang cukup
luas menjadikan kelurahan Pejarakan Karya berpotensi sebagai tempat
penyebaran dan perkembangbiakan nyamuk. Hal tersebut dapat
membahayakan kesehatan dan mempengaruhi aktivitas warga mengingat
sebagian areal taman Udayana termasuk ke dalam kelurahan Pejarakan
Karya.
Nyamuk memerlukan habitat yang cocok untuk keberlangsungan
hidupnya. Salah satu faktor lingkungan yang penting untuk kehidupan
nyamuk adalah curah hujan dan kelembaban. Kota Mataram memiliki angka
curah hujan yang cukup tinggi dan mengalami peningkatan. Berdasarkan data
BPS Kota Mataram tahun 2018, rata- rata curah hujan dari tahun 2014 sampai
2016 terus meningkat yaitu dari 156,4 sampai 236,2. Curah hujan tertinggi

1
yaitu pada bulan November mencapai 473 mm. Angka curah hujan yang
tinggi juga berbanding lurus dengan angka kelembaban di Kota Mataram
yang mencapai 86 %. Martens (1997) menyatakan bahwa peningkatan
kelembaban dan curah hujan berbanding lurus dengan peningkatan kepadatan
nyamuk. Hal ini dapat mempengaruhi penyebaran penyakit menular,
termasuk penyakit tular vektor.
Nyamuk merupakan vektor yang berperan dalam penularan penyakit
yang disebabkan oleh parasit dan virus. Beberapa penyakit berbahaya seperti
malaria, demam berdarah, dan filariasis ditularkan oleh nyamuk dari genus
Anopheles, Aedes, dan Culex. Malaria merupakan satu di antara penyakit
yang dikategorikan berbahaya di dunia yang ditularkan oleh nyamuk
Anopheles betina. Indonesia merupakan negara terbanyak penderita malaria
setelah India di Asia bagian Selatan (World Health Organization, 2012).
Anopheles spp. yang dilaporkan ditemukan di Indonesia sebanyak 81 spesies,
16 spesies di antaranya telah dikonfirmasi sebagai vektor. Pulau Lombok
sendiri merupakan daerah endemis Malaria (Departemen Kesehatan RI,
2007).
Selain malaria, penyakit demam berdarah (DBD) sebagai salah satu
penyakit menular, sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat di Provinsi NTB karena penyebarannya yang cepat, berpotensi
kematian dan semua kabupaten/kota sudah pernah terjangkit DBD. Pada
tahun 2015, jumlah kasus DBD yang ditemukan adalah 1.340 kasus,
meningkat sangat signifikan menjadi 3.385 kasus atau mengalami
peningkatan sebesar 152,61 % di tahun 2016. Kasus terbanyak dilaporkan
terjadi di Kabupaten Sumbawa, Lombok Timur dan Kota Mataram (Dinas
Kesehatan Provinsi NTB, 2016). Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota
Mataram tahun 2015, jumlah penderita demam berdarah di Kota Mataram
tahun 2015 mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya, yaitu sebanyak
215 penderita pada tahun 2014, meningkat menjadi 481 penderita. Oleh
karena itu, pengendalian penyakit Demam Berdarah di Kota Mataram
menjadi salah satu skala prioritas Dinas Kesehatan Kota Mataram.

2
Selain nyamuk Anopheles dan Aedes, nyamuk Culex spp.juga menjadi
ancaman bagi kesehatan masyarakat. Penyebaran Culex spp. hampir merata di
seluruh daerah di Indonesia termasuk Pulau Lombok. Ada beberapa spesies
nyamuk Culex yang diketahui sebagai vektor penyakit, yaitu Culex
tritaeniorhynchus, yang menjadi vektor utama dari Japanese ensephalitis di
daerah Asia Tenggara, Culex pipiens juga banyak dilaporkan sebagai vektor
penyakit West Nile and St. Louis encephalitis viruses, dan vektor cacing
Wuchereria brancrofti yang menyebabkan filariasis. Selain itu, Culex
quinquefasciatus sekarang ini diteliti sebagai vektor filariasis yang
disebabkan oleh cacing Wuchereria brancrofti (Diaz et al., 2011). Muturi et
al. (2016) melaporkan bahwa dalam beberapa penelitian di tahun 2015–2016,
nyamuk ini diduga sebagai vektor virus Zika, karena kemampuannya
mencerna partikel virus.
Berdasarkan uraian di atas, maka diperlukan adanya pemahaman
tentang bioekologi nyamuk sebagai upaya untuk meningkatkan kewaspadaan
terhadap penyebaran penyakit tular vektor. Salah satu upaya yang telah
ditetapkan oleh Departemen Kesehatan RI adalah pengendalian habitat
nyamuk untuk menekan penyebaran penyakit tular vektor. Hal tersebut dapat
dilakukan melalui analisis ekologi nyamuk yang bertindak sebagai vektor di
Kelurahan Pejarakan Karya, Kota Mataram.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang muncul dari uraian di atas, di antaranya:
a. Spesies nyamuk apa saja yang dapat ditemukan di Kelurahan Pejarakan
Karya Kota Mataram?
b. Bagaimana karakteristik habitat nyamuk yang dijumpai di Kelurahan
Pejarakan Karya Kota Mataram?
c. Bagaimana keanekaragaman nyamuk di Kelurahan Pejarakan Karya Kota
Mataram?
1.3 Tujuan
a. Mengidentifikasi nyamuk yang ditemukan di Kelurahan Pejarakan Karya
Kota Mataram?

3
b. Mendeskripsikan karakter habitat nyamuk di Kelurahan Pejarakan Karya
Kota Mataram.
c. Menganalisis keanekaragaman nyamuk di Kelurahan Pejarakan Karya
Kota Mataram.
1.4 Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat di antaranya:
a. Dapat menjadi data awal guna memberikan informasi kepada masyarakat
mengenai daerah persebaran dan karakteristik habitat nyamuk di
Kelurahan Pejarakan Karya Kota Mataram.
b. Dapat mengetahui keanekaragaman nyamuk yang ditemukan di Kelurahan
Pejarakan Karya Kota Mataram.
c. Dapat menjadi langkah awal penanggulangan vektor nyamuk bagi dinas
kesehatan terkait.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Nyamuk


Nyamuk merupakan vektor atau penular utama dari penyakit. Menurut
klasifikasinya, nyamuk dibagi dalam dua subfamili yaitu Culicinae yang
terbagi menjadi 109 genus dan Anophelinae yang terbagi menjadi tiga genus.
Di seluruh dunia terdapat lebih dari 2500 spesies nyamuk namun sebagian
besar dari spesies nyamuk tidak berasosiasi dengan penyakit virus (arbovirus)
dan penyakit-penyakit lainnya. Jenis–jenis nyamuk yang menjadi vektor
utama dari subfamili Culicinae adalah Aedes sp., Culex sp., dan Mansonia
sp., sedangkan dari subfamili Anophelinae adalah Anopheles sp. (Harbach,
2008).

2.2 Morfologi dan Daur Hidup Nyamuk

Nyamuk merupakan salah satu kelompok serangga terbang dari ordo


Diptera yang bermetamorfosis secara sempurna (holometabola). Siklus hidup
nyamuk dimulai dari stadium telur, larva, pupa, kemudian menjadi nyamuk
dewasa (Natadisastra, 2009).

2.2.1 Telur
Setelah melakukan perkawinan, nyamuk betina memerlukan makanan
berupa darah yang berasal dari hewan berdarah panas ataupun manusia untuk
perkembangan dan pematangan telurnya. Lebih kurang 48 jam setelah
mendapatkan darah tersebut, nyamuk akan meletakkan telur di tempat yang
berair, tempat yang kering akan menyebabkan telur rusak dan mati.
Kebiasaan meletakkan telur dari nyamuk berbeda-beda tergantung dari
jenisnya (Borror et al, 1996). Nyamuk Culex akan meletakkan beberapa
telurnya diatas permukaan air dengan membentuk kumpulan telur tersebut
menyerupai rakit sehingga mampu untuk mengapung (Gambar 2.1),
sedangkan nyamuk Mansonia meletakkan telurnya dengan menempelkannya
pada tumbuh-tumbuhan air dengan bergerombol. Telur yang diletakkan di

5
dalam maupun di sekitar genangan air ini akan menetas setelah satu atau dua
hari kemudian (Nurmaini, 2003). Berdasarkan jenis kelaminnya, nyamuk
jantan akan menetas lebih cepat dibanding nyamuk betina, serta lebih cepat
menjadi dewasa. Faktor-faktor yang mempengaruhi daya tetas telur adalah
suhu, pH air perindukan, cahaya, serta kelembaban di samping fertilitas telur
itu sendiri (Soedarto, 1992).

Gambar 2.1 Telur Culex spp.


(Sumber : Kauffman et al., 2017)

Nyamuk Anopheles meletakkan telurnya di permukaan air satu persatu


atau bergerombol tetapi saling lepas karena telur Anopheles mempunyai alat
pengapung (Borror et al, 1996). Telur Anopheles berbentuk seperti perahu
yang bagian bawahnya konveks, bagian atasnya konkaf, dan mempunyai
sepasang pelampung yang terletak pada bagian lateral. Nyamuk betina
mampu bertelur sebanyak 50-200 butir. Telur tidak dapat bertahan di tempat
yang kering dan akan menetas menjadi larva setelah 2-3 hari (Arsin, 2012).
Ukuran telur berdiameter antara 0,4 – 0,6 mm. Telur yang baru keluar
berwarna putih dan selanjutnya akan berubah warna menjadi hitam pada
kondisi normal (Bates, 1970). Morfologi telur nyamuk Anopheles spp.
disajikan dalam gambar 2.2.

6
Gambar 2.2 Morfologi Telur Anopheles spp.
(Sumber : Connelly, 2015)

Telur Aedes berwarna hitam, berbentuk oval, kulit tampak garis-garis


yang menyerupai sarang lebah, panjang 0,80 mm, berat 0,0010-0,015 mg.
Seekor nyamuk betina rata-rata dapat menghasilkan 100 butir telur setiap kali
bertelur dan akan menetas menjadi larva dalam waktu 2 hari dalam keadaan
telur terendam air. Telur Aedes dapat bertahan dalam waktu yang lama pada
keadaan kering. Hal tersebut dapat membantu kelangsungan hidup spesies
selama kondisi iklim yang tidak memungkinkan (Departemen Kesehatan RI,
2007). Pada umumnya, nyamuk Aedes akan meletakan telurnya pada suhu
sekitar 20° sampai 30°C. Pada suhu 30°C, telur akan menetas setelah 1
sampai 3 hari dan pada suhu 16°C akan menetas dalam waktu 7 hari. Telur
nyamuk Aedes sangat tahan terhadap kekeringan (Sudarmaja & Mardihusodo,
2009). Telur Aedes spp. dapat dilihat pada gambar 2.3 berikut.

Gambar 2.3 Telur Aedes spp.


(Sumber : Kauffman et al., 2017)

7
2.2.2 Larva
Larva nyamuk memiliki tubuh yang terbagi atas kepala, mulut yang
digunakan untuk mencari makan, toraks, dan abdomen. Larva belum
memiliki kaki (Natadisastra, 2009). Dalam pertumbuhan dan
perkembangannya, larva nyamuk mengalami empat tahap stadium (instar).
Tahapan stadium tersebut didasarkan atas proses pergantian kulitnya
(molting). Larva instar I selama ± 1 hari, instar II selama ± 1-2 hari, instar III
selama ± 2 hari dan instar IV selama ± 2-3 hari. Masing-masing stadium atau
instar mempunyai ukuran tubuh yang berbeda. Daur hidup rata-rata nyamuk
mulai menetas dari telur sampai menjadi kepompong berkisar 8 – 14 hari.
Instar pertama sangat kecil, hampir tidak kasat mata dan berukuran panjang
0,75 – 1 mm, sedangkan instar kedua, ketiga dan keempat dapat terlihat jelas.
Instar kedua dan ketiga berukuran 1 – 2 mm, sedangkan pada instar keempat
berukuran 3 – 6 mm, namun ukuran tersebut sangat bervariasi sesuai jenisnya
(Rao, 1981).
Larva nyamuk Aedes menggantungkan tubuhnya dengan membentuk
sudut terhadap permukaan air. Larva Aedes memiliki ciri – ciri yaitu memiliki
2-3 deret comb scale, mempunyai siphon dengan panjang 4x lebar basal
(Breeland dan Loyless, 1982). Pada tahap instar I, larva nyamuk Aedes
memiliki panjang 1-2 mm, tubuh transparan, siphon masih transparan,
tumbuh menjadi larva instar II dalam 1 hari. Larva intar II memiliki panjang
2,5 – 3,9 mm, siphon agak kecoklatan, tumbuh menjadi larva instar III selama
1-2 hari. Larva instar III berukuran panjang 4-5 mm, siphon sudah berwarna
coklat, tumbuh menjadi larva instar IV selama 2 hari. Larva instar IV
berukuran 5-7 mm, dan sudah terlihat sepasang mata dan sepasang antena,
tumbuh menjadi pupa dalam 2-3 hari. Umur rata-rata pertumbuhan larva
hingga pupa berkisar 5-8 hari. Posisi istirahat pada larva ini adalah
membentuk sudut 450 terhadap bidang permukaan air (Departemen Kesehatan
RI, 2007). Larva Aedes spp.dapat dilihat pada gambar 2.4.
Salah satu ciri dari larva nyamuk Culex adalah memiliki siphon.
Siphon dengan beberapa kumpulan rambut membentuk sudut dengan
permukaan air. Nyamuk Culex mempunyai empat tingkatan atau instar sesuai

8
dengan pertumbuhan larva tersebut. Larva instar I berukuran paling kecil,
yaitu 1 – 2 mm atau 1 – 2 hari setelah menetas. Duri-duri (spinae) pada dada
belum jelas dan corong pernafasan pada siphon belum jelas. Larva instar II,
berukuran 2,5 – 3,5 mm atau 2 – 3 hari setelah telur menetas. Duri-duri belum
jelas, corong kepala mulai menghitam. Larva instar III, berukuran 4 – 5 mm
atau 3 – 4 hari setelah telur menetas. Duri-duri dada mulai jelas dan corong
pernafasan berwarna coklat kehitaman. Larva IV, berukuran paling besar
yaitu 5 – 6 mm atau 4 – 6 hari setelah telur menetas (Matsumura, 1985).
Larva Culex spp. dapat dilihat pada gambar 2.5.
Larva nyamuk Anopheles memiliki perbedaan dengan larva nyamuk
lainnya, yaitu tidak memiliki saluran pernapasan dan posisi badannya sejajar
di permukaan air (Arsin, 2012). Larva Anopheles spp. dapat dilihat pada
gambar 2.6. Larva memiliki spirakel pada bagian posterior abdomen,
lempeng tergit (tergal plate) pada bagian tengah sebelah dorsal abdomen dan
bulu pulma pada kedua sisi abdomen (Natadisastra, 2009).
Dalam perkembangan hidupnya, larva nyamuk memerlukan kondisi
lingkungan yang dapat memberikan kehidupan bagi perkembangannya.
Berbagai faktor yang berpengaruh terhadap kehidupan dan pertumbuhan larva
nyamuk seperti faktor fisik dan kimiawi antara lain pH, suhu dan salinitas.
Selain itu, fauna dan flora juga mempengaruhi larva nyamuk, yaitu sebagai
tempat perlindungan, sumber makanan ataupun sebagai musuh alaminya
(Clements, 1963). Larva pada umumnya memerlukan makan berupa alga,
bakteri dan mikroorganisme lainnya yang berada di permukaan. Larva hanya
menyelam di bawah permukaan ketika terganggu (Arsin, 2012).

Gambar 2.4 Larva Aedes spp.


(Sumber : Farajollahi & Price, 2013)

9
Gambar 2.5 Larva Culex spp.
(Sumber : Bryant, 2008)

Gambar 2.6 Larva Anopheles spp.


(Sumber : Almarinez & Claveria, 2015)

2.2.3 Pupa
Pada stadium pupa tubuh terdiri dari dua bagian, yaitu
cephalothorax yang lebih besar dan abdomen. Bentuk tubuh
membengkok. (Departemen Kesehatan RI, 2007). Stadium pupa
memiliki corong pernapasan (respiratory trumper) berbentuk lebar
dan pendek, yang digunakan untuk pengambilan oksigen dari udara
(Natadisastra, 2009). Pupa terdapat di dalam air dan tidak memerlukan
makanan tetapi memerlukan udara. Pada stadium ini terjadi proses
pembentukan alat-alat tubuh nyamuk seperti alat kelamin, sayap dan
kaki. Pupa akan berubah menjadi nyamuk dewasa setelah 1-2 hari
(Arsin, 2012). Lama stadium pupa pada nyamuk jantan antara 1
sampai dua jam lebih pendek dari pupa nyamuk betina, karenanya

10
nyamuk jantan akan muncul kira-kira satu hari lebih awal daripada
nyamuk betina yang berasal dari satu kelompok telur. Stadium pupa
ini memakan waktu lebih kurang 2 - 4 hari (Rinidar, 2010). Morfologi
pupa nyamuk disajikan dalam gambar 2.7 berikut.

0,5 mm A 0,5 mm B 0,5 mm


C

Gambar 2.7 Pupa nyamuk


A. Pupa Anopheles spp. (Newman, 2015), B. Pupa Aedes spp.
(Doggett, 2002), C. Pupa Culex spp. (Doggett, 2002).

2.2.4 Nyamuk Dewasa


Nyamuk dewasa memiliki tubuh yang kecil dan terbagi atas kepala,
toraks dan abdomen (Gambar 2.8). Kepala nyamuk berfungsi untuk
memperoleh informasi dan untuk makan. Pada kepala terdapat mata, palpus,
proboscis, dan sepasang antena. Antena nyamuk berfungsi untuk mendeteksi
inang serta tempat peletakan telur (Arsin, 2012). Nyamuk memiliki sepasang
antena berbentuk filiform yang panjang dan langsing serta terdiri atas lima
belas segmen. Antena dapat digunakan sebagai kunci untuk membedakan
kelamin pada nyamuk dewasa. Bulu antena nyamuk jantan lebih lebat
daripada nyamuk betina. Bulu lebat pada antena nyamuk jantan disebut
plumose sedangkan pada nyamuk betina yang jumlahnya lebih sedikit disebut
pilose. Palpus merupakan bagian tubuh nyamuk yang terletak di antara antena
dan proboscis, yang digunakan sebagai organ sensorik untuk mendeteksi
karbondioksida dan tingkat kelembaban (Brown, 1979).
Palpus bagian apikal pada nyamuk Anopheles jantan memiliki ruas
berbentuk gada, sedangkan pada nyamuk betina, ruas tersebut mengecil.

11
Proboscis merupakan bentuk mulut modifikasi untuk menusuk. Nyamuk
betina mempunyai proboscis yang lebih panjang dan tajam (Brown, 1979)
Bagian thorak terdiri dari tiga segmen yaitu prothorak, mesothorak,
dan metathorak. Masing-masing segmen menjadi bagian melekatnya kaki
depan (foreleg), kaki tengah (midleg), dan kaki belakang (hindleg).
Mesothorak selain terdapat midleg, juga terdapat sepasang sayap. Bagian
thorak terdapat mesonotum yang diliputi rambut halus, scutum yaitu bagian
thorak yang terbesar, dan scutellum yaitu bagian posterior mesonotum
(Gambar 2.2). Metathorak nyamuk dewasa ukurannya lebih kecil
dibandingkan dengan prothorak dan mesothorak serta terdapat sepasang
sayap yang mengalami modifikasi menjadi halter (Rueda, 2004).

Gambar 2.8 Morfologi Nyamuk Dewasa


(Sumber : Ruedaa, 2004)

Bagian scutum dan scutellum mesonotum dapat dijadikan sebagai


kunci identifikasi. Nyamuk Aedes memiliki ciri khas pada bagian mesonotum
(Gambar 2.3), misalnya Aedes aegypti memiliki lyre (lengkungan) putih pada
sisi tepi dan terdapat sepasang garis putih pada submedian secara vertikal
bagian mesonotum, sedangkan Aedes albopictus hanya memiliki garis putih
pada median mesonotum (Anwar et al., 2014). Ciri khas selanjutnya yaitu
pada scutellum mesonotum. Scutellum nyamuk Anopheles memiliki satu lobi,

12
sedangkan dari genus Aedes dan Culex memiliki scutellum trilobus
(Rattanarithikul et al., 2010).
Sayap nyamuk mempunyai bentuk yang panjang, transparan yang
mempunyai percabangan vena yang ditutupi oleh sisik. Pada pinggir sayap
terdapat deretan rambut yang disebut fringe. Nyamuk mempunyai tiga pasang
kaki (hexapoda) yang melekat pada thorak dan tiap kaki terdiri dari satu ruas
femur, satu ruas tibia dan lima ruas tarsus (Lane & Crosskey, 1993)
Sisik sayapnya ada yang lebar dan asimetris (Mansonia) dan ada pula
yang sempit, panjang, dan simetris (Aedes, Culex). Pada beberapa jenis
nyamuk, sisik sayap membentuk bercak-bercak berwarna putih dan kuning,
putih dan cokelat, serta putih dan hitam (speckled) (Montgomery, 1974). Pada
bagian pinggir (kosta dan vena 1) sayap nyamuk Anopheles, terdapat sisik-
sisik yang berkelompok membentuk gambaran belang-belang hitam dan
putih. Selain itu, bagian ujung sisik sayap membentuk garis lengkung
(Natadisastra, 2009).
Abdomen nyamuk terdiri dari delapan ruas. Pada ujung atau ruas
terakhir terdapat alat kopulasi berupa cerci pada nyamuk betina dan
hypogeum pada nyamuk jantan. Abdomen pada nyamuk Aedes memiliki
bercak putih keperakan pada masing-masing ruas (Depkes RI, 2007). Bagian
abdomen berbentuk silinder dengan ujung abdomen dapat berbentuk lancip
(pointed) pada Aedes sedangkan ujung abdomen Mansonia, Culex, Anopheles
berbentuk tumpul (Montgomery, 1974).
Waktu yang diperlukan untuk pertumbuhan sejak telur diletakkan
sampai menjadi dewasa bervariasi antara 2-5 minggu, tergantung kepada
spesies, makanan yang tersedia, suhu udara dan kelembaban (Natadisastra,
2009).

2.3 Nyamuk sebagai Vektor


Kehadiran Nyamuk dapat berdampak negative, yaitu berperan
sebagai penyebab penyakit yang dipengaruhi oleh beberapa faktor di
antaranya spesifisitas inang, rentang hidup vektor, frekuensi makan,
mobilitas vektor, tingkat populasi vektor dan aktivitas penyesuaian diri

13
(Munif, 2009). Suatu spesies dikatakan sebagai vektor apabila jumlahnya
cukup banyak dan berada pada daerah tempat hospes tinggal (manusia).
Jumlah nyamuk berbanding lurus dengan tempat perindukan nyamuk
(breeding place), dimana tempat perindukan haruslah dekat dengan tempat
tinggal manusia. Kebanyakan spesies nyamuk yang bertindak sebagai
vektor, tempat perindukannya tidak jauh dari rumah terdekat manusia, yaitu
berjarak sekitar 200–400 meter. Hal ini berhubungan dengan kemampuan
terbang nyamuk untuk mencari hospesnya (Ahmad et al, 2011).
Di Indonesia, konfirmasi vektor telah dilakukan sejak tahun 1919
sampai tahun 2009, dan selama periode tersebut terdapat 25 spesies
ditemukan positif membawa parasit malaria (Kementerian Kesehatan RI,
2011). Menurut Arsin (2012), Anopheles yang ditemukan di Nusa Tenggara
Barat adalah spesies A. aconitus, A. sundaicus, A. balabacensis, A.
barbirostris, A. maculatus, A. subpictus.
Nyamuk Aedes albopictus telah menjadi vektor penyakit yang
signifikan karena berhubungan erat dengan manusia, yaitu menularkan
banyak patogen virus di antaranya adalah virus demam kuning, demam
berdarah, dan demam Chikungunya, serta beberapa nematoda filaria seperti
Dirofilaria immitis, juga Ae. albopictus mampu menampung virus Zika dan
dianggap sebagai vektor potensial untuk transmisi Zika ke manusia (Wong
et al: 2013 dan Grard et al: 2014)
Kemampuan nyamuk menjadi vektor penyakit berkaitan dengan
populasi dan aktivitas menghisap darah. Aktivitas mengisap darah dari
nyamuk Anopheles dan Culex berlangsung pada malam hari (nokturnal),
berbeda dari nyamuk Aedes yang melakukan aktivitas mengisap darah pada
siang hari (diurnal). Nyamuk yang bersifat eksofagik adalah nyamuk yang
banyak mengisap darah di luar rumah, tetapi bisa masuk ke dalam rumah
jika manusia merupakan inang utama, misalnya Anopheles balabacensis,
An. sinensis, An. aconitus, dan Mansonia uniformis. Nyamuk endofagik
adalah nyamuk yang mengisap darah di dalam rumah, tetapi bila inang tidak
tersedia di dalam rumah sebagian nyamuk akan mencari inang di luar rumah
(Munif 2009).

14
Nyamuk dalam genus Aedes biasanya mencari makan pada waktu
pagi hingga sore hari (day bitter) yaitu sekitar pukul 08.00-12.00 dan pukul
15.00-17.00 WITA (Syahribulan dkk., 2012). Waktu aktivitas menggigit
vektor malaria yang sudah diketahui yaitu pukul 17.00-18.00, sebelum
pukul 24.00 (20.00-23.00), setelah pukul 24.00 (00.00-4.00). Vektor malaria
yang aktivitas menggigitnya pukul 17.00-18.00 adalah A. tesselatus,
sebelum pukul 24.00 adalah A. aconitus, A. annullaris, A .barbirostris, A.
kochi, A. sinensis, A. vagus, sedangkan yang menggigit setelah pukul 24.00
adalah A. farauti, A. koliensis, A. leucosphyrosis, A. punctullatus
(Kementerian Kesehatan RI, 2011).

2.4 Habitat Nyamuk.


Setiap jenis nyamuk memiliki karakteristik habitat
perkembangbiakan yang berbeda-beda pada setiap zona geografi (Sukowati,
2008). Menurut tempat berkembang biak, vektor malaria dapat
dikelompokkan dalam tiga tipe, yaitu berkembang biak di persawahan,
perbukitan atau hutan, dan pantai atau aliran sungai. Vektor malaria yang
berkembang biak di daerah persawahan adalah A. aconitus, A. annullaris, A.
barbirostris, A. kochi, A. karwari, A. nigerrimus, A. sinensis, A. tesellatus,
A. vagus, A. letifer. Vektor malaria yang berkembang biak di perbukitan
atau hutan adalah A. balabacensis, A. bancrofti, A. punctullatus, A.
umbrosus. Sedangkan untuk daerah pantai atau aliran sungai, jenis vektor
malaria adalah A. flavirostris, A. koliensis, A. ludlowi, A. minimus, A.
punctulatus, A. parangensis, A. sundaicus, dan A. subpictus (Kementerian
Kesehatan RI, 2011).
Larva nyamuk Anopheles banyak ditemukan di perairan tenang
dibanding perairan mengalir. Habitat larva nyamuk ditemukan pada
ketinggian 0-600 mdpl, yaitu di sekitar parit, sungai kecil, bekas bakau,
mata air, kolam atau danau kecil, genangan air di lapangan berumput, bekas
tapak roda kendaraan berat, dan lempeng besi yang tidak terpakai.
Mahdalena et al. (2015) menyatakan bahwa kepadatan larva yang paling
tinggi terdapat pada habitat perkembangbiakan berupa genangan bekas roda

15
ban. Penelitian Rahmawati et al. (2014) menyebutkan bahwa habitat
nyamuk Anopheles spp. adalah genangan air yang bersifat permanen (kolam
ikan), yang selalu ada air sepanjang tahun.
Nyamuk Aedes menyukai breeding place di kontainer dengan air
yang jernih yang tidak bersentuhan langsung dengan tanah dan lebih
menyukai kontainer yang terdapat di dalam rumah daripada di luar rumah.
Hal ini dikarenakan di dalam rumah terlindung dari sinar matahari langsung
dan memiliki suhu yang relatif stabil (Lee, 1990). Nyamuk Aedes sp.
meletakkan telur dan berbiak pada tempat penampungan air bersih atau air
hujan seperti bak mandi, tangki penampungan air, vas bunga, kaleng-kaleng,
atau kantung plastik bekas, di atas lantai gedung terbuka, talang rumah,
bambu pagar, ban-ban bekas, dan semua bentuk wadah yang menampung air
bersih. A. albopictus meletakkan telur dan berbiak pada wadah-wadah alami
seperti kulit-kulit buah misalnya kulit buah rambutan, tempurung kelapa
(Said, 2009).
Nyamuk-nyamuk Culex sp ada yang aktif pada waktu pagi, siang,
dan ada yang aktif waktu sore atau malam. Nyamuk ini meletakkan telur
dan berbiak di selokan yang berisi air bersih ataupun selokan air
pembuangan domestik yang kotor (organik), serta di tempat penggenangan
air domestik atau air hujan di atas permukaan tanah. Larva nyamuk Culex
sp sering kali terlihat dalam jumlah yang sangat besar di selokan air kotor
(Sembel, 2009).
Habitat nyamuk juga dipengaruhi oleh faktor fisik lingkungan
seperti pH, salinitas, suhu dan kelembaban udara. Derajat keasaman air
mempengaruhi tingkat kesuburan perairan karena mempengaruhi jasad renik
seperti larva nyamuk. Perairan asam kurang baik untuk perkembangbiakan
bahkan cenderung mematikan organisme. Derajat keasaman yang optimal
untuk Anopheles spp. lebih banyak ditemukan di perairan yang bersifat
basa, yaitu berkisar antara 6-7 (Mading & Kazwaini, 2014). Larva
Anopheles biasanya hidup dengan salinitas 0 % pada air tawar dan 0-7 %
pada air payau, larva Anopheles tidak bisa bertahan pada salinitas di atas

16
7%. Larva Anopheles memiliki kisaran kedalaman breeding site antara 2-
120 cm (Mulyadi, 2010).
Kecepatan pertumbuhan dan perkembangan nyamuk sangat
bergantung dari kecepatan proses metabolisme yang dipengaruhi oleh suhu.
Menurut Epstein et al., (1998), suhu optimum untuk tempat perindukan
nyamuk berkisar antara 25°C - 27°C. Suhu optimum untuk fase larva dan
pupa 23°C -27°C. Sedangkan suhu optimum nyamuk dewasa dapat
berkembang dengan baik yaitu 23°C-30°C (Novelani, 2007). Hidayani
(2011) memperoleh hasil bahwa kisaran suhu 26°C - 29°C merupakan suhu
yang ideal bagi kehidupan larva Anopheles pada jenis breeding site
manapun dengan kondisi yang bervariasi.
Nyamuk membutuhkan kelembaban yang tinggi sehingga nyamuk
harus mencari tempat yang basah dan lembab. Pada tempat yang kisaran
kelembabannya kurang dari 60% menyebabkan umur nyamuk lebih pendek,
sehingga pertumbuhan parasit dapat dihambat. Perilaku adaptasi nyamuk
pada kelembaban yang tidak tinggi menyebabkan nyamuk banyak
mengalami kematian akibat daerah yang mengalami kekeringan. Hal ini
menyebabkan populasi nyamuk tetap stabil (Marbawati & Sholichah, 2009).

2.5 Kelurahan Pejarakan Karya


Kelurahan Pejarakan Karya merupakan salah satu dari 10 Kelurahan
di Kecamatan Ampenan, Kota Mataram dengan batas batas yaitu
sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Ampenan Utara, sebelah
Selatan Kecamatan Selaparang, sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan
Kecamatan Selaparang, dan sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan
Kebon Sari. Luas Wilayah Kelurahan Pejarakan Karya adalah sekitar +
73,942 Ha. Dari luas Wilayah Kelurahan tersebut, penggunaan lahan terbagi
menjadi 13,40 Ha Wilayah Pemukiman, 1,10 Ha Wilayah Pertokoan, 42,65
Ha merupakan areal persawahan, 11,10 Ha diperuntukan sebagai Fasilitas
Umum dan Jalan, dan lain-lain mencapai 3,70 Ha wilayah yang terdiri dari
sekian persen pemukiman, sekian persen pertanian dan pekarangan, sekian
persen fasilitas umum lainnya. Jumlah penduduk Kelurahan Pejarakan

17
Karya adalah sebanyak 7.150 jiwa yang terdiri dari 4.442 jiwa laki-laki dan
4.343 jiwa perempuan, dengan jumlah KK sebesar 2,105 orang, dan terbagi
kedalam 31 Rukun Tetangga, dan empat Lingkungan yaitu lingkungan
Moncok Karya, Pejarakan, Penan, dan lingkungan Moncok Telaga Mas
(Pemerintah Kota Mataram, 2017).

BAB III

METODE

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif eksploratif yaitu menggambarkan


keadaan habitat perindukan dan distribusi nyamuk yang diamati sesuai
dengan keadaan di lapangan dan menyajikan data berdasarkan keadaan
lapangan. Pengumpulan data menggunakan metode purposive sampling.
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara mencari nyamuk dewasa di
berbagai tempat perindukan yang sesuai untuk pertumbuhan nyamuk.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

18
Penelitian ini dilakukan pada bulan September – November 2018.
Pengambilan sampel dilakukan di tiga habitat berbeda yaitu perumahan,
persawahan, dan kebun yang berlokasi di Kelurahan Pejarakan Karya, Kota
Mataram. Identifikasi dilakukan di Laboratorium Biologi Universitas
Mataram Peta lokasi penelitian disajikan dalam gambar 3.2 berikut.

Gambar 3.1 Peta Kelurahan Pejarakan Karya


(Sumber : Google earth, 2018)

3.4 Prosedur Penelitian


a. Penentuan titik pengambilan sampel
Kegiatan yang dilakukan berupa orientasi wilayah untuk
pendugaan lokasi habitat nyamuk, serta pemetaan lokasi menggunakan
alat berupa GPS (Global Positioning System). Titik pengambilan sampel
didasarkan pada tiga jenis habitat yaitu pemukiman, persawahan, dan
kebun yang ada di masing-masing lingkungan kelurahan Pejarakan
Karya. Pembagian jumlah titik pengambilan sampel didasarkan atas
jumlah RT di masing-masing lingkungan. Adapun jumlah titik
pengambilan sampel dapat dilihat pada table 3.1 sebagai berikut
Tabel 3.1 Jumlah titik pengambilan sampel di Kelurahan Pejarakan
Karya

19
Nama Lingkungan Jumlah titik
sampling
Moncok Karya 8
Pejarakan 8
Penan 5
Moncok Telaga Mas 5
Total 26

b. Koleksi nyamuk dewasa


Koleksi nyamuk dewasa dilakukan menggunakan aspirator
meliputi penangkapan nyamuk di daerah pemukiman penduduk, semak-
semak, sawah dan di kebun sepanjang titik yang sudah ditentukan.
Nyamuk yang telah tertangkap dimasukkan ke dalam paper cup yang
ditutup kain kasa, diikat dengan karet dan diberi label (tanggal, lokasi
dan nama kolektor). Kain kasa diberi lubang dan ditutup dengan kapas
yang sudah diberi air gula (WHO, 2013). Nyamuk dimatikan dengan
menggunakan kapas yang telah diberi alkohol 70%. Setelah mati nyamuk
direkatkan pada ujung kertas point untuk diidentifikasi (Sari et al., 2007).
c. Identifikasi nyamuk dewasa
Nyamuk yang telah tertangkap kemudian diidentifikasi
menggunakan mikroskop digital melalui pengamatan morfologi sayap,
kaki belakang dan maksila palpi dengan merujuk pada buku Kunci
Identifikasi O’Connor & Supanto (1979), Rattanarithikul et al. (2006),
Das (2013).
d. Analisis karakteristik habitat
Analisis karakteristik habitat dilakukan melalui pengukuran
parameter lingkungan pada setiap titik penangkapan nyamuk dewasa.
Parameter yang diamati yaitu suhu dan kelembaban udara, yang diukur
menggunakan termohigrometer dengan cara diletakkan pada bidang
datar, didiamkan beberapa menit, lalu diamati skala yang ditunjuk.

20
3.5 Analisis Data
Data dianalisis secara deskriptif kualitatif berupa karakter morfologi
dari nyamuk Anopheles spp. dan dilengkapi dengan foto-foto lingkungan
tempat penangkapan nyamuk.

3.5.1 Identifikasi Nyamuk Dewasa Anopheles spp.

Identifikasi nyamuk dewasa dilakukan melalui pengamatan morfologi


head, thorax, abdomen, antena, proboscis, palpi, sayap, kaki belakang
(tungkai), dengan menggunakan Kunci Bergambar merujuk pada O’Connor
& Supanto (1979), Gunathilaka (2016), dan Rattanarithikul et al. (2006).

3.5.2 Perhitungan Keanekaragaman Nyamuk


Keanekaragaman nyamuk diketahui melalui perhitungan indeks
keanekaragaman Shannon Wienner berikut.

𝑁𝑖
′ Pi =
H = − ∑(Pi ln Pi) Dimana 𝑁

Keterangan :
H’ : Indeks keanekaragaman spesies
Ni : Jumlah individu spesies ke-i
N : Jumlah individu semua spesies
3.5.3 Perhitungan Kemerataan Distribusi Individu
Kemeataan distribusi individu dalam spesies dihitung menggunakan
rumus Shannon Wienner berikut.

𝐻′
𝐸= Dimana 𝐻 max = ln 𝑆
𝐻 𝑚𝑎𝑥

Keterangan
E : Indeks kemerataan
H’ : Indeks keanekaragaman spesies
S : Jumlah spesies

21
3.6 Jadwal Penelitian
Jadwal penelitian disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 3.1 Jadwal Penelitian

Bulan
No Kegiatan
Sept Okt Nov Des

1 Penyusunan proposal

2 Seminar proposal

3 Pengambilan sampel

4 Analisis Data

5 Penulisan laporan

Seminar hasil dan


6
ujian skripsi

22
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, R., et al. 2011, Mapping of Mosquito Breeding Sites In Malaria


Endemic Areas In Pos Lenjang, Kuala Lipis, Pahang, Malaysia,
Malaria Journal, Vol. 10 (1), pp.1-12.

Almarinez, B. J. M. & Claveria, F.G., 2015, Larval Mosquito Fauna (Diptera:


Culicidae) of Salikneta Farm, San Jose Del Monte, Bulacan,
Philippines, Philippine Journal of Science, Vol. 144 (1), pp. 51-60.

Ariati, J., Ibrahim, I. N. & Perwitasari, D., 2014, Sebaran Habitat


Perkembangbiakan Larva Anopheles spp. di Kecamatan Bula,
Kabupaten Seram Bagian Timur, Provinsi Maluku, Jurnal Ekologi
Kesehatan, Vol. 13 (1), pp. 10-22.

Arsin, A. A., 2012, Malaria di Indonesia Tinjauan Aspek Epidemiologi,


Masagena Press, Makassar.

Bates, 1970, The Natural History of Mosquitoes, Gloucester, Mass. Peter Smith,
New York.

Borror, D. J., Triplehorn, C. A. & Johnson, N. F., 1996, Pengenalan Pelajaran


Serangga Edisi ke-6, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Brown, H., 1979, Dasar Parasitologi Klinis Edisi Ketiga, Gramedia, Jakarta.

Clements, A. N., 1963, The Physiology of Mosquitoes, Pergamon Press, New


York.

Conelly, C. R., 2015, Eggs of The Common Malaria Mosquito,


(entnemdept.ufl.edu), diunduh jam 19.47 WITA, tanggal 7/3/2018.

Departemen Kesehatan RI, 2007, Vektor Malaria di Indonesia, Dit.Jen.PP &


PLP, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

23
Departemen Kesehatan RI, 2009, Pidato Menteri Kesehatan Republik Indonesia
pada Peringatan Hari Malaria Sedunia Ke-2, Departemen Kesehatan
RI, Jakarta.

Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Utara, 2013, Profil Kesehatan Kabupaten


Lombok Utara, Dinas Kesehatan KLU, Tanjung.

Google earth 7.3.1.4507. (September 23, 2017). Gili Indah, North Lombok
Regency, West Nusa Tenggara, Indonesia. 8° 21ʹ 15.91ʺ̍S, 116° 03ʹ
31.13ʺ̍E, Eye alt 22977 feet. SIO, NOAA, U.S. Navy, NGA, GEBCO.
TerraMetrics 2018, DigitalGlobe 2012. http://www.earth.google.com
[April 24, 2018].

Gunathilaka, N., 2016, Illustrated Key to The Adult Female Anopheles (Diptera
: Culicidae) Mosquitoes of Sri Lanka, Appl Entomol Zool, Vol. 52
(2017), pp. 69-77.

Harijanto, P., 2011, Eliminasi Malaria pada Era Desentralisasi, Kementerian


Kesehatan RI, Jakarta.

Hidayani, 2011, Distribusi Spasial Breeding Site dan Jarak Rumah Penderita
Malaria Di Desa Bulu Bonggu Kecamatan Dapurang Kabupaten
Mamuju Utara, Skripsi, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Hasanuddin Makassar.

Kementerian Kesehatan RI, 2011, Epidemiologi Malaria di Indonesia,


Kementerian Kesehatan RI, Jakarta.

Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2014, Rencana Pengelolaan dan Zonasi


Taman Wisata Perairan Pulau Gili Ayer, Gili Meno, dan Gili
Trawangan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2014-2034,
(kkji.kp3k.kkp.go.id), diunduh jam 20.00 WITA, tanggal 7/3/2018.

Mading, M. & Kazwaini, M., 2014, Ekologi Anopheles spp. di Kabupaten


Lombok Tengah, Jurnal Aspirator, Vol. 6 (1), pp. 13-20.

24
Mahdalena, V., Suryaningtyas, N. H. & Ni’mah, T., 2015, Ekologi Habitat
Perkembangbiakan Anopheles spp. di Desa Simpang Empat, Kecamatan
Lengkiti, Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, Jurnal Ekologi
Kesehatan, Vol. 14 (4), pp. 342-349.

Mulyadi, 2010, Distribusi Spasial dan Karakteristik Habitat Perkembangan


Anopheles spp. serta Peranannya dalam Penularan Malaria di Desa
Doro Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara, Tesis,
Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Munif, A., 2009, NyamukVektor Malaria dan Hubungannya dengan Aktivitas


Kehidupan Manusia Di Indonesia, Jurnal Aspirator, Vol. 1 (2), pp. 94-
102.

Natadisastra, D., 2009, Parasitologi Kedokteran : Ditinjau dari Organ Tubuh


yang Diserang, EGC, Jakarta.

Newman, J. M., 2015, Pupa of The Common Malaria Mosquito,


(entnemdept.ufl.edu), diunduh jam 20.00, tanggal 7/3/2018.

O’Connor, C. T. & Supanto, A., 1979, Kunci Bergambar untuk Anopheles


Dewasa dari Indonesia, Dit.Jen. PPM & PLP. Departemen Kesehatan RI,
J

Rahmawati, E., Hadi, U. K. & Soviana, S., 2014, Keanekaragaman Jenis dan
Perilaku Menggigit Vektor Malaria (Anopheles spp.) di Desa Lifuleo,
Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur,
Jurnal Entomologi Indonesia, Vol. 11 (2), pp. 53-64.

Rao, T. R., 1981, The Anophelines of India, Indian Council of Medical Research,
New
Delhi.

Rattanarithikul, R., Harrison, B. A., Harbach, R. E., Panthusiri, P. & Colleman, R.


E., Illustrated Keys to The Mosquitoes of Thailand IV. Anopheles, The

25
Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and Public Health, Vol. 37
(2), pp. 1-90.

Rinidar, 2010, Pemodelan Kontrol Malaria Melalui Pengelolaan Terintegrasi di


Pemukiman Lamteuba, Nangroe Aceh Darussalam, Tesis, Sekolah
Pascasarjana Program Doktor Universitas Sumatera Utara.

Rwegoshora, R. T., 2010, Bancroftian Filariasis : House-to-House Variation In


The Vectors And Transmission And The Relationship to Human
Infection - In An Endemic Community of Coastal Tanzania, Journal of
Tropical Medical Parasitology, Vol. 101 (10), pp. 51- 60.

Sari, W., Zanaria, T. M. & Agustina, E., 2007, Studi Jenis Nyamuk Anopheles
pada Tempat Perindukannya di Desa Rukoh Kecamatan Syiah Kuala
Kota Banda Aceh, Jurnal Biologi, Vol. 3 (1), pp. 31-34.

Sukowati, S., 2008, Masalah Keragaman Spesies Vektor Malaria dan Cara
Pengendaliannya di Indonesia, Badan Litbangkes Depkes RI, Jakarta.

Sulistio, I., 2010, Karakteristik Habitat Larva Anopheles sundaicus dan


Kaitannya dengan Malaria di Lokasi Wisata Desa Senggigi Kecamatan
Batulayar Kabupaten Lombok Barat, Tesis, Sekolah Pasca Sarjana
Institut Pertanian Bogor.

Walker, K., 2008, Anopheles Mosquito (Anopheles farauti), (www.padil.gov.au),


diunduh jam 09.00 WITA, tanggal 13/4/2018.

World Health Organization, 2012, World Health Organization Report 2012.


WHO Global Malaria Programme, WHO, Geneva.

World Health Organization, 2013, Malaria Vector Species Complexes and


Intraspecific Variation : Relevance for Malaria Control and Orientation
for Further Research, WHO, Geneva.

26

Anda mungkin juga menyukai