Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN TUTORIAL

Skenario 2 Blok 6.2

Dosen pembimbing : dr. M. Qathar R. F. T.

Anggota Kelompok 1 :

Florensia G1A112001

Susan Fatikasari G1A112002

Steven G1A112007

M. Dema Prakasa G1A112008

Hadiza Pebrama G1A112009

Abdul Rahman S G1A112016

Siska Meliana G1A112017

Lusi Novia Alisma G1A112018

Diga Ana Rusfi G1A112019

Virolin Lasvima G1A111078

Yodi Wijaya G1A111081

Yulia Rahmayanti E G1A109041

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU – ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2015
A. SKENARIO
Nenek S. 78 tahun, jatuh terpeleset saat berada di kamar mandi. Nenek S segera
dibawa ke RS dan dokter melakukan pemeriksaan rontgen pada kedua tungkainya. Hasil
pemeriksaan menunjukkan fraktur pada tulang femur kiri. Dokter melakukan traksi dan
immobilisasi pada tungkai Nenek S. Dokter menjelaskan Nenek S harus tirah baring
selama 6 bulan karena usia Nenek S yang telah lanjut menyebabkan proses penyembuhan
fraktur membutuhkan waktu yang lebih lama. Setelah 6 bulan tirah baring, Nenek S
mengalami ulkus decubitus stadium 2 dan atrofi otot tungkai akibat tirah baring yang
lama.

B. KLARIFIKASI ISTILLAH
1. Pemeriksaan rontgen : Pemeriksaan penunjang dengan menggunakan sinar untuk
melihat bagian tubuh yang akan diperiksa.
2. Fraktur : Terputusnya kontinuitas tulang dan jaringan sekitarnya.1
3. Traksi : Tindakan menarik atau memberikan daya tarik
4. Immobilisasi : Keadaan yang tidak bergerak atau tirah baring selama 3 hari
atau lebih, dengan gerak anatomis tubuh menghilang akibat perubahan fungsi fisiologi
5. Ulkus dekubitus : Kerusakan atau kematian kulit yang terjadi akibat gangguan
aliran darah setempat dan iritasi kulit yang menutupi tulang yang menonjol.1
6. Atrofi : Penyusutan masa jaringan otot.1
C. IDENTIFIKASI MASALAH
1. Bagaimana fisiologi keseimbangan pada lansia ?
2. Apa hubungan antara umur dan jenis kelamin dengan keluhan Nenek S ?
3. Apa saja tujuan dan manfaat pemeriksaan rontgen ?
4. Apa saja klasifikasi fraktur ?
5. Apa penyebab dan factor resiko fraktur?
6. Bagaimana patofisiologi fraktur?
7. Bagaimana gejala klinis fraktur?
8. Apa komplikasi fraktur?
9. Apa tujuan traksi dan imobilisasi pada Nenek S ?
10. Jelaskan tentang tirah baring !
11. Bagaimana proses penyembuhan fraktur?
12. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan tulang?
13. Berapa lama waktu penyembuhan fraktur normal ?
14. Apa komplikasi dari proses penyembuhan fraktur ?
15. Apa faktor resiko ulkus dekubitus ?
16. Bagaimana epidemiologi letak ulkus dekubitus ?
17. Apa saja klasifikasi ulkus dekubitus ?
18. Bagaimana patofisiologi ulkus dekubitus ?
19. Bagaimana penatalaksanaan ulkus dekubitus ?
20. Bagaimana pencegahan ulkus dekubitus?
21. Apa saja komplikasi ulkus dekubitus?
22. Bagaimana patofisiologi atrofi otot ?
23. Jelaskan tentang fisioterapi pada penanganan atrofi otot !
24. Bagaimana pencegahan atrofi otot ?
25. Apa penatalaksanaan terbaik untuk Nenek S ?
D. ANALISIS MASALAH
1. Bagaimana fisiologi keseimbangan pada lansia ?2
Jawab :
Komponen kesimbangan postural:

1) Sistem sensoris :
Penurunan fungsi sensoris pada lansiagangguan penerimaan informasi dari receptor
sensoris  mengakibatkan penurunan kontrol motorik.

Sistem sensori utama terkait dengan keseimbangan postural meliputi sistem


visual, vestibular dan proprioseptif
Gangguan visual yang dapat meningkatkan resiko jatuh, misalnya katarak
(Hazzard,). Lansia  atropi dan hialinisasi pada muskulus siliaris  meningkatkan
amplitudo akomodasi  meningkatkan ambang batas visual  mematahkan impuls
afferen  menurunkan visual manula  mempengaruhi keseimbangan postural
mereka. Selain itu juga terjadi perubahan lapang pandang, penurunan tajam
penglihatan, sensitivitas penglihatan kontras akibat berkurangnya persepsi kontur dan
jarak.
Gangguan fungsi vestibular, misalnya vertigo. Pada sistem vestibular terjadi
degenerasi sel-sel rambut dalam macula sebesar 40% dan sel syaraf. Proses
degeneratif di dalam otolit sistem vestibuler dapat menyebabkan vertigo posisisonal
dan ketidakseimbangan waktu berjalan. Organ vestibular memberikan informasi ke
CNS tentang posisi dan gerakan kepala serta pandangan mata melalui reseptor makula
dan krista ampularis yang terdapat di telinga dalam.
Gangguan proprioseptif, misalnya neuropati perifer dan servical degenerative
disease (Hazzard). Susunan proprioseptif ini memberikan informasi ke CNS tentang
posisi tubuh terhadap kondisi di sekitarnya (eksternal) dan posisi antara segmen badan
badan itu sendiri (internal) melalui reseptor-reseptor yang ada dalam sendi, tendon,
otot, ligamentum dan kulit seluruh tubuh terutama yang ada pada kolumna vertebralis
dan tungkai. Informasi itu dapat berupa tekanan, posisi sendi, tegangan, panjang, dan
kontraksi otot (Suhartono). Manula mengalami penurunan proprioseptif (Pudjiastuti,).
Hal ini dapat meningkatkan ambang batas rangsang muscle spindle, sehingga dapat
mematahkan umpan balik afferen dan secara berurutan dapat mengubah kewaspadaan
tentang posisi tubuh keadaan ini dapat menimbulkan gangguan keseimbangan
postural.

2) Sistem Saraf Pusat :


Terjadi penurunan daya hantar saraf 20-30 msec pada ssp  yang
mengakibatkan lansia lamban dalam mengantisipasi perubahan persepsi sensoris dan
respon motorik.
Sistem ini dibutuhkan dalam memelihara respon postural. Central Nerves
System (CNS) melalui jaras-jarasnya menerima informasi sensoris perifer dari sistem
visual, vestibular, dan proprioseptif di gyrus post central lobus parietal kontralateral.
Selanjutnya infomasi ini diproses dan diintegrasikan pada semua tingkat sistem
syaraf. Akhirnya dalam waktu latensi ± 150 mdet akan terbentuk suatu respon
postural yang benar secara otomatis dan akan diekspresikan secara mekanis melalui
efektor dalam suatu rangkaian pola gerakan tertentu. Tetapi pada aktivitas dengan
pola baru yang belum pernah disimpan dalam otak, maka reaksi keseimbangan tubuh
perlu dipelajari dan dilatih sampai reaksi tersebut dapat dilakukan dengan tanpa perlu
berfikir lagi. Proses kontrol postural pada CNS dimulai dari: Persepsi sensoris,
Perencanaan motorik, Pelaksanaan motorik ke perifer.

3) Sistem effektor :
Tugas utama dari sistem efektor adalah mempertahankan pusat gravitasi
tubuh/Center Of Gravitation (COG). Dimana tugasnya meliputi duduk, berdiri, atau
berjalan. Pada sistem muskoloskeletal akan terjadi kekakuan sendi, penurunan
lingkup gerak sendi, penurunan kekuatan otot, daya tahan, kelenturan, dan perubahan
garis postur.

2. Apa hubungan antara umur dan jenis kelamin dengan keluhan Nenek S ?2
Jawab :
Pada usia menopause, terjadi penurunan kadar estrogen, sehingga mengakibatkan
penurunan aktivitas osteoblas. Hal ini dapat mengakibatkan penurunan matriks organic
tulang dan peningkatan jumlah osteoklas di dalam jaringan trabikular, yang
mengakibatkan patah tulang.
Pada wanita dan laki – laki, terjadi penurunan kadar androgen pada saat menopause.
Akan tetapi, kadar estron laki – laki lebih tinggi dibandingkan perempuan, sehingga
wanita lebih beresiko mengalami patah tulang.
Departemen Kesehatan RI mengelompokkan usia lanjut menjadi usia lanjut dini yaitu
kelompok yang mulai memasuki usia lanjut (55-64) : kelompok usia lanjut yaitu
kelompok masa senium (65-70); dan kelompok usia lanjut dengan resiko tinggi (>70).

3. Apa saja tujuan pemeriksaan rontgen ?3


Jawab :
Tujuan pemeriksaan rontgen adalah untuk melihat densitas tulang baik setempat
maupun menyeluruh, keadaan korteks dan medula, hubungan antara kedua tulang pada
sendi, kontinuitas, kontur, besar ruang sendi, perubahan jaringan lunak, serta gambaran
khas pada penyakit-penyakit tertentu.

4. Apa saja klasifikasi fraktur ?3


Jawab :
Berdasarkan garis patahan pada tulang, fraktur terbagi atas :

1) Fraktur Dahan Hijau (Greenstick); pada tipe ini, tulang bengkok atau melengkung
(seperti ranting hijau yang dipatahkan). Fraktur ini lebih sering ditemukan pada anak-
anak yang tulangnya lebih elastis dari tulang orang dewasa.
2) Fraktur Fissura; pada tipe ini, tulang yang mengalami fraktur tidak disertai perubahan
letak tulang yang berarti. Biasanya tulang akan tetap di tempatnya setelah tindakan
reduksi.
3) Fraktur Impresi; pada tipe ini, fraktur akan menimbulkan lekukan pada tulang.
4) Fraktur Kompresi; yaitu fraktur yang terjadi akibat kekuatan besar pada tulang pendek
atau epifisis tulang pipa.
5) Fraktur Kominutif; pada tipe ini, fraktur yang terjadi lebih dari dua fragmen. Biasanya
disebabkan oleh cedera hebat.
6) Fraktur Impaksi; pada tipe ini, fragmen-fragmen tulang terdorong masuk ke arah
dalam tulang satu sama lain sehingga tidak dapat terjadi gerakan di antara fragmen-
fragmen tersebut.
7) Fraktur Patologis; yaitu fraktur yang disebabkan oleh adanya proses patologis,
misalnya tumor atau osteoporosis tulang. Dengan trauma yang ringan saja tulang akan
menglami fraktur.

Fraktur dapat dibagi berdasarkan ada tidaknya hubungan antara patahan tulang
dengan udara luar, yakni :
1) Fraktur Tertutup (Close Fracture/Simple Fracture); yaitu jika patahan tulang tidak
berhubungan dengan udara luar, kulit tidak rusak, dan tidak ada luka yang terjadi
di sekitar tempat fraktur.
2) Fraktur Terbuka (Open Fracture/Compound Fracture); yaitu jika patahan tulang
berhubungan dengan udara luar, kulit bagian luar rusak atau robek. Luka bisa
disebabkan karena tulang yang menembus (merobek) dari dalam atau akibat
trauma yang langsung mengenainya dari luar.

Derajat Faktur Terbuka


Derajat Luka Fraktur
1 Laserasi < 2 cm Sederhana, dislokasi fragmen minimal
Dislokasi fragmen jelas
11 Laserasi > 2 cm Kontusi otot
disekitarnya
Kominutif, fragmen tulang ada yang
hilang
111 Luka lebar, rusak hebat atau
hilangnya jaringan di
sekitarnya

5. Apa penyebab dan factor resiko fraktur ?4,5,6


Jawab :
Penyebab fraktur yaitu :

a Cedera dan benturan seperti pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir
mendadak,kontraksi otot ekstrim atau olah raga yang berlebihan.
b Letih karena otot tidak dapat mengabsorbsi energi seperti berjalan kaki terlalu
jauh.
c Kelemahan tulang akibat penyakit kanker atau osteoporosis pada fraktur
patologis, infeksi

Faktor resiko fraktur terbagi atas 2, yaitu :


1) Faktor Instrinsik

 Oleh karena beberapa penyakit terutama yang berhubungan dengan


pengeroposan tulang seperti osteoporosis
 Penyakit-penyakit seperti stroke, parkinson, katarak dan depresi juga
merupakan bagian dari faktor resiko fraktur pada lansia

2) Faktor Ekstrinsik

 Penggunaan obat-obatan seperti kortikosteroid, antiemetik, anti hipertensi


 Alat-alat bantu yang kurang tepat
 Lantai licin
 Penerangan bermasalah (terlalu terang atau terlalu gelap)

6. Bagaimana patofisiologi fraktur?


Jawab :
7. Bagaimana gejala klinis fraktur ?7
Jawab :
a. Nyeri biasanya menyertai patah tulang traumatic dan cedera jaringan lunak, dan
fraktur patologis mungkin tidak mnyertai nyeri
b. Terjadi deformitas
c. Pembengkakan disekitar tempat fraktur

8. Apa komplikasi fraktur ?7


Jawab :
Komplikasi fraktur dibagi atas 2, yaitu :
a. Komplikasi Dini : komplikasi dalam satu minggu pasca trauma.5
 Syok : syok yang terjadi adalah syok hipovolemik yang dikarenakan
keluarnya cairan ekstraselular yang berlebihan akibat fraktur yang
menyebabkan robekan pembuluh darah
 Osteomielits
 Infeksi pada fraktur terbuka
 Terjadi tromboemboli
 Pada vertebra akan menyebab terjadinya deficit neurologis.

b. Komplikasi lanjut; komplikasi yang terjadinya sesudah satu minggu pasca


trauma.5
 Malunion : keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh dalam posisi
yang tidak seharusnya membentuk sudut atau miring.
 Delayed union and nonunion : proses penyembuhan yang terus berjalan
tetapi dengan keadaan yang lebih lambat dari normal atau tdak dapat
kembali lagi seperti semula.
 Koagulopati Intravaskular Diseminata (DIC)
 Nekrosis vascular tulang
 Kekakuan sendi
9. Apa tujuan traksi dan imobilisasi pada Nenek S ?8
Jawab :
Tujuan traksi adalah untuk menangani fraktur, dislokasim atau spasme otot dalam
usaha untuk memperbaiki deformitas dan mmpercepat penyembuhan.
Tujuan imobilisasi yaitu :
1) mencegah terjadinya gangguan komplikasi pergerakan. Berdasarkan Jenisnya,
immobilisasi bertujuan sebagai berikut :
a. Imobilisasi fisik, merupakan pembatasan untuk bergerak secara fisik
dengan tujuan mencegah terjadinya gangguan komplikasi pergerakan.
b. Imobilisasi intelektual, merupakan keadaan ketika seseorang mengalami
keterbatasan pikir seperti pada pasien yang mengalami kerusakan otak
akibat suatu penyakit
c. Imobilitas emosional, merupakan keadaan ketika seseorang mengalami
pembatasan secara emosional karena adanya perubahan secara tiba-tiba
dalam menyesuaikan diri seperti keadaan stress berat dapat disebabkan
karena bedah amputasi .
d. Imobilitas social, merupakan keadaan individu yang mengalami hambatan
dalam melakukan interaksi social karena keadaan penyakitnya sehingga
dapat mempengaruhi perannya dalam kehidupan social.

10. Jelaskan tentang tirah baring !3


Jawab :
Tirah baring paling sedikit setiap 2 jam. Tirah baring ada 2, yaitu tirah baring partial
dan tirah baring total. Pada kasus, Nenek dianjurkan tirah baring total, dimana semua
aktivitas dilakukan diatas tempat tidur, dalam artian tidak beraktivitas.

11. Bagaimana proses penyembuhan fraktur ?3


Jawab :
Ada beberapa fase, yaitu :
1) Fase Inflamasi : Tahap inflamasi berlangsung beberapa hari dan hilang dengan
berkurangnya pembengkakandan nyeri. Terjadi perdarahan dalam jaringan yang
cidera dan pembentukan hematoma ditempat patah tulang. Ujung fragmen tulang
mengalami devitalisasi karena terputusnya pasokan darah terjadi hipoksia dan
inflamasi yang menginduksi ekpresi gen dan mempromosikan pembelahan sel dan
migrasi menuju tempat fraktur untuk memulai penyembuhan.
2) Fase proliferasi : Kira-kira 5 hari hematom akan mengalami organisasi, terbentuk
benang-benang fibrin dalam jendalan darah, membentuk jaringan untuk
revaskularisasi, dan invasi fibroblast dan osteoblast. Fibroblast dan osteoblast
(berkembang dari osteosit, sel endotel, dan sel periosteum) akan menghasilkan
kolagen dan proteoglikan sebagai matriks kolagen pada patahan tulang. Terbentuk
jaringan ikat fibrous dan tulang rawan (osteoid). Dari periosteum, tampak
pertumbuhan melingkar. Kalus tulang rawan tersebut dirangsang oleh gerakan
mikro minimal pada tempat patah tulang. Tetapi gerakan yang berlebihan akan
merusak struktur kalus. Tulang yang sedang aktif tumbuh menunjukkan potensial
elektronegatif. Pada fase ini dimulai pada minggu ke 2 – 3 setelah terjadinya
fraktur dan berakhir pada minggu ke 4 – 8.
3) Fase Pembentukan Kalus : Merupakan fase lanjutan dari fase hematom dan
proliferasi mulai terbentuk jaringan tulang yakni jaringan tulang kondrosit yang
mulai tumbuh atau umumnya disebut sebagai jaringan tulang rawan. Sebenarnya
tulang rawan ini masih dibagi lagi menjadi tulang lamellar dan wovenbone.
Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang rawan tumbuh mencapai sisi
lain sampai celah sudah terhubungkan. Fragmen patahan tulang digabungkan
dengan jaringan fibrous, tulang rawan, dan tulang serat matur. Bentuk kalus dan
volume dibutuhkanuntuk menghubungkan efek secara langsung berhubungan
dengan jumlah kerusakan dan pergeseran tulang. Perlu waktu tiga sampai empat
minggu agar fragmen tulang tergabung dalam tulang rawan atau jaringan fibrous.
Secara klinis fragmen tulang tidak bisa lagi digerakkan. Regulasi dari
pembentukan kalus selama masa perbaikan fraktur dimediasi oleh ekspresi dari
faktor-faktor pertumbuhan. Salah satu faktor yang paling dominan dari sekian
banyak faktor pertumbuhan adalah Transforming Growth Factor-Beta 1 (TGF-B1)
yang menunjukkan keterlibatannya dalam pengaturan differensiasi dari osteoblast
dan produksi matriks ekstra seluler. Faktor lain yaitu: Vascular Endothelial
Growth Factor (VEGF) yang berperan penting pada proses angiogenesis selama
penyembuhan fraktur.
4) Stadium Konsolidasi : Dengan aktifitas osteoklast dan osteoblast yang terus
menerus, tulang yang immature (woven bone) diubah menjadi mature (lamellar
bone). Keadaan tulang ini menjadi lebih kuat sehingga osteoklast dapat menembus
jaringan debris pada daerah fraktur dan diikuti osteoblast yang akan mengisi celah
di antara fragmen dengan tulang yang baru. Proses ini berjalan perlahan-lahan
selama beberapa bulan sebelum tulang cukup kuat untuk menerima beban yang
normal.
5) Stadium Remodelling : Fraktur telah dihubungkan dengan selubung tulang yang
kuat dengan bentuk yang berbeda dengan tulang normal. Dalam waktu berbulan-
bulan bahkan bertahun-tahun terjadi proses pembentukan dan penyerapan tulang
yang terus menerus lamella yang tebal akan terbentuk pada sisi dengan tekanan
yang tinggi. Rongga medulla akan terbentuk kembali dan diameter tulang kembali
pada ukuran semula. Akhirnya tulang akan kembali mendekati bentuk semulanya,
terutama pada anak-anak. Pada keadaan ini tulang telah sembuh secara klinis dan
radiologi.
12. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan tulang?9
Jawab :
a Imobilisasi fragmen tulang.
b Kontak fragmen tulang minimal.
c Asupan darah yang memadai.
d Nutrisi yang baik.
e Latihan pembebanan berat badan untuk tulang panjang.
f Hormon-hormon pertumbuhan tiroid, kalsitonin, vitamin D, steroid anabolik.
• Faktor local : kontak antara fragmen, ada tidaknya infeksi
• Factor sistemik : keadaaan umum, umur, nutrisi, penyakit sistemik

13. Berapa lama waktu penyembuhan fraktur normal ?9


Jawab :
a) Stadium 1 (Peradangan/inflamasi) : berlangsung sekitar 2 sampai 3 minggu
b) Stadium 2 (Pembentukan kalus halus) : terjadi setelah 2 sampai 3 minggu
cedera. Dan berlangsung hingga 4 sampai 8 minggu setelah cedera.
c) Stadium 3 (Pembentukan kalus keras) : antara 4 sampai 8 minggu, tulang baru
mulai menjembatani fraktur. Dengan waktu 8 sampai 12 minggu setelah cedera.
d) Stadium 4 (Remodelling tulang) : dimulai sekitar 8 sampai 12 minggu setelah
cedera.

14. Apa komplikasi dari proses penyembuhan fraktur ?10


Jawab :
1. Deep vein thrombosis
Terdapat beberapa faktor yang meningkatkan resiko trombosis vena dalam yaitu
karena adanya luka di vena dalam karena trauma atau pembedahan, sirkulasi darah
yang tidak baik dan berbagai kondisi yang meningkatkan resiko pembekuan darah.
Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan sirkulasi darah vena tidak baik yaitu CHF,
imobilisasi jangka panjang, dan adanya gumpalan darah yang telah timbul
sebelumnya. Jadi, pada pasien yang imobilisai lama atau tirah baring yang lama akan
menyebabkan beberapa kondisi seperti sirkulasi darah tidak baik, dan karena
berkurangnya lapisan lemak karena berkurangnya aktifitas menyebabkan pasien
mudah mendapatkan luka pada vena yang semakin dekat ke permukaan kulit
menyebabkan trauma ringan menjadi perlukaan pada vena dan bisa menyebabkan
trombosis lama kelamaan.
2. Emboli paru Akibat trombosis seperti yang sudah dijelaskan diatas pada keadaan plak
trombosis terlepas dan masuk mengikuti aliran darah vena yang menuju ke paru
meyebabkan sumbatan yang menyebabkan emboli paru. Sumbatan pada aliran darah
menuju ke paru tersebut dapat juga menyebabkan nafas berhenti secara tiba tiba.
3. Kontraktur otot dan sendi
Pasien geriatri yang mengalami tirah baring yang lama beresiko mengalami
kontraktur karena sendi-sendi yang tidak digerakkan. Akibatnya timbul nyeri pada
persendian sehingga pasien tersebut semakin tidak mau mengerakkan sendi tersebut .
semakin lama tidak ada pergerakan maka kontraktur pada sendi dan otot akan
semakin parah.
4. Osteoporosis
Osteoporosis terjadi akibat ketidakseimbangan antara resorbsi tulang dan
pembentukan. Dimana pada pasien geriatric osteoclast nya lebih banyak berperan
daripada osteoblasnya karena pengaruh perubahan hormone sehingga proses untuk
remodeling tulang semakin panjang. Pada pasien geriatric yang mengalam tirah
baring lama menyebakan peningkatan resorbsi tulang, peningkatan kalsium (Ca2+)
serum dalam darah yang seharusnya pada tulang dan juga produksi vit D3 terhambat
menyebabkan tulang mudah rapuh.
5. Ulkus dekubitus
Pada pasien yang mengalami tirah baring lama jaringan lemak nya semakin berkurang
atau tidak ada lagi antara lapisan kutis dan subkutis menyebabkan pembuluh darah
lebih dekat ke permukaan kuit sehingga trauma yang kecil pada kulit baik hanya
berupa gesekan saja dapat menyebabkan hematom yang lama kelamaan menjadi ulkus
decubitus. Selain itu akibat bertumbupunya tekanan pada bebrapa daerah tertentu
pada bagian tubuh pasien tirah baring menyebabkan adanya perbedaan tekanan yang
menyebakan kompresi pembuluh kapiler jika tekanan berlangsung secara terus
menerus pada kulit ataupun jaringan lunak. Kompresi tersebut dalam waktu yang
lama akan mengakibatkan trombosis intra arteri dan gumpalan fibrin yang secara
permanen menyebakan iskemia kulit. Relief besar tekanan mengakibatkan pembuluh
darah tidak dapt terbuka dan akhirnya terbentuk luka dan menjadi ulkus decubitus .
6. Hipotensi postural
Penurunan tekanan darah sebesar 20mmHg dan perubahan posisi dari berbaring ke
posisi duduk dengan salah satu gejala klinis yang sering timbul adalah iskemia
serebral khususnya sinkop. Pada pasien geriatric umumnya fungsi baroreseptor
menurun. Tirah baring total selama paling sedikit 3 minggu akan mengganngu
kemampuan seseorang dalam menyesuaikan posisi berdiri dari berbaring dikarenakan
aliran darah keotak berkurang.
7. Pneumonia dan infeksi saluran kemih
Akibat imobilisasi menyebabkan retensi sputum dan aspirasi lebih mudah pada pasien
geriatric. Pada posisi berbaring otot diafraghma dan isterkostal tidak berfungsi dengan
baik sehingga gerakan dindng dada juga menjadi terbatas yang menyebabkan sputum
sulit keluar dan pasien mudah terkena pneumonia. Selain itu aliran urin juga
terganngu akibat tirah baring yang kemudian menyebabkan infeksi saluran kemih.
8. Gangguan nutrisi, hipoalbuminemia
Imobilisasi akan mempengaruhi sistem metabolic dan endokrin yang akibatnya akan
terjadi perubahan terhadap metabolism zat gizi. Selain itu pada pasien geriatric itu
sekresi air liur nya berkurang sehingga berkurang nafsu makan berkurang dan
lambung cepat penuh dan pasien cepat merasa kenyang sehingga asupan gizi
berkurang sementara pasien yang tirah baring lama menghabiskan energy yang cukup
banyak untuk proses respirasi karena keterbatasan dinding dada yang mengembang
pada posisi berbaring seperti penjelasan diatas. Sehingga dengan masukan gizi yang
sedikit dan penggunaan energy yang banyak menyebabkan gangguan nutrisi.

15. Apa faktor resiko ulkus dekubitus ?7


Jawab :

Menurut Potter & Perry (2005), ada berbagai faktor yang menjadi predisposisi terjadi
luka dekubitus pada pasien yaitu:
a. Gangguan Input Sensorik
Pasien yang mengalami perubahan persepsi sensorik terhadap nyeri dan tekanan
beresiko tinggi menggalami gangguan integritas kulit dari pada pasien yang
sensasinya normal. Pasien yang mempunyai persesi sensorik yang utuh terhadap nyeri
dan tekanan dapat mengetahui jika salah satu bagian tubuhnya merasakan tekanan
atau nyeri yang terlalu besar. Sehingga ketika pasien sadar dan berorientasi, mereka
dapat mengubah atau meminta bantuan untuk mengubah posisi.

b. Gangguan Fungsi Motorik


Pasien yang tidak mampu mengubah posisi secara mandiri beresiko tinggi terhadap
dekubitus. Pasien tersebut dapat merasakan tekanan tetapi, tidak mampu mengubah
posisi secara mandiri untuk menghilangkan tekanan tersebut. Hal ini meningkatkan
peluang terjadinya dekubitus. Pada pasien yang mengalami cedera medulla spinalis
terdapat gangguan motorik dan sensorik. Angka kejadian dekubitus pada pasien yang
mengalami cedera medula spinalis diperkirakan sebesar 85%, dan komplikasi luka
ataupun berkaitan dengan luka merupakan penyebab kematian pada 8% populasi ini
(Ruller & Cooney, 1981 dalam Potter & Perry, 2005).

c. Perubahan Tingkat Kesadaran


Pasien bingung, disorientasi, atau mengalami perubahan tingkat kesadaran tidak
mampu melindungi dirinya sendiri dari luka dekubitus. Pasien bingung atau
disorientasi mungkin dapat merasakan tekanan, tetapi tidak mampu memahami
bagaimana menghilangkan tekanan itu. Pasien koma tidak dapat merasakan tekanan
dan tidak mampu mengubah ke posisi yang labih baik. Selain itu pada pasien yang
mengalami perubahan tingkat kesadaran lebih mudah menjadi binggung. Beberapa
contoh adalah pada pasien yang berada di ruang operasi dan untuk perawatan intensif
dengan pemberian sedasi.

d. Gips, Traksi, Alat Ortotik dan Peralatan Lain


Gips dan traksi mengurangi mobilisasi pasien dan ekstermitasnya. Pasien yang
menggunakan gips beresiko tinggi terjadi dekubitus karena adanya gaya friksi
eksternal mekanik dari permukaan gips yang bergesek pada kulit. Gaya mekanik
kedua adalah tekanan yang dikeluarkan gips pada kulit jika gips terlalu ketat
dikeringkan atau ekstremitasnya bengkak.

16. Bagaimana epidemiologi letak ulkus dekubitus ?9


Jawab : Bagian tubuh yang paling sering mengalami ulkus dekubitus adalah bagian
dimana terdapat benjolan tulang, yaitu sikut, tumit, pinggul, pergelangan kaki, bahu, dan
kepala bagian belakang.
17. Apa saja klasifikasi ulkus dekubitus ?3
Jawab :
Derajat ulkus dekubitus menurut NPUAP, luka dekubitus derajat I sampai derajat IV
yaitu :
a. Derajat I
Eritema tidak pucat pada kulit utuh, lesi luka kulit yang diperbesar. Kulit tidak berwarna,
hangat, atau keras juga dapat menjadi indicator.
b. Derajat II
Hilangnya sebagian ketebalan kulit meliputi epidermis dan dermis. Luka superficial dan
secara klinis terlihat seperti abrasi, lecet, atau lubang yang dangkal.
c. Derajat III
Hilangnya seluruh ketebalan kulit meliputi jaringan subkutan atau nekrotik yang mungkin
akan melebar kebawah tapi tidak melampaui fascia yang berada di bawahnya. Luka
secara klinis terlihat seperti lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan
sekitarnya.
d. Derajat IV
Hilangnya seluruh ketebalan kulit disertai destruksi ekstensif, nekrosis jaringan; atau
kerusakan otot, tulang, atau struktur penyangga misalnya kerusakan jaringan epidermis,
dermis, subkutaneus, otot dan kapsul sendi.

Jenis ulkus dekubitus yaitu :


1. Tipe normal
Mempunyai beda temperatur sampai dibawah lebih kurang 2,5oC dibandingkan kulit
sekitarnya dan akan sembuh dalam perawatan sekitar 6 minggu. Ulkus ini terjadi karena
iskemia jaringan setempat akibat tekanan, tetapi aliran darah dan pembuluh-pembuluh
darah sebenarnya baik.
2. Tipe arterioskelerosis
Mempunyai beda temperatur kurang dari 1oC antara daerah ulkus dengan kulit
sekitarnya. Keadaan ini menunjukkan gangguan aliran darah akibat penyakit pada
pembuluh darah (arterisklerotik) ikut perperan untuk terjadinya dekubitus disamping
faktor tekanan. Dengan perawatan, ulkus ini diharapkan sembuh dalam 16 minggu.
3. Tipe terminal
Terjadi pada penderita yang akan meninggal dunia dan tidak akan sembuh.
18. Bagaimana patofisiologi ulkus dekubitus ?10
Jawab :
Dekubitus terjadi sebagai hasil hubungan antara waktu dengan tekanan. Semakin
besar tekanan dan durasinya, maka semakin besar pula insiden terbentuknya luka. Kulit
dan jaringan subkutan dapat mentoleransi beberapa tekanan. Tapi, pada tekanan eksternal
terbesar daripada tekanan dasar kapiler akan menurunkan atau menghilangkan aliran
darah ke dalam jaringan sekitarnya. Jaringan ini menjadi hipoksia sehingga terjadi cedera
iskemi. Jika tekanan ini lebih besar dari 32 mmHg dan tidak dihilangkan dari tempat yang
mengalami hipoksia, maka pembuluh darah kolaps dan trombosis. Jika tekanan
dihilangkan sebelum titik kritis maka sirkulasi pada jaringan tersebut akan pulih kembali
melalui mekanisme fisiologis hiperemia reaktif, karena kulit mempunyai kemampuan
yang lebih besar untuk mentoleransi iskemi dari otot, maka dekubitus dimulai di tulang
dengan iskemi otot yang berhubungan dengan tekanan yang akhirnya melebar ke
epidermis.

Pembentukan luka dekubitus juga berhubungan dengan adanya gaya gesek yang
terjadi saat menaikkan posisi klien di atas tempat tidur. Area sakral dan tumit merupakan
area yang paling rentan. Efek tekanan juga dapat ditingkatkan oleh distribusi berat badan
yang tidak merata. Seseorang mendapatkan tekanan konstan pada tubuh dari permukaan
tempatnya berada karena adanya gravitasi. Jika tekanan tidak terdistribusi secara merata
pada tubuh maka gradien tekanan jaringan yang mendapatkan tekanan akan meningkat
dan metabolisme sel kulit di titik tekanan mengalami gangguan.

19. Bagaimana penatalaksanaan ulkus dekubitus ?10


Jawab :
 Derajat 1 : dengan reaksi peradangan masih terbatas pada dermis; kulit
yang kemerahan dibersihkan hati-hati dengan air hangat dan sabun, diberi
lotion, kemudian di massase 2-3x/hari.
 Derajat 2 : dimana sudah terjadi ulkus yang dangkal; Perawatan luka
harus memperhatikan syarat-syarat aseotik dan antiseptik. Daerah
bersangkutan digesek dengan es dan dihembus dengan udara hangat
bergantian untuk merangsang sirkulasi. Dapat diberikan salep topikal,
mungkin juga untuk merangsang tumbuhnya jaringan muda/granulasi.
Penggantian balut dan salep ini jangan terlalu sering karena dapat merusak
pertumbuhan jaringan baru.
 Derajat 3 : dengan ulkus yang sydah dalam, menggaung sampai pada
bungkus otot dan sering sudah ada infeksi; usahakan luka selalu bersih dan
eksudat diusahakan dapat mengalir keluar. Balut jangan terlalu tebal dan
sebaliknya transparan sehingga permeable untuk masuknya udara/oksigen dan
penguapan. Kelembaban luka dijaga tetap basah, karena akan mempermudah
regenerasi sel-sel kulit. Jika luka kotor dapat dicuci dengan larutan Nacl
fisiologis. Antibiotik sistemik mungkin diperlukan.
 Derajat 4 : dengan perluasan ulkus sampai pada dasar tulang dan sering
pula disertai jaringan nekrotik; semua langkah-langkah diatas tetap dikerjakan
dan jaringan nekrotik yang ada harus dibersihkan, sebab akan menghalangi
pertumbuhan jaringan/epitelisasi. Beberapa preparat enzim coba diberikan
untuk usaha ini, dengan tujuan mengurangi perdarahan, dibanding tindakan
bedah yang juga merupakan alternatif lain. Setelah jaringan nekrotik dibuang
dan luka bersih, penyembuhan luka secara alami dapat diharapkan. beberapa
usaha memepercepat adalah antara lain dengan memberikan oksigenasi pada
daerah luka.

20. Bagaimana pencegahan ulkus dekubitus?3,7


Jawab :
Pencegahan terjadinya ulkus dekubitus:

a. Mengkaji faktor-faktor resiko klien


b. Mengurangi faktor-faktor lingkungan yang mempercepat terjadinya dekubitus,
seperti suhu ruangan panas (penyebab diaporesis), kelembaban, atau linen tempat
tidur yang berkerut (Potter & Perry, 2005).
c. Menjaga higienis dan perawatan kulit topical
d. Pencegahan mekanik dan pendukung untuk permukaan, yang meliputi pemberian
posisi, penggunaan tempat tidur dan kasur terapeutik.
e. Pendidikan (Potter & Perry, 2005)
f. Menggunakan bantal berongga
g. Mengoleskan minyak di kulit seusai mandi
21. Apa saja komplikasi ulkus dekubitus?10
Jawab :
 Infeksi
 Keterlibatan jaringan tulang dan sendi seperti periostitis, osteotitis,
osteomielitis, dan arthritis septik
 Anemia
 Hipoalbuminemia
 kematian

22. Bagaimana patofisiologi atrofi otot ?5,11


Jawab :
Karena berkurangnya aktivitas fisik sehingga otot jarang digunakan mengakibatkan
penyusutan atau kehilangan massa otot, Hal ini juga dapat terjadi ketika ada cedera, atau
penyakit, saraf yang menghubungkan ke otot atau disebut atropi neurogenik.
Imobilitas yang lama dapat menyebabkan atrofi otot dengan penurunan ukuran dan
kekuatan oto. Penurunan diperkirakan 1 – 2 persen sehari. Beberapa factor yang
menyebabkan atrofi otot yaitu ; perubahan biologis proses penuan itu sendiri, akumulasi
penyakit akut dan kronik, serta malnutrisi. Perubahan otot selama imobilitas lama
menyebabkan degenerasi serat otot, peningkatan jaringan lemak, serta fibrosis. Massa
otot berkurang setengah dari pada ukuran semula setelah mengalami 2 bulan imobilitas.

23. Jelaskan tentang fisioterapi pada penanganan atrofi otot !10


Jawab :
Fisioterapi pada atrofi otot ada dua macam, yaitu secara aktif dan pasif. Penanganan
pertama kali dilakukan secara pasif.
Terapi latihan yang dapat dilakukan :
1. Static contraction
Static contraction merupakan kontraksi otot secara isometrik untuk mempertahankan
kestabilan tanpa disertai gerakan (Priatna, 1985). Dengan gerakan ini maka akan
merangsang otot-otot untuk melakukan pumping action sehingga aliran darah balik vena
akan lebih cepat. Apabila sistem peredaran darah baik maka oedema dan nyeri dapat
berkurang.
2. Latihan pasif
Merupakan gerakan yang ditimbulkan oleh adanya kekuatan dari luar sedangkan otot
penderita rileks (Priatna, 1985). Disini gerakan pasif dilakukan dengan bantuan terapis.
3. Latihan aktif
Latihan aktif merupakan gerakan murni yang dilakukan oleh otot-otot anggota tubuh
pasien itu sendiri. Tujuan latihan aktifmeningkatkan kekuatan otot (Kisner, 1996). Gerak
aktif tersebut akan meningkatkan tonus otot sehingga pengiriman oksigen dan nutrisi
makanan akan diedarkan oleh darah. Dengan adanya oksigen dan nutrisi dalam darah,
maka kebutuhan regenerasi pada tempat yang mengalami perpatahan akan terpenuhi
dengan baik dan dapat mencegah adanya fibrotik.

24. Bagaimana pencegahan atrofi otot ?5


Jawab :
a. Perubahan posisi secara teratur dan latihan di tempat tidur
b. Mobilisasi dini misalnya turun dari tempat tidur, beranjak ke kursi
c. Latihan gerak pasif 1 – 2 kali sehari selama 20 menit

25. Apa penatalaksanaan terbaik untuk Nenek S ?9


Jawab :
Pada prinsipnya penangganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi dan pengembalian
fungsi dan kekuatan normal dengan rehabilitasi.

a Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulangpada kesejajarannya dan


rotasi anatomis. Metode dalam reduksi adalah reduksi tertutup, traksi dan reduksi
terbuka, yang masing-masing di pilih bergantung sifat fraktur
b Reduksi tertutup dilakukan untuk mengembalikan fragmen tulang ke posisinya
(ujung-ujung saling behubungan) dengan manipulasi dan traksi manual.
c Traksi, dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi. Beratnya
traksidisesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.
d Reduksi terbuka , dengan pendekatan pembedahan, fragmen tulang direduksi. Alat
fiksasiinternal dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku atau batangan logam
dapat digunakanuntuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai
penyembuhan tulang yangsolid terjadi.
e Imobilisai fraktur, setelah fraktur di reduksi fragmen tulang harus di imobilisasi atau
dipertahankan dalam posisi dan kesejajaranyang benar sampai terjadi penyatuan.
Immobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksternal atau inernal. Fiksasi eksternal
meliputi pembalutan,gips, bidai, traksi kontinui, pin dan teknik gips atau fiksator
eksternal. Fiksasi internal dapatdilakukan implan logam yang berperan sebagai bidai
inerna untuk mengimobilisasi fraktur.Pada fraktur femur imobilisasi di butuhkan
sesuai lokasi fraktur yaitu intrakapsuler 24 minggu,intra trohanterik 10-12 minggu,
batang 18 minggu dan supra kondiler 12-15 minggu.
f Mempertahankan dan mengembalikan fungsi, segala upaya diarahkan pada
penyembuhantulang dan jaringan lunak
E. HIPOTHESIS
Nenek S mengalami ulkus dekubitus et atrofi otot et causa fraktur femoralis sinistra.

F. PETA KONSEP

Nenek S

Terjauh

Fraktur femur
sinistra

etiologi klasifikasi tatalaksana Komplikasi

Ulkus
Traksi Imobilisasi Tirah baring Atrofi otot
dekubitus
DAFTAR PUSTAKA

1. Dorland,W. A. Newman. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Jakarta: EGC;2007.


2. Guyton, Arthur C. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC;2007
3. Sjamsuhidajat, R. dan De Jong, Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC.2012.
4. Setiati, Siti. Buku ajar ilmu penyakit dalam: gangguan keseimbangan, jatuh dan fraktur.
Jakarta: pusat penerbitan IPD FK-UI;2006.
5. Martono H. Buku Ajar Boedhi-Darmojo Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut) Edisi IV.
Jakarta: Universitas Indonesia;2010.
6. Nasution, Zulkarnaen. Status mental dengan resiko jatuh pada lansia (serial online) 2008
(diakses 9 Mei 2015). Diunduh dari URL:
http://uda.ac.id/jurnal/files/Zulkarnain%202008.swf
7. Sudoyo, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V Jilid 1. Jakarta : Internal
Publishing;2009.
8. Garrison, Susan J. Dasar-Dasar Terapi & Rehabilitasi Fisik. Jakarta: EGC;2004.
9. www.repositoryusu.ac.id, diunduh pada tanggal 9 Mei 2015
10. Pranaka, Kris. Buku Ajar Boedhi Darmojo Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Edisi
4. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;2010.
11. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/003188.htm, diunduh pada tanggal 10
Mei 2015.

Anda mungkin juga menyukai