Anda di halaman 1dari 20

LITERATURE RIVIEW

SELF MANAGEMENT HIPOGLIKEMIA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas kelompok mata kuliah Literature Riview

Dosen
Prof. Suryani SKp.,MHSc., Phd

Disusun oleh :
Ade Iwan Mutiudin 220120180009
Alvian Pristy W 220120180017
Asha Grace Sicilia 220120180040
Cahyo Nugroho 220120180007
Heri Budiawan 220120180054

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH


PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2018
A. Metodologi
a. Jenis Penulisan
Jenis penulisan yang digunakan adalah literature review. Literature Review
merupakan uraian analisa kritis mengenai teori, temuan, dan bahan penelitian lainnya
yang diperoleh dari bahan acuan untuk dijadikan landasan kegiatan penelitian dalam
menyusun kerangka pikir yang jelas dari perumusan masalah yang akan diteliti.

b. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam penulisan ini adalah literature
review berbasis jurnal, dengan beberapa tahap yakni : penentuan topik besar,
screenning journal dan menentukan tema dari referensi jurnal yang didapatkan.

c. Formulasi Permasalahan
Sistematik review ini merupakan penelitian sekunder dengan menggunakan
artikel / jurnal penelitian sebagai sumber data. Dilakukan penilaian kualitas
artikel/jurnal dengan mengkaji secara independen artikel tersebut sehingga dapat
dikategorikan sebagai sumber data yang relevan atau tidak. Informasi mengenai
topik, karakteristik partisipan, intervensi dan hasil juga menjadi catatan. Dalam
pemformulasian masalah yang dibahas ditulis dalam metode PICO yang mengacu
pada jurnal atau hasil studi pustaka.

Tabel 1. Scoping Riview


Topik : Self Management Hipoglikemia Pasien Diabetes Melitus Tipe 2.
Pertanyaan Review : 1. Bagaimna gambaran prevalensi Diabetes melitus Tipe 2 ?
2. Bagaimana gambaran kejadian hipoglikemia pada pasien
diabetes melitus tipe 2 ?
3. Bagaimana peran Self Managaement terhadap hipoglikemia
diabetes melitus tipe 2 ?
Tujuan Pencarian : Untuk mengetahui Self Management Hipoglikemia Pasien
Diabetes Melitus Tipe 2.
Strategi Pencarian : Population : Diabetes Melitus Tipe 2
Intervention : Self Management
Comparison : Kelompok yang tidak diberikan Self
Management
Outcome : Diharapkan self management pada diabetes melitus
tipe 2 dapat mengurangi kejadian hipoglikemia.
Keywords : Self Management, Hypoglikemia, Diabetes Mellitus type 2
Database : ProQuest, EBSCO, Cengage, SINTA, Pub Med, CINAHL, &
Scopus
Kriteria Inklusi : 1. Tahun terbit jurnal maksimal 10 tahun terakhir
Artikel 2. Full text jurnal
3. Jurnal dalam bahasa Inggris dan Indonesia
4. Memiliki ISSN/DOI/PMID
Kriteria Ekslusi : Lembaga dan alamat penerbit jurnal yang tidak jelas
Artikel

d. Literature Screenning
Proses ini berawal dari pengumpulan jurnal nasional dan internasional.
Literatur dari jurnal yang dikumpulkan harus relevan dengan topik, Screenning
dilakukan untuk memudahkan proses literature review yang bertujuan untuk
mengevaluasi data yang muncul sebagai kelolaan sub topik. Pencarian artikel yang
digunakan adalah PROQUEST, EBSCO, Pub Med, dan Google Scholar dengan
menggunakan keywords: “Self Management” dan “Hyypoglycemia” Diabetes
Melitus Tipe 2” tanpa pembatasan waktu dan metodologi penelitian Hasil pencarian
didapatkan 10 jurnal yang berkaitan.

e. Evaluasi Data
Data yang telah dikelompokan akan dilihat kembali compare (kesamaan)
dan contrast (ketidaksamaan) baik dari segi kelebihan dan kelemahan untuk
mengidentifikasi level of significance yang terdiri dari literatur utama (significant
literature) dan literature penunjang (collateral literature).

f. Hasil Pencarian
Proses pencarian artikel dilakukan melalui 4 search engine yang berbeda
yaitu PROQUEST 3 jurnal, EBSCO 5 jurnal, PubMed 5 Jurnal, google sholar 2
jurnal, sedangkan yang relevan untuk dijadikan sebagai referensi sebanyak 10 jurnal.
Hasil dari analisis dan sintesis disampaikan di bawah ini :

3jurnal proquest
15 Jurnal
5 jurnal ebsco 10 jurnal

5 PubMed
Skema 1. Seleksi Atikel

2 Google Scholar

g. Analisis dan Interpretasi


Proses akhir dari penulisan literature review adalah menganalisis dan
menginterpretasikan data dalam sub topik. Pandangan yang kritis diperlukan untuk
memparafrasekan isi sub topik (literature of journal).

B. Summary
Artikel 1 : Perceptions of hypoglycemia and self‑monitoring of blood glucose in
insulin-treated diabetes patients: results from a European online
survey.(Diago-Cabezudo, Anne Madec-Hily, Aftab Aslam,2013 Future
Medicine 3(1), 15–23)

Penelitian yang dilakukan oleh Diago et al (2013) bertujuan untuk


mengevaluasi efek hipoglikemia pada kehidupan pasien diabetes dan menentukan
apakah pemantauan gula darah mandiri untuk mencegah episode hipoglikemik adalah
konsep yang menarik dan dapat diterima secara luas. Metode penelitian yang digunakan
adalah metode kuantitatif. Sebanyak 1.848 orang dengan diabetes yang diobati dengan
insulin di Eropa dimasukkan dalam survei online 10 menit untuk menentukan persepsi
tentang hipoglikemia dan pemantauan mandiri glukosa darah sebagai alat untuk
mencegah hipoglikemia.Dalam penelitian, didapatkan hasil Sekitar sepertiga dari total
1848 pasien yang disurvei tidak selalu mengenali gejala hipoglikemia dan sekitar
seperempat tidak memiliki gejala awal (hypoglycemia-associated autonomic failure).
Sekitar 40% pasien mengatakan mereka cenderung mempertahankan kadar glukosa
darah mereka di atas nilai yang direkomendasikan dokter untuk membantu menghindari
hipoglikemia. Pasien diabetes yang mendapat terapi insulin sangat khawatir tentang
potensi hipoglikemia; Namun, pasien memiliki persepsi positif termotivasi untuk
melakukan pemantauan glukosa darah mandiri, yang tujuannya untuk mencegah
hipoglikemia.

Artikel 2 : Intensive structured self-monitoring of blood glucose and glycemic control


in Type 2 Diabetes. (Bosi, Scavini, Ceriello, Cucinotta, Tiengo, Marino,
Bonizzoni, et al.2013.Diabetes Care, 36:2887-2894)
Diabetes melitus merupakan penyakit gangguan metabolik menahun akibat
pankreas tidak memproduksi cukup insulin atau tubuh tidak dapat menggunakan insulin
yang diproduksi secara efektif. Akibatnya terjadi kegagalan sekresi atau
ketidakadekuatan penggunaan insulin dalam metabolisme tersebut yang menimbulkan
gejala hiperglikemia, sehingga untuk mempertahankan glukosa darah yang stabil
membutuhkan terapi insulin atau obat pemacu sekresi insulin (Oral Hypoglycemia Agent
/ OHA). Penelitian yang dilakukan oleh Bosi et al bertujuan untuk mengevaluasi
penerapan Self-Monitoring of Blood Glucose (SMBG) terstruktur dalam waktu dan
frekuensi. Tujuan utama yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah perubahan nilai
HbA1C dalam 12 bulan (dari data awal), dan persentase pasien yang dapat mencapai/
mempertahankan target risiko (hypoglikemia). Perubahan nilai Low Blood Glucose
Index (LGBI) dan High Blood Glucose Index (HGBI); frekuensi dan keparahan
hipoglikemia. Metode penelitian yang digunakan adalah Randomized control trial
Sampel penelitian terdiri dari 553 pasien diabetes melitus type 2 dengan kriteria inklusi
durasi menderita diabetes melitus 1-10 tahun, usia 35-75 tahun, HbA1C 7.0-7.0%.
kelompok intervensi n= 232,kelompok control n= 321. Dalam penelitian, didapatkan
hasil bahwa penurunan nilai HbA1C lebih signifikan pada kelompok intervensi (intensif
Self Monitoring Blood Glocose SMBG) dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hasil
penelitian ini juga melaporkan bahwa hipoglikemia lebih dapat dipantau pada kelompok
SMBG intensif dengan angka kejadian 1.32/pasien/tahun, dengan RR 3.32 yang berarti
bahwa penerapan SMBG terstruktur dapat mendeteksi hipoglikemia 3.32 kali
dibandingkan tanpa SMBG terstruktur. Dari penelitian ini juga dilaporkan bahwa dari
553 responden pada kedua kelompok, sebanyak 3 responden (2 kelompok intervensi,
dan 1 kelompok kontrol) melaporkan terjadinya hipoglikemia berat. Disamping itu,
penggunaan SMBG terstruktur dan intensif (intervensi) mendeteksi terjadinya
hipoglikemia lebih banyak dibandingkan dengan kelompok kontrol. Dalam penelitian
ini juga dilaporkan bahwa penggunaan SMBG terstruktur dan intensif dapat menurunkan
angka mortalitas sebanyak 38.39 akibat hipoglikemia asimtomatik. Namun, dalam
penelitian tidak dijelaskan secara eksplisit kejadian hipoglikemia pada episode ringan
dan sedang.

Artikel 3 : Knowledge of symptoms and self-management of hypoglycemia


amongst patients attending a diabetic clinic at a regional hospital in
KwaZulu-Natal. (Anthony Ejegi, Andrew John Ross, Keshena
Naidoo,2016.African Journal of Primary Health Care & Family
Medicine),

Penelitian yang dilakukan oleh (Ejegi et al, 2016) bertujuan untuk menilai
pengetahuan pasien diabetes dewasa yang mengunjungi klinik diabetes tentang gejala
hipoglikemia dan bagaimana mereka menanggapi gejala-gejala ini. Metode penelitian
yang digunakan adalah kuantitatif dengan pendekatan cross-sectional.Jumlah sampel
200 pasien dengan kriteria semua pasien dewasa yang berusia di atas 18 tahun yang
menghadiri klinik diabetes yang bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini. Kriteria
eksklusi termasuk wanita hamil dan mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Dalam
penelitian, didapatkan hasil bahwa mayoritas pasien memiliki pengetahuan baik tentang
hipoglikemia; Namun, kurang dari 25% tahu tindakan apa yang harus diambil ketika
mereka mengalami gejala sugestif hipoglikemia. Sebanyak 200 pasien diabetes
diwawancarai, di antaranya 152 (76%) adalah perempuan dan 48 (24%) adalah laki-laki.
30 pasien (15%) hanya menggunakan metformin; 40 (20%) menggunakan metformin
dan sulfonilurea; 98 (49%) menggunakan metformin, insulin dan sulfonilurea; 13 (6,5%)
menggunakan metformin dan insulin; dan 19 (9,5%) hanya pada insulin. Berkenaan
dengan pengetahuan tentang gejala hipoglikemia, 66% (100/200, 50% baik; 32/200,
16% sangat baik) pasien memiliki pengetahuan yang baik atau sangat baik, sementara
hanya 8% pasien tidak dapat mengidentifikasi gejala hipoglikemia. Namun, kurang dari
seperempat pasien (48/200, 24%) menyadari apa yang harus dilakukan ketika
mengalami gejala hipoglikemia. Tidak ada hubungan statistik insulin dan pengetahuan
tentang hipoglikemia atau bagaimana mengelola hipoglikemia. Juga tidak ada hubungan
statistik antara pengetahuan yang baik dan sangat baik tentang gejala hipoglikemia dan
kemampuan untuk mengelola hipoglikemia. Lima puluh delapan pasien (24%) memiliki
glucometer di rumah, sementara 68 (34%) mampu memeriksa kadar gula mereka. di
rumah atau di apotek terdekat. Delapan puluh enam pasien (43%) mengindikasikan
bahwa mereka menyesuaikan obat mereka di rumah.

Artikel 4 : Blood Glucose self-Monitoring in type 2 diabetes: a Randomized Control


Trial. (Farmer, Wade, French, Simon, Yudkin, Gray, Crave, et al ,2009.Health
Technology Assessment, 13(15)
Penelitian yang dilakukan oleh Farmer et al bertujuan untuk menentukan
apakah Self Monitoring Blood Glucose (SMBG) tanpa atau dengan instruksi self-care
lebih efektif dalam meningkatkan kontrol glikemik dibandingkan dengan perawatan
standar. Metode penelitian yang digunakan adalah Randomized control trial. Sampel
penelitian ini terdiri dari 453 pasien diabetes melitus dengan kriteria inklusi meliputi
durasi menderita diabetes melitus Type 2, usia ≥25 tahun saat terdiagnosa diabetes
melitus, HbA1C ≥6.2%. Kriteria eksklusi meliputi menggunakan monitor gula darah 2
kali atau lebih dalam seminggu selama 3 bulan terakhir, dan ketidakmampuan menjalani
prosedur. Kelompok intervensi1(SMBG dengan pengawasan minim) n= 150,kelompok
intervensi2 (intensif SMBG) n= 152,kelompok control n= 151. Dalam penelitian,
didapatkan hasil bahwa tidak ada perbedaan signifikan penurunan nilai HbA1C pada
kelompok kontrol dan kedua kelompok intevensi (intervensi I dan intervensi II) dengan
nilai p 0.12. Akan tetapi terdapat hasil yang berbeda pada laporan terjadinya
hipoglikemia, dimana pada kelompok kontrol dari 152 responden yang berpartisipasi,
sebanyak 17 responden mengalami hipoglikemia. Pada kelompok SMBG pengawasan
minim (intervensi I), dari 150 responden sebanyak 33 responden mengalami
hipoglikemia, dan pada kelompok SMBG intensif (intervensi II) diketahui bahwa 43
pasien mengalami hipoglikemia. Hal ini memperlihatkan bahwa pada penelitian ini,
SMBG kurang efektif untuk meningkatkan kontrol glikemik namun cukup efektif dalam
mendeteksi terjadinya hipoglikemia pada pasien diabetes melitus.

Artikel 5 : Kemampuan Melakukan Penatalaksanaan Hipoglikemia Berdasarkan


Karakteristik Dan Pengetahuan Pasien Diabetes Melitus. (Ernawati,
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 13, No. 1, Maret 2010; hal 8 –
13)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden kurang
mendapatkan dukungan keluarga. Di antara 50 klien diabetes yang memiliki dukungan
keluarga kurang terdapat 34 orang (68.0%), sedangkan yang memiliki dukungan
keluarga baik terdapat 16 orang (32%). Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan
kemampuan penatalaksanaan hipoglikemia antara responden diabetes yang memiliki
dukungan keluarga dan yang tidak memiliki dukungan keluarga (p=0,035, α= 0,05). Dari
hasil analisis diperoleh pula nilai OR = 4,600, artinya Klien yang memiliki dukungan
keluarga mempunyai peluang 4,6 x untuk mampu melakukan penatalaksanaan
hipoglikemia dibandingkan dengan klien yang berpendidikan rendah.

Artikel 6 : Hypoglycemia.( Morales, J., & Schneider, D. (2014). The American


Journal of Medicine, 127(10), S17–S24.
https://doi.org/10.1016/j.amjmed.2014.07.004)
Hipoglikemia merupakan kejadian umum sebagai konsekuensi pengobatan
diabetes melitus dan merupakan masalah yang besar dalam pengoabtan hiperglikemia.
Terapi pengobatan dan riwayat hiperglikemia merupakan riwayat penting dalam
pengobatan selanjutnya. Adapaun faktor lain yang berpera dalam kejadian hipoglikema
yaitu, penyakit ginjal, lansia, riwayat kejadian hipoglikemia. Kejadian hipoglikemia
lebih sering terjadi pada klien dengan diabetes tipe 1 namun sebagai tanda klinis penting
pada diabetes tipe 2, gejala yang dialami pasien bervariasi dan banyak kejadian
hipoglikemia tidak terdiagnosis > 50%, sehingga perawat harus benar-benar melakukan
pengkajian secara akurat terhadap riwayat pasien mengenai frekuensi kejadian dan
derajat hipoglikemia sebagai data pengobatan yang akan dilakukan supaya optimal. Oleh
karena itu untuk meningkatkan kuallitas hidup pasien self management dan pemilihan
terapi merupakan sebuah intervensi yang tepat untuk mengurangi kejadian
hipoglikemia.Hipoglikemi dapat dibedakan berdasarkan nilai glukosa plasama, gejala,
dan waktu kejadian. Sedangkan menurut American Diabetes Association (ADA) standar
gula darah terendah yaitu 70 mg / dL (3,9 mmol / L), nilai tersebut sebagai nilai terbawah
monitoring gula darah sehingga mumingkin untuk melakukan koretif glukosa darah.
Kejadian hipoglikemia ringan bisa ditangani sendiri, sedangkan untuk hipoglikemia
sedang dan berat membutuhkan bantuan orang lain. Gejala hipoglikemia dibagi menjadi
2 bagian yaitu autonomic meliputi gejala Berkeringat, jantung berdebar-debar, gemetar,
pusing, lapar, sedangkan gelajala neurogenik meliputi kebingungan, mengantuk,
kesulitan berbicara, perilaku aneh, ketiadaan koordinasi. Salah satu peningkatan Quality
Of life pasien diabetes melittus dengan hipoglikemia menurut yaitu dengan self
management dan pemilihan terapi yang tepat.

Artikel 7 : Development and testing of diabetes self-management instrument: A


confirmatory analysis. ( Lin, J. 2008. Research in Nursing & Health, 31,
370–380. )
Self-management perlu dipahami sebagai sebuah proses yang tidak hanya
berkembang dari waktu ke waktu, tetetapi juga berkembang dalam kaitannya dengan
jenis pengalaman penyakit seseorang dan masalah spesifik tentang kesehatan mereka.
Self-management memungkinkan pasien untuk mengembangkan keterampilan dalam
memecahkan masalah, meningkatkan keyakinan diri (self-efficacy) dan mendukung
aplikasi pengetahuan dalam kehidupan nyata. Adanya keterampilan memecahkan
masalah pada penyakit diabetes melitus, memungkinkan pasien untuk membuat suatu
keputusan tentang pengelolaan yang terbaik untuk dirinya. Pengelolaan diri tersebut
sangat berpengaruh terhadap proses dan hasil pengelolaan penyakit diabetes melitus
(Lin, 2008).
Artikel 8 : The effect of hypoglycemia on health-related quality of life: Canadian
results from a multinational time trade-off survey. ( Harris, S., Mamdani, M.,
Galbo-Jørgensen, C. B., Bøgelund, M., Gundgaard, J., & Groleau, D. (2014).
Canadian Journal of Diabetes, 38(1), 45–52.
https://doi.org/10.1016/j.jcjd.2013.09.001)

Menurut (Harris et al., 2014) menunjukkan bahwa segala bentuk


hipoglikemia memiliki dampak negatif pada Health Related Quality Of Life pada
penelitian dilaksanakan di Kanada. Hipoglikemia nokturnal memiliki dampak negatif
yang lebih besar pada HRQOL dibandingkan dengan hipoglikemia yang terjadi pada
siang hari.

Artikel 9 : Siwi Handayani, D., Yudianto, K., & Kurniawan, T. (2013). Perilaku Self-
Management Pasien Diabetes Melitus (DM). Jurnal Keperawatan
Padjadjaran, v1(n1), 30–38. https://doi.org/10.24198/jkp.v1n1.4
Self-management pada pasien diabetes melitus antara lain mengikuti pola
makan sehat, meningkatkan kegiatan jasmani, menggunakan obat diabetes melitus dan
obat-obat pada keadaan khusus secara aman dan teratur, melakukan pemantauan kadar
gula darah serta melakukan perawatan kaki secara berkala. Perilaku self-management
diabetes melitus menunjukkan lebih dari setengah responsden (64,9%) melakukan
lima aspek self-management dengan baik. Hampir semua responsden (94,7%)
melakukan medikasi dengan baik, lebih dari setengah responsden melakukan diet
(69,1%), olahraga (61,7%) dan perawatan kaki (77,7%) dengan baik. Namun hanya
25,5% responsden yang melakukan pemantauan gula darah dengan baik.

Artikel 10 : Optimalisasi Self Monitoring Blood Glucose Pasien Diabetes Melitus dalam
Melakukan Deteksi Episode Hipoglikemia di Wilayah Kerja Puskesmas
Kabupaten Magelang. (Masitoh, Robiul Fitri; Priyanto, P. (2017). 73–82.)
Hasil penelitian Masitoh (2017) mengungkapakan bahwa factor self-
management yang berhubungan dengan deteksi hipoglikemia meliputi usia, lama
menderita diabetes dan pengetahuan. Usia merupakan faktor yang berhubungan
dengan kemampuan deteksi hipoglikemia, dimana pada kelompok usia yang lebih
muda memiliki kemampuan lebih baik dari pada usia yang lebih tua. Faktor lamanya
menderita diabetes berkaitan dengan resiko kejadian dan frekuensi diabetes dimana
episode hipoglikemia yang berulang dapat menimbulkan kerusakan pada kerusakan
glukosensitif. Pasien diabetes dengan riwayat penyakit lama memiliki kecenderungan
berkurangnya intensitas keluhan automik atau bahkan menghilang disebabakan oleh
kegagalan yang progresif aktivitas sistem saraf otonomik, sehingga sering terjadi
hipoglikemia yang tidak disadari. Selain itu, faktor pengetahuan hipoglikemia
berhubungan dengan kemampuan deteksi episode hipoglikemia. Ketika seseorang
kurang pengetahuannya tentang identifikasi dan gejala awal hipoglikemia maka
kemungkinan terjadinya hipoglikemia pada pasien akan semakin tinggi.
C. Literature Riview

SELF MANAGEMENT HIPOGLIKEMIA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2

Ade Iwan Mutiudin, Alvian Pristy Windiramadhan,


Asha Grace Sicilia, Cahyo Nugroho, Heri Budiawan

Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran


E-mail : potrethery@gmail.com

a. Pendahuluan
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau kedua-duanya. Seseorang dapat di diagnosa diabetes melitus apabila mempunyai
gejala klasik diabetes melitus seperti poliuria, polidipsi dan polifagi disertai dengan
kadar gula darah sewaktu ≥200 mg/dl dan gula darah puasa ≥126 mg/dl. Klasifikasi
diabetes melitus secara umum terdiri dari diabetes melitus tipe 1, diabetes melitus tipe
2, diabetes gestasional, dan diabetes karena faktor lain. Diantara klasifikasi diabetes
melitus yang ada, diabetes melitus tipe 2 merupakan jenis diabetes melitus yang lebih
sering terjadi yaitu sekitar 90-95% dari semua orang yang menderita diabetes. (Black &
Hawks; ADA,2010)
Prevalensi diabetes telah meningkat lebih cepat di negara berpenghasilan
rendah dan menengah dari pada di negara-negara berpenghasilan tinggi. Secara global
total populasi diabetes melitus dewasa usia antara 20-79 tahun sebanyak 4,84 miliar pada
tahun 2017, sekitar 425 juta orang di seluruh dunia atau 8,8% diperkirakan menderita
diabetes. Prevalensi diabetes mellitus pada tahun 2045 diperkirakan mencapai 9,9 %
atau 629 juta jiwa pada usia 20-79 tahun akan menderita diabetes. (IDF Diabetes Atlas,
2017).
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan RI,
terakhir tahun 2013 jumlah diabetes mellitus di Indonesia 6,9 % atau sekitar 12 juta jiwa
dengan estimasi jumlah penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas 176,6 juta jiwa.,
jumlah ini terus bertambah diprediksi pada tahun 2030 akan mencapai 21,3 juta jiwa.
Data Riskesdas menunjukkan bahwa terjadi peningkatan prevalensi diabetes di
Indonesia dari 5,7% tahun 2007 menjadi 6,9% atau 12 juta jiwa pada tahun 2013. Data
Sample Registration Survey tahun 2014 menunjukkan bahwa diabetes merupakan
penyebab kematian terbesar nomor 3 di Indonesia dengan persentase sebesar 6,7%,
setelah Stroke (21,1%) dan penyakit Jantung Koroner (12,9%).
Diabetes melitus merupakan penyakit gangguan metabolik menahun akibat
pankreas tidak memproduksi cukup insulin atau tubuh tidak dapat menggunakan insulin
yang diproduksi secara efektif. Akibatnya terjadi kegagalan sekresi atau
ketidakadekuatan penggunaan insulin dalam metabolisme tersebut yang menimbulkan
gejala hiperglikemia, sehingga untuk mempertahankan glukosa darah yang stabil
membutuhkan terapi insulin atau obat pemacu sekresi insulin (Oral Hypoglycemia Agent
/ OHA). (Bosi, et al 2013)
Terapi insulin atau OHA sering menimbulkan dampak berupa hipoglikemia
yang disebabkan ketidakadekuatan pemberian insulin yang cenderung berlebihan atau
bahkan terjadinya kegagalan mekanisme counter regulatory akibat proses penyakit
diabetes melitus yang telah berlangsung lama. Hipoglikemia pada pasien diabetes
mellitus merupakan komplikasi akut diabetes mellitus yang dapat terjadi secara berulang
dan dapat memperberat penyakit diabetes bahkan menyebabkan kematian. (Siwi
Handayani, D., Yudianto, K., & Kurniawan, T. 2013)
Kemampuan individu dalam mengelola kehidupan sehari-hari, mengendalikan
serta mengurangi dampak penyakit yang dideritanya dikenal dengan self-management.
Menurut Konsensus Pengendalian dan Pencegahan diabetes melitus Tipe 2 di Indonesia
tahun 2011, perilaku sehat yang merepresentasikan self-management pada pasien
diabetes melitus antara lain mengikuti pola makan sehat, meningkatkan kegiatan
jasmani, menggunakan obat diabetes melitus dan obat-obat pada keadaan khusus secara
aman dan teratur, melakukan pemantauan kadar gula darah serta melakukan perawatan
kaki secara berkala. (Morales, J., & Schneider, D. 2014).
Pada penerapan program self-management perlu penyesuaian dengan berbagai
aspek termasuk aspek sistem, biaya, efektifitas, hambatan dan dukungan dari pihak-
pihak terkait. Oleh karena itu, review mengenai efektifitas protokol self management
pada pasien diabetes mellitus sangat diperlukan sebagai landasan dalam pembuatan dan
penerapan program self management sesuai dengan kebutuhan masing-masing penderita
penyakit diabetes mellitus. Berdasarkan pemaparan diatas, maka tujuan dari literature
review ini yaitu untuk mendeskripsikan self management hypoglikemia pada pasien
Diabetes Mellitus Tipe 2.

b. Metode
Metode penulisan yang digunakan dalam penulisan ini adalah literature review
berbasis jurnal, dengan beberapa tahap yakni : penentuan topik besar, screenning journal
dan menentukan tema dari referensi jurnal yang didapatkan. Literatur review ini
merupakan penelitian sekunder dengan menggunakan artikel / jurnal penelitian sebagai
sumber data dilakukan penilaian kualitas artikel/jurnal dengan mengkaji secara
independen artikel tersebut sehingga dapat dikategorikan sebagai sumber data yang
relevan atau tidak. Informasi mengenai topik, karakteristik partisipan, intervensi dan
hasil juga menjadi catatan. Artikel-artikel ini didapatkan melalui pencarian dengan
menggunakan ProQuest, EBSCOhost, Pub Med, & Google Scholar dengan
menggunakan kata kunci Self Management, Hypoglikemia, Diabetes Mellitus type 2.
Artikel yang di review adalah seluruh artikel dari tahun 2008-2018 yang
membahas mengenai Self Management, Hypoglikemia, Diabetes Mellitus type 2 dengan
artikel full text serta menggunakan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Berdasarkan
hasil pencarian, didapatkan 20 artikel secara spesifik berkaitan dengan Self Management
hypoglikemia pada pasien Diabetes Mellitus type 2.

c. Hasil dan Pembahasan


Diabetes Mellitus biasa disebut dengan the silent killer karena penyakit ini
dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan.
Berdasarkan Textbook of Diabetes, komplikasi yang dapat ditimbulkan berupa
komplikasi metabolik akut dan kronik. Komplikasi akut terjadi pada saat kadar glukosa
darah plasma mengalami perubahan yang relatif akut. Komplikasi yang dapat terjadi
antara lain; hipoglikemi, ketoasidosis diabetik dan hiperosmolar non ketotik.
Hipoglikemia dapat terjadi seumur hidup selama program pengobatan yang disebabkan
karena efek samping pemberian obat stimulus insulin dalam tubuh maupun obat insulin
dari luar . (Ejegi, A, Ross, AJ, Naidoo, K. 2016).
Hipoglikemia merupakan kejadian umum sebagai konsekuensi pengobatan
diabetes melitus dan merupakan masalah yang besar dalam pengobatan hiperglikemia.
Faktor lain yang berperan dalam kejadian hipoglikemi yaitu, penyakit ginjal, usia lansia,
riwayat kejadian hipoglikemia. Kejadian hipoglikemia lebih sering terjadi pada klien
dengan diabetes tipe 1 namun sebagai tanda klinis penting pada diabetes tipe 2, gejala
yang dialami pasien bervariasi dan banyak kejadian hipoglikemia tidak terdiagnosis
lebih 50%. (Morales & Schneider, 2014)
Hipoglikemia berulang akan memunculkan fenomena hypoglycemic
unawareness yaitu kondisi glukosa darah yang rendah tetapi penderita tidak merasakan
apa-apa. Fenomena ini terjadi akibat menurunnya batas hipoglikemia seorang penderita
diabetes melitus tipe-2 sehingga penderita tidak akan merasakan gejala awal
hipoglikemia, yang tentunya akan membahayakan penderita Ketidaktahuan dalam
melakukan pengecekan gula darah dan mengetahui tanda gejala, sehingga kejadian
hipoglikemia terjadi secara tidak disadari merupakan sindrom hipoglikemia yang dapat
terjadi pada diabetes mellitus tipe 1 dan tipe 2 berdampak pada peningkatkan resiko
kejadian hipoglikemi. (Cabezudo, Madec-Hilly, & Aslam. 2013)
Menurut (Harris et al., 2014) menunjukkan bahwa segala bentuk hipoglikemia
memiliki dampak negatif pada Health Related Quality Of Life pada penelitian
dilaksanakan di Kanada. Hipoglikemia nokturnal memiliki dampak negatif yang lebih
besar pada HRQOL dibandingkan dengan hipoglikemia yang terjadi pada siang hari.
Salah satu peningkatan Quality Of life pasien diabetes melittus dengan hipoglikemia
menurut (Morales & Schneider, 2014) yaitu dengan self management dan pemilihan
terapi yang tepat.
Self-management perlu dipahami sebagai sebuah proses yang tidak hanya
berkembang dari waktu ke waktu, tetetapi juga berkembang dalam kaitannya dengan
jenis pengalaman penyakit seseorang dan masalah spesifik tentang kesehatan mereka.
Self-management memungkinkan pasien untuk mengembangkan keterampilan dalam
memecahkan masalah, meningkatkan keyakinan diri (self-efficacy) dan mendukung
aplikasi pengetahuan dalam kehidupan nyata. Adanya keterampilan memecahkan
masalah pada penyakit diabetes melitus, memungkinkan pasien untuk membuat suatu
keputusan tentang pengelolaan yang terbaik untuk dirinya. Pengelolaan diri tersebut
sangat berpengaruh terhadap proses dan hasil pengelolaan penyakit diabetes melitus
(Lin, 2008).
Menurut Siwi Handayani, D., Yudianto, K., & Kurniawan, T. (2013), Self-
management pada pasien diabetes melitus antara lain mengikuti pola makan sehat,
meningkatkan kegiatan jasmani, menggunakan obat diabetes melitus dan obat-obat pada
keadaan khusus secara aman dan teratur, melakukan pemantauan kadar gula darah serta
melakukan perawatan kaki secara berkala. Perilaku self-management diabetes melitus
menunjukkan lebih dari setengah responsden (64,9%) melakukan lima aspek self-
management dengan baik. Hampir semua responsden (94,7%) melakukan medikasi
dengan baik, lebih dari setengah responsden melakukan diet (69,1%), olahraga (61,7%)
dan perawatan kaki (77,7%) dengan baik. Namun hanya 25,5% responsden yang
melakukan pemantauan gula darah dengan baik.
Hasil penelitian Masitoh (2017) mengungkapakan bahwa factor self-management
yang berhubungan dengan deteksi hipoglikemia meliputi usia, lama menderita diabetes
dan pengetahuan. Usia merupakan faktor yang berhubungan dengan kemampuan deteksi
hipoglikemia, dimana pada kelompok usia yang lebih muda memiliki kemampuan lebih
baik dari pada usia yang lebih tua. Faktor lamanya menderita diabetes berkaitan dengan
resiko kejadian dan frekuensi diabetes dimana episode hipoglikemia yang berulang dapat
menimbulkan kerusakan pada kerusakan glukosensitif. Pasien diabetes dengan riwayat
penyakit lama memiliki kecenderungan berkurangnya intensitas keluhan automik atau
bahkan menghilang disebabakan oleh kegagalan yang progresif aktivitas sistem saraf
otonomik, sehingga sering terjadi hipoglikemia yang tidak disadari. Selain itu, faktor
pengetahuan hipoglikemia berhubungan dengan kemampuan deteksi episode
hipoglikemia. Ketika seseorang kurang pengetahuannya tentang identifikasi dan gejala
awal hipoglikemia maka kemungkinan terjadinya hipoglikemia pada pasien akan
semakin tinggi.
Berbeda dengan penelitian Ejegi (2016) yang mengatakan bahawa tidak ada
hubungan yang signifikan antara pengukuran insulin dengan pengetahuan tentang
hipoglikemia atau bagaimana mengelola hipoglikemia. Antara pengetahuan yang
kurang, baik, maupun sangat baik tentang gejala hipoglikemia mampu untuk mengelola
hipoglikemia. Pasien yang memiliki glucometer di rumah mampu memeriksa kadar gula
mereka secara rutin, sedangkan yang tidak memiliki alat glukometer mereka rutin
dilakukan pengukuran di apotek atau klinik terdekat.
Faktor lain yang berhubungan dengan penatalaksanaan self management
hypoglikemia menurut Ernawati (2010) adalah dukungan keluarga. Orang yang
menderita diabetes melitus akan mempunyai peluang lebih tinggi untuk mampu
melakukan penatalaksanaan hipoglikemia dibandingkan dengan yang tidak memiliki
dukungan keluarga. Peran keluarga akan sangat penting dengan memberikan support
kepada anggota keluarga yang sakit untuk selalu melaksanakan pengontrolan kadar gula
darah agar tidak terjadi hypoglikemia. Berdasarkan penelitian Cabezudo (2013)
seseorang yang menderita pentakit diabetes melitus cenderung mempertahankan kadar
glukosa darah mereka di atas nilai yang direkomendasikan dokter untuk membantu
menghindari hipoglikemia. Pasien diabetes yang mendapat terapi insulin sangat khawatir
tentang potensi hipoglikemia, tetapi pasien memiliki persepsi positif termotivasi untuk
melakukan pemantauan glukosa darah mandiri yang tujuannya untuk mencegah
hipoglikemia.
Penyataan Farmer (2009) menyatakan bahwa Self Mangamenet Blood Glucose
kurang efektif untuk meningkatkan kontrol glikemik namun cukup efektif dalam
mendeteksi terjadinya hipoglikemia pada pasien diabetes melitus. Hasil penelitiannya
memperlihatkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan penurunan nilai HbA1C pada
kelompok kontrol dan kedua kelompok intevensi (intervensi I dan intervensi II) dengan
nilai p 0.12. Akan tetapi terdapat hasil yang berbeda pada laporan terjadinya
hipoglikemia, dimana pada kelompok kontrol dari 152 responden yang berpartisipasi,
sebanyak 17 responden mengalami hipoglikemia. Pada kelompok SMBG pengawasan
minim (intervensi I), dari 150 responden sebanyak 33 responden mengalami
hipoglikemia, dan pada kelompok SMBG intensif (intervensi II) diketahui bahwa 43
pasien mengalami hipoglikemia.
Berbanding terbalik dengan penelitian sebelumnya, menurut penelitian Bosi
(2013) menunjukkan bahwa hipoglikemia lebih dapat dipantau pada kelompok Self
Monitoring Blood Glocose (SMBG) intensif dengan angka kejadian 1.32 kali
/pasien/tahun, yang berarti bahwa penerapan SMBG terstruktur dapat mendeteksi
hipoglikemia 3.32 kali dibandingkan tanpa SMBG terstruktur. Disamping itu,
penggunaan SMBG terstruktur dan intensif mendeteksi terjadinya hipoglikemia lebih
banyak dan dapat menurunkan angka mortalitas sebanyak 38.39 akibat hipoglikemia
asimtomatik. Namun, dalam penelitian tidak dijelaskan secara eksplisit kejadian
hipoglikemia pada episode ringan dan sedang.

d. Kesimpulan dan Saran


Perawat sebagai salah satu petugas kesehatan yang terdekat dengan pasien
memiliki peran yang sangat penting terutama dalam memotivasi dan memberdayakan
pasien untuk meningkatkan self management pada perawatan diabetes diantaranya
peningkatan faktor pengetahuan, dukungan keluarga, dan memberikan penjelasan
tentang penerapan metode Self Mangamenet Blood Glucose ketika pasien berencana
pulang atau sedang melakukan kontrol ulang. Perawat dapat berperan sebagai edukator
dan motivator bagi pasien dan keluarga, untuk melakukan dalam mengingatkan kembali
dan memberikan motivasi pasien diabetes mellitus tentang pentingnya melakukan
pengelolaan diabetes melitus khususnya dalam memantau kadar gula darah. Diharapkan
hal tersebut dapat dilakukan untuk meminimalisir komplikasi akut hipoglikemi. Program
ini tidak hanya memfasilitasi penderita diabetes melitus, tetetapi juga sebagai sarana
untuk meningkatkan keterampilan dalam pengelolaan diabetes mellitus.
REFERENSI

Bosi, Scavini, Ceriello, Cucinotta, Tiengo, Marino, Bonizzoni, et al. (2013) . Intensive
Structured Self-Monitoring of Blood Glucose and Glycemic Control in Type 2
Diabetes. Diabetes Care, 36:2887-2894.

Cabezudo, Madec-Hilly, & Aslam. (2013). Perceptions of hypoglycemia and self-monitoring


of blood glucose in insulin-treated diabetes patients: results from a European online
survey. Diabetes Manage.3(1), 15–23
Ernawati (2010). Kemampuan Melakukan Penatalaksanaan Hipoglikemia Berdasarkan
Karakteristik Dan Pengetahuan Pasien Diabetes Melitus. Jurnal Keperawatan
Indonesia, Volume 13, No. 1, Maret 2010; hal 8 – 13

Ejegi, A, Ross, AJ, Naidoo, K. (2016).Knowledge of symptoms and self-management of


hypoglycaemia amongst patients attending a diabetic clinic at a regional hospital in
KwaZulu-Natal. Afr J Prm Health Care Fam Med.8(1), a906. http://dx.
doi.org/10.4102/phcfm. v8i1.906
Farmer, Wade, French, Simon, Yudkin, Gray, Crave, et al. (2009). Blood Glucose self-
Monitoring in type 2 diabetes: a Randomized Control Trial. Health Technology
Assessment, 13(15). DOI:10.3310/htal3150

Harris, S., Mamdani, M., Galbo-Jørgensen, C. B., Bøgelund, M., Gundgaard, J., & Groleau,
D. (2014). The effect of hypoglycemia on health-related quality of life: Canadian results
from a multinational time trade-off survey. Canadian Journal of Diabetes, 38(1), 45–
52. https://doi.org/10.1016/j.jcjd.2013.09.001
IDF Diabetes Atlas Eight Edition 2017. https://www.diabete.qc.ca/en/understand-
diabetes/resources/getdocumentutile/IDF-DA-8e-EN-finalR3.pdf

Masitoh, Robiul Fitri; Priyanto, P. (2017). Optimalisasi Self Monitoring Blood Glucose
Pasien Diabetes Melitus dalam Melakukan Deteksi Episode Hipoglikemia di Wilayah
Kerja Puskesmas Kabupaten Magelang, 73–82.

Morales, J., & Schneider, D. (2014). Hypoglycemia. The American Journal of Medicine,
127(10), S17–S24. https://doi.org/10.1016/j.amjmed.2014.07.004

Lin, J. (2008). Development and testing of diabetes self-management instrument: A


confirmatory analysis. Research in Nursing & Health, 31, 370–380.
Riset Kesehatan Dasara Tahun 2013, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementrian Kesehatan RI.
Siwi Handayani, D., Yudianto, K., & Kurniawan, T. (2013). Perilaku Self-Management
Pasien Diabetes Melitus . Jurnal Keperawatan Padjadjaran, v1(n1), 30–38.
https://doi.org/10.24198/jkp.v1n1.4

Anda mungkin juga menyukai