Anda di halaman 1dari 18

KAJIAN DAN ANALISIS

GANGGUAN SISTEM PERSYARAFAN : KEJANG

Dibuat untuk Memenuhi Salah Satu Tugas


Mata Kuliah Teori Keperawatan Medikal Bedah Lanjut II

Dosen : Tuti Pahria, S,Kp., M.Kes., PhD

Disusun oleh:

Ade Iwan Mutiudin 220120180009


Cahyo Nugroho 220120180007
Mayriska Kalay 220120180032

PEMINATAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH


PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2019
I. Patofisiologi Kejang
Kejang adalah episode disfungsi neurologis paroksismal akibat pelepasan
neuron yang abnormal dan berlebihan, yang mengakibatkan perubahan
mendadak dalam perilaku, persepsi sensorik, atau aktivitas motorik, baik dengan
atau tanpa gangguan kesadaran (Panayiotopoulos, 2005 dalam Spray, 2015).
Kejang terjadi akibat lepasnya muatan paroksismal yang berlebihan dari
sabuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang tergantung akibat dari
keadaan patologis. Aktivitas kejang bergantung pada lokasi lepas muatan
berlebihan di otak. Lesi di otak pun dapat memicu kejang seperti lesi di otak
tengah, thalamus, dan korteks serebelum yang kemungkinan besar bersifat
epileptogenic, sedangkan lesi di serebelum dan batang otak pada umumnya tidak
memicu kejadian kejang (Price & Wilson, 2006). Patofisiologi kejadian kejang
sebagai berikut :
1. Instabilitas membran sel saraf sehingga lebih mudah mengalami
pengaktifan.
2. Aktivitas tersebut membuat neuron-neuron lebih hipersensitif dengan
ambang untuk melepaskan muatan sehingga muatan menurun dan apabila
terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan.
3. Pelepasan dari muatan akan menyebabkan terjadinya kelainan polarisasi
yang disebabkan oleh kelebihan asetikolin atau defisiensi GABA (Gama-
Amino-Butirat Acid).
4. Terjadinya ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam
basa atau elektrolit yang akan menganggu kimiawi neuron sehingga terjadi
kelainan pada depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan tersebut akan
menyebabkan peningkatan berlebih neurotransmitter eksitatorik atau
deplesi neurotrasmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan setelah kejang
disebakan oleh meningkatkan kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron.
Selama kejang, terjadi peningkatan kebutuhan metabolik secara drastis.
Pelepasan muatan listrik sel-sel saraf motorik meningkat diperkirakan
1000/detik. Aliran di area otak, proses pernafasan dan glikolisis jaringan pun
meningkat. Asetikolin dapat ditemukan di cairan serebrospinal selama dan

2
setelah terjadi kejang. Pada kejadian kejang diduga terjadi deplesi asam glutamat
selama aktivitas kejang.

Pathway

Instabilitas membran sel saraf

Neuron-neuron hipersensitif

Pelepasan muatan

Kelainan polarisasi

Defisiensi GABA
Eksitasi saraf
Ketidakseimbangan ion
Promosikan dendrit
dari sel pyramid
Perubahan keseimbangan asam, basa atau elektrolit
Hipomagnesium

Terkandung voltage
gated Ca2+ Aktivitas ekstraseluler
Kimiawi neuron terganggu
konsentrasi kalium

Depolarisasi massif Pengurangan kalium


Depolarisasi paroksismal neuron
di kanal kalium

Kejang Aktivasi kanal NMDA

Hiperaktivitas dari motorik, sensorik, autonomik,


kognitif, dan emosional

3
II. Tanda dan Gejala
Gejala yang muncul tergantung kepada area otak yang terdampak dan
tingkat keparahannya.
Kejang yang melibatkan satu area di otak, gejalanya meliputi:
1. Gangguan sensasi pada penglihatan, pendengaran, atau penciuman.
2. Gerakan berulang, seperti jalan berputar-putar.
3. Gerak menyentak pada salah satu lengan atau tungkai.
4. Perubahan suasana hati.
5. Pusing.
6. Kesemutan
Kejang yang memengaruhi seluruh bagian otak, gejala yang muncul bisa
berupa:
1. Tubuh kaku lalu dilanjutkan dengan gerakan menyentak di seluruh tubuh.
2. Gerak menyentak di wajah, leher dan tangan.
3. Otot hilang kontrol, sehingga dapat membuat penderita tiba-tiba jatuh.
4. Kaku otot, terutama pada punggung dan tungkai.
5. Pandangan kosong ke satu arah.
6. Mata berkedip cepat
Gejala lain yang sering menyertai kejang, yaitu
1. Penurunan kesadaran sesaat, lalu bingung saat sadar karena tidak ingat apa
yang terjadi.
2. Perubahan perilaku.
3. Mulut berbusa atau ngeces.
4. Napas berhenti sementara.
Gejala kejang jarang berlangsung lama. Biasanya gejala hanya
berlangsung selama beberapa detik sampai beberapa menit. Sebelum kejang
muncul, sering kali ada gejala lain yang bisa dijadikan sebagai peringatan, seperti
merasa takut atau marah, mual, vertigo, atau seperti ada kilatan cahaya di mata.

4
Semiologi Kejang Umum
Tipe Kejang Durasi Kesadaran Seminologi Tanda-tanda
postictal
CONVULSIVE
Tonik-Klonik < 5 menit Kehilangan Kekakuan (tonik) Biasanya, kesadaran
kesadaran dari semua anggota kembali perlahan,
badan, biasanya seperti pemulihan
dengan tangisan atau Setelah itu, mereka
erangan saat biasanya mengantuk,
mengeluarkan udara. bingung, otot pegal,
Diikuti oleh lemas, sakit kepala,
sentakan (klonik) dan biasanya perlu
dari semua anggota tidur. Mereka mungkin
badan. Tanda-tanda juga memiliki
otonom yang kelemahan sementara
menonjol: pada tungkai atau
takikardia, kesulitan berbicara.
hipertensi, apnea,
hipoksia, sianosis,
pupil melebar,
berkeringat dan
mengeluarkan air
liur. Mereka
mungkin
mengompol atau
menggigit lidah
mereka
Miodonik 1-2 detik Kehilangan Tersentak seperti Pemulihan langsung
kesadaran hampir kejutan singkat tanpa efek samping
tidak terlihat mempengaruhi
seluruh tubuh atau
salah satu bagian
tubuh, tetapi
biasanya
mempengaruhi satu
atau kedua lengan,
kadang-kadang
kepala
Klonik ± 1 menit Kehilangan Sentakan berulang Pemulihan cepat dalam
kesadaran lebih berirama dari semua kejang yang
terlihat pada anggota badan berlangsung beberapa
kejang yang dengan tanda-tanda detik. Pada kejang
berlangsung lebih otonom yang berdurasi lebih
lama dari beberapa lama, tanda-tanda
detik kantuk, kebingungan,
dan sakit kepala post-
postal mungkin terjadi
setelahnya

5
NON CONVULSIVE
Atonic Sangat Kehilangan Tiba-tiba kehilangan Pemulihan segera.
singkat, kesadaran begitu nada postur (otot) Kesadaran pulih
detik singkat sehingga secara tiba-tiba, kembali dengan cepat,
sulit terlihat menyebabkan jatuh seperti kemampuan
atau kolaps untuk berdiri dan
Mudah berjalan lagi
disalahartikan
pingsan atau
tersandung
Tonic < 1 menit Kehilangan Kekakuan anggota Tanda-tanda postiktal
kesadaran lebih badan yang tiba-tiba, terkait dengan durasi.
jelas jika kejang dengan tanda-tanda Dalam kejang yang
lebih lama dari otonom; jika berdiri berlangsung lebih dari
beberapa detik biasanya akan jatuh beberapa detik, tanda-
tanda kebingungan,
kelelahan dan sakit
kepala adalah hal yang
biasa
Ketiadaan Sangat Kehilangan Penghentian Pemulihan segera,
singkat, kesadaran begitu aktivitas tiba-tiba tanpa efek setelah
detik singkat sehingga yang singkat, dengan kecuali celah dalam
sulit terlihat; tatapan mata lepas, memori
mudah keliru mata mundur,
karena melamun mungkin berkedip,
tanda-tanda otonom,
tidak sadar dan tidak
responsif, kemudian
secara spontan
melanjutkan
aktivitas
Biasanya terjadi
beberapa kali sehari
Sumber: Mukhopadhyay et al, 2012

III. Intervensi dan Evidence Based


Berdasarkan tanda dan gejala yang terjadi pada pasien kejang yang telah
dibahas diatas, maka ada beberapa intervensi yang perlu dilakukan perawat saat
menangani pasien kejang. Menurut Pullen (2003), intervensi penting yang
dilakukan bagi pasien yang mengalami kejang, yaitu :
1. Nilai pasien untuk tanda-tanda dan gejala aktivitas kejang, seperti laporannya
tentang aura atau berkedut kelompok otot, terutama di wajah atau tangannya.

6
2. Bersihkan jalan napas oral, pemberian oksigen, dan suction. Jaga tempat
tidurnya dalam posisi rendah dengan bedside rail yang terpasang.
Sebuah penelitian yang dilakukan Rigg, Irwin, Tremayne, & Reutens (2018)
yang bertujuan mengidentifikasi faktor risiko penting yang diduga menyebabkan
kematian mendadak pada kasus epilepsi saat terjadinya kejang. Hasil rekaman
video electroencephalographic (video-EEG) untuk pasien yang menjalani
investigasi di Royal Brisbane dan Rumah Sakit Wanita antara 2005 dan 2013
ditinjau secara independen oleh dua penilai. Posisi kepala dan truncal (lateral kiri
dan kanan, terlentang, dan duduk) saat onset kejang dan offset, sebelum dan
sesudah intervensi dicatat. Disimpulkan bahwa pasien mencapai posisi tengkurap
selama kejang sangat rendah, mengingat bahwa tidak ada pasien yang cenderung
mengalami posisi berputar lebih dari 90 derajat. Hasil ini menunjukkan bahwa
pasien paling tidak mungkin untuk mencapai posisi rawan jika kejang dimulai saat
dalam posisi terlentang. Posisi ini memastikan bahwa postur kepala distonik tidak
mungkin menyebabkan pasien memutar kepala ke dalam bantal, diharapkan semua
pasien yang berpotensi mengalami kejang dalam posisi terlentang untuk
menghindari kejadian mati mendadak.
3. Saat terjadi kejang, tetap bersama pasien untuk melindunginya dari cedera dan
mengamati aktivitas kejang (lokasi atau durasi aktivitas motorik, dan frekuensi
atau rekurensi. Catat apakah pasien terjatuh, mengekspresikan vokalisasi,
droopled, atau tindakan otomatisme (mengunyah dan menggigit pakaian). Jika
dia berada di kursi atau keluar dari tempat tidur, turunkan dia ke lantai. Jika ia
berada di tempat tidur, lepaskan bantal dan atur tempat tidur dalam posisi datar.
Kendurkan pakaian pasien yang ketat.
4. Bersihkan area dari benda yang bisa melukainya. Jika dia berada di lantai,
letakkan handuk atau selimut lipat di bawah kepalanya untuk melindunginya dari
cedera.

7
5. Setelah kejang, kaji tanda-tanda vital pasien. Jika denyut nadi dan pernafasan
ada dan pasien tidak responsif, miringkan pasien untuk membantu menjaga jalan
napas tetap terbuka. Jika denyut nadi atau pernapasan tidak ada, panggil bantuan
dan mulai RJP.
Penelitian yang dilakukan Tatum et al (2016) bertujuan untuk menilai dan
membandingkan puncak tanda vital iktal multimodal (iVS) selama kejang
epilepsi (ES) dan kejang nonepileptik psikogenik (PNES). Antara 4/1/2010 dan
4/1/2011, 183 orang dewasa memiliki pemantauan video-EEG, dengan 96 pasien
berturut-turut memenuhi kriteria inklusi. Denyut jantung (HR), saturasi oksigen
(SaO2), dan tekanan darah (BP) diperoleh pada awal dan selama ictus. Semiologi
motorik dari masing-masing ES dan PNES juga dinilai. Uji-t test, Uji Fischer,
Uji Wilcoxon (p = <0,05), dan regresi linier memberikan korelasi statistik. Hasil
penelitian menunjukkan 46 pasien dengan ES dan 50 pasien dengan PNES
memiliki tanda vital awal yang sama. ES tonik-klonik umum memiliki iVS
absolut tertinggi. ES menghasilkan HR ik absolut yang lebih tinggi (p = 0,0004)
dan SaO2 yang lebih rendah (p = 0,003) daripada PNES. BP sistolik dan diastolik
tidak berbeda antara kelompok (p = NS). Kisaran atas iS-BP mencapai nilai
maksimum 195/135 mm Hg di ES dan 208/128 mmHg di PNES. Untuk ES,
perubahan SDM ik berkorelasi terbalik dengan pengurangan SaO2 iktal (CC = -
0,4; p = 0,003). Dalam PNES, ictal HR berkorelasi dengan BP sistolik (CC =
0,6; p = <0,0001), tetapi tidak SaO2 iktal. Kesimpulannya hubungan terbalik
antara HR ictal dan SaO2 ictal dalam ES menunjukkan perbedaan neurobiologis,
dan konsep disfungsi kardio-pernapasan intrinsik pada pasien dengan epilepsi.

8
Peningkatan puncak yang meningkat secara signifikan dalam HR ik dan BP
sistolik ictal selama PNES menunjukkan potensi hasil buruk yang serius jika
serangan berkepanjangan.
6. Tutupi pasien dengan selimut untuk kehangatan dan privasi; kejang mungkin
menyebabkan inkontinensia. Tenangkan dan reorientasi dia dan lakukan
penilaian neurologis.

Beberapa hal yang tidak boleh dilakukan saat pasien sedang mengalami kejang :
1. Jangan menahan pasien selama kejang karena kontraksi otot yang kuat dapat
melukai pasien.
2. Jangan mencoba membuka rahangnya yang tertutup atau memaksakan apa pun
ke dalam mulut pasien. Melakukan hal itu dapat melukai bibir dan giginya dan
menyebabkan lidahnya menghalangi jalan napasnya.
Penelitian yang dilakukan Brigo, Nardone, & Giuseppe (2012) merupakan
tinjauan sistematis dan meta analisis studi yang mengevaluasi prevalensi gigitan
lidah pada pasien kejang epilepsi dan sinkop dan untuk menentukan sensitivitas,
spesifisitas dan kemungkinan rasio dari temuan fisik ini. Menggigit lidah dapat
terjadi baik pada kejang epilepsi dan sinkop. Mencari literatur untuk menentukan
keakuratan temuan fisik ini dan prevalensinya pada epilepsi kejang dan sinkop
masih kurang. Metode yang dilakukan pada penelitian ini adalah
membandingkan prevalensi gigitan lidah pada pasien kejang epilepsi dan sinkop
secara sistematis. Prevalensi gigitan lidah dianalisis dengan menghitung odds
ratio (OR) dengan interval kepercayaan 95% (CI). Sensitivitas, spesifisitas, rasio
kemungkinan positif dan negatif (pLR, nLR) dari gigitan lidah ditentukan untuk
masing-masing studi dan untuk hasil yang dikumpulkan. Hasil penelitian

9
menunjukkan dua penelitian (75 pasien epilepsi dan 98 subjek dengan sinkop)
dimasukkan. Prevalensi gigitan lidah yang secara signifikan lebih tinggi pada
pasien dengan kejang epilepsi (OR 12,26; 95% CI 3,99-37,69).
Ukuran akurasi gigitan lidah yang dikumpulkan untuk diagnosis kejang epilepsi
adalah: sensitivitas 33%, spesifisitas 96%, pLR 8,167 (95% CI 2,969-22,461)
dan nLR 0,695 (95% CI 0,589-0,82).

3. Jangan memindahkan pasien kecuali lingkungan tidak aman.


4. Jangan lakukan suction pada orofaring pasien sampai aktivitas motorik berhenti.
Selain tindakan-tindakan di atas, adapun pemberian terapi obat yang tepat
perlu diperhatikan oleh tenaga medis. Menurut Glauser et al (2016), pada orang
dewasa dengan status epileptikus yang mengalami kejang, midazolam
intramuskular, lorazepam intrvena, diazepam intravena, dan fenobarbital
intravena ditetapkan sama efektifnya dengan terapi awal (Level A). Midazolam
intra musculer memiliki efektivitas lebih baik dibandingkan dengan lorazepam
intravena pada orang dewasa dengan status kejang epileptikus (Level A).
Gejala pernapasan dan jantung adalah efek samping yang paling sering
ditemui terkait pengobatan dengan pemberian obat antikonvulsan intravena pada
orang dewasa dengan status kejang epileptikus (Level A). Tingkat depresi
pernapasan pada pasien dengan status kejang epileptikus yang diobati dengan
benzodiazepin lebih rendah daripada pasien dengan status kejang epilepticus
yang diobati dengan plasebo yang menunjukkan bahwa masalah pernapasan
merupakan konsekuensi penting dari tidak diobatinya status kejang epileptikus
(Level A).
Ketika keduanya tersedia, fosfenytoin lebih disukai daripada fenitoin
berdasarkan tolerabilitas. Tetapi fenitoin adalah alternatif yang dapat diterima
(Level A). Pada orang dewasa, dibandingkan dengan terapi pertama, terapi
kedua kurang efektif, sedangkan terapi ketiga secara substansial kurang efektif
(Level A). Pada anak-anak, terapi kedua tampak kurang efektif dan ada tidak
ada data tentang kemanjuran terapi ketiga (Level C).
Pengobatan terintegrasi untuk penanganan status kejang epileptikus di
seluruh spektrum usia (bayi sampai orang dewasa) dapat dibangun. Upaya
diperlukan untuk merancang Multicenter, multinasional, dan menganalisis

10
penelitian RCT tambahan yang dapat menjawab banyak pertanyaan pertanyaan
klinis relevan yang teridentifikasi dalam pedoman ini.
Penelitian yang dilakukan Poh et al (2012) mengenai deteksi kejang
konvulsif menggunakan elektrodermal yang dikenakan di pergelangan tangan
merupakan metode berbasis panggilan penerimaan untuk alternatif
electroencephalography (EEG). Temuan ini mengembangkan sebuah algoritma
untuk deteksi otomatis kejang umum tonik klonik (GTC) berdasarkan aktivitas
electrodermal (EDA) dan accelerometry diukur menggunakan biosensor baru
yang dikenakan di pergelangan tangan.
Deteksi kejang GTC dianggap sebagai pembelajaran yang diawasi di mana
tujuannya adalah untuk mengklasifikasikan zaman 10-s sebagai sebuah
peristiwa kejang atau tidak kejang berdasarkan 19 fitur yang diekstraksi dari
EDA dan rekaman accelerometry menggunakan sebuah mesin vektor untuk
mendukung evaluasi kinerja vektor. Kinerja dievaluasi menggunakan metode
validasi silang ganda. Algoritma kejang baru dideteksi diuji pada> 4,213 jam
rekaman dari 80 pasien dan mendeteksi 15 (94%) dari 16 GTC, kejang dari tujuh
pasien dengan 130 alarm palsu (0,74 per 24 jam). Algoritma ini berpotensi
memberikan sistem alarm kejang untuk pengasuh dan tujuan kuantifikasi
frekuensi kejang. Temuan ini menunjukkan bahwa algoritma ini dapat secara
otomatis mendeteksi kejang dengan sensitivitas tinggi dan tingkat alarm palsu
yang rendah. Persyaratan khusus untuk detektor kejang cocok untuk
penggunaan sehari-hari dalam hal biaya, kenyamanan, dan sosial.
Selain pengobatan dan alat pendeteksian dini terhadap kejang, pasien pun
perlu diberi edukasi mengenai pengobatan dirumah secara teratur. Penelitian
Krumholz et al (2015) dengan tujuan untuk memberikan rekomendasi berbasis
bukti untuk perawatan orang dewasa dengan kejang pertama yang tidak
diprovokasi. Metode yang digunakan dengan mendefinisikan pertanyaan yang
relevan dan secara sistematis meninjau studi yang dipublikasikan sesuai dengan
klasifikasi kriteria bukti dari Akademi Neurologi Amerika; kami mendasarkan
rekomendasi pada tingkat bukti.
Hasil dan rekomendasi dari penelitian adalah bahwa orang dewasa dengan
kejang pertama yang tidak diprovokasi harus diinformasikan bahwa risiko

11
kekambuhan kejang mereka paling awal dalam 2 tahun pertama (21% -45%)
(Level A), dan variabel klinis yang terkait dengan peningkatan risiko dapat
termasuk hal utama otak sebelumnya (Level A), EEG dengan kelainan
epileptiformis (Level A), kelainan pada otak yang signifikan (Level B), dan
kejang anokturnal (Level B). Terapi obat antiepileptik (AED) segera,
dibandingkan dengan penundaan perawatan yang menunggu kejang kedua,
kemungkinan akan mengurangi risiko kekambuhan dalam 2 tahun pertama
(Level B) tetapi mungkin tidak meningkatkan kualitas hidup (Level C). Dalam
jangka waktu yang lebih lama (0,3 tahun), pengobatan langsung AED tidak
mungkin meningkatkan prognosis yang diukur dengan remisi kejang yang
berkelanjutan (Level B). Pasien harus diberitahu bahwa risiko efek samping
AED (AE) dapat berkisar dari 7% hingga 31% (Level B) dan bahwa AE ini
cenderung ringan dan reversibel. Rekomendasi dokter apakah akan segera
memulai pengobatan AED setelah kejang pertama harus didasarkan pada
penilaian individual yang mempertimbangkan risiko kekambuhan terhadap AE
dari terapi AED, pertimbangkan preferensi pasien yang berpendidikan, dan
memberi saran bahwa pengobatan segera tidak akan meningkatkan prognosis
jangka panjang untuk remisi kejang, tetapi akan mengurangi risiko kejang
selama 2 tahun berikutnya.

Berdasarkan NANDA International Nursing Diagnoses (2018), masalah


keperawatan yang perlu pada pasien dengan kejang, yaitu :
1. Resiko Trauma Fisik (kode diagnosa NANDA 00038)
Intervensi Rasional
Gunakan bedside rails dan bantalan Mencegah atau meminimalkan
disisi tempat tidur serta posiskan cedera ketika kejang (sering atau
tempat tidur terendah menyeluruh) terjadi saat pasien di
tempat tidur
Pertahankan pasien untuk tetap Pasien mungkin merasa gelisah
istirahat di atas tempat tidur saat atau perlu ambulasi atau bahkan
tanda-tanda prodormal fase aural buang air besar selama fase aural,
terjadi sehingga secara tidak sengaja
mengeluarkan diri dari lingkungan
yang aman dan pengamatan yang
mudah. Memahami pentingnya
menyediakan kebutuhan

12
keselamatan sendiri dapat
meningkatkan kerjasama pasien
Jangan meninggalkan pasien Menjaga keamanan pasien
selama dan setelah kejang
Posisikan kepala pasien miring dan Membantu mempertahankan
suction jalan napas. Masukkan patensi jalan nafas dan mengurangi
gigitan plastik hany jika rahang risiko trauma oral tetapi tidak boleh
rileks. “dipaksa” atau dimasukkan ketika
gigi dikepal karena kerusakan gigi
dan jaringan lunak dapat terjadi.
Catatan: Bilah lidah kayu tidak
boleh digunakan karena bisa pecah
dan pecah di mulut pasien
Asal kepala dan tubuh pasien Melindungi ekstremitas untuk
dengan sesuatu yang lembut dan risiko cedera fisik ketika pasien
tidak menahan pasien saat kondisi tidak memiliki kontrol terhadap
kejang otot. Catatan: Jika upaya dilakukan
untuk menahan pasien selama
kejang, gerakan yang tidak
menentu dapat meningkat, dan
pasien dapat melukai diri sendiri
atau orang lain.
Catat aktivitas pra-kejang, adanya Membantu melokalisasi area otak
perilaku yang tidak biasa, jenis yang terlibat
aktivitas kejang (lokasi atau durasi
aktivitas motorik, dan frekuensi
atau rekurensi. Catat apakah pasien
terjatuh, mengekspresikan
vokalisasi, droopled, atau tindakan
otomatisme (mengunyah dan
menggigit pakaian)
Pemeriksaan tanda neurologis atau Dokumen status dan waktu atau
vital setelah kejang (tingkat kelengkapan pemulihan ke keadaan
kesadaran, orientasi, kemampuan normal. Dapat mengidentifikasi
untuk mematuhi perintah masalah keamanan tambahan yang
sederhana, kemampuan untuk harus ditangani
berbicara; memori kejadian;
kelemahan atau defisit motorik;
tekanan darah (BP), denyut nadi
dan laju pernapasan).
Pengkajian laporan rasa sakit Mungkin akibat kontraksi otot
berulang atau gejala cedera yang
terjadi, membutuhkan evaluasi atau
intervensi lebih lanjut
Mendeteksi status epilepticus Ini adalah keadaan darurat yang
(kejang tonik-klonik satu demi satu mengancam jiwa yang jika tidak
secara berurutan) ditangani dapat menyebabkan
asidosis metabolik, hipertermia,

13
hipoglikemia, aritmia, hipoksia,
peningkatan tekanan intrakranial,
obstruksi jalan napas, dan henti
napas. Intervensi segera diperlukan
untuk mengontrol aktivitas kejang
dan mencegah cedera permanen
atau kematian. Catatan: Meskipun
kejang absen dapat menjadi statis,
mereka biasanya tidak mengancam
jiwa

2. Resiko Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas (Kode Diagnosa NANDA


00031)
Intervensi Rasional
Pastikan mulut pasien tidak Mengurangi risiko aspirasi atau
terpasang gigi palsu dan kosong benda asing yang masuk ke faring
dari benda asing jika terjadi aura
dan untuk menghindari
mengunyah permen karet dan
mengisap tablet jika kejang terjadi
tanpa peringatan
Pertahankan dalam posisi Membantu dalam drainase sekresi;
berbaring, permukaan rata; mencegah lidah menghalangi jalan
miringkan kepala pasien selama napas
aktivitas kejang
Longgarkan pakaian dari leher, Bantu pernapasan atau ekspansi
dada, dan perut dada
Berikan bantuan jalan napas Jika dimasukkan sebelum rahang
plastik atau gulungan lunak bila pasien kencang, perangkat ini dapat
terindikasi dan hanya jika rahang mencegah gigitan lidah dan
sedang rileks mempermudah suction atau bantuan
pernapasan jika diperlukan.
Tambahan jalan nafas dapat
diindikasikan setelah penghentian
aktivitas kejang jika pasien tidak
sadar dan tidak dapat
mempertahankan posisi lidah yang
aman
Suction jika diperlukan Mengurangi risiko aspirasi atau
sesak napas
Tindaklanjuti pemberian oksigen Dapat mengurangi hipoksia serebral
tambahan atau ventilasi kantong akibat menurunnya sirkulasi atau
sesuai kebutuhan setelah kejang oksigenasi akibat kejang vaskular
Bersiaplah atau bantu dengan Terjadi apnea yang berkepanjangan
intubasi, jika ada indikasi pasca kejang mungkin
membutuhkan dukungan ventilasi

14
3. Harga Diri Rendah Situasional (Kode diagnosa NANDA 00120)
Intervensi Rasional
Tentukan situasi individu yang Verbalisasi keprihatinan tentang
terkait dengan harga diri rendah implikasi masa depan dapat
dalam situasi saat ini membantu pasien mulai menerima
atau menangani situasi
Kaji perasaan tentang diagnosis, Reaksi bervariasi di antara individu,
persepsi ancaman terhadap diri dan pengetahuan atau pengalaman
sendiri. Dorong ekspresi perasaan sebelumnya dengan kondisi ini
pasien mempengaruhi penerimaan rejimen
terapi
Jangan terlalu melindungi pasien; Partisipasi dalam sebanyak
dorong untuk berkegiatan, berikan mungkin pengalaman dapat
pengawasan dan pemantauan bila mengurangi depresi tentang
diperlukan keterbatasan. Pengamatan dan
pengawasan mungkin perlu
disediakan untuk kegiatan seperti
senam, panjat tebing, dan olahraga
air
Anjurkan pasien dan keluarga Memberikan kesempatan untuk
mengunjungi kelompok mendapatkan informasi, dukungan,
pendukung (Yayasan Epilepsi dan dan ide untuk menangani masalah
Asosiasi Nasional Pusat Epilepsi) dari orang lain yang memiliki
pengalaman serupa

4. Defisien Pengetahuan (Kode Diagnosa NANDA 00126)


Intervensi Rasional
Diskusikan pentingnya Keteraturan dan moderasi dalam
mempertahankan kesehatan umum kegiatan dapat membantu
yang baik (diet yang cukup, mengurangi atau mengendalikan
istirahat, olahraga ringan, dan faktor pencetus, meningkatkan rasa
hindari kelelahan, alkohol, kafein, kesejahteraan umum, dan
dan obat stimulan) memperkuat kemampuan
mengatasi dan harga diri. Catatan:
Tidur terlalu sedikit atau terlalu
banyak alkohol dapat memicu
aktivitas kejang pada beberapa
orang
Ajarkan penggunaan tepat Berguna dalam mengendalikan
diazepam rektal gel (Diastat) kejang serial atau cluster. Dapat
dengan pasien dan keluarga diberikan dalam pengaturan apa
pun dan efektif biasanya dalam 15
menit. Dapat mengurangi
ketergantungan pada kunjungan
departemen darurat
Tinjau rejimen pengobatan, Kurangnya kerja sama dengan
perlunya mengonsumsi obat sesuai rejimen obat adalah penyebab

15
resep, dan tidak menghentikan utama terobosan kejang. Pasien
terapi tanpa pengawasan dokter. perlu mengetahui risiko status
Sertakan petunjuk untuk dosis yang epilepticus yang dihasilkan dari
terlewat penghentian antikonvulsan secara
tiba-tiba. Bergantung pada dosis
dan frekuensi obat, pasien
mungkin diminta untuk mengambil
dosis yang terlewat jika diingat
dalam jangka waktu yang telah
ditentukan

16
DAFTAR PUSTAKA

Brigo, F., Nardone, R., & Giuseppe, L. (2012). Value of tongue biting in the
differential diagnosis between epileptic seizures and syncope. Seizure:
European Journal of Epilepsy, 21(8), 568–572.
https://doi.org/10.1016/j.seizure.2012.06.005

Glauser, T., Shinnar, S., Gloss, D., Alldredge, B., Arya, R., Bainbridge, J., …
Treiman, D. M. (2016). Evidence-Based Guideline : Treatment of Convulsive
Status Epilepticus in Children and Adults : Report of the Guideline Committee
of the American Epilepsy Society. Epilepsy Currents, 16(1), 48–61.
Heather, T & Kamitsuru, S. (2018).NANDA-I Diagnosis Keperawatan Definisi &
Klasifikasi 2018-2020 Edisi 11. Jakarta: EGC.

Krumholz, A., Wiebe, S., Gronseth, G. S., Gloss, D. S., Sanchez, A. M., Kabir, A.
A., … French, J. A. (2015). Evidence-based guideline : Management of an
unprovoked first seizure in adults American Academy of Neurology and the
American Epilepsy Society. American Academy of Neurology, 84, 1705–1713.
Mukhopadhyay, H. K., Kandar, C. C., Das, S. K., Ghosh, L., & Gupta, B. K.
(2012). Epilepsy and its Management : A Review. Journal of
PharmaSciTech, 1(2), 20–26.
Poh, M., Loddenkemper, T., Reinsberger, C., Swenson, N. C., Goyal, S., Sabtala,
M. C., … Picard, R. W. (2012). Convulsive seizure detection using a wrist-
worn electrodermal activity and accelerometry biosensor. Epilepsia, 53(5),
93–97. https://doi.org/10.1111/j.1528-1167.2012.03444.x
Price, S.A & Wilson L.N. (2006). Patofisiologi : Konsep Klinik Proses - Proses
Penyakit (edisi 6 volume 2). Jakarta : EGC.
Pullen, R. (2003). Protecting your patient during a seizure. Nursing Center, 33(4),
27–36.
Rigg, J., Irwin, K., Tremayne, F., & Reutens, D. (2018). Postural change in
convulsive seizures: a retrospective review of video EEG recordings. Internal
Medicine Journal, 48(1), 50–54.
Spray, J. (2015). Seizures: awareness and observation in the ward environment.
British Journal of Nursing, 24(19).

17
Tatum, W. O., Acton, E. K., Langston, M. E., Yelvington, K., Bowman, C., Shih,
J. J., & Cheshire, W. P. (2016). Multimodality peak lctal vital signs during
video-EEG monitoring. European Journal of Epilepsy, 40, 15–20.
https://doi.org/10.1016/j.seizure.2016.05.012

18

Anda mungkin juga menyukai