Bab VII Aik 4
Bab VII Aik 4
BAB
11
Kerangka Etik Islam
dalam Dunia Politik
A. PENDAHULUAN
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mampu menjawab
tentang:
1. Prinsip-prinsip Islam dalam bernegara
2. Hubungan pemimpin dengan yang dipimpin
3. Hak dan kewajiban pemimpin dan yang dipimpin
4. Etika berpolitik
B. PEMBAHASAN
Prof. Miriam Budiardjo mengartikan politik adalah aneka aktivitas dalam
suatu sistem politik atau negara yang menyangkut proses menentukan dan
melaksanakan tujuan dari sistem tersebut.1 Ada juga yang mengartikan politik sebagai
suatu seni dan ilmu untuk meraih dan mencapai kekuasaan, baik secara konstitusional
maupun inkonstitusional.2
Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, antara
lain:3
1. Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan
bersama (teori klasik Aristoteles).
Menurut Amin Sa'id, pidato itu memuat prinsip-prinsip, (1) pengakuan Abu
Bakr sendiri bahwa dia adalah "orang kebanyakan", dan mengharap agar rakyat
membantunya jika ia bertindak benar, dan meluruskannya jika ia berbuat keliru; (2)
seruan agar semua pihak menyepakati etika atau akhlaq kejujuran sebagai
amanat, dan jangan melakukan kecurangan yang disebutnya sebagai khianat; (3)
penegasan atas persamaan prinsip persamaan manusia (egalitarianisme) dan keadilan
sosial, dimana terdapat kewajiban yang pasti atas kelompok yang kuat untuk
kelompok yang lemah yang harus diwujudkan oleh pimpinan masyarakat; (4) seruan
untuk tetap memelihara jiwa perjuangan, yaitu sikap hidup penuh cita-cita luhur dan
melihat jauh ke masa depan; (5) penegasan bahwa kewenangan kekuasaan yang
diperolehnya menuntut ketaatan rakyat tidak karena pertimbangan partikularistik
pribadi pimpinan, tetapi karena nilai universal prinsip-prinsip yang dianut dan
dilaksanakannya. Dalam istilah modern, kekuasaan Abu Bakr adalah kekuasaan
konstitusional, bukan kekuasaan mutlak perorangan.6
b. Memilih pemimpin yang baik.
Islam sangat memperhatikan masalah leadership (kepemimpinan). Bahkan
Rasulullah Saw. menyuruh beberapa orang yang akan berpergian untuk mengangkat
salah seorang dari mereka sebagai pemimpinnya.
Setiap orang pasti mendampakan seorang pemimpin yang baik dan cakap.
Berikut ini merupakan beberapa karakateristik pemimpin yang baik menurut Islam
untuk dijadikan pedoman ketika akan memilih seorang pemimpin:8
1. Akidah (iman) yang kuat
Dalam Islam akidah atau iman (faith) yang kuat merupakan karakateristik
yang paling pokok yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, sebab akidah yang
kuat ini akan memberikan pengaruh yang sangat besar dalam kepemimpinannya. Dari
akidah yang kuat inilah akan muncul sifat amanah, jujur, bertanggung jawab, adil,
berakhlak mulia, suka memaafkan, tawadhu’ (low profile), suka bermusyawarah,
tidak gampang berputus asa, berdisiplin dan lain sebagainya.9
Rasulullah Saw., di dalam hadisnya, menjelaskan apa hakikat iman itu:
2. Amanah
Ibnu Katsir, ketika menafsirkan ayat di atas, antara lain mengatakan bahwa
“amanah” dalam ayat di atas mempunyai arti umum, meliputi semua kewajiban dan
tugas yang dipercayakan kepada manusia, baik itu berupa ibadah seperti shalat,
puasa, zakat, nadzar, dan lain sebagainya, maupun tugas-tugas kemanusiaan lainnya
yang dipercayakan untuk dilaksanakan seperti kepemimpinan.15
Karena sifatnya yang amanah inilah yang menyebabkan Rasulullah Saw.
mendapat julukan al-Amīn. Al-Amīn, yang berarti yang dipercaya, merupakan gelar
yang diberikan oleh para pembesar Quraisy kepada Rasulullah Saw. Ketika itu terjadi
pertikaian antara para pembesar Quraisy tentang siapa yang akan meletakkan hajar
aswad ke Ka’bah. Atas usulan salah seorang tua di antara mereka diputuskanlah
bahwa siapa yang lebih dahulu masuk Masjid al-Haram pada pagi harinya, maka
dialah yang berhak meletakkannya. Ternyata yang masuk pertama adalah beliau.
Kemudian beliau mengambil sehelai kain dan dibentangkan untuk diletakkan hajar
aswad di atasnya. Setelah itu, para pembesar Quraisy tadi diminta beliau untuk
memegang masing-masing sudut kain dan mengangkatnya bersama-sama ke dekat
Ka’bah. Kemudian beliau mengambil hajar aswad itu dan meletakkannya di Ka’bah.
Selesailah pertikaian itu disebabkan karena beliau dapat menyelesaikannya dengan
cara yang bijaksana. Mulai saat itulah beliau mendapat gelar al-Amīn (yang
dipercaya).16
3. Tanggung jawab
Antara tanggung jawab dengan amanah mempunyai kaitan yang sangat erat.
Di mana ada amanah, di sana ada pertanggungjawaban. Prof. Dr. Widi Agoes
Pratikto, M.Sc, Ph.D -pada saat Kolokium kajian spiritual tentang Proses
Pengambilan Keputusan yang diselenggarakan di Universitas Negeri Malang pada
tanggal 5 Februari 2005, antara lain mengatakan:
“Amanah sangat bertalian dengan mekanisme pertanggungjawaban
kepemimpinan. Artinya, kepemimpinan bukan semata-mata dilihat dari
pencapaian prestasi terukur seorang pemimpin, tetapi juga berkelit-kelitan
dengan tata cara bagaimana prestasi itu dapat diraih. Kemudian akan
ditimbang kadar kejujuran pencapaiannya dalam pertanggungjawaban
vertikal yang melibatkan “mata” Tuhan yang tembus pandang dan
“intervensi” Tuhan yang tak mungkin diajak kompromi”.17
hadisnya
Dalam yang sangat populer,
Rasulullah Saw. bersabda:
Dari ibnu Umar r.a. bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda: “Setiap kamu sekalian
adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang
dipimpinnya, Imam adalah pemimpin dan akan mintai pertangungjawaban terhadap
yang dipimpinnya, suami adalah pemimpin dalam keluarganya dan akan mintai
pertangungjawaban terhadap yang dipimpinnya, istri adalah pemimpin dalam rumah
suaminya dan akan mintai pertangungjawaban terhadap yang dipimpinnya dan
pembantu terhadap harta majikannya adalah pemimpin dan akan mintai
pertangungjawaban terhadap yang dipimpinnya (Hadis Riwayat Bukhari).18
4. Adil
Dr. M. Quraish Shihab mencatat ada beberapa makna adil dalam al-Qur’an,
antara lain: adil dapat berarti sama, seimbang, perhatian terhadap hak-hak individu
dan memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya.20
Dengan demikian jelaslah bahwa makna adil dalam Islam tidak sama dengan
arti adil menurut paham Komunis “sama rata, sama rasa”. Pengertian adil seperti ini
sangat keliru. Apakah adil seseorang kerjanya malas diberi insentif yang lebih besar
dari yang kerjanya rajin? Apakah adil seorang pimpinan yang tanggung jawabnya
lebih besar diberi gaji yang sama dengan staf yang tanggung jawab lebih kecil?
Allah berfirman di dalam al-Qur’an:
5. Istiqamah (strightness)
Karena isu-isu yang dia terima mungkin saja benar atau mungkin saja
menyesatkan, lebih-lebih kalau isu-isu itu berasal dari para provokator atau orang-
orang yang tidak bisa dipercaya, maka, sebagai pimpinan, dia harus menelitinya
dengan cermat (check and recheck), sehingga dia tidak menetapkan atau memutuskan
sesuatu berdasarkan isu-isu sepihak yang akan merugikan orang lain.
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu
menyesal atas perbuatanmu itu”.26
6. Akhlak Mulia
Allah berfirman:
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”.29
Sehubungan dengan hal ini, Aisyah r.a. pernah ditanya tentang akhlak
Saw.:
Rasulullah
Dari Sa’d bin Hisyam berkata: Saya pernah bertanya kepada Aisyah: “Kataku
beritahu aku tentang akhlak Rasulullah Saw.?” (Aisyah) menjawab: “Akhlak beliau
adalah Al-Qur’an”. (Hadis Riwayat Imam Ahmad)30
Sebagai orang yang beriman, maka panutan kita dalam masalah akhlak mulia
ini adalah Rasulullah Saw. yang merupakan uswatun hasanah bagi umatnya.
Rasulullah Saw. juga menyatakan:
BUKU AJAR AL-ISLAM DAN KEMUHAMMADIYAHAN II 14
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
Dirasah Islamiyah, al-Mutaqaddimah
Dari Aisyah r.a. berkata: Bersabda Rasulullah Saw.: Sesungguhnya di antara orang-
orang beriman yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik
akhlaknya (Hadis Riwayat Tirmidzi).31
Bersikap lemah lembut bukan berarti tidak boleh marah. Marah itu boleh
bahkan harus dalam situasi tertentu. Misalnya, marah kepada staf yang sudah sering
diingatkan yang tidak segera mengerjakan tugas yang diberikan tanpa alasan yang
logis atau juga marah karena harga dirinya dilecehkan.
8. Musyawarah (consultation)
Salah satu hal yang sering dilakukan oleh Rasulullah Saw. dan kemudian
diteruskan oleh para sahabat beliau adalah musyawarah untuk membicarakan
bermacam-macam masalah. Misalnya, Rasulullah Saw. pernah melakukan
musyawarah untuk memecahkan masalah tentang tawanan perang Badar dengan para
sahabat. Beliau meminta pendapat kepada Abu bakar dan Umar bin Khaththab
tentang masalah tersebut.34
Musyawarah merupakan sesuatu yang perlu dilakukan oleh seorang
pemimpin, terutama apabila ada masalah-masalah yang pelik yang harus dipecahkan.
Pendapat orang banyak jauh lebih baik dari pendapat individu. Karena musyawarah
ini sangat penting artinya untuk memecahkan permasalahan, maka Allah
memerintahkan untuk melakukannya. Allah Swt. berfirman:
“…dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu…”35
“…sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka…”36
Seperti dikatakan Alfian -di dalam bukunya Politik, Kebudayaan dan
Manusia Indonesia -antara lain, bahwa konsep musyawarah-mufakat sebagai esensi
dari mekanisme politik demokrasi yang mempertemukan berbagai pendapat dan
aspirasi yang berbeda ke dalam suatu konsensus bersama. Konsep musyawarah-
mufakat ini kadang-kadang memang tampak indah di atas kertas, tetapi tidak
dipraktekkan di dalam kehidupan berpolitik sehari-hari. Salah satu penyebabnya
adalah masing-masing kekuatan politik merasa pendapatnyalah yang paling benar dan
berupaya sekuat tenaga mempertahankannya. Sehingga sulit mencapai konsensus.37
Yang lebih parah lagi kalau suatu konsensus diambil dan diputuskan bersama
yang semestinya harus dilaksanakan oleh semua pihak, tetapi ada pihak yang tidak
mau melaksanakan apa yang sudah diputuskan tersebut karena mereka merasa tidak
sependapat.
9. Pengetahuan (knowlodge).
Charles C. Krulak -di dalam tulisannya yang berjudul The Fourteen Basic
Traits of Effective Leadership- antara lain mengatakan:
“To lead others, you must know your business. …a leader must have a
degree of resident knowledge in his or her respective field. …We
accomplish this through continual self-improvement. We read. We
attend seminars and take courses. We listen”.
Kemudian di dalam shalat berjamaah, tidak semua orang boleh menjadi imam
(pemimpin shalat). Dalam hal ini Rasulullah Saw. menjelaskan:
اا جعلجييخخإه جوجسخخللجم يجخخاؤيمصللى ل اإ ج ي جقاجل جقاجل جراسوال ل صاإر ي جعين أجإبيِ جميساعوددّ ايلجين ج
اإ فجإ إين جكاانوا إفيِ ايلقإجراجءإة جسخخجواءء فجخخأ جيعلجامهايم إباليسخخنلإة فجخخإ إين
ب ل ايلقجيوجم أجيقجراؤهايم لإإكجتا إ
جكاانوا إفيِ اليسنلإة جسجواءء فجأ جيقجدامهايم إهيججرةء فجإ إين جكاانوا إفيِ ايلإهيجخخجرإة جسخخجواءء فجأ جيقخخجدامهايم
إسيلءما
Dari Abi Mas’ud al-Anshari berkata: Bersabda Rasulullah Saw. :”Hendaklah yang
mengimami kelompok itu adalah orang yang paling baik bacaan (paham) al-
Qur’annya di antara mereka. Kalau mereka sama baik dalam bacaan (pemahaman)
al-Qur’annya, maka yang paling mengetahui Sunnah. Kalau mereka sama pandainya
dalam Sunnah, maka yang lebih dahulu hijrah di antara mereka. Kalau mereka sama
dalam hal hijrah, maka yang lebih dahulu masuk Islam di antara mereka”.41
2. Etika berpolitik
Islam merupakan way of life bagi seorang Muslim. Karena itulah Islam
haruslah dijadikan sebagai pedoman dan penuntun dalam semua aktivitas
kehidupannya, termasuk dalam kehidupan berpolitik. Dengan demikian Islam tidak
mungkin dipisahkan dengan kehidupan dunia politik. Pemisahan antara agama
dengan dunia politik hanya mungkin dilakukan apabila yang berpolitik itu bukan lagi
manusia. Agama itu diturunkan memang untuk membimbing dan mengarahkan
kehidupan manusia. Kalau di dalam kehidupan manusia, termasuk dalam kehidupan
berpolitik, sudah sudah tidak berpedoman kepada Agama, maka akan banyak
mengalami kekacauan.
ajaran-ajaran Islam meliputi seluruh aspek kehidupan sama ada sosial, ekonomi, ilmu
pengetahuan, teknologi, kesenian mahupun politik. 42
Dalam kaitannya dengan masalah ini, tepat apa yang dikatakan oleh Bachtiar
Effendi bahwa apabila ada orang yang mengatakan bahwa Islam dan politik
merupakan hal yang tak bisa dipisahkan, hendaknya tidak lantas disimpulkan bahwa
ia tengah mempromosikan gagasan mengenai teokrasi atau keharusan kehidupan
kenegaraan yang didasarkan pada dua sumber utama Islam, Qur’an dan Sunnah.
Sebab, secara substansial bukan legal-formal, antara yang spiritual dan non-spiritual
saling mempengaruhi. Richard Falk, salah seorang pelopor studi dan penelitian
perdamaian, pernah berujar bahwa spiritually engaged politics merupakan suatu
keniscayaan. Bahkan, secara tidak langsung ia sendiri turut mempromosikan gagasan
tersebut karena melihat potensi fungsi dan peran spiritualitas dalam menghadirkan
kehidupan dunia yang ramah, damai, dan terbebaskan dari hal-hal yang bersifat
destruktif. 43
Dalam Musyawarah Nasional Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran
Islam P.P. Muhammadiyah di Padang pada tanggal 2 Oktober 2003, Ahmad Syafi’i
Maarif menyampaikan pidato dengan judul “Politik Dalam Masyarakat
Kontemporer Indonesia”, antara lain, mengatakan:44
komprehensif terhadap pertanyaan itu. Namun Asad juga sadar bahwa sebagian besar
Muslim telah menyimpang dari ruh pesan al-Qur'an, sekalipun mereka tetap percaya
bahwa "al-Qur'an adalah menifestasi tertinggi dari rahmat Allah, kearifan tertinggi,
dan ekspresi keindahan yang tertinggi pula: singkatnya, Kalam Allah yang
sebenarnya." Bila kita gumulkan pesan al-Qur'an ini dengan realitas umat, maka
terbentanglah sebuah jurang pemisah yang sangat lebar antara kepercayaan dan
prilaku seorang Muslim dalam kehidupan kolektifnya bila diukur dengan kriteria dan
standar al-Qur'an. Kitab Suci ini dalam bahasanya sendiri juga sekaligus berfungsi
sebagai al-furqan. Ungkapan al-furqan dalam beberapa tafsir kelasik diartikan sebagai
"pembeda antara mana yang halal dan mana yang haram, antara yang benar dan yang
batil."
Fenomena dalam masyarakat kita yang cukup merisaukan adalah kesalehan
pribadi seperti tak ada hubungannya dengan kesalehan sosial. Al-furqan yang
seharusnya berfungsi sebagai penerang dalam suasana kegalauan sistem moral,
seperti telah lama menghilang. Dalam kalimat lain, kesalehan pribadi secara simbolik
yang dipertunjukkan banyak orang dalam berbagai upacara ritual belum tentu dengan
sendirinya terkait dengan kesalehan sosial sebagai salah satu manifestasi taqwa dalam
kehidupan bermasyarakat Juga belum tentu dalam kesehariannya, orang yang
tampaknya saleh secara pribadi itu punya mata batin yang tajam untuk membedakan
antara yang hak dan yang batil, antara yang pantas dan tidak pantas, dan antara politik
yang bermoral dan politik yang kotor. Kesukaan para elit, eksekutif, dan selibritis
melakukan umrah sebenarnya bukanlah sesuatu yang tidak baik, tetapi pertanyaannya
adalah: dengan melakukan umrah berkali-kali itu, apakah dapat memupuk suburnya
kesalehan sosial berupa perhatian yang lebih meningkat terhadap nasib sektor
masyarakat lemah dan para penganggur yang jumlahnya dari hari ke hari semakin
membengkak? Kriminalitas dan narkoba yang semakin marak sesungguhnya
merupakan indikator lain tentang betapa rapuhnya bangunan sosial masyarakat
Indonesia yang dikatakan religius itu. Semakin tajam kita membaca realitas
masyarakat kita, seharusnya akan semakin besar pula rasa tanggungjawab kolektif
kita untuk terjun ke lapangan bagi usaha pencerahan lahir-batin masyarakat kita yang
kelihatannya semakin terombang-ambing tanpa pegangan dalam iklim serba
ketidakpastian politik, ekonomi, sosial dan moral.
Kalau demikian penjelasan Asad di atas tentang fungsi al-Qur'an dalam
kaitannya dengan realitas sosial kita yang rancu dan rentan terhadap keburukan, akan
memaksa kita untuk tidak saja sekadar mengoreksi diri secara biasa, tetapi
melakukannya secara total dan berani, jika memang kita beriman kepada Kitab Suci
ini. Pertanyaan kita adalah: siapa di antara kita, ulama, pemimpin organisasi, politisi,
birokrat, cendekiawan, dan para mubaligh yang bersedia secara tulus untuk berunding
dengan al-Qur'an dalam kehidupan sehari-harinya? Jawaban masing-masing kita
terhadap pertanyaan ini akan menentukan corak prilaku kita, apakah masih berada
dalam koridor moral-etika al-Qur'an atau kelakuan kita sudah menyimpang sama
sekali dari pesan kitab suci yang kita imani itu.
Sebagai al-Furqan, patokan moral al-Qur'an itu teramat gamblang, "bersuluh
matahari, bukan bersuluh batang pisang", kata orang Minang. Kita ambil prinsip
musyawarah misalnya sebagai dasar etika kita dalam hidup bersama, suatu prinsip
yang jelas-jelas diperintahkan al-Qur'an, tetapi yang sering benar dilanggar karena
kepentingan politik sesaat. Perpecahan yang sedang terjadi di kalangan partai-partai
yang berlabel atau yang berbasiskan kaum santri adalah contoh yang paling dekat
dengan situasi kita sekarang yang sekaligus memperlihatkan betapa jauhnya kelakuan
kita dari sistem etika al-Qur'an. Orang dengan mudah memecat atau menyingkirkan
orang lain yang dinilai tidak loyal kepadanya, tanpa alasan yang jelas dan obyektif.
Yang lebih ironis lagi adalah perpecahan, nyata atau terselubung, yang berlaku dalam
partai yang secara formal berasaskan Islam. Membaca fenomena ini, pertanyaan yang
muncul adalah: apakah dalam politik orang tidak merasa malu mempertunjukkan
sikap hipokrit yang nyata-nyata mengkhianati etika al-Qur'an dalam hidup
berorganisasi dan berpartai? Apakah kita ini memang orang yang beriman sungguhan
atau hanya berpura-pura beriman? Syahwat berkuasa sering benar melumpuhkan hati
nurani manusia, hingga persaudaraan kita menjadi berantakan.
daratan dan lupa lautan. Kelakuan sebagian para pejabat kita, sipil dan militer, di saat
berada pada posisi pengambil keputusan, sering benar menjadi manusia penaka dewa-
raja yang suka disembah dan dipuja. Budaya neo-feodalisme ternyata masih kuat
mempengaruhi prilaku para pejabat dan elit kita.
Ayat lain dengan muatan perintah yang mirip juga kita jumpai. Kita baca
terjemahannya: "Dan janganlah engkau palingkan pipimu buat manusia (ketika
berbicara), dan janganlah engkau berjalan di muka bumi dengan sikap sombong.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai si penyombong, congkak". Penyakit sebagian
pemimpin kita yang lagi naik daun sekarang, seperti telah disinggung di atas, adalah
sikap angkuh, seperti dia adalah segala-galanya, orang lain boleh dilecehkan. Padahal
prinsip musyawarah yang betul bila diikuti dengan baik pasti mendidik orang agar
merasa berada dalam posisi yang sama dengan orang lain. Kalaulah ia dipilih menjadi
pemimpin, itu semata-mata karena ia dianggap punya nilai sedikit lebih di antara
yang setaraf.
Dalam politik, sistem demokrasi menurut pandangan saya lebih dekat kepada
prinsip musyawarah dibandingkan dengan sistem kerajaan atau sistem otoritarian
yang lain. Tetapi sebuah bangunan demokrasi yang kuat dan sehat hanyalah mungkin
tegak jika pendukung sistem itu adalah para demokrat dalam teori dan praktik.
Sayang dalam budaya politik yang berkembang di Indonesia sekarang, yang banyak
muncul adalah para politisi yang bersikap demokrat dalam teori, otoritarian dalam
perilaku praksis. Fenomena semacam ini semakin menyulitkan kita untuk mencari
pemimpin yang layak bagi negara kita yang menginginkan tegaknya sebuah
perumahan demokrasi yang sehat.
Kemudian di kalangan negeri-negeri Muslim sendiri, belum ada kesepakatan
untuk memilih dan menetapkan sistem politik yang mana dan bagaimana kira-kira
yang lebih mendekati prinsip musyawarah dalam al-Qur'an yang selama berabad-
abad telah terkubur dalam debu sejarah. Akibatnya akan sangat sulitlah, misalnya,
menemukan sistem demokrasi di negeri-negeri Arab sekarang ini lantaran mereka
telah kehilangan jejak sejak berakhirnya sistem al-khulafa al-rasyidun yang jauh dari
sistem dinasti.
Sebagai perbandingan yang cukup relevan dengan kondisi kita di Indonesia,
mari kita tengok negeri-negeri Arab yang juga berpenduduk mayoritas Muslim itu
dalam kaitannya dengan krisis yang mereka alami sampai hari ini. Seorang penulis
Yordania, Mohammad Abu-Kazleh, yang bermukin di Kuala Lumpur menyoroti
dunia Arab yang tampaknya tak putus-putusnya dirundung malang. Dalam artikelnya
yang berjudul: "Crisis in the Arab World", Kazleh menyimpulkan mengapa dunia
Arab gagal untuk mencapai persatuan, integrasi, dan kerjasama yang kuat antara
mereka. Faktor-faktor apa pula yang menghalangi mereka bergerak bersama atau
setidak-tidaknya mengkordinasikan kebijakan mereka untuk menghadapi tantangan
yang semakin besar yang dapat membahayakan identitas dan eksistensi mereka
sebagai bangsa.
Menurut Kazleh, terdapat tiga faktor yang saling terkait yang menjadi sebab
utama mengapa dunia Arab susah sekali bersatu dan bekerjasama. Pertama, absennya
efisiensi dalam institusi regional. Kerjasama regional atau pun internasional akan
tergantung kepada terwujudnya realisasi kerjasama untuk kepentingan bersama.
Dunia Arab sebegitu jauh telah gagal meraih tipe integrasi atau persatuan sekalipun
didukung oleh faktor-faktor kondusif seperti agama, bahasa, persamaan pengalaman
sejarah, lingkungan geografis, sumber-sumber alam yang kaya, kepentingan bersama,
dan lain-lain. Liga Arab yang didirikan pada 1945 bahkan gagal mencapai tujuan-
tujuan minimal dari eksistensinya, sekalipun telah dipukul dan dipermalukan berkali-
kali oleh berbagai peperangan sejak meraih kemerdekaan. Ini adalah sebuah keanehan
yang nyata yang dialami oleh negeri-negeri Arab sampai hari ini. Kedua,
terbentangnya rintangan mengapa dunia Arab sulit sekali bersatu atau mewujudkan
solidaritas antara mereka adalah karena bercokolnya rejim-rejim otokratik yang tidak
sah. Penguasa-penguasa di dunia Arab mendapatkan kekuasaan melalui dua saluran:
(1) kudeta militer (mungkin berdarah), dan (2) sebagai warisan. Lantaran kebijakan
mereka yang otokratik dan menindas, rejim-rejim ini tidak saja kekurangan
legitimasi, tetapi juga kurang mendapat dukungan rakyat banyak. Itulah sebabnya,
untuk mempertahankan kekuasaannya, mereka bergantung kepada dukungan militer,
politik, dan finasial dari negara-negara asing, khususnya Amerika Serikat yang telah
"merampas" sebagian kedaulatan negara mereka.
Dalam pertemuan puncak terakhir sebelum invasi Amerika-Inggris ke Iraq,
terjadilah sesuatu peristiwa yang memalukan. Sekalipun adanya tantangan kuat
terhadap perang di kalangan negari-negari Barat sendiri, pemimpin-pemimpin Arab
telah gagal mencapai persetujuan agar tidak memberikan fasilitas kepada pasukan
Amerika. Sebagian pemimpin Arab bahkan secara diam-diam membantu invasi itu
dan membiarkan Iraq memikul segala risikonya. Ketiga, kuatnya pengaruh asing dan
tidak adanya kemauan politik bebas. Adanya pengaruh asing dan ketidakmampuan
para pemimpin melaksanakan kemauan politik mereka adalah di antara rintangan bagi
terwujudnya kerjasama Arab.
Ketergantungan kepada Amerika yang menjadi pelindung rejim-rejim
otokratik Arab telah membatasi kemampuan mereka untuk bergerak atau membuat
keputusan-keputusan politik bebas mengenai isu-isu regional. Keadaan semacam ini
akan berlangsung terus selama kebijakan internal dan eksternal dirumuskan dalam
suasana otokratik tanpa partisipasi rakyat banyak yang dilibatkan dalam pengambilan
keputusan-keputusan penting. Ringkasnya, krsisis dunia Arab yang berlarut-larut ini
berkaitan dengan tidak adanya organisasi yang efektif, tidak adanya demokrasi
sungguhan, regim yang tergantung pada pihak asing, serta pengaruh dan intervensi
asing. Regim-regim yang berkuasa sekarang merupakan bagian dari masalah; mereka
bukan solusi. Jalan keluar yang ditawarkan Kazleh adalah langkah-langkah berikut:
tampilnya kepemimpinan yang capable yang (a) wajib memiliki visi sejarah yang
komprehensif tentang masa depan; (b) memiliki kemampuan untuk mempersatukan
seluruh kepentingan dan agenda negara-negara Arab; dan (c) mampu merumuskan
tujuan-tujuan dan instrumen-instrumen bersama guna mencapai tujuan-tujuan di atas.
Di mata Kazleh, kepemimpinan yang dimaksud di atas hanyalah mungkin menjadi
kenyataan dalam sistem politik demokrasi sungguhan yang dapat memaksa kelompok
elit agar siap dan mau menjadi pelayan publik. Hanya dengan cara ini saja, kata
Kazleh, Arab dapat mencegah opresi brutal Isreal terhadap Palestina, dan
mengalahkan pendudukan Amerika atas Iraq atau atas negeri Arab yang mana pun.
Apa yang dirasakan Kazleh, juga kita rasakan di tanah air kita. Karena
lemahnya keterikatan kita dengan etika al-Qur'an dalam berpolitik hingga kaum santri
berpecah-belah, tidak jarang dengan membawa nama Tuhan, maka tidak
mengherankan panggung politik Indonesia sekarang lebih banyak dikuasai oleh para
preman, dan yang tidak kurang buruknya adalah fakta bahwa mereka yang mengaku
santri masuk dalam barisan itu. Inilah yang menjadi sebab utama mengapa kondisi
perpolitikan Indonesia dari hari ke hari semakin ruwet dan rentan, sementara
kedaulatan kita sudah agak lama dipermainkan pihak luar. Tidak banyak bedanya
dengan negeri-negeri Arab yang juga "tak putus dirundung malang" itu. Selama etika
politik yang kita pedomani adalah etika kepentingan sesaat yang pragmatis, maka
cita-cita untuk mengawinkan kesalehan pribadi dengan kesalehan sosial hanyalah
akan menjadi gumpalan asap tanpa substansi.
Al-Qur'an sebagai Kitab Suci kita tetap tidak mengalami perubahan sejak
zaman nabi, tetapi mengapa kita belum terpanggil juga untuk berimam dan
berpedoman kepadanya dalam cara kita berpolitik? Tidakkah batin kita tersentuh oleh
keluhan seorang rasul tentang nasib al-Qur'an dalam bentuk ungkapan: "Dan
berkatalah rasul: Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah menelantarkan al-Qur'an
ini?" Kurang lebih tiga puluh tujuh tahun yang lalu, Mohammad Hatta -dalam
pidatonya pada hari alumni I Universitas Indonesia tanggal 11 Juni 1957- pernah
mengatakan, antara lain:
“Krisis kepercayaan terhadap pimpinan negara yang dihadapi oleh bangsa kita
sekarang ini tidak dapat diatasi dengan mengganti demokrasi dengan diktator.
Malahan pergantian itu akan menimbulkan keadaan yang lebih buruk, akan
menghilangkan kepercayaan sama sekali. Obatnya hanya satu: memberikan
kepada negara pimpinan yang dipercayai oleh rakyat! Oleh karena krisis ini
merupakan pula krisis demokrasi, maka perlulah hidup berpolitik diperbaiki,
partai-partai mengindahkan dasar-dasar moral dalam segala tindakannya.
“Dari ibnu Umar r.a. bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda: “Setiap kamu sekalian
adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang
dipimpinnya, Imam adalah pemimpin dan akan mintai pertangungjawaban terhadap
yang dipimpinnya, suami adalah pemimpin dalam keluarganya dan akan mintai
pertangungjawaban terhadap yang dipimpinnya, isteri adalah pemimpin dalam
rumah suaminya dan akan mintai pertangungjawaban terhadap yang dipimpinnya
dan pembantu terhadap harta majikannya adalah pemimpin dan akan mintai
pertangungjawaban terhadap yang dipimpinnya (Hadis Riwayat Bukhari)”.49
Dari Abi Hurairah r.a. berkata: Bersabda Rasulullah Saw.: Saya diutus hanyalah
untuk menyempurnakan akhlak yang baik (mulia) (Hadis Riwayat Imam Ahmad).53
C. RANGKUMAN
Politik adalah aneka aktivitas dalam suatu sistem politik atau negara yang
menyangkut proses menentukan dan melaksanakan tujuan dari sistem tersebut. Ada
juga yang mengartikan politik sebagai suatu seni dan ilmu untuk meraih dan
mencapai kekuasaan, baik secara konstitusional maupun inkonstitusional. Untuk
melaksanakan tujuan yang ingin dicapai tersebut, maka perlu adanya kebijaksanaan
umum (public policy) yang berkenaan dengan pengaturan dan pembagian
(distribution) atau alokasi dari sumber-sumber yang ada. Sedangkan untuk
melaksanakan kebijaksanaan tersebut diperlukan kekuasaan (power) dan kewenangan
(authority). Cara yang digunakan dapat berupa persuasif maupun paksaan.
Prinsip tauhid Islam menekankan hubungan erat antara agama dengan negara,
yaitu tidak ada pemisahan antara agama dengan negara (al-dīn wa al-dawlah) kerana
tiada pemisahan antara agama dengan dunia (al-dīn wa al-dunyā) serta agama dan
politik (al-dīn wa al-siyasah). Berdasarkan prinsip tauhid, ajaran-ajaran Islam
meliputi seluruh aspek kehidupan sama ada sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan,
teknologi, kesenian mahupun politik.
D. LATIHAN
1. Jelaskan prinsip Islam dalam bernegara!
2. Bagaimana pola hubungan pemimpin dan rakyat yang Islami?
3. Bagaimana etika berpolitik secara benar?