Anda di halaman 1dari 8

Aa Agi

Powered By Blogger
Minggu, 20 Maret 2011
ASKEP GERONTIK

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keperawatan gerontik didefinisikan sebagai ilmu yang membahas fenomena biologis, psiko dan
sosial serta dampaknya terhadap pemenuhan kebutuhan dasar manusia dengan penekanan pada
upaya prevensi dan promosi kesehatan sehingga tercapai status kesehatan yang optimal bagi lanjut
usia. Aplikasi secara praktis Keperawatan gerontik adalah dengan menggunakan proses
keperawatan (pengkajian, diagnosa keperawatan,perencanaan, implementasi dan evaluasi).
Seorang perawat yang sedang menangani atau memberikan asuhan keperawatan lansia setidaknya
harus memperhati kan hal-hal berikut :
a. Mampu membina hubungan yang terapeutik pada lansia
b. Menghargai keunikan kelompok lanjut usia
c. Mempunyai kompetensi klinis sebagai basis tindakan keperawatan
d. Mampu berkomunikasi dengan baik
e. Memahami perubahan degeneratif secara fisik dan psikososial pada lansia

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa konsep dari lansia serta perubahan-perubahan yang terjadi?
2. Apa saja gangguan yang lazim terjadi pada lansia?
3. Bagaimana Asuhan Keperawatan pada lansia dengan gangguan jiwa?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep dari lansia.
2. Untuk mengetahui gangguan yang lazim terjadi pada lansia.
3. Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan pada lansia dengan gangguan jiwa.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Lansia
A. Pengertian
Pengertian usia lanjut adalah mereka yang telah berusia 60 tahun atau lebih. Belum ada
kesepakatan tentang batasan umur lanjut usia disebabkan terlalu banyak pendapat tentang batasan
umur lanjut usia. Dibawah ini dikemukakan batasan umur lansia (Nugroho 1999:19).
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia
Lanjut usia meliputi :
1) Usia pertengahan (middle age) adalah kelompok usia 45 – 59 tahun
2) Lanjut Usia (elderly) = antara 60 dan 74 tahun
3) Lanjut Usia Tua (old) = antara 75 dan 90 tahun
4) Usia sangat tua (very old) = diatas 90 tahun

Saat ini yang berlaku Undang-Undang No.13/th. 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia yang
berbunyi sebagai berikut : BAB I pasal 1 ayat 2 yang berbunyi “ Lanjut Usia adalah seseorang
yang mencapai usia 60 (enam puluh) tahun keatas.
Dalam penelitian ini batasan umur untuk menentukan lanjut usia, yaitu seseorang individu laki-
laki maupun perempuan yang berumur antara 60-69 tahun. (Nugroho 1999:20)

B. Perubahan-perubahan Yang Terjadi


1. Perubahan Fisik
Meliputi perubahan dari tingkat sel sampai kesemua sistem organ tubuh, diantaranya sistem
pernafasan, pendengaran, penglihatan, kardiovaskuler, sistem pengaturan tubuh, muskuloskeletal,
gastrointestinal, genito urinaria, endokrin dan integumen.
2. Perubahan-perubahan mental/ psikologis
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental adalah :
a. Pertama-tama perubahan fisik, khususnya organ perasa.
b. kesehatan umum
c. Ttingkat pendidikan
d. Keturunan (herediter)
e. Lingkungan
f. Gangguan saraf panca indra, timbul kebutaan dan ketulian
g. Gangguan konsep diri akibat kehilangan jabatan
h. Rangkaian dari kehilangan yaitu kehilangan hubungan dengan teman dan famili
i. Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap gambaran diri dan perubahan
konsep diri

Perubahan kepribadian yang drastis keadaan ini jarang terjadi lebih sering berupa ungkapan yang
tulus dari perasaan seseorang, kekakuan mungkin oleh karena faktor lain seperti penyakit-
penyakit.
Kenangan (memory) ada dua; 1) kenangan jangka panjang, berjam-jam sampai berhari-hari yang
lalu, mencakup beberapa perubahan, 2) Kenangan jangka pendek atau seketika (0-10 menit),
kenangan buruk.
Intelegentia Quation; 1) tidakberubah dengan informasi matematika dan perkataan verbal, 2)
berkurangnya penampilan,persepsi dan keterampilan psikomotorterjadi perubahan pada daya
membayangkan, karena tekanan-tekanan dari faktor waktu.

Pengaruh proses penuaan pada fungsi psikososial.


1. perubahan fisik, sosial mengakibatkan timbulnya penurunan fungsi, kemunduran orientasi,
penglihatan, pendengaran mengakibatkan kurangnya percaya diri pada fungsi mereka.
2. Mundurnya daya ingat, penurunan degenerasi sel sel otak.
3. Gangguan halusinasi.
4. Lebih mengambil jarak dalam berinteraksi.
5. Fungsi psikososial, seperti kemampuan berfikir dan gambaran diri.
3. Perubahan Spiritual
Agama atau kepercayaan makin terintegarsi dalam kehidupannya (Maslow,1970). Lansia makin
matur dalam kehidupan keagamaannya, hal ini terlihat dalam berpikir dan bertindak dalam sehari-
hari. (Murray dan Zentner,1970)
2.2 Gangguan Yang Lazim Terjadi
a. Immobility (Imobilisasi)
b. Instability (Instabilitas dan Jatuh)
c. Incontinence (Inkontinensia)
d. Intellectual Impairment (Gangguan Intelektual)
e. Infection (Infeksi)
f. Impairment Of Vision And Hearing (Gangguan Penglihatan dan Pendengaran)
g. Isolation (Depresi)
h. Inanition (Malnutrisi)
i. Insomnia (Ganguan Tidur)
j. Immune Deficiency (Menurunnya Kekebalan Tubuh)

2.3 Askep Lansia dengan Gangguan Jiwa


Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Halusinasi
A. Pengkajian
Pada tahap ini perawat menggali faktor-faktor yang ada dibawah ini yaitu :
ü Faktor predisposisi.
Adalah faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh
individu untuk mengatasi stress. Diperoleh baik dari pasien maupun keluarganya, mengenai factor
perkembangan sosial kultural, biokimia, psikologis dan genetik yaitu factor resiko yang
mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi
stress.
ü Faktor Perkembangan
Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan interpersonal terganggu maka
individu akan mengalami stress dan kecemasan.
ü Faktor Sosiokultural
Berbagai faktor dimasyarakat dapat menyebabkan seorang merasa disingkirkan oleh kesepian
terhadap lingkungan tempat klien di besarkan.
ü Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Dengan adanya stress yang berlebihan
dialami seseorang maka didalam tubuh akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat
halusinogenik neurokimia seperti Buffofenon dan Dimetytranferase (DMP).

ü Faktor Psikologis
Hubungan interpersonal yang tidak harmonis serta adanya peran ganda yang bertentangan dan
sering diterima oleh anak akan mengakibatkan stress dan kecemasan yang tinggi dan berakhir
dengan gangguan orientasi realitas.
ü Faktor genetik
Gen apa yang berpengaruh dalam skizoprenia belum diketahui, tetapi hasil studi menunjukkan
bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.
ü Faktor Presipitasi
Yaitu stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan, ancaman / tuntutan yang
memerlukan energi ekstra untuk koping. Adanya rangsang lingkungan yang sering yaitu seperti
partisipasi klien dalam kelompok, terlalu lama diajak komunikasi, objek yang ada dilingkungan
juga suasana sepi / isolasi adalah sering sebagai pencetus terjadinya halusinasi karena hal tersebut
dapat meningkatkan stress dan kecemasan yang merangsang tubuh mengeluarkan zat
halusinogenik.
ü Perilaku
Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan tidak aman, gelisah dan
bingung, prilaku merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak
dapat membedakan keadaan nyata dan tidak nyata. Menurut Rawlins dan Heacock, 1993 mencoba
memecahkan masalah halusinasi berlandaskan atas hakekat keberadaan seorang individu sebagai
mahkluk yang dibangun atas dasar unsur-unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dapat
dilihat dari dimensi yaitu :
a. Dimensi Fisik
Manusia dibangun oleh sistem indera untuk menanggapi rangsang eksternal yang diberikan oleh
lingkungannya. Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang
luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan
untuk tidur dalam waktu yang lama.
b. Dimensi Emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi merupakan penyebab
halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien
tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat
sesuatu terhadap ketakutan tersebut.
c. Dimensi Intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan halusinasi akan
memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego
sendiri untuk melawan impuls yang menekan, namun merupakan suatu hal yang menimbulkan
kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak jarang akan mengontrol
semua prilaku klien.
d. Dimensi Sosial
Dimensi sosial pada individu dengan halusinasi menunjukkan adanya kecenderungan untuk
menyendiri. Individu asyik dengan halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk
memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak didapatkan
dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan sistem control oleh individu tersebut, sehingga jika
perintah halusinasi berupa ancaman, dirinya atau orang lain individu cenderung untuk itu. Oleh
karena itu, aspek penting dalam melaksanakan intervensi keperawatan klien dengan
mengupayakan suatu proses interaksi yang menimbulkan pengalaman interpersonal yang
memuaskan, serta mengusakan klien tidak menyendiri sehingga klien selalu berinteraksi dengan
lingkungannya dan halusinasi tidak berlangsung.
e. Dimensi Spiritual
Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk sosial, sehingga interaksi dengan manusia lainnya
merupakan kebutuhan yang mendasar. Pada individu tersebut cenderung menyendiri hingga proses
diatas tidak terjadi, individu tidak sadar dengan keberadaannya dan halusinasi menjadi sistem
kontrol dalam individu tersebut. Saat halusinasi menguasai dirinya individu kehilangan kontrol
kehidupan dirinya.
f. Sumber Koping
Suatu evaluasi terhadap pilihan koping dan strategi seseorang. Individu dapat mengatasi stress dan
anxietas dengan menggunakan sumber koping dilingkungan. Sumber koping tersebut sebagai
modal untuk menyelesaikan masalah, dukungan sosial dan keyakinan budaya, dapat membantu
seseorang mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan stress dan mengadopsi strategi
koping yang berhasil.
g. Mekanisme Koping
Tiap upaya yang diarahkan pada pelaksanaan stress, termasuk upaya penyelesaian masalah
langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri.

B. Diagnosa Keperawatan Yang Muncul


ü Resiko perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain berhubungan dengan halusinasi.
ü Perubahan persepsi sensorik : halusinasi berhubungan dengan menarik diri
ü Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah.

C. Intervensi
ü Diagnoasa 1
- Resiko perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain berhubungan dengan halusinasi
Tujuan :
- Tidak terjadi perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain.
Kriteria Hasil :
- Pasien dapat mengungkapkan perasaannya dalam keadaan saat ini secara verbal.
- Pasien dapat menyebutkan tindakan yang biasa dilakukan saat halusinasi, cara memutuskan
halusinasi dan melaksanakan cara yang efektif bagi pasien untuk digunakan
- Pasien dapat menggunakan keluarga pasien untuk mengontrol halusinasi dengan cara
sering berinteraksi dengan keluarga.
Intervensi :
- Bina Hubungan saling percaya
- Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya.
- Dengarkan ungkapan klien dengan empati
- Adakan kontak secara singkat tetapi sering secara bertahap (waktu disesuaikan dengan
kondisi klien).
- Observasi tingkah laku : verbal dan non verbal yang berhubungan dengan halusinasi.
- Jelaskan pada klien tanda-tanda halusinasi dengan menggambarkan tingkah laku halusinasi.
- Identifikasi bersama klien situasi yang menimbulkan dan tidak menimbulkan halusinasi,
isi, waktu, frekuensi.
- Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya saat alami halusinasi.
- Identifikasi bersama klien tindakan yang dilakukan bila sedang mengalami halusinasi.
- Diskusikan cara-cara memutuskan halusinasi
- Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan cara memutuskan halusinasi yang
sesuai dengan klien.
- Anjurkan klien untuk mengikuti terapi aktivitas kelompok
- Anjurkan klien untuk memberitahu keluarga ketika mengalami halusinasi.
- Diskusikan dengan klien tentang manfaat obat untuk mengontrol halusinasi.
- Bantu klien menggunakan obat secara benar.

ü Diagnosa 2
- Perubahan persepsi sensorik : halusinasi berhubungan dengan menarik diri
Tujuan :
- Klien mampu mengontrol halusinasinya
Kriteria Hasil :
- Pasien dapat dan mau berjabat tangan.
- Pasien mau menyebutkan nama, mau memanggil nama perawat dan mau duduk bersama.
- Pasien dapat menyebutkan penyebab klien menarik diri.
- Pasien mau berhubungan dengan orang lain.
- Setelah dilakukan kunjungan rumah klien dapat berhubungan secara bertahap dengan
keluarga
Intervensi :
- Bina hubungan saling percaya.
- Buat kontrak dengan klien.
- Lakukan perkenalan.
- Panggil nama kesukaan.
- Ajak pasien bercakap-cakap dengan ramah.
- Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan tanda-tandanya
- serta beri kesempatan pada klien mengungkapkan perasaan penyebab pasien tidak mau
bergaul/menarik diri.
- Jelaskan pada klien tentang perilaku menarik diri, tanda-tanda serta yang mungkin jadi
penyebab.
- Beri pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaan.
- Diskusikan tentang keuntungan dari berhubungan.
- Perlahan-lahan serta pasien dalam kegiatan ruangan dengan melalui tahap-tahap yang
ditentukan.
- Beri pujian atas keberhasilan yang telah dicapai.
- Anjurkan pasien mengevaluasi secara mandiri manfaat dari berhubungan.
- Diskusikan jadwal harian yang dapat dilakukan pasien mengisi waktunya.
- Motivasi pasien dalam mengikuti aktivitas ruangan.
- Beri pujian atas keikutsertaan dalam kegiatan ruangan.
- Lakukan kungjungan rumah, bina hubungan saling percaya dengan keluarga.
- Diskusikan dengan keluarga tentang perilaku menarik diri, penyebab dan car a keluarga
menghadapi.
- Dorong anggota keluarga untuk berkomunikasi.
- Anjurkan anggota keluarga pasien secara rutin menengok pasien minimal sekali seminggu.

ü Diagnosa 3.:
- Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah
Tujuan :
- Pasien dapat berhubungan dengan orang lain secara bertahap.
Kriteria Hasil :
- Pasien dapat menyebutkan koping yang dapat digunakan
- Pasien dapat menyebutkan efektifitas koping yang dipergunakan
- Pasien mampu memulai mengevaluasi diri
- pasien mampu membuat perencanaan yang realistik sesuai dengan kemampuan yang ada
pada dirinya
- Pasien bertanggung jawab dalam setiap tindakan yang dilakukan sesuai dengan rencanan

Intervensi :
- Dorong pasien untuk menyebutkan aspek positip yang ada pada dirinya dari segi fisik.
- Diskusikan dengan pasien tentang harapan-harapannya.
- Diskusikan dengan pasien keterampilannya yang menonjol selama di rumah dan di rumah
sakit.
- Berikan pujian.
- Identifikasi masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh pasien
- Diskusikan koping yang biasa digunakan oleh pasien.
- Diskusikan strategi koping yang efektif bagi pasien.
- Bersama pasien identifikasi stressor dan bagaimana penialian pasien terhadap stressor.
- Jelaskan bahwa keyakinan pasien terhadap stressor mempengaruhi pikiran dan perilakunya.
- Bersama pasien identifikasi keyakinan ilustrasikan tujuan yang tidak realistic.
- Bersama pasien identifikasi kekuatan dan sumber koping yang dimiliki
- Tunjukkan konsep sukses dan gagal dengan persepsi yang cocok.
- Diskusikan koping adaptif dan maladaptif.
- Diskusikan kerugian dan akibat respon koping yang maladaptive.
- Bantu pasien untuk mengerti bahwa hanya pasien yang dapat merubah dirinya bukan orang
lain
- Dorong pasien untuk merumuskan perencanaan/tujuannya sendiri (bukan perawat).
- Diskusikan konsekuensi dan realitas dari perencanaan / tujuannya.
- Bantu pasien untuk menetpkan secara jelas perubahan yang diharapkan.
- Dorong pasien untuk memulai pengalaman baru untuk berkembang sesuai potensi yang ada
pada dirinya.
Diposting oleh Gigi Agi di 12.00
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Berbagi ke Twitter
Berbagi ke Facebook
Bagikan ke Pinterest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar

Posting Lama Beranda


Langganan: Posting Komentar (Atom)
Pengikut

Arsip Blog
▼ 2011 (2)
▼ Maret (2)
ASKEP GERONTIK
Hipotensi
Mengenai Saya
Gigi Agi
Lihat profil lengkapku
Tema Sederhana. Gambar tema oleh fpm. Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai