Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

DILEMA ETIKA DALAM PENDIDIKAN

DISUSUN OLEH :
1. SOVIA MUSTIKA MUSPAH (000610102018)
2. NURHIDAYATI (003110102018)
3. AHMAD HARIADI WIBRATA (002510102018)
4. DINIATI (002710102018)

PROGRAM PASCASARJANAMAGISTER MANAJEMEN


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang
epidemiologi dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami
berterima kasih pada Bapak Dr. Hj. Een Kuraesih, SKM,M.Kes selaku Dosen mata ETIKA
DAN HUKUM KESEHATAN Program Pasca Sarjana UMI (Universitas Muslim Indonesia)
yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan tentang ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN . Kami juga menyadari
sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna.
Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang
telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna
tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang
yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata
yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun dari Anda
demi perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.

Makassar, Maret , 2019

Penyusun

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.....................................................................................i

KATA PENGANTAR ................................................................................vi

DAFTAR ISI .............................................................................................. iii

BAB IPENDAHULUAN .............................................................................1

A. LATAR BELAKANG ..........................................................................1

C. RUMUSAN MASALAH ........................................................................3

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................4

A. PENGERTIAN ETIKA...........................................................................4

B. ETIKA DALAM PENDIDIKAN............................................................9

C. STUDI KASUS .......................................................................................5


BAB II PENUTUP ....................................................................................23

A. PENUTUP ............................................................................................ 23

B. SARAN ................................................................................................ 24

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pendidikan merupakan salah satu aspek yang sangat penting untuk membentuk
generasi yang siap mengganti tongkat estafet generasi tua dalam rangka membangun
masa depan. Karena itu pendidikan berperan men- sialisasikan kemampuan baru kepada
mereka agar mampu mengantisipasi tuntutan masyarakat yang dinamis. Per- ubahan
yang terjadi dengan begitu cepat tidak terlepas dari perkembangan tekno- logi dan ilmu
pengetahuan, atau yang lebih dikenal dengan era globalisasi.
Perubahan yang terlihat mencolok pada era globalisasi dan terlihat sangat tajam
adalah faktor percepatan. Ini dise- babkan oleh kemajuan yang pesat dalam bidang
teknologi informasi dan ko- munikasi, maupun kemajuan yan pesat dalam bidang
transportasi khususnya penerbangan antar benua. Integritas perkembangan komunikasi
dan teknologi informasi yang semakin cepat meng- haruskan dunia pendidikan untuk
mem- persiapkan berbagai kebutuhan perang- kat keras, perangkat lunak serta perang-
kat intelektual.
Globalisasi telah menciptakan dunia semakin terbuka dan saling ke- tergantungan
antar bangsa dan antar negara. Bagi negara maju memang sangat menguntungkan karena
mereka bertindak sebagai subjek tetapi bagi negara berkembang akan memberikan
dampak yang yang merugikan sebab negara berkembang lebih cenderung sebagai sasaran
atau objek globalisasi. Melihat kondisi yang seperti ini maka diperlukan antisipasi yang
tepat dari negara berkembang khususnya negara Indonesia salah satunya melalui dunia
pendidikan.

Tantangan yang menghadang dunia pendidikan Indonesia saat ini me- liputi:
heterogenitas tingkat pendidikan masyarakat, keterpurukan perekonomian masyarakat,
kekurangmerataan tingkat pendidikan pendidikan, serta mulai lunturnya nilai-nilai moral.
Heterogen- itas tingkat pendidikan masyarakat Indonesia dapat dilihat pada masyarakat
diseluruh kepulauan Indonesia. Masih banyak penduduk yang buta aksara terutama di
pedesaan, di samping mayoritas sudah dapat membaca dan menulis bahkan banyak yang
sarjana.
Pada jenjang sekolah dasar, ter- utama di pedesaan banyak anak-anak usia sekolah

4
yang tidak pernah meng- ikuti sekolah dasar, putus sekolah, di samping banyak yang
tamat sekolah dasar. Hal yang sama juga terjadi pada jenjang pendidikan SLTP dan
SLTA. Penyebab utamanya adalah masalah ke- miskinan dan ketidakmampuan orang tua
menyekolahkan anaknya ke jenjang pen- didikan yang lebih tinggi. Berdasarkan uraian
di atas dapat disimpulkan bahwa kesempatan untuk mengikuti pendidikan formal dan
berbagai pelatihan kete- rampilan teknis bagi anak-anak (pe- muda) sangat terbatas,
jumlah pemuda putus sekolah meningkat, bahkan banyak yang tidak pernah sekolah,
jumlah pemuda melek huruf fungsional sangat rendah, dan mutu SDM generasi muda
sangat buruk.
Berbicara tentang pendidikan, da- pat bermakna sangat luas, “dalam pe- ngertian
maha luas, pendidikan sama dengan hidup. Pendidikan adalah segala situasi dalam hidup
ya ng mempengaruhi pertumbuhan seseorang. Pendidikan ada- lah pengalaman belajar.
Oleh karena itu, pendidikan dapat pula didefinisikan sebagai keseluruhan pengalaman
belajar setiap orang sepanjang hidupnya. Dalam pengertian yang maha luas, pendidikan
berlangsung tidak dalam batas usia tertentu, tetapi berlangsung sepanjang hidup
(lifelong) sejak lahir (bahkan sejak awal hidup dalam kandungan) hingga mati. Selain itu,
dalam pengertian maha luas, tempat berlangsungnya pendidikan tidak terbatas dalam
satu jenis ling- kungan hidup tertentu dalam bentuk se- kolah, tetapi berlangsung dalam
segala bentuk lingkungan hidup manusia” (Redja Mudyahardjo: 2008:46).
Dari makna pendidikan dalam konteks sangat luas itu, menujukkan bahwa
pendidikan itu adalah kebutuhan manusia untuk mendapatkan hidup yaag bermakna dan
berkualitas, hal ini dapat kita pahami dari tujuan pedidikan yang tertera dalam UU
Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab II Pasal 3 dinyatakan “Pen- didikan nasional berfungsi
mengem- bangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi pserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan yang maha Esa. Berakhlak, sehat, berimu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Untuk terwujudnya tujuan pen- didikan ini tentu banyak hal yang perlu
diperhatihatikan baik pada diri si pendidik maupun siterdidik. Salah satu hal yang perlu
diperhatikan dalam proses pendidikan ini adalah masalah etika. Kondisi hari ini yang
terjadi dalam dunia pendidikan sungguh memprihatinkan kita semua. Banyak hal yang
terjadi yang membuat resah diri kita, membuat kita bersedih, menangis, resah. Kita tau
5
jika anak-anak kita di sekolah adalah aset bangsa, namun kenapa masih terjadi juga hal-
hal yan tidak kita inginkan dalam duia pendidikan.
“Berbagai realitas di masyarakat membuktikan pendidikan belum mampu
menghasilkan anak didik berkualitas secara keseluruhan. Kenyataan ini dapat dicermati
dengan banyaknya perilaku tidak terpuji terjadi di masyarakat, se- bagai contoh
merebaknya penggunaan narkoba, penyalahgunaan wewenang, korupsi, manipulasi,
perampokan, pem- bunuhan, pelecehan seksual, pelanggaran hak-hak azasi manusia,
pengniayaan, Realitas ini memunculkan anggapan bahwa pendidikan belum mampu
mem- bentuk anak didik berkepribadian pari- purna. Pendidikan diposisikan sebagai
institusi yang dianggap gagal mem- bentuk anak didik beretika baik dan mulia”
(Istighfarotur Rahmaniyah: 2009: 3).
Berbagai bentuk pelanggaran etika ini tidak hanya dilakukan oleh anak-anak pada
jenjang pendidikan yang tinggi saja. Baru-baru ini banyak berita yang kita dengar dari
media massa kalau pelanggaran etika ini dilakukan oleh anak-anak di tingkat dasar. Ada
kakak kelas yang menganiaya adik kelas, ada yang hanya masalah sepele tidak sengaja
menjatuhkan makanan teman, lalu me- mukul temannya. Realitas seperti ini betul-betul
budaya kemanusiaannya su- dah hilang. Rasa sosial, rasa mengasihi, toleransi, tolong-
menolong antar sesama sudah jauh pada diri anak-anak kita. Pada hal kejadian itu terjadi
di ling- kungan sekolah. Di sana ada guru, teman, namun lingkungan itupun tidak banyak
berbuat.
Kondisi buruk yang juga sering kita saksikan terjadi dilingkungan para pelajar dan
mahasiswa seringnya terjadi tawuran, yang sampai menelan korban. Justru yang aneh
pihak yang menang merasa bangga melihat temannya sesama pelajar, sesama satu
sekolah, sesama bangsa. Aneh sungguh sangat aneh. Memang tidak mudah untuk
menemukan apa yang menyebabkan semua ini. Faktor apakah sebenarnya yang me-
nyebabkan semua ini?. Tentu tidak dapat disalahkan satu pihak saja, yang pasti anak
akan belajar dari lingkungannya. Oleh karena itu hendaknya semuga lingkungan
hendaknya memperhatikan perlunya Etika untuk semua lingkungan pendidikan.

B. RUMUSAN MASALAH

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada latar belakang masalah di atas, bahwa
berbagai bentuk perilaku siswa yang dinilai bertentangan dengan etika sudah banyak
terjadi, penyimpangan baik dari diri siswa maupun guru. Sepertinya persoalan ini bukan
6
makin lama makin berkurang, bahkan terkesan semakin meresahkan. Sejak beberapa
tahun terakhir ini kita merasakan bahwa mulai banyak norma-norma tata krama yang
dilanggar. Norma yang paling dasar saja yakni menyapa guru sudah mulai ditinggalkan.
Dalam komunikasi verbal sudah tampil kata-kata jorok, yang sudah barang tentu tidak
kita asosiasi dengan orang terpelajar. Sesa- ma teman suka tidak peduli, mudah emosi,
dll. Semua dapat kita nilai se- bagai suatu gejala perubahan sosial budaya yang
membawa perubahan tata nilai. Kita harus mencegah situasi tersebut sampai ke akarny

7
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN ETIKA
1. Makna Etika

Pengertian etika sering disamakan dengan pengertian akhlak dan moral dan ada
pula ulama yang mengatakan bahwa akhlak merupakan etika Islam. Di dalam buku
kamus Istilah Pendidikan dan Umum dinyatakan bahwa etika adalah bagian filsafat
yang mengajarkan tentang keluhuran budi (baik buruk). (Istighfarotur Rahmaniyah:
2009: 57) Istilah etika berasal dari kata latin Ethic (us), dalam bahasa Gerik: Ethikos
= a body of moral principles or values Ethic = arti sebenarnya, ialah kebiasaan, habit,
costum. Jadi dalam pengertia aslinya, apa yang disebutkan baik itu ialah yang sesuai
dengan kebiasaan masyarakat (dewasa itu). Lambat laun pengertian etika itu berubah,
seperti pengertian sekarang: Etika ialah suatu ilmu yang membicarakan masalah per-
buatan atau tingkah laku manusia, mana yang dapat dinilai baik dan mana yang jahat”.
(Burhanudin Salam:3)
Dalam dunia pendidikan, tentu saja semua orang yang berada dalam ling- kungan
pendidikan tertentu harus ter- lebih dahulu memiliki etika. Jika pen- didikan yang
dimaksudkan di institusi secara formal, maka Guru, siswa, dan semua personil lainnya
harus memiliki etika yang baik dalam bertingkah laku sehari-hari. Contoh-contoh
perilaku yang nyata sangat mempengaruhi suasana di lingkungan sekolah. Bagaimana
seorang anak menyapa guru, Guru menegur siswa, bgaimana seorang anak yang satu
berkomunikasi dengan anak lainnya, semua harus sesuai dengan norma yang berlaku.
Jika semua tingkah laku yang terjadi sudah lari dari etika, maka ber- munculanlah
berbagai macam persoalan. Seharusnya setiap orang mampu membedakan mana yang
baik, mana yang buruk, mana yang pantas untuk di- lakukan, dan mana yang harus
diting- galkan untuk tidak dilakukan. “Individu yang matang secara moral tidak akan
membiarkan masyarakat untuk mendikte mereka karena mereka tidak mengharapkan
hadiah atau hukuman yang berwujud ketika memenuhi atau tidak memenuhi standar
moral”. (Aliah B. Purwakania Hasan: 2006: 261).
Moralitas memiliki tiga komponen, yaitu komponen afektif, kognitif dan perilaku.
Komponen afektif atau emosio- nal terdiri dari berbagai jenis perasaan (seperti perasaan
8
bersalah atau malu), perhatian terhadap perasaan orang lain, dan sebagainya) yang
meliputi tindakan benar dan salah yang memotivasi pe- mikiran dan tindakan moral.
Komponen kognitif merupakan pusat di mana seseorang melakukan konseptualisasi be-
nar dan salah dan membuat keputusan tentang bagaimana seseorang berperi- laku.
Komponen perilaku mencerminkan bagaimana seseorang sesungguhnya ber- perilakau.
Komponen perilaku men- cerminkan bagaimana seseorang sesung- guhnya berperilaku
ketika mengalami godaan untuk berbohong, curang atau melanggar aturan moral lainnya.
(Aliah B. Purwakania Hasan: 2006: 261). Setiap individu hendaknya memiliki
kecerdasan moral/etika, dalam setiap perilakunya. Berikutnya, etika dinyatakan se- bagai
filsafat moral, yaitu studi yang sistematik mengenai sifat dasar dari konsep-konsep nilai
baik, buruk, harus, benar, salah, dan sebagainya. Sementara itu, etika dikelompokkan
menjadi dua definisi:
a. Etika merupakan karakter individu Dalam hal ini termasuk bahwa orang yang
beretika adalah orang yang baik. Pengertian ini disebut pemahaman manusia
sebagai individu yang beretika. Etika merupakan hukum sosial.
b. Etika merupakan hokum Etika yang mengatur, mengendali- kan serta membatasi
perilaku manusia.
Dalam hubungan ini Dr. H. Hamzah Ya’qub menyimpulkan bahwa etika adalah
ilmu yang menyelidiki manayang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan
amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran. (Hamzah
Ya’qub, 1991: 13) .Demikianlah, etika akhirnya merupakan ilmu pengetahuan rohaniah,
normatif, teologis. Etika bukan lagi ilmu pengetahuan yang dapat diukur secara
matematis. Karenanya tidak dapat di- ramalkan dengan pasti. Etika lebih me- rupakan
pengetahuan tentang kepandaian atau seni hidup secara baik (the art of good living).
Dari definisi etika tersebut di atas, dapat segera diketahui bahwa etika berhubungan
dengan empat hal sebagai berikut:

a. Dillihat dari segi objek pem- bahahasannya Etika berupaya membahas perbuatan
dilakuakan oleh manusia.
b. Dilihat dari segi sumbernya Etika bersumber pada akal pikiran atau filsafat.
Sebagai terbatas, dapat berubah, memiliki kekurangan, kelebihan dan sebagainya.
Selain itu juga memanfaatkan berbagai ilmu yang membahas perilaku manusia
seperti ilmu antropologi, psikologi, sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi dan

9
sebagainya.
c. Dilihat dari segi fungsinya Etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap
terhadap seuatu per- buatan yang dilakukan oleh manu- sia, yaitu apakah perbuatan
tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina dan se- bagainya. Dengan
demikian etika tersebut berperan sebagai kon- septor terhadap sejumlah perilaku
yang dilaksanakan oleh manusia. Etika lebih mengacu kepada pengkajian sistem
nilai-nilai yang ada.
d. Dilihat dari segi sifatnya Etika bersifat relatif yakni dapat ber- ubah-ubah sesuai
dengan tuntutan zaman.
Dengan ciri-cirinya yang demikian itu, maka etika lebih merupakan ilmu
pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang
dilakukan manusia untuk dikatakan baik dan buruk. Berbagai pemikiran yang
dikemukakan filosof barat mengenai perbuatan baik dan buruk dapat di-
kelompokkan kepada pemikiran etika, karena berasal dari hasil berfikir.Dengan
demikian etika sifatnya humanisstis dan antroposentrid yakni pada pemikiran
manusia dan diarahkan pada manusia. Dengan kata lain etika aturan atau pola
tingkah laku yang dihasilkan oleh akal manusia.

2. Obyek Etika

Nilai etika dan begitu juga untuk setiap nilai, adalah hasil kegiatan rohani, yakni
akal dan perasaan. Perasaan mem- berikan bahan-bahannya, akal mengolah bahan
tersebut yang diterimanya. Rasa nilai ini bisa dikerdilkan, diperkembang- kan maupun
dipunahkan. Semakin rumit putusan yang dihadapi perasaan, se- makin luas lapangan
kerja akal, namun sebaliknya semakin kecil peranan yang dipegangnya. Dikatakan
semakin luas lapangan kerjanya, oleh karena akal da- lam menghadapi keputusan yang
muskil itu harus meneliti menganalisa, mem- banding-bandingkan dan mengatur hal-
hal yang bersangkut paut dengan ma- salah pertama. (Mudlor Ahmad, t.th: 20).

3. Tujuan Etika

Tujuan adalah sesuatu yang di kehendaki, baik individu maupun ke- lompok.
“Tujuan etika yang dimaksud merupakan merupakan tujuan akhir dari setiap aktivitas
manusia dalam hidup dan kehidupannya yaitu untuk mewujudkan kebahagiaan. Tujuan
10
utama etika yaitu menemukan, menentukan, membatasi, dan membenarkan kewajiban,
hak, cita- cita moral dari individu dan masya- rakatnya, baik masyarakat pada umum-
nya, khususnya masyarakat profesi”. (Istighfarotur Rahmaniyah, 2009: 62)

4. Fungsi Etika

Etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap seuatu perbuatan
yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk,
mulia, terhormat, hina dan sebagainya. Dengan demikian etika tersebut berperan sebagai
kon- septor terhadap sejumlah perilaku yang dilaksanakan oleh manusia. Etika lebih
mengacu kepada pengkajian sistem nilai- nilai yang ada.
“I Gede A.B. Wiranata dalam bukunya menuliskan beberapa pendapat para ahli
tentang fungsi etika, di antaranya adalah Rohaniawan Franz Magnis-Suseno, ia
menyatakan bahwa etika berfungsi untuk membantu manu- sia mencari orientasi secara
kritis dalam berhadapan dengan moralitas yang mem- bingungkan” (Istighfarotur
Rahmaniyah, 2009:64

5. Macam-macam Etika

a. Etika Deskriptif
Etika yang menelaah secara kritis dan rasional tentang sikap dan perilaku manusia,
serta apa yang dikejar oleh setiap orang dalam hidupnya sebagai sesuatu yang
bernilai. Artinya Etika deskriptif tersebut berbicara me- ngenai fakta secara apa
adanya, yakni mengenai nilai dan perilaku manusia sebagai suatu fakta yang terkait
de- ngan situasi dan realitas yang mem- budaya. Dapat disimpulkan bahwa tentang
kenyataan dalam penghayatan nilai atau tanpa nilai dalam suatu masyarakat yang
dikaitkan dengan kondisi tertentu memungkinkan manusia dapat bertindak secara etis.

b. Etika Normatif
Etika yang menetapkan berbagai si- kap dan perilaku yang ideal dan seharusnya
dimiliki oleh manusia atau apa yang seharusnya dijalankan oleh manusia dan tindakan
apa yang bernilai dalam hidup ini. Jadi Etika Normatif merupakan norma-norma yang
dapat menuntun agar manusia bertindak secara baik dan meng- hindarkan hal-hal
yang buruk, sesuai dengan kaidah atau norma yang disepakati dan berlaku di
masyarakat.
11
Dari berbagai pembahasan definisi tentang etika tersebut di atas dapat
diklasifikasikan menjadi tiga (3) jenis definisi, yaitu sebagai berikut:- Jenis pertama,
etika dipandang sebagai cabang filsafat yang khusus membicarakan tentang nilai baik
dan buruk dari peri- laku manusia.- Jenis kedua, etika di- pandang sebagai ilmu
pengetahuan yang membicarakan baik buruknya perilaku manusia dalam kehidupan
bersama. Definisi tersebut tidak melihat kenyataan bahwa ada keragaman norma, karena
adanya ketidaksamaan waktu dan tem- pat, akhirnya etika menjadi ilmu yang deskriptif
dan lebih bersifat sosiologik. - Jenis ketiga, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan
yang bersifat normatif, dan evaluatif yang hanya memberikan nilai baik buruknya
terhadap perilaku manusia. Dalam hal ini tidak perlu menunjukkan adanya fakta, cukup
infor- masi, menganjurkan dan merefleksikan. Definisi etika ini lebih bersifat infor-
matif, direktif dan reflektif. (Keraf: 1991: 23),
6. Pendidikan
Modal awal dalam sebuah pemahaman yang benar tentang pendidikan, harus
didasarkan pada suatu pengertian yang benar tentang pendidikan itu sendiri. Pendidikan
merupakan sebuah proses yang dapat terjadi secara terus-menerus dalam kehidupan
seseorang melalui pengajaran sehingga kemampuan, bakat, kecakapan dan minatnya
dapat dikembangkan. Di bawah ini, beberapa pengertian tentang pendidikan yaitu:
1. “EducAtion is the process by which the humAn mind is disciplined And

developed.” (Pendidikan adalah suatu proses dengan mana pemikiran, rasio, mental
manusia didisiplin dan dikembangkan). Hal ini didasarkan pada sebuah pemikiran
bahwa manusia itu adalah “Homosapiens” artinya jenis makhluk yang dapat
berpikir dengan menggunakan logika.
2. “EducAtion is the process by which the individuAl is thought loyAlty And

conformity to the group And to sociAl institutions.” (Pendidikan adalah kegiatan


atau proses dengan mana individual dibina agar loyal setia tanpa syarat dan
penyesuaian membuat pada kelompok atau lembaga sosial).
3. “EducAtion is A process of growth in which the individuAl is helped to developed
his powers, his tAlent, his Abilities, And his interest.” (Pendidikan adalah suatu
proses pertumbuhan dalam mana individu dibantu mengembangkan daya-daya
kemampuannya, bakatnya, kecakapannya dan minatnya).
Tiga pengertian pendidikan di atas mengacu kepada pendekatan antropologis,
sosiologis dan psikologis. Dalam konteksnya, pendekatan sosiologis meninjau
12
proses pendidikan dalam kaitannya dengan kehidupan dan lembaga sosial di luar
individu, sedangkan pendekatan psikologis meninjau proses pendidikan dari sudut
proses internal dalam diri manusia, sehingga lebih mengarah kepada peninjauan
tentang konsep hakikat psikologis bukan filosofis. Dari pengertian di atas dapat
ditarik kesimpulan bahwa pendidikan merupakan suatu proses penyesuaian diri ke
arah pendewasaan untuk mencapai suatu kesuksesan dalam hidup.
Sebuah pengertian penting tentang pendidikan perlu dipahami adalah
“Education is the process by which a person adjusted to those elements of this
environment which are of concern in modern living so as to prepare him for
successful adult living.”14 Hal ini merupakan suatu konsep pendidikan yang
lebih mengarahkan orientasinya pada aspek-aspek kehidupan modern yang
kompleks dan rumit kaitannya, yang lebih individualistis sehingga
menuntut kemampuan individual masing- masing pribadi dalam mengadakan
penyesuaian kehidupan secara psikologis. “Pendidikan memperhatikan kesatuan
aspek jasmani dan rohani, aspek diri (individualitas) dan aspek sosial, aspek
kognitif, afektif dan psikomotorik serta segi serba keterhubungan manusia
dengan dirinya (konsentris), dengan lingkungan sosial dan alamnya (horizontal)
dan tangan Tuhannya (vertical).
Dalam batasan pengertian tentang pendidikan memiliki kandungan berbeda
satu dari yang lain. Perbedaan tersebut mungkin karena orientasinya, konsep dasar
yang digunakan, aspek yang menjadi tekanan, atau karena falsafah yang
melandasinya. Pendidikan sebagai proses transformasi budaya: sebagai
proses transformasi budaya, pendidikan diartikan sebagai kegiatan
pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang lain. Nilai-nilai budaya
tersebut mengalami proses transformasi dari generasi tua ke generasi muda. Ada
tiga bentuk transformasi yaitu nilai-nilai yang masih cocok diteruskan misalnya
nilai-nilai kejujuran, rasa tanggung jawab, dan lain-lain.
Pendidikan sebagai proses pembentukan pribadi: sebagai proses
pembentukan pribadi, pendidikan diartikan sebagai suatu kegiatan yang
sistematis dan sistemik terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta
didik. Proses pembentukan pribadi melalui dua sasaran yaitu pembentukan pribadi
bagi mereka yang belum dewasa oleh mereka yang sudah dewasa dan bagi mereka
yang sudah dewasa atas usaha sendiri. Pendidikan sebagai proses penyiapan warga
13
negara: pendidikan sebagai penyiapan warga negara diartikan sebagai suatu
kegiatan yang terencana untuk membekali peserta didik menjadi warga negara
yang baik.
Pendidikan sebagai penyiapan tenaga kerja: pendidikan sebagai
penyimpan tenaga kerja diartikan sebagai kegiatan membimbing peserta didik
sehingga memiliki bekal dasar utuk bekerja. Pembekalan dasar berupa
pembentukan sikap, pengetahuan, dan keterampilan kerja pada calon luaran. Ini
menjadi misi penting dari pendidikan karena bekerja menjadi kebutuhan
pokok dalam kehidupan manusia.

B. ETIKA DALAM PENDIDIKAN

Pada dasarnya etika pendidikan masing-masing memiliki pokok pemahaman


yang berbeda, yaitu etika menyangkut kebiasaan atau sikap baik buruk
seseorang sedangkan pendidikan menyangkut sebuah proses yang secara
terus-menerus berlangsung dalam kehidupan seseorang, yang mengacu pada
tujuan pendidikan itu sendiri, ingin menanamkan nilai-nilai yang baik, luhur,
pantas, benar dan indah untuk kehidupan manusia itu sendiri. H. A. R. Tilaar
mengatakan, “Suatu tindakan pendidikan atau lebih tepat lagi suatu pertemuan
pendidikan (pedagogical encounter) merupakan suatu tindakan rasional etis.
Hal ini membedakan manusia dengan binatang yang tindakan-tindakannya
berdasarkan insting dan bukan berdasarkan pertimbangan rasional serta
disadarkan pada etika. Manusia hidup untuk kebaikan dan oleh sebab itu
pertimbangan- pertimbangan etis ditunjukkan pada perbaikan manusia
sebagai makhluk yang baik. Ini yang disebut manusia sebagai makhluk rasional
etis.” Etika pendidikan berdasarkan pada sebuah kajian nyata bahwa manusia harus
melakukan sesuatu dalam tindakan yang beretika, termasuk di dalamnya proses
belajar mengajar dalam dunia pendidikan. Proses pendidikan harus dijalankan
dengan etika yang baik dan benar, karena pendidikan bukan saja berbicara dari sisi
penanaman nilai yang baik melalui pembelajaran tetapi juga berbicara dari sisi
penerapan etika baik kepada pendidik maupun peserta didik. Salah satu pengertian
pendidikan adalah proses transformasi budaya. Dalam budaya konteks di Indonesia
memiliki kandungan yang sangat kental tentang etika dan moral yang sopan dan
14
santun. Tilaar mengatakan, “Tindakan manusia tidak terjadi dalam ruang yang
hampa atau tanpa nilai. Tindakan manusia selalu dalam satu wacana kebudayaan,
yakni kebudayaan Indonesia. Kebudayaan Indonesia yang sedang menjadi
merupakan hasil karya dari seluruh masyarakat dan bangsa Indonesia.” Kemudian
dalam kaitan etika pendidikan dan pembelajaran sebagai proses dari pendidikan itu
sendiri, tugas dosen adalah sebagai perencana, pelaksana dan sebagai penilai
keberhasilan belajar mahasiswa. Tugas tersebut untuk membantu mahasiswa
mendapatkan pengetahuan, kemahiran dan keterampilan serta nilai dan sikap
tertentu. Agar mahasiswa mempunyai nilai dan sikap yang diharapkan, sesuai
standar yang berlaku di masyarakat, dosen atau pendidik harus melaksanakan
tugasnya berdasarkan standar moral dan etika yang baik dan benar. Dalam
melaksanakan pendidikan, beretika yang baik harus dipraktikkan oleh seorang
pendidik, karena jika dikaitkan dengan pemahaman Etika Pendidikan Kristen, maka
seorang pengajar bukan saja mampu mengajar dan berkualitas secara intelektual
tetapi juga harus memiliki kualitas rohani dan moral yang baik (1 Timotius 4:12).

Proses intemalisasi etika dalarn diri siswa tidak dapat dilakukan secara
instant, namun melalui proses sejalan dengan perkembangan jasarnani dan rohani
siswa. Proses intemalisasi dimulai dengan pengenalan nilai-nilai di dalam keluarga
oleh orangtua maupun sanak famili yang serumah.Jika anak sudah bergaul dengan
lingkungan sosial- masyarakat sekitar ia akan berkenalan dengan berbagai nilai
disekitarnya. Dan jika ia sudah bersekolah pengenalan nilai akan sernakin banyak
dan beragam yang dibawa oleh ternan-ternan sekolah , guru dan juga orang lain
yanghadir di sekolah. Jika ia sudah mulai tertarik nonton televisi, rnaka ia juga akan
berkenalan dengan nilai yang ditawarkan dan disampaikan oleh para artis-selebritis
melalui adegan-adegan yang dibawakan- nya, selain lewat promosi atau iklan
yangditayangkan. Nilai-nilai yang dite- rima siswa ada yang berbeda bahkan
bertolak belakang atau berlawanan de- ngan nilai-nilai yang dikenalkan di rumah
dandisekolah, ada nilai baru yang tidak belum dikenal di rurnah dan atau di
sekolah.Terhadap rnasuknya nilai ter- sebut mungkin diterima melalui saringan atau
filter orangtua dan atau lewat guru, tetapi juga ada nilai yang diterirna tanpa ilter.
Pertentangan nilai dalarn diri siswa dapat terjadi, yang dapat menyebabkan
siswa memiliki standar ganda. Misal jika di rumah dan di sekoklah siswa kelihatan

15
alim, sopan, baik dan takwa. Tetapi di luar, jika sudah bergabung dengan ke-
lornpok gengnya mereka akan ber- perilaku yang sangat berbeda. Misal minum
minuman beralkohol tinggi sampai mabuk, pesta gandalnarkoba bahkan pesta seks.
Oalam surat kabar sering diberitakan penggerebekan yang dilakukan polisi terhadap
rumah kos di mana pesta mabuk-mabukan, narkoba dan seks terjadi, dan
ternyatapelakunya mahasiswa dan atau siswa.
Bagaimana perkembangan moral teIjadi? Salah satu teori yang terkenal adalah
yang dikemukakan oleh Lawrence Kohlberg. Kohlberg mengurutkan perkembangan
menjadi tiga tahap, dan setiap tahap ada dua pe- ringkat. Susunan peringkat itu,
sebagai berikut: Tahap pertama: Prekonven- sional. Oalam tahap ini ada dua pe-
ringkat yang dilalui, yaitu orientasi ke- taatan dan sanksi. Orangtua mengajarkan
mana perbuatan baik dantidak baik Jika anaka berbuat baik, orangtua mem- berikan
ganjaran, penghargaan atau hadiah, tetapi jika anak melakukan perbuatan tidak baik,
orangtua mem- berikansanksi hukuman. Anak akan belajar untuk melakukan
perbuatan yang baik dan tidak lagi melakukan perbuatan yang tidak baik.
Peringkat kedua,berorientasi pada azas dan alat atau instrumentasi. Si anak
belajar bahwa jika ia melakukan per- buatan baik,berarti ia melakukan sesuatu yang
dapat diterima oleh lingkungannya dan tidak mendapatkan hukuman.Pada peringkat
ini anak belajar memahami azas nilai baik dan azas itu merupakan instrumen untuk
melakukan perbuatan yang dpat diterima oleh linngkungannya. Contoh cara meminta
sesuatu secara sopan kepada orangtua dan orang lain.Misal kata: "bolehkan saya
minta tolong...", "Anak tidak diajari untuk berkata: "He, kamu bantu saya", jika
meminta bantuan dari orang lain karena kata itu tidak sopan.
Tahap kedua: Peringkat Konven- sional. Nilai-nilai yang menjadi alasan
untuk berbuat baik diterima sebagai nilianya untuk memenuhi kehendak orangtua
sertalingkungannya. Dengan cara itu ia dapat diterima di dalam kehidupan
bermasyarakat. Anak menyadari bahwa ia berada dalam suatu lingkungan sosial
buadaya masyarakat yang me- miliki tata nilai, aturan serta adat yang mengatur
perilaku warga atau pen- dukungnya. Contoh para calon anggota DPR, Kepala
Daerah atau Bupati diminta menandatangai suatu kontrak sosial oleh
pendukungnya atau warga masyarakat yang tidak atau kurang percaya pada janji.
Mahasiswa meminta calon Rektor Universitas untuk menendatangani kon-
trak sosial yang diajukan mahasiswa. Terhadap hal ini ada yang mau tetapi ada pula
16
yang menolak karena dinilai tidak sejalan dengan nilainya. Sedangkan peringkat
keenam berpegang pada prin- sip nilai etika yang berlaku universal. Misal prinsip
keadilan, hak azasi manusia, demokrasi, persamaan jender dllnya prinsip-prinsip
tersebut diterima dan dilaksanakan di dalam berkehidupan bersama. Atas dasar teori
perkembangan etika Kohlberg tersebut, maka pen didikan etika harus dimulai sejak
dini dan berkesinambungan.
Apa yang telah ditanamkan di dalam keluarga tidak dihancurkan di sekolah,
tetapi justru di sekolah anak diajari untuk memahami secara rasional alasannya
(membangun moral reason- ing). Hukuman secara fisik maupun kata-kata verbal
yang menyakitkan hati dan perasaan yang diistilahkan "bullying" harns sudah
ditinggalkan oleh guru dan siswa di dalam lingkungan sekolah.Kebiasaan memper
olok-olok, mengejek, mempermalukan, menyoraki jika ada siswa yang dianggap
aneh, dan juga kebiasaan mengeluarkan kata-kata yang bersifat negatif atau
meremehkan (verbal discouragement) harus ditinggal- kan. Sebagai contoh ada guru
yang mempunyai kebiasaan mengatakan siswanya sebagai wedus-wedus,berfikir
lambat seperti keong bekicot, otak kebo, otak udang, goblok dan lain sebagainya.
Secara psikologis kata-kata yang sifat- nya menegatif dan meremehkan tersebut akan
melukai , menggores hati siswa dan akan erdampak dalam perkembangan anak
khususnya pada anak yang perasa dan sensitif terhadap kata-kata kasar (sarkasme).
Sekolah sebenamya mempunyai kewajiban untuk memperluas, memeper-
dalam pemahaman nilai-nilai yang di- perlukan di dalam kehidupan bermsaya-rakat
seperti; pengenalan etika profesi, etika bisnis, etika berlalu lintas, etika pergaulan,
etika berbicara lewat telepon, etika moral dan lain sebagainya. Konflik nilai yang
dialami dalam diri siswa antara nilai yang ditanamkan di dalam keluarga, sekolah
dan adanya pengaruh dari lingkungan dapat menimbulkan kebingunan bahkan dapat
membentuk kepribadian rangkap.
Perilaku di rumah dan di sekolah baik, alim, patuh dan sopan, tetapi jika di
luar lingkungan rumah dan sekolah berbalik 180 derajad. Orangtua dan guru kaget
ketika si anak ditangkap polisi karena pesta narkoba dan seks bersama teman-
temanya di tempat penginapan. Jika tidak ada kesinambungan dalam pendidikan
etika di sekolah anak akan mencari nilainya sendiri tanpa merasa perlu memehami
alasannya dan meng- anggap nilai yang diambil dari ling- kungan pergaulan serta
media masa adalah baik, modern dan gauI.
17
Oleh karena itu sekolah wajib mengembalikan nuansa pendidikan etika di
dalam proses pendidikan yang di- selenggarakan oleh sekolah. Guru perlu mendidik
dengan hati yang dilandasi kasih sayang kepada anak yang sedang tumbuh-
kembang baik secara fisik maupun psikologik. Hubungan yang sifatnya hierarki-
birokrasi, di mana guru merasa berkuasa atas murid yang selalu siap menghukum
karena siswa dianggap salah, tidak mematuhi kata perintah guru harus diganti
dengan hubungan pen- dampingan dalam perjalanan siswa menghayati proses
pendidikan di sekolah.
Sekolah hendaknya bukan lagi sebagai penjara yang menakutkan sekolah bagi
siswa yang akan belajar, tetapi memerdekakan. Sekolah sebagai tempat untuk
menumbuhkembangkan kreativitas, daya imaginasi dan inovasi, menyenangkan
menentramkan hati dan temoat dimana siswa memperoleh pelayanan dalam
perkembangan etika dan moral, watak kepribadian dan intelek- tualnnya.Guru bukan
lagi sebagai sosok yang serba tahu, wajah angker tanpa senyum dan menakutkan
karena kuasa atas siswa, tetapi sebagai pendamping yang selalu siap dan ramah
mendapingi Dalam bukunya M. Alaika Salamullah berpendapat setidaknya ada dua
langkah yang perlu ditempuh murid untuk menemukan guru ideal: 1. Henaknya ia
meminta pendapat kepada kalangan yang dipercaya tentang orang yang layak
dijadikan guru.kalau perlu, ia bisa bertanya kepada orang-orang yang lebih
berpengalaman dalam berguru. 2. Mengamati secara langsung keadaan calon guru.
Langkah yang kedua ini memang lebih berat, tapi akan membuat dirirnya lebih puas,
karena ia tahu betul keadaan orang yang akan diangkatnya sebagai guru baik dari
segi keilmuan maupun ketakwaannya. (Salamullah, 2008: 128).
Ketika berbicara soal pendidikan dan krisis moral, Tilaar salah seorang pakar
pendidikan menyatakan bahwa pendidikan di Indonesia dilingkupi oleh beberapa
persoalan, yaitu:19 Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pemerataan
kualitas pendidikan Memang selama ini telah banyak yang kita capai di dalam
pelaksanaan pemerataan pendidikan. Badan PBB UNESCO dan UNDP mengakui
keberhasilan Indonesia serta usaha-usaha lainnya untuk pemerataan pendidikan yang
berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan. Namun demikian perlu kita akui
bahwa di dalam hal kualitas pendidikan kita masih jauh terbelakang dibandingkan
dengan negara-negara ASEAN hal ini perlu ditanggulangi karena kualitas sumber
daya manusia yang diinginkan adalah manusia berkualitas dan berkompetitif baik di
18
dalam masyarakat maupun dalam hubungan ASEAN dan dunia. Usaha pemerataan
kualitas pendidikan haruslah secara tuntas sehingga perbedaan antara kualitas
pendidikan kota-desa, Indonesia kawasan barat-timur supaya semakin lama semakin
mengecil pada masa-masa mendatang. Menurunnya akhlak dan moral peserta didik
Disebabkan perubahan hidup, menyebabkan longgarnya ikatan- ikatan moral
kehidupan yang mempengaruhi pula kehidupan generasi muda. Pembinaan etnik dan
moral generasi muda haruslah dimulai dari keluarga, di dalam sekolah/di dalam
masyarakat.
Penerapan disiplin nasional secara tuntas dan konsekuen haruslah
dilaksanakan di dalam setiap lingkungan pendidikan (keluarga, sekolah, dan
masyarakat).
Rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang dan jenis pendidikan Sukses
yang dicapai secara kuantitatif memang menghambat peningkatan kualitas kualitatif.
Hal ini memang suatu konsekuensi di dalam pembangunan nasional yang masih
memberi prioritas pada pemerataan. Namun demikian peningkatan kualitas
merupakan suatu syarat mutlak di dalam suatu masyarakat dunia yang kompetitif.
Oleh sebab itu, usaha-usaha intensif untuk meningkatkan kualitas pendidikan
khususnya mata pelajaran yang menjadi tuntutan utama dalam dunia industri seperti
ilmu pengetahuan dan teknologi yang unggul haruslah dijadikan target utama. Masih
rendahnya efisiensi internal sistem pendidikan Pendidikan haruslah dikelola secara
bussiness like sehingga dinamis dan efisien. Banyaknya siswa yang mengulang serta
drop out masih tinggi menunjukkan belum efisiennya sistem pendidikan dan
pelatihan kita. Kelembagaan pendidikan dan pelatihan Dewasa ini kita lihat
kelembagaan pendidikan dan pelatihan sangat kaku dan simpang siur. Tanggung
jawab pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat (dunia usaha, dunia kerja)
belum dirumuskan dengan baik. Demikian pula tugas dan tanggung jawab yang jelas
antar departemen/antar pusat dan dirumuskan secepat- cepatnya. Manajemen
pendidikan dan pelatihan nasional yang belum sejalan dengan manajemen
pembangunan nasional Berkaitan dengan apa yang telah dijelaskan mengenai
kelembagaan pendidikan dan pelatihan nasional, maka manajemen pendidikan dan
pelatihan nasional masih belum terarah. Berbagai departemen, berbagai lembaga
menangani masalah tersebut sehingga mengganggu dinamisme pengembangan
lembaga pendidikan dan pelatihan yang sesuai dengan permintaan pasar kerja.
19
Sumber daya manusia (SDM) yang belum professional Perkembangan dunia
industri dan dunia kerja yang sangat pesat dengan didukung oleh ilmu pengetahuan
dan teknologi yang berubah begitu cepat menyebabkan lembaga-lembaga pendidikan
dan pelatihan selalu ketinggalan. Hal ini hanya dapat dijembatani apabila dunia
usaha dan dunia kerja berpartisipasi secara penuh dengan berbagai insentif ikut serta
di dalam menyiapkan pengembangan SDM. Dunia usaha dan dunia kerja bukanlah
hanya sekedar pemain yang baik, tetapi juga mengadakan investasi yang baik dalam
pengembangan sumber daya manusia Indonesia. Krisis moral akan berdampak pada
pendidikan, sama seperti persoalan yang dituliskan oleh Tilaar sehingga
menyebabkan banyak pelanggaran terhadap pendidikan, termasuk di dalamnya
masalah etika pendidikan. Dalam dunia pendidikan sangat ditekankan pola hidup
yang beretika dan penanaman nilai-nilai budaya yang baik, tetapi di lingkungan
masyarakat sebagai tempat atau lapangan pendidikan itu dipraktikkan tidak
memberikan sebuah teladan yang baik, sehingga memberikan pengaruh yang dalam
bagi kehidupan peserta didik. Dengan demikian, terjadilah krisis moral yang
merusak kehidupan dan pola hidup peserta didik. Krisis moral yang dialami baik
oleh pendidik maupun yang dididik akan menyebabkan persoalan yang sama seperti
diungkapkan di atas yaitu: 1) Kualitas mengajar seorang pendidik akan mengalami
penurunan karena adanya beberapa hal yaitu; SDM yang tidak professional,
rendahnya efesiensi internal sistem pendidikan, tuntutan yang semakin tinggi dalam
berbagai bidang termasuk cara mengajar dan tuntutan ekonomi, dan lain-lain; 2)
Krisis moral yang terjadi di dalam lingkungan masyarakat menyebabkan seorang
peserta didik tidak lagi dapat memahami dengan baik arti sebuah pendidikan yang
baik bagi dirinya, karena adanya perkembangan dan kemerosotan moral dalam
masyarakat. Hal ini memberikan pengaruh yang sangat kuat terhadap pembentukan
moral peserta didik itu sendiri, akibatnya; banyak yang putus sekolah, tidak mau
sekolah dan lebih memilih untuk bekerja mencari uang tanpa peduli kepada
pendidikan dan masa depannya, yang penting bisa hidup dan mendapat uang.

C. STUDI KASUS
Dengan melihat realita yang terjadi akibat dari krisis moral yang terjadi
dalam lingkungan masyarakat dan keluarga serta diri sendiri, maka dapat ditarik
kesimpulan dua contoh kasus yang nyata dalam dunia pendidikan yaitu:
20
1. Menurunnya kualitas pendidik dan SDM yang tidak professional
Adanya tantangan zaman dalam dunia pendidikan yang semakin membuat
pendidik kesulitan sendiri dalam mengembangkan diri ke arah kualitas yang
lebih baik. Cukup banyak pengamat sosial yang menyatakan bahwa di balik
krisis moneter yang bukan hanya menyebabkan krisis ekonomi, tetapi juga krisis
politik dewasa ini sebenarnya juga telah menjadi krisis moral yang ikut
menyebabkannya. Berbagai praktik korupsi, kolusi, manipulasi, dan nepotisme
selama ini telah menggerogoti sendi-sendi kehidupan ekonomi yang sehat.
Dalam dunia politik, juga telah lama terjadi pelanggaran etika politik.
Kepentingan politik kekuasaan yang tidak segan-segan mengorbankan rakyat
jelata yang tidak berdosa melalui tindak kekerasan, entah dengan menyulut api
emosi seputar masalah SARA atau dengan berondongan senjata, telah
mendorong orang untuk menghalalkan segala cara. Kebenaran terus ditutup-
tutupi, kebebasan dipasung, suara- suara kritis dibungkam. Akibatnya,
kebocoran-kebocoran terus terjadi tanpa kendali koreksi. Dalam masyarakat,
beragam bentuk keserakahan, ketidak-pedulian akan sesama, telah menyebabkan
rasa tanggung jawab dan solidaritas sosial amat merosot. Masing-masing
mencari untung selamat sendiri-sendiri. Hal ini pula yang terjadi bagi seorang
pendidik yang sangat dipengaruhi oleh keadaan, sehingga makna pendidikan
yang sebenarnya telah lama mengalami pergeseran.
2. Peserta didik yang tidak sekolah; putus sekolah
Kasus putus sekolah atau tidak mau sekolah bagi seorang peserta didik,
tentunya disebabkan oleh kurangnya kesadaran yang benar tentang makna
pendidikan dan penerapan pendidikan yang baik dalam diri peserta didik itu,
yang berakar dari krisis moral yang dialami oleh peserta didik itu sendiri.
Sehingga banyak peserta didik yang putus sekolah bahkan ada yang memilih
untuk tidak mau sekolah. Tilaar mengatakan bahwa, “Menurunnya moral peserta
didik disebabkan perubahan hidup, menyebabkan longgarnya ikatan-ikatan
moral kehidupan yang mempengaruhi pula kehidupan generasi muda.
Pembinaan etnik dan moral generasi muda haruslah di mulai dari keluarga, di
dalam sekolah/di dalam masyarakat.”
Banyaknya pengangguran atau peserta didik yang tidak mau sekolah
disebabkan oleh sebuah krisis moral yang dialaminya, sehingga kejahatan
21
semakin banyak terjadi. Jika hal ini terus terjadi tanpa kepedulian pemerintah
dalam hal ini, untuk memperbaiki keadaan pendidikan maka bangsa ini akan
hancur, karena kekuatan sebuah bangsa ada pada tingkat pendidikan yang
dimiliki oleh warganya.22
Penyelesaian Kasus
Dua kasus dalam etika pendidikan yang terjadi menyangkut krisis moral
baik pada pendidik maupun peserta didik sendiri, sehingga pemerintah
memberikan perhatian penuh terhadap penyelesaian kasus pendidik dan peserta
didik tu sendiri penyelesaian krisi moral yang merupakan bagaian dari etika
pendidikan adalah :
Sertifikasi Guru (Penataan kembali)
“Sesuai dengan Pasal 5 Permendiknas No. 39 Tahun 2009, maka paling lama
sejak ditetapkan peraturan tersebut, Pemerintah Kabupaten/Kota diwajibkan telah
melakukan penataan guru, baik antar-wilayah maupun antar-satuan pendidikan.
Dengan demikian, selambat-lambatnya pada 30 Juli 2011, semua guru sudah
diredistribusi sedemikian rupa sehingga bisa melaksanakan tugas mengajar
sesuai dengan sertifikat pendidiknya dengan beban kerja minimal 24 JTM.”
Suatu realita yang terjadi dalam dunia pendidikan menyangkut etika pendidikan
untuk memperbaiki krisis moral yang terjadi yaitu seorang pengajar harus
mengikuti sertifikasi guru. Setiap pendidik yang namanya terdaftar untuk
mengikuti sertifikasi guru, wajib menyusun portofolio yang datanya diambil
sejak pendidik itu mulai mengabdikan diri sebagai guru. Ada beberapa
persyaratan untuk mengikuti sertifikasi tersebut, khususnya di kalangan Guru
PAK yaitu; Seorang yang berijazah minimal D IV atau Sarjana (S1) dan telah
mengabdi sebagai guru selama 10 tahun ke atas, atau jika tidak memiliki ijazah
S1 maka akan dilihat masa kerja guru itu, paling kurang selama 20 tahun dan
sudah golongan IV/A.
Pemerintah memberikan tunjangan profesi kepada guru yang telah
memiliki sertifikat guru yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan atau
satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat. Tunjangan profesi
diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan
pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada
tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama.
22
Tujuan pemberian sertifikasi ini, untuk penataan kembali profesi seorang
guru sehingga benar-benar memperhatikan kualitas dan profesionalisme dalam
mengajar. Dengan adanya tunjangan yang memadai, maka seorang guru atau
pendidik akan dapat meningkatkan pendidikannya, tetapi bukan tanpa syarat
yang akan memperbaiki moral dan etika seorang pendidik. Jika hak sebagai guru
yang telah menerima tunjangan profesinya diberikan oleh pemerintah, maka guru
itu wajib melakukan tugas dengan baik dan memenuhi target JTM (Jam Tatap
Muka) yang telah ditentukan selama 24 JTM. “Pemberian tunjangan profesi
kepada guru-guru yang lulus sertifikaksi: “Jika guru yang sudah lulus
sertifikasi tidak bisa menunjukkan bahwa dirinya mengajar di sekolah yang
memiliki rasio guru dan murid minimal 1: 20 orang, maka tunjangan profesinya
tidak bisa dibayarkan” (Pasal 17 PP 74 Tahun 2008).”24 Dengan adanya
keharusan untuk menerima tunjangan sertifikasi dan mengajar dengan
baik, maka secara perlahan-lahan etika pendidikan akan berjalan dan krisis
moral dapat teratasi secara perlahan-lahan.

Sekolah Gratis (Bukan pendidikan gratis)


Banyak muncul iklan tentang sekolah gratis di televisi. Sepercik harapan
akan perbaikan kualitas manusia hadir di Indonesia. “Tak bisa dibantah bahwa
sekolah gratis adalah prestasi membanggakan bangsa ini. Sudah waktunya
pemerintah mulai memberi perhatian besar pada kualitas pendidikan generasi
mendatang bangsa Indonesia. Perhatian tersebut kini tidak lagi sebatas retorika,
melainkan sudah menjelma menjadi aksi nyata. Kini semakin banyak orang
mendapatkan akses pendidikan yang berpotensi besar untuk mengubah hidup
mereka ke arah yang lebih baik.”
Seperti yang diungkapkan iklan di televisi, sekarang anak bisa menjadi
pilot, walaupun orang tuanya supir mikrolet. Stratifikasi sosial dibuat menjadi
terbuka. Latar belakang keluarga kini tidak lagi menjadi halangan bagi orang
untuk bisa berkembang. Buta huruf bisa disingkirkan. Bangsa pun bisa menjadi
semakin beradab. Namun masalah sesungguhnya terletak bukan hanya pada
biaya pendidikan yang selama ini mahal, tetap juga pada paradigma pendidikan
yang digunakan. Paradigma sendiri adalah cara pandang terhadap manusia, dunia
sosial, dan dunia alamiah yang menentukan cara berpikir seseorang. Dalam
23
bidang pendidikan paradigma menentukan semua aktivitas ajar mengajar yang
terjadi di kelas, maupun di luar kelas.
“Walaupun rakyat mendapatkan pendidikan gratis, selama paradigma
pendidikan yang digunakan masih paradigma pendidikan yang sudah tidak tepat,
maka prestasi menciptakan sekolah gratis menjadi sia-sia. Ini seperti memberikan
BBM gratis pada semua orang, namun BBM yang diberikan tidak sesuai dengan
kriteria mesin, sehingga pada akhirnya justru merusak. Selama cara berpikir
kita
tentang status guru, murid, dan peran orang tua dalam pendidikan belum
berubah, selama I tu pula dunia pendidikan kita terpuruk. Akibatnya generasi
masa depan bangsa ini menjadi generasi yang tidak kompetitif, korup, dan alergi
pada perubahan. Wajah pendidikan kita pun tidak berubah.”26 Hal ini semua
disebabkan dari krisis moral yang dialami dalam dunia pendidikan sehingga
memberikan pengaruh ke berbagai bidang. Sekolah gratis menjadi sia- sia, jika
paradigma yang digunakan di dalam pendidikan masih menggunakan paradigma
lama. Inilah yang harus menjadi perhatian bersama, sehingga dari paradigma
baru akan melahirkan sebuah pemahaman yang mampu membentuk dan
memperbaiki krisis moral yang terjadi di dalam lingkungan pendidikan.

D. TUJUAN ETIKA MURID TER- HADAP GURU

Ada empat tujuan dari etika murid terhadap guru. Dalam dunia
pendidikan sudah dapat kita lihat. Bahwa etika mau menyediakan orientasi.
Meskipun tidak setiap murid memerlukan orientasi itu apalagi tanpa etika ilmiah
pun ke- banyakan murid dengan sendirinya sedikit beretika, namun seorang
murid yang tidak begitu saja mempercayakan diri pada pandangan lingkungan
moral. Dalam penjelasan kitab Ta’lim Muta’al limada sekurang-kurang empat
alasan tujuan etika murid terhadap guru yaitu:
a. Guru membimbing murid untuk menjadikan murid agar menjadi murid yang
lebih baik dan sopan terhadap guru.
b. Guru membimbing murid untuk menjadikan murid agar lebih meng- hormati
dan menghargai guru.
c. Guru membimbing jiwa murid agar menjadi manusia sejati, yang manusia
mengerti bahwa dirinya adalah hamba Allah SWT
24
d. Guru membimbing jiwa murid agar melawati jalan-jalan menuju ridho Allah
SWT.

25
BAB II

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berbicara tentang persoalan etika dalam dunia pendidikan di antaranya yang


terkait hubungan guru dan murid, murid dengan murid atau murid dengan anggota
masyarakat lainnya. Di sini guru sebagai elemen terpenting dalam pem- belajaran, oleh
arena itu guru harus dihormati. Tidak hanya etika terhadap guru saja yang perlu di
perhatikan peserta didik, tapi juga etika dengan siswa yang lainnya dalam bergaul.
Kenyataan yang ada bahwa terjadi kesenjangan antara penanaman nilai-nilai yang
baik dan benar di sekolah dalam proses pendidikan, namun di masyarakat sebagai
lapangan pendidikan tempat mempraktikkan pendidikan tidak memberikan nilai-nilai
etika yang benar dalam dunia pendidikan. Misalnya, di sekolah diajarkan tentang hal
yang baik dan benar, tetapi di rumah atau lingkungan di mana peserta didik itu ada
selalu memberikan teladan yang tidak baik, sehingga dilema ini memberikan krisis pada
moral. Dari generasi ke generasi pengaruh ini akan terus berlangsung dan menghasilkan
kerusakan moral bagi generasi selanjutnya, termasuk juga di dalamnya pendidik.
Mengatasi krisis moral dalam dunia
Etika sebenarnya memiliki cakup- an yang sangat luas di dalam segenap sikap dan
tingkah laku dalam ber- interaksi dengan lingkungan. Siapapun yang menghendaki
anaknya menjadi seorang yang berakhlak/beretika, maka hendaklah ia memelihara,
menghormati, rendah hati, dalam setiap tindakan. Etika yang dimiliki seseorang akan
dapat meningkatkan harga diri seseorang. Begitupun sebaliknya ketika seorang anak lari
dari etika, secara sosial anak ini dalam lingkungannya akan bermasalah. Mungkin dia
akan dikucilkan. Nah, beranjak dari kondisi ini semua maka etika menjadi sesuatu yang
penting ada dalam sistem pendidikan kita.

B. SARAN

Dengan begitu besar manfaat dan peranan rendah hati, taat, hormat, patuh, beretika
terhadap guru (orang yang berilmu), maka kami kami menyarankan sebagai berikut:
1. Sebagai umat Islam yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, seharusnya kita
selalu berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Al- Hadits, yang merupakan pedoman
dalam kehidupan sehari-hari sehingga dengan harapan perilaku kita tidak
26
bertentangan dengan ajaran Islam.
2. Agar ilmu menjadi berkah, manfaat baik untuk diri pribadi, maupun dimasyarakat
nantinya maka dalam menuntut ilmu hendaknya memulia- kan guru, taat, patuh,
sopan dan santun terhadap guru (orang yang memberi ilmu).
3. Bahwa yang namanya guru, orang alim harus dihormati, ditaati, di- patuhi, dan
jangan sampai membuat sakit hatinya. Sebagai seorang murid haruslah mempunyai
etika yang sopan, dan dapat memuliakan guru guru, pada guru yang tidak zalim, dan
jugaa siswa.

27
DAFTAR PUSTAKA

Burhanudin Salam. Etika Individual. Pola Dasar Filsafat Moral. Rineka Cipta
Mujtahid. 2009. Pengembangan Profesi Guru. Malang: UIN-Malang Press (Anggota
IKAPI)
Purwanto, Ngalim. 2007. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: Remaja
Rosda Karya.
Redja Mudyahardjo. 2008. Filsafat Ilmu Pendidikan. PT Bandung
Salamullah, Alaika M. 2008. Akhlak Hubungan Vertikal. Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani.
https://www.google.co.id/?gws_rd=ssl#q=pelanggaran+etika+dalam+pen
didikan+pdf (Dinamika Pendidikan No. 11Th.XIV / Mei 2007 :19-22)
Tas’adi Rafsel, 2014.Pentingnya Etika Dalam Pendidikan. Jurnal Ta’dib,
Volume 17, No. 2 (Desember 2014
Tanyid Maidiantius. 2014. Etika Pendidikan : Kajian Etis Tentang Krisi Moral
Berdampak Pada Pendidikan.Jurnal Jafray, Vol.12,No.2, Oktober 2014

28

Anda mungkin juga menyukai