LATAR BELAKANG
1
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.3. Epidemiologi
Di Amerika Serikat rinitis alergi merupakan penyakit alergi terbanyak
dan menempati posisi ke-6 penyakit yang bersifat menahun (kronis). Rinitis
alergi juga merupakan alasan ke-2 terbanyak kunjungan masyarakat ke ahli
kesehatan profesional setelah pemeliharaan gigi. Angka kejadian rinitis alergi
mencapai 20%.9 Valovirta10 dkk melaporkan, di AS sekitar 20-40% pasien
rinitis alergi menderita asma bronkial. Sebaliknya 30-90% pasien asma
bronkial memiliki gejala rinitis alergi sebelumnya. Dikutip dari Evans,
penelitian dilakukan dari tahun 1965 sampai tahun 1984 di AS, didapatkan
hasil yang hampir sama yaitu 38% pasien rinitis alergi juga memiliki gejala
asma bronkial, atau sekitar 3-5% dari total populasi.11 Menurut
International Study of Asthma and Allergies in Children (ISAAC, 2006),
Indonesia bersama-sama dengan negara Albania, Rumania, Georgia dan
Yunani memiliki prevalensi rinitis alergi yang rendah yaitu kurang dari 5%.
Begitu juga dengan prevalensi asma bronkial juga kurang dari 5%. Prevalensi
rinitis tertinggi di Nigeria (lebih dari 35%), Paraguay (30-35%) dan
Hongkong (25-30%).4 Di Indonesia, dikutip dari Sundaru, menyatakan
bahwa rinitis alergi yang menyertai asma atopi pada 55% kasus dan menyertai
non atopi pada 30,3% kasus.12
6
2.4. Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali
dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri
dari 2 fase yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat
(RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam
setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat
(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase
hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.1
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag
atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting
Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa
hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide
dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide
MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian
dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas
sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk
berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin
seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13. IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh
reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif
dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan
masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau
basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut
sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa
yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE
akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)
mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah
terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2),
Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet
Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF
7
2.6. Diagnosis
Diagonsis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan oleh:
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering serangan tidak terjadi
dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari
anamnesis saja.1 Gejala klinis pada rinitis alergi adalah bersin berulang
pada pagi hari, keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, dan hidung gatal.3 Gejala rinitis alergi yang khas adalah
terdapatnya serangan bersin berulang, terutama pada pagi hari atau bila
terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Kadang-kadang keluhan
hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala
yang diutarakan oleh pasien. 1
Pada mata dapat menunjukkan gejala berupa mata merah, gatal,
konjungtivitis, mata terasa terbakar, dan lakrimasi. Pada telinga bisa
dijumpai gangguan fungsi tuba, efusi telinga bagian tegah.2
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah,
berwarna pucat atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila
gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi.2
9
2.8. Penatalaksanaan
Terapi yang paling ideal adalah dengan meghindari kontak dengan
alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. Tujuannya untuk
mengurangi terjadinya gejala akibat paparan allergen, hipereaktifitas
nonspesifik dan inflamasi.1
Pedoman terapi yang dipakai adalah rekomendasi The Allergic Rhinitis
and its Impact on Asthma (ARIA-WHO). Penanganan yang
direkomendasikan adalah edukasi penderita, menghindari allergen, terapi
farmakologi, imunoterapi spesifik, dan pembedahan.2
1. Edukasi penderita
Penderita harus diedukasi tentang penyakit alergi, perjalanan penyakit,
pengobatan yang harus teratur dan kadang dalam jangka waktu lama.
Terapi medikamentosa ditujukan untuk mengurangi gejala dan
11
e. Natrium Kromolin
Digolongkan pada obat-obatan antialergi yang baru. Mekanisme kerja
belum diketahui secara pasti. Mungkin dengan cara menghambat
penglepasan mediator dari sel mastosit, atau mungkin melalui efek
terhadap saluran ion kalsium dan klorida. 9
4. Imunoterapi
Imunoterapi dengan alergen spesifik digunakan bila upaya penghindaran
alergen dan terapi medikamentosa pernasal gagal dalam mengatasi gejala
klinis rinitis alergi. Terdapat beberapa cara pemberian imunoterapi seperti
injeksi subkutan, , sub lingual, oral dan lokal. Pemberian imunoterapi
dengan menggunakan ekstrak alergen standar selama 3 tahun, terbukti
memiliki efek preventif pada anak penderita asma yang disertai seasonal
rhinoconjunctivitis mencapai 7 tahun setelah imunoterapi dihentikan. 7
5. Pembedahan
Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila
konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara
kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau troklor asetat. 9
14
2.9. Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:
1. Polip hidung
Beberapa penelitian mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah
satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip
hidung.
2. Otitis media efusi yang sering residitif, terutama pada anak-anak.
3. Sinusitis paranasal.1
15
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2. Anamnesis
Keluhan Utama
Hidung kiri terasa ada benjolan dan tersumbat.
Keluhan Tambahan
hidung keluar ingus yang encer dan bening, bersin-bersin, dan terasa gatal.
Pemeriksaan Telinga
Telinga kanan Telinga kiri
Aurikula Edema (-), hiperemi (-), Edema (-), hiperemi (-),
massa (-). massa (-).
Palpasi Nyeri pergerakan aurikula Nyeri pergerakan aurikula
(-), nyeri tekan tragus (-). (-), nyeri tekan tragus (-).
MAE Edema (-), hiperemi (-), Edema (-), hiperemi (-),
serumen (-), furunkel (-). serumen (+), furunkel (-).
Membran Intak, berwarna putih, Intak, berwarna putih,
Tympani reflek cahaya (+) reflek cahaya (+)
Kanan Kiri
18
Pemeriksaan Tenggorokan
Farmakologi
1. Antihistamin
Obat antihistamin yang biasanya digunaka adalah antihistamin H1
generasi baru seperti fexofenadin, cetitizin, loratadin. Dosis obat yang
digunakan adalah 5-10 mg.
2. Dekongestan hidung
Obat dekongestan yang biasa digunakan antara lain pseudoefedrin, efedrin,
oxymetazolin, fenilpropanolamin, dan xylometazolin. Dosis pseudoefedrin
yang biasa digunakan yaitu 60 mg.
3. Kortikosteroid
Steroid topikal yang digunakan biasanya mometasone furoate nasal spray 1
x 1 spray pada hidung kanan dan kiri. Kortikosteroid lain misalnya
budesonid, metil prednisolon, dexametason, dan prednison.
3.6. Progosis
Quo ad vitam: Bonam
Quo ad functionam: Bonam
20
BAB IV
ANALISA KASUS
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan allergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
allergen spesifik tersebut. Gejala klinis pada rinitis alergi adalah bersin berulang
pada pagi hari, keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, dan
hidung gatal. Gejala rinitis alergi yang khas adalah terdapatnya serangan bersin
berulang, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar
debu. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau
satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.
Diagnosis rinitis alergi didapatkan melalui hasil anamnesis dan pemeriksaan
fisik hidung yang dilakukan. Pada anamnesis, tergambar jelas mengenai faktor
pencertus dan perjalanan penyakit pasien. Dari anamnesis diketahui bahwa ia sering
mengalami hidung tersumbat yang hilng timbul, hidung berair, bersin-bersin dan
hidung gatal terutama saat terpapar debu. Selain itu pada pemeriksaan fisik
ditemukan mukosa hidung yang basah, edema dan berewarna agak pucat.
Tujuan terapi rinitis alergi adalah 1) mengurangi gejala akibat paparan
alergen, hiperreaktifitas nonspesifik dan inflamasi, 2) Perbaikan kualitas hidup
penderita sehingga dapat menjalankan aktifitas sehari-hari. Oleh karena itu
diberikan antifistamin (cetirizin) untuk mengurangi gejala rinitis (hidug gatal, bersi
dan rinore), dekongestan hidung untuk menghilangkan sumbatan hidug, dan
kortikosteroid untuk memberikan efek terapi yang efektif dalam pegobatan rinitis.
Olahraga berguna untuk meningkatkan sistem imun tubuh dan menghindari paparan
allergen sangat penting agar gejala meminimal. Kontrol diperlukan untuk menilai
terapi telah adekuat atau belum, agar dapat meningkatkan kualitas hidup penderita.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Irawati, Kasakeyen & Rusmono, 2008. Rinitis Alergi. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Hal. 128-133.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
2. Huriyati, E. 2014. Update Diagnosa dan Tatalaksana Penatalaksanaa Rinitis
Alergi. Dalam. Jacky Munilson,dkk 9editor). Update Diagnosis dan
Tatalaksana Kasus di Bidang THT-KL. Balai Penerbit FK Andalas. Padang.
3. Adams.G.L, Boies.L.R, Higler. P.A. Boies Buku Ajar Penyakit THT. 6th ed.
Hidung:Anatomi dan Fisiologi Terapan . Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC. 1997. pg: 173-175.
4. Soetjipto & Wardani. 2008. Hidung. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Hal. 128-133. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI.
5. Huriyati & Hafiz. 2013. Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinitis Alergi dan
Asma bronchial. Dalam. Jacky Munilson,dkk 9editor). Update Diagnosis dan
Tatalaksana Kasus di Bidang THT-KL. Balai Penerbit FK Andalas. Padang.
6. Devina. 2009. Gejala rinitis alergi pada Mahasiswa USU tahun 2007-2009.
Balai Penerbit FK USU. Medan.
7. Dhingra. 2009. Rinitis Alergi. Balai Penerbit FK USU. Medan.
8. Suprihati, Irawati N, Tety M, Sumarman . 2003. Panduan Penatalaksanaan
Rinitis Alergi (WHO-ARIA). Dalam: Kongres Nasional XIII PERHATI-KL.
Jakarta
9. Cummings CW. Allergic Rhinitis. In: Cummings CW, Flint PW et al editors.
Otolaryngology Head and Neck Surgery, 4th Ed Vol 1. Philadelphia:
Elsevier; 2005. p. 351-63
10. Nguyen QA. Allergic Rhinitis. Available from URL:
http://emedicine.medscape.com/article/8 34281-overview. Article last update
June 1, 2009. September 2009.
22