Anda di halaman 1dari 22

BAB I

LATAR BELAKANG

1.1. Latar Belakang


Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi
alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan allergen
yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan
ulangan dengan allergen spesifik tersebut. Menurut WHO ARIA (Allergic
Rhinitis and its Impact on Asthma) kelainan pada hidung dengan gejala
bersin-bersin, rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung
terpapar allergen yang diperantarai oleh IgE.1
Prevalensi rhinitis di dunia saat ini mencapai 10-25% atau lebih dari
600 juta penderita dari seluruh etnis. Di Amerika Serikat, lebih dari 40 juta
warganya menderita rinitis alergi yang merupakan penyakit alergi terbanyak
dan menempati posisi ke-6 penyakit yang bersifat menahun (kronis). Rinitis
alergi pada anak lebih sering terjadi pada anak laki-laki dibandingkan anak
perempuan, sedangkan pada dewasa prevalensi rinitis alergi laki-laki sama
dengan perempuan.2
Berat ringannya gejala rhinitis alergi tidak saja dipengaruhi oleh faktor
eksternal tapi faktor internal juga dapat berinteraksi. Faktor-faktor eksternal
penderita dapat berupa inhala, ingesta, dan zat polutan. Pengaruh-pengaruh
faktor-faktor internal antara lain faktor genetik. Di Indonesia aeroallergen
yang sering menyebabkan rinitis alergi yaitu tungau debu rumah.2
Masalah yang sering mengganggu penderita rinitis alergi adalah
penurunan kosentrasi, produktivitas kerja dan kelelahan. Gangguan ini
menyebabkan terjadinya penurunan kualitas hidup.2 Untuk menigkatkan
kualitas hidup penderita rinitis alergi sehingga perlu diketahui cara diagnosis
dan penatalaksanaannya yang tepat, oleh karena itu pada laporan kasus ini
membahas rinitis alergi.
.

1
2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Hidung


Hidung merupakan salah satu organ pelindung tubuh terpenting
terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan.3 Hidung mempunyai
beberapa fungsi: 1) sebagai indra penghidung, karena terdapatnya mukosa
olfaktorius dan reservoir undara untuk menampung stimulus penghidu, 2)
fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara, penyaring udara, humidifikasi,
penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal, 3)
fungsi fenotik yang berguna untuk meresonansi suara, membantu proses
bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang.4
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke
bawah: 1) pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3)
puncak hidung (hip), 4) ala nasi, 5) kolumela, 6) lubang hidung (nares
anterior). Hidung bagian luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan
yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi
untuk melebarkan dan menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri
dari; sepasang os nasal, prosesus frontalis os maksila dan prosesus nasalis os
frontal, sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang
rawan yang terdiri dari; sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang
kartilago lateralis inferior (kartilago ala mayor) dan tepi anterior kartilago
septum nasi. Otot-otot ala nasi terdiri dari dua kelompok, yaitu kelompok
dilator, terdiri dari muskulus dilator nares (anterior dan posterior), muskulus
proserus, kaput angular muskulus kuadratus labii superior dan kelompok
konstriktor yang terdiri dari muskulus nasalis dan muskulus depressor septi.
4
3

Gambar 2.1 Anatomi hidung luar3

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan


ke belakang yang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya
menjadi kavum nasi kanan dan kavum nasi kiri yang tidak sama
ukurannya. Lubang hidung bagian depan disebut nares anterior dan
lubang hidung bagian belakang disebut nares posterior atau disebut koana.
Bagian dari rongga hidung yang letaknya sesuai dengan ala nasi disebut
vestibulum yang dilapisi oleh kulit yang mempunyai kelenjar keringat,
kelenjar sebasea dan rambut-rambut yang disebut vibrisae. 4
Kavum nasi terdiri dari :
1. Dasar hidung : dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus
horizontal os palatum.
2. Atap hidung : terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os
nasal prosesus frontalis, os maksila, korpus os etmoid dan korpus os
sfenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa.
3. Dinding lateral : dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam
prosesus frontalis os maksila, os lakrimalis, konka superior, konka media,
konka inferior, lamina perpendikularis os palatum dan lamina
pterigoideus medial.
4. Konka : pada dinding lateral terdapat empat buah konka yaitu konka
inferior, konka media, konka superior dan konka suprema. Konka
suprema biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan konka yang
4

terbesar dan merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila.


Sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari
etmoid.
5. Meatus nasi : diantara konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga
sempit yang disebut meatus. Meatus inferior terletak diantara konka
inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada
meatus inferior terdapat muara duktus nasolakrimalis. Meatus media
terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada
meatus superior yang merupakan ruang antara konka superior dan konka
media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
6. Dinding medial: dinding medial hidung adalah septum nasi. 4
Mukosa hidung rongga hidung dilapisi oleh selaput lendir. Epitel
organ pernapasan yang biasanya berupa epitel kolumnar bersilia,
bertingkat palsu, berbedabeda pada bagian hidung.pada ujung anterior
konka dan septum sedikit melampaui os internum masih dilapisi oleh
epitel berlapis gepeng tanpa silia, lanjutan epitel kulit vestibulum nasi.
Sepanjang jalur utama arus inspirasi epitel menjadi kolumnar; silia
pendek agak irreguler. Sel – sel meatus media dan inferior yang terutama
menangani arus ekspirasi memiliki silia yang panjang yang tersusun rapi.
4

Gambar 2.2 Anatomi dinding lateral hidung4


5

2.2. Rinitis Alergi


Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi
alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan allergen
yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan
ulangan dengan allergen spesifik tersebut. Menurut WHO ARIA (Allergic
Rhinitis and its Impact on Asthma) kelainan pada hidung dengan gejala
bersin-bersin, rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung
terpapar allergen yang diperantarai oleh IgE.1

2.3. Epidemiologi
Di Amerika Serikat rinitis alergi merupakan penyakit alergi terbanyak
dan menempati posisi ke-6 penyakit yang bersifat menahun (kronis). Rinitis
alergi juga merupakan alasan ke-2 terbanyak kunjungan masyarakat ke ahli
kesehatan profesional setelah pemeliharaan gigi. Angka kejadian rinitis alergi
mencapai 20%.9 Valovirta10 dkk melaporkan, di AS sekitar 20-40% pasien
rinitis alergi menderita asma bronkial. Sebaliknya 30-90% pasien asma
bronkial memiliki gejala rinitis alergi sebelumnya. Dikutip dari Evans,
penelitian dilakukan dari tahun 1965 sampai tahun 1984 di AS, didapatkan
hasil yang hampir sama yaitu 38% pasien rinitis alergi juga memiliki gejala
asma bronkial, atau sekitar 3-5% dari total populasi.11 Menurut
International Study of Asthma and Allergies in Children (ISAAC, 2006),
Indonesia bersama-sama dengan negara Albania, Rumania, Georgia dan
Yunani memiliki prevalensi rinitis alergi yang rendah yaitu kurang dari 5%.
Begitu juga dengan prevalensi asma bronkial juga kurang dari 5%. Prevalensi
rinitis tertinggi di Nigeria (lebih dari 35%), Paraguay (30-35%) dan
Hongkong (25-30%).4 Di Indonesia, dikutip dari Sundaru, menyatakan
bahwa rinitis alergi yang menyertai asma atopi pada 55% kasus dan menyertai
non atopi pada 30,3% kasus.12
6

2.4. Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali
dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri
dari 2 fase yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat
(RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam
setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat
(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase
hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.1
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag
atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting
Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa
hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide
dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide
MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian
dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas
sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk
berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin
seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13. IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh
reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif
dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan
masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau
basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut
sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa
yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE
akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)
mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah
terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2),
Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet
Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF
7

(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah


yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). 1
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin
juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami
hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.
Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain
histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan
pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion
Molecule 1 (ICAM1). Universitas Sumatera Utara Pada RAFC, sel mastosit
juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel
eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai
disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah
pemaparan. 1
Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel
inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa
hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte
Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret
hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat
peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti
Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP),
Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase
ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat
memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan
cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.5

2.5. Klasifikasi Rinitis Alergi


Klasifikasi rinitis alergi berdasarkan WHO-ARIA, rinitis alergi berdasarkan
sifat berlangsungnya dibagi menjadi:
1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/miggu atau
kurang dari 4 minggu.
8

2. Persisten/menetap, bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4


minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi
menjadi :
1. Ringan, bila tidak ditemukan ganguan tidur, gangguan aktivitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang
mengganggu.
2. Sedang-berat, bila terdapat salah satu atau lebih dari gangguan tersebut di
atas.2

2.6. Diagnosis
Diagonsis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan oleh:
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering serangan tidak terjadi
dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari
anamnesis saja.1 Gejala klinis pada rinitis alergi adalah bersin berulang
pada pagi hari, keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, dan hidung gatal.3 Gejala rinitis alergi yang khas adalah
terdapatnya serangan bersin berulang, terutama pada pagi hari atau bila
terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Kadang-kadang keluhan
hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala
yang diutarakan oleh pasien. 1
Pada mata dapat menunjukkan gejala berupa mata merah, gatal,
konjungtivitis, mata terasa terbakar, dan lakrimasi. Pada telinga bisa
dijumpai gangguan fungsi tuba, efusi telinga bagian tegah.2

2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah,
berwarna pucat atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila
gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi.2
9

Gejala spesifik lain pada anak adalah adanya bayangan gelap di


daerah bawah mata yang terjadi karena statis vena sekunder akibat
obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain itu juga tampak
anak menggosok-gosok hidung, karena gatal dengan puggung tangan.
Keadaan ini disebut allergic salute. Menggosok-gosokan hidung
mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian
sepertiga bawah yang disebut allergic crease. Mulut sering terbuka
dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan
gangguan pertumbuhan gigi-geligi, serta dinding lateral faring menebal.
Lidah tampak seperti gambaran peta.2

2.7. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang diagnosis dipertimbangkan sesuai dengan
fasilitas yang ada.4,13,14
1. Uji kulit cukit (Skin Prick Test).
Tes ini mudah dilakukan untuk mengetahui jenis alergen penyebab
alergi. Pemeriksaan ini dapat ditoleransi oleh sebagian penderita
termasuk anak-anak. Tes ini mempunyai sensitifitas dan spesifisitas
tinggi terhadap hasil pemeriksaan IgE spesifik. Akan lebih ideal jika bisa
dilakukan Intradermal Test atau Skin End Point Titration Test bila
fasilitas tersedia.
2. IgE serum total.
Kadar meningkat hanya didapati pada 60% penderita rinitis alergi
dan 75% penderita asma. Kadar IgE normal tidak menyingkirkan rinitis
alergi. Kadar dapat meningkat pada infeksi parasit, penyakit kulit dan
menurun pada imunodefisiensi. Pemeriksaan ini masih dipakai sebagai
pemeriksaan penyaring tetapi tidak untuk diagnostik.
3. IgE serum spesifik.
Pemeriksaan ini dilakukan apabila pemeriksaan penunjang
diagnosis rinitis alergi seperti tes kulit cukit selalu menghasilkan hasil
negatif tapi dengan gejala klinis yang positif. Sejak ditemukan teknik
10

RAST (Radioallergosorbent test) pada tahun 1967, teknik pemeriksaan


IgE serum spesifik disempurnakan dan komputerisasi sehingga
pemeriksaan menjadi lebih efektif dan sensitif tanpa kehilangan
spesifisitasnya, seperti Phadebas RAST, Modified RAST, Pharmacia
CAP system dan lain-lain. Waktu pemeriksaan lebih singkat dari 2-3 hari
menjadi kurang dari 3 jam saja.
4. Pemeriksaan sitologis atau histologis,
bila diperlukan untuk menindak lanjuti respon terhadap terapi atau
melihat perubahan morfologik dari mukosa hidung.
5. Tes provokasi hidung (Nasal Challenge Test).
Dilakukan bila ada keraguan dan kesulitan dalam mendiagnosis
rinitis alergi, dimana riwayat rinitis alergi positif, tetapi hasil tes alergi
selalu negatif.
6. Foto polos sinus paranasal/CT Scan/MRI.
Dilakukan bila ada indikasi keterlibatan sinus paranasal, seperti
adakah komplikasi rinosinusitis, menilai respon terhadap terapi dan jika
direncanakan tindakan operasi.

2.8. Penatalaksanaan
Terapi yang paling ideal adalah dengan meghindari kontak dengan
alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. Tujuannya untuk
mengurangi terjadinya gejala akibat paparan allergen, hipereaktifitas
nonspesifik dan inflamasi.1
Pedoman terapi yang dipakai adalah rekomendasi The Allergic Rhinitis
and its Impact on Asthma (ARIA-WHO). Penanganan yang
direkomendasikan adalah edukasi penderita, menghindari allergen, terapi
farmakologi, imunoterapi spesifik, dan pembedahan.2
1. Edukasi penderita
Penderita harus diedukasi tentang penyakit alergi, perjalanan penyakit,
pengobatan yang harus teratur dan kadang dalam jangka waktu lama.
Terapi medikamentosa ditujukan untuk mengurangi gejala dan
11

memperbaiki sistem imun. Pasien harus diberi penjelasan tentang


pentingnya menghindari kontak dengan allergen dan meningkatkan daya
tahan tubuh dengan berolahraga. Olahraga bermanfaat untuk
meningkatkan fungsi imun. Hasil penelitian melaporkan pada pasien
rinitis alergi yang dilakukan olahraga intensitas sedang dan berat ,
didapatkan penurunan gejala rinitis pada pasien tersebut.2
2. Penghindaran Alergen
Faktor pemicu rinitis alergi yag bayak terjadi di Indonesia adalah karena
tungau debu rumah. Yang perlu dilakukan untuk menhindarinya dengan
membungkus kasur dan bantal dengan atau mencuci alas tidur, mecuci
pakaian di bawah sinar matahari. Sesedikit mungkin menggunakan
furniture dari kain atau baha berbulu. 2
3. Terapi farmakologi
Beberapa jenis obat yang digunakan pada terapi rinitis alergi ialah
antihistamin, dekongestan, kortikosteroid, stabilisator mastosit, dan obat
antikolinergik.8
a. Antihistamin
Antihistamin merupakan pilihan pertama untuk pengobatan rinitis
alergi. Antihistamin bekerja denga cara menghambat efek mediator
histamine pada tingkat reseptor histamine. Obat ini sangat efektif
untuk mengurangi gejala rinitis (hidung gatal, bersin, rinore),
meskipun kurang efektif untuk mengurangi gejala hidung tersumbat.
Secara garis besar dibedakan atas antihistamin H1 klasik dan
antihistamin H1 golongan baru. Antihistamin H1 klasik bersifat
sedatif, tidak selektif terhadap reseptor H1 perifer krena dapat
menembus sawar otak dan memiliki efek sampig gangguan jantung.
Antihistamin H1 klasik seperti Diphenhydramine, Tripolidine,
Chlorpheniramine dan lain-lain. Sedangkan antihistamine generasi
baru bekerja lama (24 jam), tidak menembus sawar otak dan selektif
terhadap reseptor H1 perifer sehingga tidak berefek sedatif. Contoh
12

antihistamine generasi baru yaitu terfenadine, loratadine, cetirizin,


desloratadine dan lain-lain.8
b. Dekongestan hidung
Obat-obatan dekongestan hidung menyebabkan vasokonstriksi karena
efeknya pada reseptorreseptor α-adrenergik. Efek vasokonstriksi
terjadi dalam 10 menit, berlangsung selama 1 sampai 12 jam.
Pemakaian topikal sangat efektif menghilangkan sumbatan hidung,
tetapi tidak efektif untuk keluhan bersin dan rinore. Pemakaiannya
terbatas selama 10 hari. Kombinasi antihistamin dan dekongestan oral
dimaksud untuk mengatasi obstruksi hidung yang tidak dipengaruhi
oleh antihistamin.8
c. Kortikosteroid
Pemakaian sistemik kadang diberikan peroral atau suntikan sebagai
depo steroid intramuskuler. Data ilmiah yang mendukung relatif
sedikit dan tidak ada penelitian komparatif mengenai cara mana yang
lebih baik dan hubungannya dengan dose response. Kortikosteroid
oral sangat efektif dalam mengurangi gejala rinitis alergi terutama
dalam episode akut.19 Efek samping sistemik dari pemakaian jangka
panjang kortikosteroid sistemik baik peroral atau parenteral dapat
berupa osteoporosis, hipertensi, memperberat diabetes, supresi dari
hypothalamic-pituitary-adrenal axis, obesitas, katarak, glukoma,
cutaneous striae. Efek samping lain yang jarang terjadi diantaranya
sindrom Churg-Strauss. Pemberian kortikosteroid sistemik dengan
pengawasan diberikan pada kasus asma yang disertai tuberkulosis,
infeksi parasit, depresi yang berat dan ulkus peptikus.12 Pemakaian
kortikosteroid topikal (intranasal) untuk rinitis alergi seperti
Beclomethason dipropionat, Budesonide, Flunisonide acetate
fluticasone dan Triamcinolone acetonide dinilai lebih baik karena
mempunyai efek antiinflamasi yang kuat dan mempunyai afinitas
yang tinggi pada reseptornya, serta memiliki efek samping sitemik
yang lebih kecil. Tapi pemakaian dalam jangka waktu yang lama
13

dapat menyebabkan mukosa hidung menjadi atropi dan dapat memicu


tumbuhnya jamur.8
d. Antikolinergik
Perangsangan saraf parasimpatis menyebabkan vasodilatasi dan
sekresi kelenjar. Antikolinergik menghambat aksi asetilkolin pada
reseptor muskarinik sehingga mengurangi volume sekresi kelenjar
dan vasodilatasi. Ipratropium bromida, yang merupakan turunan
atropin secara topikal dapat mengurangi hidung tersumbat atau bersin.
8

e. Natrium Kromolin
Digolongkan pada obat-obatan antialergi yang baru. Mekanisme kerja
belum diketahui secara pasti. Mungkin dengan cara menghambat
penglepasan mediator dari sel mastosit, atau mungkin melalui efek
terhadap saluran ion kalsium dan klorida. 9
4. Imunoterapi
Imunoterapi dengan alergen spesifik digunakan bila upaya penghindaran
alergen dan terapi medikamentosa pernasal gagal dalam mengatasi gejala
klinis rinitis alergi. Terdapat beberapa cara pemberian imunoterapi seperti
injeksi subkutan, , sub lingual, oral dan lokal. Pemberian imunoterapi
dengan menggunakan ekstrak alergen standar selama 3 tahun, terbukti
memiliki efek preventif pada anak penderita asma yang disertai seasonal
rhinoconjunctivitis mencapai 7 tahun setelah imunoterapi dihentikan. 7
5. Pembedahan
Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila
konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara
kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau troklor asetat. 9
14

2.9. Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:
1. Polip hidung
Beberapa penelitian mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah
satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip
hidung.
2. Otitis media efusi yang sering residitif, terutama pada anak-anak.
3. Sinusitis paranasal.1
15

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1. Identitas pasien


Nama : Ny. A
Umur : 39 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Karang Agung RT 06 RW 03, Banyuasin.
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar

3.2. Anamnesis
Keluhan Utama
Hidung kiri terasa ada benjolan dan tersumbat.

Keluhan Tambahan
hidung keluar ingus yang encer dan bening, bersin-bersin, dan terasa gatal.

Riwayat Perjalanan Penyakit


Pasien datang ke poli THT RSMP dengan keluhan hidung kiri terasa ada
benjolan, mengganjal, dan tersumbat sejak 3 bulan yang lalu. Keluhan ini
hilang timbul terutama timbul saat terkena debu dan saat menepuk-nepuk
kasur. Selain itu, os juga mengeluh hidung sering keluar ingus yang bening dan
encer, bersin-bersin terus menerus dan gatal-gatal pada hidung. Os juga
mengeluhkan pusing seperti berputar-putar.

Penyakit yang pernah diderita


Pasien tidak memiliki riwayat asma, alergi obat dan makanan disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga


Ibu os mempunyai alergi makanan
16

3.3. Pemeriksaan Fisik


Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Keasadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 120/80 mmhg
Nadi : 78 x/menit
Respiratory rate : 20 x/menit
Temperatur : 36,8 o C
Status Lokalis THT
Pemeriksaan Hidung
Pemeriksaan Hidung Kanan Kiri
Dorsum nasi Bentuk (normal), hiperemi Bentuk (normal), hiperemi
(-), nyeri tekan (-), (-), nyeri tekan (-),
deformitas (-) deformitas (-)
Cavum nasi Bentuk (normal), mukosa Bentuk (normal), mukosa
hiperemia (-) hiperemia (-)
Meatus nasi media Massa(-) Massa(-)
Konka nasi inferior Edema (-), mukosa hiperemi Edema (+), mukosa
(-) hiperemi (-)
Mukosa Basah, edema (-), mukosa Basah, edema (+), mukosa
pucat (-), hiperemi (-) pucat (+), hiperemi (-)
Sekret Ada Ada
Septum nasi Deviasi (-), perdarahan (-), Deviasi (-), perdarahan (-),
17

Pemeriksaan Telinga
Telinga kanan Telinga kiri
Aurikula Edema (-), hiperemi (-), Edema (-), hiperemi (-),
massa (-). massa (-).
Palpasi Nyeri pergerakan aurikula Nyeri pergerakan aurikula
(-), nyeri tekan tragus (-). (-), nyeri tekan tragus (-).
MAE Edema (-), hiperemi (-), Edema (-), hiperemi (-),
serumen (-), furunkel (-). serumen (+), furunkel (-).
Membran Intak, berwarna putih, Intak, berwarna putih,
Tympani reflek cahaya (+) reflek cahaya (+)

Kanan Kiri
18

Pemeriksaan Tenggorokan

Bibir Mukosa bibir basah, berwarna merah muda (N)


Mulut Mukosa mulut basah berwarna merah muda
Geligi Normal
Lidah Tidak ada ulkus, pseudomembrane (-)
Uvula Bentuk normal, hiperemi (-), edema (-), pseudomembran (-)
Palatum mole Ulkus (-), hiperemi (-)
Faring Mukosa hiperemi (-), reflex muntah (+), membrane (-), sekret
(-)
Tonsila palatine Kanan Kiri
T1 T1
Fossa Tonsillaris hiperemi (-) hiperemi (-)
dan Arkus Faringeus

3.4. Diagnosis kerja


Rinitis alergi

3.5. Rencana Terapi


Non- farmakologi
1. Pasien diminta untuk menghindari allergen misalnya dengan selalu menjaga
kebersihan tempatnya sehingga megurangi debu.
19

2. Pasien harus rajin olahraga


3. Datang kembali untuk kontrol setelah 1 minggu, untuk melihat
perkembangan peyembuhan.

Farmakologi
1. Antihistamin
Obat antihistamin yang biasanya digunaka adalah antihistamin H1
generasi baru seperti fexofenadin, cetitizin, loratadin. Dosis obat yang
digunakan adalah 5-10 mg.
2. Dekongestan hidung
Obat dekongestan yang biasa digunakan antara lain pseudoefedrin, efedrin,
oxymetazolin, fenilpropanolamin, dan xylometazolin. Dosis pseudoefedrin
yang biasa digunakan yaitu 60 mg.
3. Kortikosteroid
Steroid topikal yang digunakan biasanya mometasone furoate nasal spray 1
x 1 spray pada hidung kanan dan kiri. Kortikosteroid lain misalnya
budesonid, metil prednisolon, dexametason, dan prednison.

3.6. Progosis
Quo ad vitam: Bonam
Quo ad functionam: Bonam
20

BAB IV
ANALISA KASUS

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan allergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
allergen spesifik tersebut. Gejala klinis pada rinitis alergi adalah bersin berulang
pada pagi hari, keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, dan
hidung gatal. Gejala rinitis alergi yang khas adalah terdapatnya serangan bersin
berulang, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar
debu. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau
satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.
Diagnosis rinitis alergi didapatkan melalui hasil anamnesis dan pemeriksaan
fisik hidung yang dilakukan. Pada anamnesis, tergambar jelas mengenai faktor
pencertus dan perjalanan penyakit pasien. Dari anamnesis diketahui bahwa ia sering
mengalami hidung tersumbat yang hilng timbul, hidung berair, bersin-bersin dan
hidung gatal terutama saat terpapar debu. Selain itu pada pemeriksaan fisik
ditemukan mukosa hidung yang basah, edema dan berewarna agak pucat.
Tujuan terapi rinitis alergi adalah 1) mengurangi gejala akibat paparan
alergen, hiperreaktifitas nonspesifik dan inflamasi, 2) Perbaikan kualitas hidup
penderita sehingga dapat menjalankan aktifitas sehari-hari. Oleh karena itu
diberikan antifistamin (cetirizin) untuk mengurangi gejala rinitis (hidug gatal, bersi
dan rinore), dekongestan hidung untuk menghilangkan sumbatan hidug, dan
kortikosteroid untuk memberikan efek terapi yang efektif dalam pegobatan rinitis.
Olahraga berguna untuk meningkatkan sistem imun tubuh dan menghindari paparan
allergen sangat penting agar gejala meminimal. Kontrol diperlukan untuk menilai
terapi telah adekuat atau belum, agar dapat meningkatkan kualitas hidup penderita.
21

DAFTAR PUSTAKA

1. Irawati, Kasakeyen & Rusmono, 2008. Rinitis Alergi. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Hal. 128-133.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
2. Huriyati, E. 2014. Update Diagnosa dan Tatalaksana Penatalaksanaa Rinitis
Alergi. Dalam. Jacky Munilson,dkk 9editor). Update Diagnosis dan
Tatalaksana Kasus di Bidang THT-KL. Balai Penerbit FK Andalas. Padang.
3. Adams.G.L, Boies.L.R, Higler. P.A. Boies Buku Ajar Penyakit THT. 6th ed.
Hidung:Anatomi dan Fisiologi Terapan . Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC. 1997. pg: 173-175.
4. Soetjipto & Wardani. 2008. Hidung. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Hal. 128-133. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI.
5. Huriyati & Hafiz. 2013. Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinitis Alergi dan
Asma bronchial. Dalam. Jacky Munilson,dkk 9editor). Update Diagnosis dan
Tatalaksana Kasus di Bidang THT-KL. Balai Penerbit FK Andalas. Padang.
6. Devina. 2009. Gejala rinitis alergi pada Mahasiswa USU tahun 2007-2009.
Balai Penerbit FK USU. Medan.
7. Dhingra. 2009. Rinitis Alergi. Balai Penerbit FK USU. Medan.
8. Suprihati, Irawati N, Tety M, Sumarman . 2003. Panduan Penatalaksanaan
Rinitis Alergi (WHO-ARIA). Dalam: Kongres Nasional XIII PERHATI-KL.
Jakarta
9. Cummings CW. Allergic Rhinitis. In: Cummings CW, Flint PW et al editors.
Otolaryngology Head and Neck Surgery, 4th Ed Vol 1. Philadelphia:
Elsevier; 2005. p. 351-63
10. Nguyen QA. Allergic Rhinitis. Available from URL:
http://emedicine.medscape.com/article/8 34281-overview. Article last update
June 1, 2009. September 2009.
22

11. Valovirta E, Pawankar R. Survey on the Impact of Comorbid Allergic


Rhinitis in Patients with Asthma. BMC Pulmonary Medicine, 2006; 6(Suppl
1): 1-10. 8.
12. Corren J. The impact of allergic rhinitis on bronchial asthma. J Allergy Clin
Immunol 1998; 101: 352-6.
13. Krouse JH. Allergic and Nonallergic Rhinitis. In: Bailey BJ, Johnson JT et al
editors. Otolaryngology Head and Neck Surgery, 4th Ed Vol 1. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2006. p. 351-63.
14. Fornadley JA. Skin Testing in the Diagnosis of Inhalant Allergy. In: Krouse
JH, Chadwick SJ, et al editors. Allergy and Immunology, an Otolaryngologic
Approach. Philadelphia: Lippicott Williams & Wilkins; 2002. p. 11423.

Anda mungkin juga menyukai

  • Status Ujian BLM Fix
    Status Ujian BLM Fix
    Dokumen10 halaman
    Status Ujian BLM Fix
    Feizal Faturahman
    Belum ada peringkat
  • TB
    TB
    Dokumen3 halaman
    TB
    Feizal Faturahman
    Belum ada peringkat
  • Jawab Soal
    Jawab Soal
    Dokumen3 halaman
    Jawab Soal
    Feizal Faturahman
    Belum ada peringkat
  • Tugas Pak Dadang
    Tugas Pak Dadang
    Dokumen1 halaman
    Tugas Pak Dadang
    Feizal Faturahman
    Belum ada peringkat
  • Ujian Mata Fixx Feizal
    Ujian Mata Fixx Feizal
    Dokumen19 halaman
    Ujian Mata Fixx Feizal
    Feizal Faturahman
    Belum ada peringkat
  • TB
    TB
    Dokumen3 halaman
    TB
    Feizal Faturahman
    Belum ada peringkat
  • Cover Ujian
    Cover Ujian
    Dokumen1 halaman
    Cover Ujian
    Feizal Faturahman
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen1 halaman
    Bab I
    Annisa Amalia
    Belum ada peringkat
  • Ujian Mata FIX
    Ujian Mata FIX
    Dokumen17 halaman
    Ujian Mata FIX
    Feizal Faturahman
    Belum ada peringkat
  • Cover Katarak
    Cover Katarak
    Dokumen4 halaman
    Cover Katarak
    Feizal Faturahman
    Belum ada peringkat
  • Ughdsfddsf
    Ughdsfddsf
    Dokumen1 halaman
    Ughdsfddsf
    Master Gaming Indonesia
    Belum ada peringkat
  • COVER Fix
    COVER Fix
    Dokumen6 halaman
    COVER Fix
    Feizal Faturahman
    Belum ada peringkat
  • Mata FIX
    Mata FIX
    Dokumen40 halaman
    Mata FIX
    Feizal Faturahman
    Belum ada peringkat
  • BAB I Case Mata FIX
    BAB I Case Mata FIX
    Dokumen1 halaman
    BAB I Case Mata FIX
    Feizal Faturahman
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen4 halaman
    Cover
    Feizal Faturahman
    Belum ada peringkat
  • Lembar FU
    Lembar FU
    Dokumen1 halaman
    Lembar FU
    Femilia Kahar
    Belum ada peringkat
  • Ujian Mata FIX
    Ujian Mata FIX
    Dokumen17 halaman
    Ujian Mata FIX
    Feizal Faturahman
    Belum ada peringkat
  • Case Rinitis Alergi
    Case Rinitis Alergi
    Dokumen19 halaman
    Case Rinitis Alergi
    Imanuddin
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Dokumen1 halaman
    Daftar Pustaka
    Febry Setiawan
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen2 halaman
    Bab I
    Retza Prawira Putra
    Belum ada peringkat
  • Pemeriksaan Hidung
    Pemeriksaan Hidung
    Dokumen15 halaman
    Pemeriksaan Hidung
    Feizal Faturahman
    Belum ada peringkat
  • Pemeriksaan Hidung
    Pemeriksaan Hidung
    Dokumen15 halaman
    Pemeriksaan Hidung
    Feizal Faturahman
    Belum ada peringkat
  • Presentation 1
    Presentation 1
    Dokumen22 halaman
    Presentation 1
    Feizal Faturahman
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen2 halaman
    Bab I
    Retza Prawira Putra
    Belum ada peringkat
  • BAB II-1 BLM Fix
    BAB II-1 BLM Fix
    Dokumen29 halaman
    BAB II-1 BLM Fix
    Feizal Faturahman
    Belum ada peringkat
  • COVER Fix
    COVER Fix
    Dokumen6 halaman
    COVER Fix
    Feizal Faturahman
    Belum ada peringkat
  • Bab Iv
    Bab Iv
    Dokumen1 halaman
    Bab Iv
    Feizal Faturahman
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen23 halaman
    Bab Ii
    Feizal Faturahman
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen23 halaman
    Bab Ii
    Feizal Faturahman
    Belum ada peringkat